(Tulisan kuratorial “Suasana Lebah”, pameran tunggal
Ketut ‘Kabul’ Suasana di Sudana Gallery, Ubud, 7 – 17 Oktober 2009)
Oleh: Wayan Sunarta
(karya Ketut 'Kabul' Suasana) |
Dunia seni rupa tidak hanya unjuk keterampilan teknis,
melainkan juga pergulatan ide, pemikiran atau wacana, untuk mencoba melahirkan
berbagai terobosan baru. Namun pada
kenyataannya, dunia seni rupa dipersempit dengan maraknya trend atau selera
pasar dimana banyak pelukis muda terjebak menjadi bebek, tanpa memiliki
pendirian jelas.
Misalnya, ketika trend lukisan tertentu banyak diminati
pasar, para pelukis “bebek” ramai-ramai meniru trend tersebut. Bila perlu dengan
menggunakan teknik-teknik canggih dan bantuan komputer beserta perangkat lunak
lainnya. Pelukis-pelukis itu kemudian berlindung dibalik kata “kontemporer”
tanpa memahami betul makna kata itu sendiri. Galeri dan para cukong seni rupa
sering pula mendikte pelukis untuk mengikuti selera pasar. Parahnya lagi, demi
terserap pasar, banyak pelukis muda kehilangan jati dirinya karena tidak
memiliki posisi tawar yang kuat. Kondisi ini menyebabkan dunia seni rupa lebih
mirip pasar kerajinan seperti biasa dilihat di pasar Sukawati atau Ubud.
Sejatinya apa yang dicari pelukis
dengan karya-karyanya? Ketenaran instan? Kekayaan instan? Atau, pergulatan yang
gigih demi proses kreatif berkesenian? Semua itu, memang, kembali kepada
pilihan sadar masing-masing pelukisnya. Bara api kreativitas semestinya terus
dijaga agar dunia seni rupa tidak merosot ke dalam kubangan “omong kosong”
belaka.
Upaya Merebut Posisi
Di Bali, ratusan pelukis muda
bermunculan, berebut posisi dengan berbagai cara. Ada yang datang, ada yang menghilang.
Seperti kata pepatah: mati satu, tumbuh seribu. Tentu hukum seleksi alam sangat
ketat dalam rimba belantara seni rupa mutakhir. Yang kuat dari segi gagasan,
keterampilan teknis, “dan lain-lain”, kemungkinan akan terus bertahan. Yang
lemah dan plintat-plintut dipastikan
akan tergerus dan menjadi lumpur kesenian. Mengerikan, memang!
Ketut Suasana alias Kabul termasuk
salah satu pelukis muda yang gigih berebut posisi. Dia menolak menjadi pelukis
sekedar atau pelukis “bebek”. Ada keinginan kuat dan berbagai percikan impian
dalam dirinya, untuk terus melangkah dengan mantap menjadi pelukis yang kelak
akan diperhitungkan. Energi kreatifnya terus meletup-letup. Dalam upaya merebut
posisi, tentu saja dia tidak mau ikut-ikutan trend pasar seni rupa terkini. Dia
bukan tipe pelukis muda yang mudah didikte oleh selera pasar. Dan semoga saja
akan terus begitu. Sebab hal itu merupakan salah satu modal awal menjadi
pelukis yang tidak sekedar.
Kabul mengenyam pendidikan seni rupa
di ISI Denpasar. Ia lahir di Apuan, Tabanan, 30 Desember 1978. Sejak 1995, ia
aktif mengikuti berbagai pameran bersama, baik di Bali maupun luar Bali. Dan
pada tanggal 7-17 Oktober 2009, Kabul menggelar pameran tunggal perdana
bertajuk “Suasana Lebah”, bertempat di Sudana Gallery, Sanggingan, Ubud, Bali.
(Jean Couteau dan Kabul saat pembukaan pameran "Suasana Lebah") |
Di jaman mutakhir ini, Kabul merupakan salah satu contoh
seniman yang masih hidup dalam dua kutub besar yang tarik menarik, antara
tradisi dan modern. Namun hal itu tidaklah menjadi persoalan baginya. Misalnya,
dia ikut ngayah (kerja sukarela)
membuat barong di Pura Natar Sari, Apuan, Tabanan, untuk memenuhi panggilan
tradisi dan relegi. Atau pada waktu lain dia menyibukkan diri menjelajahi
berbagai kemungkinan yang ditawarkan seni rupa modern, melalui pergulatan dalam
penguasaan keterampilan teknis, pemikiran dan perenungan mendalam dari
letupan-letupan gagasan. Bias-bias seni tradisi dan modern seringkali muncul
saling melengkapi dalam lukisan-lukisan awalnya. Bagaimana pun juga manusia
tidak bisa sepenuhnya lari dari “ibu tradisi”.
