Teks dan Foto Oleh
Wayan Jengki Sunarta
(Menembus Badai karya Made Supena) |
Sebuah jukung (sampan) terpajang
di tengah ruangan. Beberapa bagian dinding jukung yang tampak rapuh itu berhias
lukisan wayang gaya Kamasan. Di bagian tepi dan tengah jukung berderet figur-figur
yang duduk bersila dan beberapa di antaranya berdiri seolah menantang angin dan
ombak. Jukung tua itu masih terlihat gagah mengarungi lautan waktu.
Jukung yang menyedot banyak
perhatian pengunjung itu adalah sebuah seni instalasi berjudul “Menembus Badai”
(500 x 50 x 120 cm, mix media, 2011) karya Made Supena. Jukung itu adalah salah
satu karya pilihan yang dipamerkan di Bentara Budaya Bali, 13-21 Mei 2018,
berkaitan dengan pameran retrospektif Galang Kangin yang dikurasi oleh Hardiman.
Pameran retrospektif ini
menampilkan karya-karya terpilih dari masing-masing anggota yang diambil dari
sejumlah pameran yang pernah digelar Galang Kangin. Selain karya Supena, seni
instalasi karya Made Galung Wiratmaja yang berjudul “Naga Air” (2014) juga
menjadi pencapaian tersendiri bagi senimannya. Atau, seni instalasi karya Dewa
Gede Soma Wijaya berjudul “Yang Tersisa” yang berupa gugusan dan tumpukan batu
berbagai ukuran, mungkin menjadi sesuatu
yang tak terpikirkan bagi perupa di Bali.
Selain seni instalasi, pameran
ini juga menampilkan lukisan, karya trimatra, foto-foto masa lalu, kliping
berita dan ulasan pameran di berbagai media cetak. Pameran ini membuat
pengunjung bersentuhan langsung dengan kiprah Galang Kangin dalam keguyuban
yang selalu terjaga. Pameran ini juga membuka permenungan terhadap masa silam
Galang Kangin, sekaligus titik pijak untuk mengukur masa depan Galang Kangin.
Galang Kangin adalah sebuah
kelompok seni rupa yang berdiri pada tanggal 9 April 1996. Kelompok ini
dibentuk oleh mahasiswa seni rupa yang saat itu menempuh studi di PSSRD
Universitas Udayana dan STSI Denpasar; kedua lembaga itu kemudian bergabung
menjadi ISI Denpasar. Secara harfiah Galang Kangin berarti “cahaya dari timur”,
“terang dari timur”, atau “fajar merekah”. Menilik dari namanya, Galang Kangin
berupaya memberikan kesegaran baru bagi kehidupan seni rupa di Bali.
(Naga Air karya Galung Wiratmaja) |
Sejak awal berdirinya, Galang
Kangin telah mengeksplorasi estetika seni rupa dunia, mulai dari abstrakisme
hingga seni instalasi yang sangat kontemporer. Bahkan pada 2002 Galang Kangin
dengan gagah berani memproklamasikan manifesto berkeseniannya. Salah satu
isinya adalah: “Bagi kami, seni merupakan suatu petualangan ke dalam dunia yang
tidak dikenal, yang dapat diselidiki hanya oleh orang-orang yang mau mengambil
risiko.”
Seperti halnya jukung yang
mengarungi lautan, Galang Kangin telah lebih dari 20 tahun berproses dan turut
memaknai serta mewarnai kehidupan seni rupa di Bali. Di dalam proses yang
panjang itu tentu saja berbagai suka dan duka berkelindan bersama idealisme
para anggotanya dalam menghayati kesenian. Terkadang di tengah jalan ada
anggota yang keluar meninggalkan kelompok karena alasan tertentu. Namun ada
juga anggota yang baru bergabung dan menjadi spirit tersendiri bagi
keberlangsungan kelompok.
Para perupa yang tergabung dalam
Galang Kangin adalah Made Supena, I Made Gunawan, I Nyoman Diwarupa, Dewa Gede
Soma Wijaya, Wayan Setem, Sudarwanto, I Made Galung Wiratmaja, Nyoman Ari
Winata, Wayan Naya Swantha, Made Sudana, I Putu Edy Asmara, AA Eka Putra Dela,
Ni Komang Atmi Kristyadewi, I Ketut Agus Murdika, I Made Ardika. Selain tampil
dalam pameran kelompok, para perupa ini telah kenyang dengan pengalaman pameran
bersama maupun tunggal di sejumlah
tempat di dalam dan luar negeri.
Di tengah banyaknya kelompok seni
rupa yang berguguran, Galang Kangin bisa menjadi contoh bagaimana sebuah
kelompok mampu bertahan begitu lama. Selain manajemen, tentu saja mereka diikat
oleh kekuatan “asah-asih-asuh” yang telah terpupuk dan terpelihara sejak para
anggotanya masih mahasiswa.
Sebagai kelompok, Galang Kangin tidak
melulu menampilkan karya-karya yang tampak indah dan manut pada selera pasar.
Namun, para anggotanya juga menampilkan karya-karya yang berusaha kritis terhadap
berbagai persoalan di luar estetika kesenian. Misalnya, kepedulian Galang
Kangin pada lingkungan tampak pada pameran bertajuk “Kesadaran Makro-Ekologi:
Transformasi Air dalam Karya Visual Atraktif” yang digelar pada bulan September
2014 di Bentara Budaya Bali.
(Wayan Sukra) |
Galang Kangin menjadi seperti
sekarang ini, tentu tidak bisa dilepaskan dari peranan Thomas Freitag
(1954-2013) alias Wayan Sukra, kurator dari Jerman. Wayan Sukra ikut menemani,
memberikan semangat, sumbangan pemikiran, dan pencerahan kepada Galang Kangin saat
awal-awal menempuh kehidupan seni rupa. Termasuk dia juga sering menjadi kurator
pameran Galang Kangin sehingga sempat memunculkan polemik kurator asing di Bali
pada jelang akhir 1990-an.
Made Galung Wiratmaja, salah satu
pendiri Galang Kangin, mengakui bahwa Wayan Sukra sangat berperanan penting dan
telaten mengasuh Galang Kangin. Bahkan, Wayan Sukra menyimpan satu rak
data-data dan dokumentasi Galang Kangin, sesuatu yang tak terpikirkan oleh para
perupa. Menurut Galung, Wayan Sukra selalu menghadirkan perspektif pemikiran
yang jauh ke depan, termasuk pentingnya data dan dokumentasi kegiatan
dalam suatu kelompok.
Maka, untuk merayakan
kehadirannya, Galang Kangin juga membuat buku tebal berjudul “Becoming: 20
Tahun Galang Kangin”. Buku itu berisikan tulisan kuratorial sejumlah pameran
yang digelar Galang Kangin, kliping berita dan ulasan/kritik seni, testimoni
beberapa tokoh, profil perupa, foto-foto kegiatan, dan karya-karya terpilih.
Buku tersebut juga telah didiskusikan dalam program Pustaka Bentara yang
digelar pada tanggal 8 April 2018 di Bentara Budaya Bali.
Kehadiran Galang Kangin patut
dicatat dan mendapat tempat yang layak. Dan, tentu saja, yang lebih penting
lagi, publik seni rupa masih tetap menunggu pencapaian Galang Kangin
berikutnya. Menunggu karya-karya yang tidak melulu memamerkan estetika formalis,
namun juga mengandung kepedulian pada permasalahan-permasalahan di tanah
kelahiran. Semoga Galang Kangin tetap bersinar terang.***