Labels

Saturday, 8 February 2014

Ponco dan Poleng

Teks dan Foto : Wayan Jengki Sunarta *


Kain poleng mengandung makna dan filosofi yang sangat dalam. Bagi penganut Hindu Bali, kain poleng berhubungan dengan konsep Rwa Bhineda, Triguna, Tri Murti, Sekala dan Niskala. Karena itu, sejumlah tempat suci dibalut kain poleng, begitu pula dengan patung, pohon dan batu keramat, serta benda-benda sakral lainnya. Kain poleng juga dipakai kostum khas pecalang (tenaga keamanan adat) saat menjalankan tugas-tugasnya.


Ada empat jenis corak kain poleng. Yakni, Poleng Rwa Bhineda (hitam-putih), melambangkan dualisme, seperti baik-buruk, hidup-mati, dan sebagainya. Poleng Sudhamala (hitam-putih-abu-abu), sebagai bentuk keseimbangan dari dualisme, dilambangkan dengan warna abu-abu. Poleng Tridatu (hitam-putih-merah), berkaitan dengan konsep Triguna, yakni putih sebagai Satwam (kesadaran, kebijaksanaan), merah simbol Rajas (energi kehidupan), dan hitam melambangkan Tamas (energi negatif, penghambat). Tridatu juga identik dengan konsep Tri Murti, yakni Brahma (merah, pencipta), Wisnu (hitam, pemelihara), dan Siwa (putih, pelebur), atau terkait dengan kelahiran, kehidupan, dan kematian. Sedangkan kain poleng untuk keperluan profan disebut Poleng Anyar, warna dan coraknya sudah dimodifikasi.

Warna dan filosofi kain poleng itu menarik perhatian Ponco Setyohadi, pelukis asal Malang yang telah menetap di Bali sejak 1992. Untuk keperluan eksplorasi karya-karya terbarunya, Ponco riset kain poleng selama enam bulan, melalui studi pustaka, dokumentasi, observasi, dan wawancara mendalam dengan beberapa tokoh. Hasil riset itu diwujudkannya dalam bentuk karya-karya seni lukis dan instalasi, yang dipamerkannya di Alila Villas Soori, Pantai Kelating, Kerambitan, Tabanan, 1 – 14 Februari 2014.

Ponco yang sempat mengenyam pendidikan Seni Rupa di IKIP Malang ini telah lama tertarik pada kebudayaan Bali. Ponco telah menganggap Bali sebagai kampung halaman keduanya. Selama di Bali, beberapa jenis pekerjaan pernah dilakoninya, dari tukang gali got hingga menjadi desainer perhiasan merek John Hardy. Bahkan, oleh Perusahaan Sequel Ag (Swiss), Ponco dipercaya sebagai Guess collection (Gc) Personality Indonesia, mewakili karakter Gc dari genre seni lukis, yang mewajibkannya memakai jam Gc Smart Luxury. Sejak itu, dia berkesempatan mengunjungi sejumlah tempat menarik di Eropa, Asia Tenggara, dan China. Dia memperdalam pengetahuan dan wawasan seni lukisnya dengan mengunjungi museum-museum seni rupa di Roma, Vatikan, Praha, Amsterdam, Barcelona, Wina, dan beberapa tempat lainnya.

Sebagai pelukis, Ponco menjelajahi dan menjajal berbagai tema, teknik, dan aliran. Dia menguasai ekspresionisme, realisme, romantisme, naturalisme, simbolisme, dan abstrakisme. Selain bisa dilihat di situs pribadinya, karya-karyanya pernah ditampilkan dalam event  “Gc Smart Luxury ” di Nusa Dua (2012), “Bali on The Move” di Maha Art Gallery Denpasar (2013), “Kuta Art Chromatic” di Alas Arum, Seminyak (2013). Pameran tunggal perdananya digelar di Villa Watusangging, Nyambu, Tabanan (2013). Pada pameran tunggal kedua, bertema “Poleng” ini, apresian bisa menyaksikan transformasi karya-karyanya, dari realis ke simbolis dan abstrak.

Ponco mengatakan, pada saat riset kain poleng, awalnya dia tertarik pada warna, bentuk, dan implementasinya di kehidupan relegius masyarakat Bali. Dia kemudian membuat karya-karya realis yang berhubungan dengan kain poleng. Namun, ketika Ponco memelajari kain poleng lebih mendalam, dia menemukan filosofi yang sangat universal. Renungannya itu melahirkan karya-karya yang cenderung simbolik dan abstrak.

Karya-karya Ponco kali ini cenderung menampilkan eksplorasi teknik, tekstur, dan simbol. Bahkan, dia memakai jemari dan tapak tangannya sebagai pengganti kuas dan palet. Hal itu tampak pada karya-karya yang menafsirkan filosofi lima jenis pecalang, yakni Jagabhaya (pecalang banjar adat), Jagawana (pecalang hutan), Pangliman Toya (pecalang petani), Bendega (pecalang nelayan), dan Sawung Tanggur (pecalang tabuh rah). Pecalang sendiri berasal dari kata “calang” yang artinya waspada. Karya-karya tentang filosofi pecalang ini mengandung makna bahwa manusia harus selalu waspada di mana pun berada.

Di karyanya yang lain, Ponco mengolah simbol-simbol magis dan gambar rerajahan mistis Bali, dikaitkan dengan corak kain poleng. Hal itu terlihat pada lukisan berjudul Deling, Manca Rupa, Mega Mendung, Sasuruh Ijo, dan Tumpal Poleng. Ponco menyesuaikan tekstur-tekstur lukisannya dengan filosofi dan energi dari simbol-simbol tersebut. Pada karya-karya mix media, Ponco menempelkan perca-perca kain poleng pada bidang kanvas, membentuk komposisi tertentu. Misalnya, terlihat pada lukisan Nyelem Putihang Gumi, Pager Poleng, Pondasi Poleng. Sedangkan karya instalasinya yang dibuat dari rangkaian kain poleng, rambut barong, dan ornamen uang kepeng, sangat kontemplatif dan memancarkan kemagisan.

Berdasarkan pemahaman dan tafsiran Ponco terhadap filosofi poleng, karya-karyanya banyak berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan, pengendalian dan mawas diri. Ponco mengatakan, seandainya umat manusia mampu mengamalkan filosofi poleng dalam keseharian, tentu kehidupan akan menjadi lebih damai dan harmonis.***



*sastrawan, penulis, dan kurator seni rupa.

No comments:

Post a Comment