Dalam melukis, Kabul cenderung mengikuti selera dan naluri
jiwanya. Letupan-letupan gagasan seringkali menari-nari di kepalanya yang
kemudian muncul melalui karya-karyanya. Selain berbekal ketrampilan teknis yang
memadai, Kabul berupaya menggali gagasan dari banyak membaca dan menggerakkan
seluruh inderanya. Hal itu bisa dilihat pada lukisan-lukisan terkininya yang menampilkan
lebah sebagai simbol dan metafora untuk melihat kondisi jaman.
Kabul telah lama tertarik pada keindahan lebah, terlebih
lagi kehidupan lebah yang sarat semangat kebersamaan. Secara serius Kabul
mempelajari filosofi kehidupan lebah, serangga yang mengalami metamorfosis
sempurna, yakni dari telur, larva, kepompong (pupa) dan lebah. Menurut Kabul,
lebah termasuk serangga yang sangat unik. Umumnya lebah hidup berkelompok, meski
ada juga jenis lebah yang suka hidup menyendiri (soliter). Lebah tidak akan
menyerang jika tidak diganggu. Masyarakat lebah mengenal pembagian kerja. Lebah
ratu yang hanya satu ekor dalam setiap koloni bertugas mengatur semua kegiatan
lebah betina dan pejantan. Lebah ratu mampu hidup hingga tiga tahun, tugas
utamanya kawin dan bertelur.
Lebah betina atau lebah pekerja bertugas mengumpulkan serbuk sari
dan nektar untuk
diolah menjadi madu yang disimpan dalam sarangnya. Lebah betina yang lain bertugas
membersihkan sarang dan menjaga anak-anak lebah. Masa hidup lebah pekerja
sekitar tiga bulan. Lebah betina terbentuk tanpa melalui perkawinan dan mandul. Lebah jantan bertugas mengawini lebah ratu dan mati setelah
kawin.
Dunia lebah memang sangat mengagumkan. Misalnya, lebah
mampu membuat sarang yang sangat rumit dan artistik. Itulah salah satu keahlian
yang diberkati semesta kepada lebah. Meski bertubuh kecil, lebah mampu
bekerjasama dan menyelesaikan tugas-tugas besar untuk suatu tujuan bersama.
Manusia belum tentu mampu menyaingi koloni lebah dalam urusan kerjasama atau
kehidupan sosial. Karena manusia masih diselimuti ego individu. Bagi lebah,
hidup adalah bekerja, tanpa kenal istirahat, demi kepentingan dan kebaikan
bersama. Mungkin, begitu juga bagi Kabul.
Kabul dan Lebah
(karya Ketut 'Kabul' Suasana) |
Melalui lukisan-lukisan dengan subjek matter lebah, Kabul
ingin mengajak apresian untuk kembali merenungi kehidupan lebah. Terlebih di
jaman yang serba individualis ini. Seluruh lukisan terbaru Kabul berkisah
tentang dunia dan suasana lebah. Secara umum kecenderungan visual lukisan Kabul
bisa dipilah menjadi bentuk-bentuk abstraksi dan deformatif.
Kecenderungan abstraksi terlihat pada upaya-upaya Kabul
menciptakan efek-efek stilisasi atau pengayaan formasi-formasi kerumunan lebah.
Irama yang cenderung repetitif berpadu dengan komposisi warna, garis, bidang
sehingga melahirkan kedinamisan. Terkadang sapuan-sapuan warna yang membentuk
latar dibuat secara acak sesuai naluri arus bawah sadarnya. Pilihan warna-warna
tertentu mewakili perasaan Kabul pada
setiap sesion lukisannya.
Hal itu misalnya terlihat pada lukisan “Lebah-lebah Putih”
yang cenderung abstraktif. Dominan warna merah muda berpautan dengan biru
kehijauan dan hitam. Lebah-lebah putih nampak berkerumun pada bidang sapuan
warna merah muda. Bidang-bidang lain dipenuhi formasi kerumunan lebah warna
biru, kuning, coklat muda, abu-abu. Semua tersusun dalam suatu komposisi yang
abstraktif.
Beberapa lukisan lain juga menunjukkan kecenderungan
abstraksi yang hampir sama. Seperti pada lukisan “Sisa Kebakaran” yang penuh sapuan
warna hitam dan kelabu dengan aksen warna merah. Kerumunan lebah nampak
membentuk formasi tak beraturan menandakan kepanikan akibat musibah kebakaran. Lukisan
ini sarat renungan ekologis dalam kaitan menjaga kelestarian hutan. Atau pada
lukisan “Bunga” yang menampilkan kerumunan lebah warna kuning muda menyerbu
sekuntum bunga berkelopak merah. Pada latar belakang terlihat sarang lebah
berwarna ungu muda.
Pada lukisan “Keseimbangan” yang bernuansa spiritual, efek
deformatif yang berbaur dengan abstraksi sangat terasa. Terlihat kerumunan
lebah membentuk formasi simbol lingkaran “Ying-Yang”. Pada latar belakang
nampak abstraksi dengan membaurkan warna ungu, putih, dan hitam yang
mengesankan gejolak perasaan yang sedang berjuang menggapai keseimbangan dalam
tatanan kosmis.
