Teks
Wayan Sunarta, Foto Dokumentasi Made Budhiana
(Made Budhiana dan Nyoman Sukari) |
Suatu
malam, di bulan Agustus 2007, usai acara pembacaan puisi di Festival Kesenian
Yogyakarta XIX, seorang lelaki menyapa saya, “Yan, bawa arak?” Lelaki itu
bertubuh pendek, namun gempal. Rambut gondrong sebahu, kumis dan jenggotnya
sangat lebat, terkesan sangar. Namun, dia memamerkan senyum penuh persahabatan.
Dia adalah Nyoman Sukari, pelukis yang cukup diperhitungkan dalam jagad seni
rupa Indonesia.
Saya
tak menyangka Sukari hadir dalam acara pembacaan puisi "Tongue in Your
Ear" yang digelar di Sasono Hinggil, Alun-alun Kidul itu. Kebetulan saya
membawa sebotol arak Bali. Dia langsung meraih arak yang saya sodorkan dan
menenggaknya dengan nikmat. “Baca puisimu bagus tadi,” pujinya sambil merangkul
pundak saya. Secara bergantian kami meneguk arak dari satu botol. Kami hanyut
dalam obrolan-obrolan ringan. Itulah perjumpaan terakhir saya dengan Sukari.
Sebelum
dipindahkan ke RSU Sanglah, Denpasar, lebih dari sebulan Sukari tergolek tak
berdaya di sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Kondisi kesehatannya terus
menurun. Pada tanggal 18 April 2010, kawan-kawannya di Komunitas Seni Rupa
Lempuyang Karangasem, sempat mendoakan kesembuhannya di Pura Lempuyang Luhur di
puncak Gunung Lempuyang, Karangasem. Manusia hanya mampu berdoa dan berharap,
namun jalan hidup telah diatur oleh Hyang Widhi.
Rabu,
12 Mei 2010, tepat pada saat Hari Raya Galungan, hari suci umat Hindu, Sukari
menghembuskan nafas terakhirnya di RSU Sanglah. Dia meninggal karena penyakit
lever dan paru-paru yang dideritanya sejak lama. Tanggal 24 Mei, jenazah Sukari
dibawa pulang ke tanah kelahirannya di Ngis, Karangasem, dekat objek wisata
pantai Candi Dasa. Tanggal 25 Mei, Sukari dikremasi (mekingsan di geni) secara
adat Bali. Kawan-kawan perupa mengantar kepergiannya dengan melukis bersama di
areal kuburan. Beberapa lukisan ikut dikremasi, menemani perjalanan Sukari menuju
Sang Pencipta.
Sementara itu, upacara
Pitra Yadnya (Ngaben) Sukari digelar pada tanggal 2 November 2011 di kampung
halamannya.
(Sukari lagi bersantai di studio Budhiana) |
Sukari
lahir di Desa Ngis, Karangasem, Bali, 6 Juli 1968. Dia menamatkan pendidikan
seni rupanya di ISI Yogyakarta. Dia menikah dengan Ni Nyoman Aryaningsih.
Dikaruniai dua putra, yakni I Wayan Pande Narawara dan I Made Sri Yoga Bhuwana.
Sejak awal 1990-an, Sukari rajin mengikuti berbagai pameran bersama, baik di
dalam maupun luar negeri. Sepanjang karir seni rupanya, hanya sekali dia tampil
dalam pameran tunggal, yakni tahun 2002 di Gajah Gallery, Singapura. Dia lebih
senang berpameran bersama ketimbang pameran tunggal.
Melalui
karya-karyanya yang banyak memukau perhatian publik, Sukari dipandang sebagai salah
satu tokoh penting dalam Sanggar Dewata Indonesia. Dia juga ikut membidani
kelahiran Komunitas Seni Rupa Lempuyang di Karangasem, Bali. Sejak 1989, berbagai
macam penghargaan seni rupa pernah diraihnya, seperti Penghargaan Karya Lukis
Terbaik Dies Natalis ISI Yogyakarta, Penghargaan Karya Lukis Terbaik Pratisara
Affandi Adi Karya, Penghargaan Lempad Price dari Sanggar Dewata Indonesia.
