Teks dan Foto : Wayan
Jengki Sunarta *
Kain poleng mengandung
makna dan filosofi yang sangat dalam. Bagi penganut Hindu Bali, kain poleng berhubungan dengan konsep Rwa Bhineda, Triguna, Tri Murti, Sekala dan Niskala. Karena itu, sejumlah tempat suci dibalut kain poleng,
begitu pula dengan patung, pohon dan batu keramat, serta benda-benda sakral
lainnya. Kain poleng juga dipakai kostum khas pecalang (tenaga keamanan adat) saat menjalankan tugas-tugasnya.
Ada empat jenis corak kain
poleng. Yakni, Poleng Rwa Bhineda
(hitam-putih), melambangkan dualisme, seperti baik-buruk, hidup-mati, dan
sebagainya. Poleng Sudhamala
(hitam-putih-abu-abu), sebagai bentuk keseimbangan dari dualisme, dilambangkan
dengan warna abu-abu. Poleng Tridatu
(hitam-putih-merah), berkaitan dengan konsep Triguna, yakni putih sebagai Satwam (kesadaran, kebijaksanaan), merah
simbol Rajas (energi kehidupan), dan
hitam melambangkan Tamas (energi
negatif, penghambat). Tridatu juga identik dengan konsep Tri Murti, yakni
Brahma (merah, pencipta), Wisnu (hitam, pemelihara), dan Siwa (putih, pelebur),
atau terkait dengan kelahiran, kehidupan, dan kematian. Sedangkan kain poleng
untuk keperluan profan disebut Poleng Anyar,
warna dan coraknya sudah dimodifikasi.
Warna dan filosofi kain
poleng itu menarik perhatian Ponco Setyohadi, pelukis asal Malang yang telah
menetap di Bali sejak 1992. Untuk keperluan eksplorasi karya-karya terbarunya,
Ponco riset kain poleng selama enam bulan, melalui studi pustaka, dokumentasi,
observasi, dan wawancara mendalam dengan beberapa tokoh. Hasil riset itu diwujudkannya
dalam bentuk karya-karya seni lukis dan instalasi, yang dipamerkannya di Alila
Villas Soori, Pantai Kelating, Kerambitan, Tabanan, 1 – 14 Februari 2014.
Ponco yang sempat
mengenyam pendidikan Seni Rupa di IKIP Malang ini telah lama tertarik pada
kebudayaan Bali. Ponco telah menganggap Bali sebagai kampung halaman keduanya.
Selama di Bali, beberapa jenis pekerjaan pernah dilakoninya, dari tukang gali
got hingga menjadi desainer perhiasan merek John Hardy. Bahkan, oleh Perusahaan
Sequel Ag (Swiss), Ponco dipercaya sebagai Guess collection (Gc) Personality
Indonesia, mewakili karakter Gc dari genre seni lukis, yang mewajibkannya memakai
jam Gc Smart Luxury. Sejak itu, dia berkesempatan mengunjungi sejumlah tempat
menarik di Eropa, Asia Tenggara, dan China. Dia memperdalam pengetahuan dan
wawasan seni lukisnya dengan mengunjungi museum-museum seni rupa di Roma,
Vatikan, Praha, Amsterdam, Barcelona, Wina, dan beberapa tempat lainnya.
Sebagai pelukis, Ponco
menjelajahi dan menjajal berbagai tema, teknik, dan aliran. Dia menguasai ekspresionisme, realisme,
romantisme, naturalisme, simbolisme, dan abstrakisme. Selain bisa dilihat di situs
pribadinya, karya-karyanya pernah ditampilkan dalam event “Gc Smart Luxury ” di Nusa Dua (2012), “Bali
on The Move” di Maha Art Gallery Denpasar (2013), “Kuta Art Chromatic” di Alas
Arum, Seminyak (2013). Pameran tunggal perdananya digelar di Villa
Watusangging, Nyambu, Tabanan (2013). Pada pameran tunggal kedua, bertema
“Poleng” ini, apresian bisa menyaksikan transformasi karya-karyanya, dari
realis ke simbolis dan abstrak.
Ponco mengatakan, pada saat riset kain poleng, awalnya dia
tertarik pada warna, bentuk, dan implementasinya di kehidupan relegius
masyarakat Bali. Dia kemudian membuat karya-karya realis yang berhubungan
dengan kain poleng. Namun, ketika Ponco memelajari kain poleng lebih mendalam,
dia menemukan filosofi yang sangat universal. Renungannya itu melahirkan
karya-karya yang cenderung simbolik dan abstrak.
Karya-karya Ponco kali ini cenderung menampilkan eksplorasi
teknik, tekstur, dan simbol. Bahkan, dia memakai jemari dan tapak tangannya
sebagai pengganti kuas dan palet. Hal itu tampak pada karya-karya yang
menafsirkan filosofi lima jenis pecalang, yakni Jagabhaya (pecalang banjar adat), Jagawana (pecalang hutan), Pangliman
Toya (pecalang petani), Bendega
(pecalang nelayan), dan Sawung Tanggur
(pecalang tabuh rah). Pecalang sendiri berasal dari kata “calang” yang artinya
waspada. Karya-karya tentang filosofi pecalang ini mengandung makna bahwa
manusia harus selalu waspada di mana pun berada.
Di karyanya yang lain, Ponco mengolah simbol-simbol
magis dan gambar rerajahan mistis Bali, dikaitkan dengan corak kain poleng. Hal
itu terlihat pada lukisan berjudul Deling,
Manca Rupa, Mega Mendung, Sasuruh Ijo,
dan Tumpal Poleng. Ponco menyesuaikan
tekstur-tekstur lukisannya dengan filosofi dan energi dari simbol-simbol
tersebut. Pada karya-karya mix media, Ponco menempelkan perca-perca kain poleng
pada bidang kanvas, membentuk komposisi tertentu. Misalnya, terlihat pada
lukisan Nyelem Putihang Gumi, Pager Poleng, Pondasi Poleng. Sedangkan karya instalasinya yang dibuat dari
rangkaian kain poleng, rambut barong, dan ornamen uang kepeng, sangat
kontemplatif dan memancarkan kemagisan.
Berdasarkan pemahaman dan tafsiran Ponco terhadap
filosofi poleng, karya-karyanya banyak berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan,
pengendalian dan mawas diri. Ponco mengatakan, seandainya umat manusia mampu mengamalkan
filosofi poleng dalam keseharian, tentu kehidupan akan menjadi lebih damai dan
harmonis.***
*sastrawan, penulis, dan kurator seni rupa.
No comments:
Post a Comment