Kecenderungan abstraksi juga sangat terasa pada lukisan
“Menuju Puncak” dimana nampak kerumunan lebah warna-warni berupaya meraih
puncak gunung. Komposisi warna gunung dibuat dengan membaurkan warna biru,
putih, dengan aksen merah di pinggirannya. Langit di seputaran gunung itu dipenuhi
kerumunan lebah warna-warni membentuk komposisi terstruktur.
Pada lukisan “Suasana Lebah” terlihat ribuan lebah
berhamburan di udara. Lebah-lebah dengan berbagai warna itu membentuk formasi.
Seakan hendak memamerkan kepada dunia, meski tubuh mungil namun menyimpan
kekuatan dalam kebersamaannya. Warna-warni dari kerumunan dan formasi lebah itu
tertata dalam komposisi yang memikat dengan kecenderungan abstraksi.
Keanggunan abstraksi dari kerumunan lebah tampak pada
lukisan “Populasi Lebah” dimana hampir seluruh bidang kanvas ukuran 250 x 289
cm ditutupi dengan kerumunan lebah. Pengaturan komposisi warna juga ditata
sedemikian rupa untuk memunculkan kesan keindahan dari abstraksi itu. Sekelumit
pembauran warna biru dan ungu di sudut kiri atas kanvas memberi kesan rekahan
pada sarang lebah. Di sini bisa dilihat bagaimana ketekunan dan kesabaran
pelukisnya menggurat gambar-gambar lebah yang jumlahnya ribuan itu.
Pada lukisan “Terbang Keluar” terlihat permainan estetik
Kabul menggabungkan komposisi kerumunan lebah di antara kelindan rambut atau
serabut warna-warni. Lukisan ini mengesankan ribuan lebah mengrubungi rambut
yang menjuntai dan berombak-ombak, menampilkan permainan komposisi yang
menarik. Rekahan bidang kosong di bagian atas mengesankan ruang terbuka yang
memungkinkan berbagai tafsir berkembang.
Kecenderungan deformatif dalam lukisan-lukisan Kabul
terlihat dari bagaimana dia membangun dan mengatur komposisi kerumunan lebah
sedemikian rupa yang dikaitkan dengan tema-tema mutakhir. Misalnya, dalam
lukisan “Gedung-gedung Lebah” terlihat bagaimana kerumunan lebah membentuk
gedung-gedung mencakar langit. Seakan dunia manusia telah dikuasai lebah. Kalau
dikaitkan dengan persoalan ekologi, lukisan ini menyuratkan semacam kritik dan
permenungan atas berbagai bentuk perubahan drastis yang menimpa alam. Hutan-hutan
telah banyak dibabat untuk pemukiman sehingga lebah tidak bisa lagi membangun
sarang. Akhirnya, masyarakat lebah menyerbu perkotaan dan membangun
gedung-gedung lebah dan menguasai kota.
Atau pada lukisan “Level” dengan
latar warna kuning nampak kerumunan lebah membentuk roda sepeda gayung, sepeda
motor dan mobil. Kabul memang memusatkan perhatiannya pada roda sebagai
simbolisasi dari kehidupan. Bagi Kabul, wadah atau wujud yang dikaitkan sebagai
level atau label fisik bisa berbeda-beda, namun yang menggerakkan tetaplah
roda. Menurut Kabul, umumnya manusia memandang keberhasilan manusia lain
seringkali dari segi fisik dan materi saja. Lebih khusus lagi keberhasilan
dipandang dari kendaraan yang dipakai seseorang, apakah bersepeda gayung,
bermotor atau bermobil. Padahal salah satu elemen yang membuat ketiga kendaraan
itu bisa berjalan adalah roda. Secara filosofi, nasib manusia memang seperti
perputaran roda, kadang di bawah kadang di atas.
Pada lukisan-lukisan yang
mencitrakan suasana alam (pepohonan) terlihat efek deformatif dimana kerumunan
lebah dibuat menyerupai rimbun dedaunan dan buah-buah pepohonan.
Lukisan-lukisan ini nampak surealistik. Hal itu misalnya terlihat pada lukisan
“Pohon” yang menggambarkan suasana hutan berkabut dengan pohon-pohon besar yang
rimbun dedaunnya terbentuk dari gerombolan lebah. Rerimbun “daun lebah” yang
lebih spesifik tampak dalam lukisan ”Bayangan Pohon Lain”, “Cabang Baru”,
“Nuansa Alam” dan “Buah Karma”.
Secara umum, isi dan bentuk dalam lukisan-lukisan Kabul telah
mengalami sublimasi. Lebah sebagai simbol dan metafora seakan menemukan tempat
yang tepat. Hal itu tentu didukung oleh pengolahan elemen-elemen rupa yang
telah tertata. Kabul berupaya menawarkan kesegaran baru dalam dunia seni rupa
dengan pilihan dan penggarapan subjek matter yang khas. Setidaknya, melalui
lukisan-lukisan Kabul, manusia bisa kembali belajar pada dunia lebah, terutama perihal
semangat kebersamaan.***
.
No comments:
Post a Comment