Sukari
termasuk seniman yang hidupnya tak teratur. Terlebih lagi pada masa-masa
sebelum menikah. Gaya hidupnya bohemian. Dia ingin menyelami inti terdalam dari
kehidupan dan tak jarang menjadikan dirinya sebagai bahan eksperimen. Misalnya,
minum alkohol melebihi batas, merokok tak putus-putus, makan tak teratur,
begadang dan kluyuran hingga subuh bersama kawan-kawan, tidur di sembarang
tempat. Namun, pergaulannya sangat luas, baik di kalangan seniman, rakyat
jelata, pejabat, penyuka barang antik, ahli mistik, hingga rohaniawan. Sukari
termasuk seniman tulen yang mengabdikan hidupnya demi seni, dan merangkul
pesona kehidupan seluas-luasnya.
(Nyoman Sukari) |
Dalam
jagad seni rupa di Indonesia, Sukari merupakan salah satu sosok yang
diperhitungkan. Lukisan-lukisan figuratifnya sangat ekspresif dan memancarkan
jiwa kethok, hasil olahan batin dan perenungan
mendalam terhadap kehidupan. Sebelum beralih ke tema-tema manusia urban, dia
sempat lama suntuk merambah dunia mistik Bali dengan ikon-ikon barong, leak,
rangda, dalam goresan-goresan ekspresif. Karya-karya abstrak ekspresionisme dan
figuratifnya memukau banyak pecinta seni rupa.
Di
mata kawan-kawannya, Sukari merupakan sahabat yang bersahaja dan sangat lugu.
Namun, semangat kebersamaan dan kekeluargaannya sangat tinggi. Hal itulah yang
tak mudah dilupakan dan menjadi kenangan indah. Misalnya, ketika terlibat dalam
pameran bersama Komunitas Seni Rupa Lempuyang di Taman Budaya Bali tahun 2002,
Sukari menyerahkan seluruh hasil penjualan lukisannya untuk kepentingan
komunitas.
Selain
itu, Sukari juga sangat perhatian dengan kawan-kawannya. Dia juga suka
memotivasi pelukis-pelukis muda yang belum sukses secara materi. Jika
diperlukan, dia selalu siap membantu kesulitan hidup mereka. Misalnya, membantu
keuangan mereka untuk keperluan membeli cat, kanvas, atau sekedar mengepulkan
asap dapur.
Dalam
benak kawan-kawannya, ada banyak kenangan indah berkaitan dengan keluguan
Sukari. Misalnya, pelukis Gede Gunada mengisahkan sepenggal cerita lucu ketika
naik mobil dengan Sukari, sekitar tahun 2000. Saat itu, Sukari belum lihai
menyetir mobil. Dalam perjalanan ke rumah pelukis Made Djirna di Kedewatan,
Ubud, dia menyetel musik kesayangannya, gamelan baleganjur, dengan suara sangat kencang. Ketika hendak memarkir
mobil, terdengar suara benturan yang cukup keras berbaur suara gamelan baleganjur yang bising.
Sukari
kaget dan segera turun dari mobil. Dia ngomel-ngomel tak karuan sembari
mengecek kondisi mobilnya. Seketika marahnya lenyap, wajahnya berubah pucat
pasi. Ternyata bukan mobilnya yang ditabrak. Melainkan dialah yang tak sengaja
telah menabrak mobil di belakangnya, saat mengatur posisi parkir. Langsung dia
minta maaf kepada pengemudi mobil yang ditabrak dan menyerahkan SIM, sembari
berkata, “Saya lagi buru-buru, ganti ruginya urus belakangan saja.”
(Sukari dikremasi) |
Kini
pun, Sukari terlalu buru-buru meninggalkan kita semua. Dia pergi untuk
selama-lamanya. Sukari, selamat jalan...
No comments:
Post a Comment