Labels

Tuesday 8 November 2011

Sukari, Selamat Jalan...

(Tulisan ini dimuat di Majalah Arti, 2010)

 
Teks Wayan Sunarta, Foto Dokumentasi Made Budhiana


(Made Budhiana dan Nyoman Sukari)
Suatu malam, di bulan Agustus 2007, usai acara pembacaan puisi di Festival Kesenian Yogyakarta XIX, seorang lelaki menyapa saya, “Yan, bawa arak?” Lelaki itu bertubuh pendek, namun gempal. Rambut gondrong sebahu, kumis dan jenggotnya sangat lebat, terkesan sangar. Namun, dia memamerkan senyum penuh persahabatan. Dia adalah Nyoman Sukari, pelukis yang cukup diperhitungkan dalam jagad seni rupa Indonesia.

Saya tak menyangka Sukari hadir dalam acara pembacaan puisi "Tongue in Your Ear" yang digelar di Sasono Hinggil, Alun-alun Kidul itu. Kebetulan saya membawa sebotol arak Bali. Dia langsung meraih arak yang saya sodorkan dan menenggaknya dengan nikmat. “Baca puisimu bagus tadi,” pujinya sambil merangkul pundak saya. Secara bergantian kami meneguk arak dari satu botol. Kami hanyut dalam obrolan-obrolan ringan. Itulah perjumpaan terakhir saya dengan Sukari.

Sebelum dipindahkan ke RSU Sanglah, Denpasar, lebih dari sebulan Sukari tergolek tak berdaya di sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Kondisi kesehatannya terus menurun. Pada tanggal 18 April 2010, kawan-kawannya di Komunitas Seni Rupa Lempuyang Karangasem, sempat mendoakan kesembuhannya di Pura Lempuyang Luhur di puncak Gunung Lempuyang, Karangasem. Manusia hanya mampu berdoa dan berharap, namun jalan hidup telah diatur oleh Hyang Widhi.

Rabu, 12 Mei 2010, tepat pada saat Hari Raya Galungan, hari suci umat Hindu, Sukari menghembuskan nafas terakhirnya di RSU Sanglah. Dia meninggal karena penyakit lever dan paru-paru yang dideritanya sejak lama. Tanggal 24 Mei, jenazah Sukari dibawa pulang ke tanah kelahirannya di Ngis, Karangasem, dekat objek wisata pantai Candi Dasa. Tanggal 25 Mei, Sukari dikremasi (mekingsan di geni) secara adat Bali. Kawan-kawan perupa mengantar kepergiannya dengan melukis bersama di areal kuburan. Beberapa lukisan ikut dikremasi, menemani perjalanan Sukari menuju Sang Pencipta. Sementara itu, upacara Pitra Yadnya (Ngaben) Sukari digelar pada tanggal 2 November 2011 di kampung halamannya.

(Sukari lagi bersantai di studio Budhiana)
Sukari lahir di Desa Ngis, Karangasem, Bali, 6 Juli 1968. Dia menamatkan pendidikan seni rupanya di ISI Yogyakarta. Dia menikah dengan Ni Nyoman Aryaningsih. Dikaruniai dua putra, yakni I Wayan Pande Narawara dan I Made Sri Yoga Bhuwana. Sejak awal 1990-an, Sukari rajin mengikuti berbagai pameran bersama, baik di dalam maupun luar negeri. Sepanjang karir seni rupanya, hanya sekali dia tampil dalam pameran tunggal, yakni tahun 2002 di Gajah Gallery, Singapura. Dia lebih senang berpameran bersama ketimbang pameran tunggal.

Melalui karya-karyanya yang banyak memukau perhatian publik, Sukari dipandang sebagai salah satu tokoh penting dalam Sanggar Dewata Indonesia. Dia juga ikut membidani kelahiran Komunitas Seni Rupa Lempuyang di Karangasem, Bali. Sejak 1989, berbagai macam penghargaan seni rupa pernah diraihnya, seperti Penghargaan Karya Lukis Terbaik Dies Natalis ISI Yogyakarta, Penghargaan Karya Lukis Terbaik Pratisara Affandi Adi Karya, Penghargaan Lempad Price dari Sanggar Dewata Indonesia.

Sukari termasuk seniman yang hidupnya tak teratur. Terlebih lagi pada masa-masa sebelum menikah. Gaya hidupnya bohemian. Dia ingin menyelami inti terdalam dari kehidupan dan tak jarang menjadikan dirinya sebagai bahan eksperimen. Misalnya, minum alkohol melebihi batas, merokok tak putus-putus, makan tak teratur, begadang dan kluyuran hingga subuh bersama kawan-kawan, tidur di sembarang tempat. Namun, pergaulannya sangat luas, baik di kalangan seniman, rakyat jelata, pejabat, penyuka barang antik, ahli mistik, hingga rohaniawan. Sukari termasuk seniman tulen yang mengabdikan hidupnya demi seni, dan merangkul pesona kehidupan seluas-luasnya.

(Nyoman Sukari)
Dalam jagad seni rupa di Indonesia, Sukari merupakan salah satu sosok yang diperhitungkan. Lukisan-lukisan figuratifnya sangat ekspresif dan memancarkan jiwa kethok, hasil olahan batin dan perenungan mendalam terhadap kehidupan. Sebelum beralih ke tema-tema manusia urban, dia sempat lama suntuk merambah dunia mistik Bali dengan ikon-ikon barong, leak, rangda, dalam goresan-goresan ekspresif. Karya-karya abstrak ekspresionisme dan figuratifnya memukau banyak pecinta seni rupa.

Di mata kawan-kawannya, Sukari merupakan sahabat yang bersahaja dan sangat lugu. Namun, semangat kebersamaan dan kekeluargaannya sangat tinggi. Hal itulah yang tak mudah dilupakan dan menjadi kenangan indah. Misalnya, ketika terlibat dalam pameran bersama Komunitas Seni Rupa Lempuyang di Taman Budaya Bali tahun 2002, Sukari menyerahkan seluruh hasil penjualan lukisannya untuk kepentingan komunitas.

Selain itu, Sukari juga sangat perhatian dengan kawan-kawannya. Dia juga suka memotivasi pelukis-pelukis muda yang belum sukses secara materi. Jika diperlukan, dia selalu siap membantu kesulitan hidup mereka. Misalnya, membantu keuangan mereka untuk keperluan membeli cat, kanvas, atau sekedar mengepulkan asap dapur.

Dalam benak kawan-kawannya, ada banyak kenangan indah berkaitan dengan keluguan Sukari. Misalnya, pelukis Gede Gunada mengisahkan sepenggal cerita lucu ketika naik mobil dengan Sukari, sekitar tahun 2000. Saat itu, Sukari belum lihai menyetir mobil. Dalam perjalanan ke rumah pelukis Made Djirna di Kedewatan, Ubud, dia menyetel musik kesayangannya, gamelan baleganjur, dengan suara sangat kencang. Ketika hendak memarkir mobil, terdengar suara benturan yang cukup keras berbaur suara gamelan baleganjur yang bising.

Sukari kaget dan segera turun dari mobil. Dia ngomel-ngomel tak karuan sembari mengecek kondisi mobilnya. Seketika marahnya lenyap, wajahnya berubah pucat pasi. Ternyata bukan mobilnya yang ditabrak. Melainkan dialah yang tak sengaja telah menabrak mobil di belakangnya, saat mengatur posisi parkir. Langsung dia minta maaf kepada pengemudi mobil yang ditabrak dan menyerahkan SIM, sembari berkata, “Saya lagi buru-buru, ganti ruginya urus belakangan saja.”

(Sukari dikremasi)
Kini pun, Sukari terlalu buru-buru meninggalkan kita semua. Dia pergi untuk selama-lamanya. Sukari, selamat jalan...

No comments:

Post a Comment