Labels

Tuesday, 8 November 2011

Pendobrak dari Pengosekan



Oleh: Wayan Sunarta


(Dewa Putu Mokoh)
Dewa Putu Mokoh adalah seorang pendobrak seni lukis corak Pengosekan, Ubud. Ketika pelukis senior Pengosekan banyak menggarap karya-karya bertema Ramayana dan Mahabarata dan pelukis muda membuat lukisan bertema flora dan fauna, Mokoh malah asyik menggali objek-objek yang naif, lucu, sederhana, nyleneh dan cenderung nakal. Mokoh banyak melukis apa-apa yang dilihat di sekitarnya, atau yang sedang mengusik fantasinya. Tema-tema lukisannya sederhana dan remeh temeh.
Misalnya, ia melukis perempuan sedang tidur-tiduran di ranjang bambu, lalu sebentuk tangan terulur menarik kain perempuan itu. Atau ia memenuhi bidang kanvas dengan figur bocah telanjang yang nyengir lucu dan menggemaskan. Atau pada lukisannya yang lain, kanvasnya dipenuhi berbagai jenis mulut, dari yang terkatup, sinis, rakus, tersenyum, sampai mulut yang sedang tertawa terbahak-bahak.
Sembari mengunyah sirih, Mokoh menekankan, selama masih hidup manusia wajib belajar dan bekerja. Siapa yang tekun, ia akan memperoleh apa yang diinginkannya.
“Menjadi pelukis itu harus berani menampilkan karya-karya dengan gaya dan objek yang berbeda. Tidak hanya mengikuti apa-apa yang sudah pernah dilukis orang sebelumnya. Pelukis harus berani menggali berbagai kemungkinan baru,” ujar Mokoh dengan bahasa Bali yang kental.
Berbekal prinsip ini, tak heran Mokoh bekerja hampir setiap hari. Kalau tidak sedang mengerjakan lukisan di kanvas, ia meluangkan waktu membuat gambar-gambar sederhana di kertas. Ia sadar sedang bermain kucing-kucingan dengan Sang Waktu yang menunggunya dengan gemas di ujung perjalanan hidupnya. Mokoh termasuk pelukis yang produktif dan mampu menghargai waktu.
(karya Dewa Putu Mokoh)
Mokoh mulai belajar menggambar sekitar umur 15 tahun. Namun obsesi untuk menjadi pelukis telah mengusik batinnya ketika ia masih kanak-kanak. Sang ayah  sangat keras menentang keinginannya menjadi pelukis dan sempat sekian waktu mengubur obsesinya. Sang ayah ingin Mokoh telaten menggarap sawah, mengembalakan sapi dan bebek. Ayahnya menganggap, menjadi pelukis hanya buang-buang waktu saja dan tidak menghasilkan uang.
Namun, Mokoh muda tidak kehabisan akal. Ia suka mencuri-curi waktu diantara kesibukan bekerja di sawah, untuk bermain ke rumah pamannya, I Gusti Ketut Kobot, seorang maestro pelukis Pengosekan. Ia suka memperhatikan dan mengagumi Kobot ketika sedang melukis. Mokoh menjadi keponakan yang sangat disayang, terutama oleh adik kandung Kobot, I Gusti Made Baret. Dari Baret-lah Mokoh banyak belajar melukis, terutama teknik tradisi, seperti nyeket, ngabur, ngasir, nyigar, ngontur, dan sebagainya.
            Karya pertama yang berhasil dibuat Mokoh adalah gambar hutan lengkap dengan manusia dan hewan, menggunakan teknik abur (gradasi). Gambar itu sampai sekarang masih ia simpan dengan rapi, bahkan dilaminating layaknya surat-surat berharga. Selain itu, ada sejumlah karya awal yang dibuat di atas kertas, yang masih tersimpan rapi. Mokoh sangat menghargai karya-karya awal dan sangat rapi dalam hal dokumentasi. Sayang lukisan-lukisan ini tidak berangka tahun sehingga susah memastikan kapan lukisan itu dibuat. Mokoh juga melukis tema kehidupan sehari-hari, kehidupan petani, hewan-hewan eksotis, legenda, fabel dan sebagainya. Lukisan-lukisan periode awal ini, rata-rata berukuran kertas gambar A3 dengan warna cat air dan tinta cina, masih menggunakan teknik tradisi. “Jaman itu kertas sangat susah dicari, harganya pun sangat mahal. Untuk membeli kertas pun harus ke Klungkung (sekitar 60 Km dari Ubud),” kenang Mokoh.
            Lukisan-lukisan hasil belajar pada Kobot dan Baret ini kemudian ia perlihatkan kepada Rudolf Bonnet, pelukis Belanda yang menetap di Ubud sejak 1928. Bonnet  adalah salah seorang penggagas perkumpulan pelukis dan pematung Bali Pita Maha (1935). Saat itu, Bonnet telah menjadi patron yang cukup kuat bagi pelukis-pelukis Ubud. Dari Bonnet Mokoh mendapatkan pelajaran langsung prinsip-prinsip seni lukis modern, terutama dalam hal penggalian kreativitas individual. Bonnet selalu menyarankan agar Mokoh mencari kreasi sendiri, tidak mengikuti jejak Kobot dan Baret yang masih berkutat pada tema-tema Ramayana dan Mahabarata. Mokoh banyak menyerap perihal komposisi modern, teknik mencampur warna, dan tema-tema yang lebih luas yang digali dari fantasi dan dunia batin.
(karya Dewa Putu Mokoh)
            Mokoh mengalami pencerahan. Kepercayaan dirinya semakin tumbuh. Ia mulai menyadari, lukisan yang bagus tidak harus bertemakan Ramayana dan Mahabarata dengan komposisi ruwet dan rumit memenuhi bidang gambar. Bagi Mokoh, lukisan yang bagus pun bisa digali dari objek-objek sekitar atau berdasarkan fantasi pelukisnya, dengan teknik pewarnaan dan pengolahan bidang secara sederhana. Tidak heran lukisan Mokoh banyak mencuatkan kesan naif, lucu, satire, nyeleneh, bahkan cenderung nakal dengan bermain-main di wilayah yang ditabukan para agamawan dan moralis.
Mokoh mempunyai dua murid kesayangan, I Gusti Kadek Murniasih dan Mondo (dari Italia). Kepada muridnya, terutama Murni, Mokoh selalu menganjurkan saran yang pernah diberikan Bonnet. Pelukis harus terus menggali kreasi-kreasi baru secara individual dan berani menampilkan sesuatu yang berbeda. Saran ini dengan cerdas diwujudkan Murni melalui lukisan-lukisannya yang sangat berani menampilkan sesuatu yang ditabukan.
       Mokoh adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia dilahirkan di Pengosekan Ubud, 31 Desember 1934. Ia hanya sempat mengenyam pendidikan selama 3 tahun di SR (Sekolah Rakyat). Ia mengaku tidak pintar bicara dan sering pikun. Untuk urusan manajemen karya-karyanya yang segudang itu, ia menyerahkan sepenuhnya pada adik kandungnya, Dewa Nyoman Batuan, mantan guru SD yang juga pelukis Pengosekan yang diperhitungkan hingga sekarang. Mokoh menikah dengan Desak Nyoman Sari, dan dikarunia 6 anak: 4 lelaki dan 2 perempuan.  Dari 6 anaknya, hanya Dewa Putu Sumertha dan Dewa Ketut Sudiana yang benar-benar menekuni seni lukis, mengikuti jejak sang ayah, termasuk dalam hal teknik, pewarnaan dan penggalian kreativitas.
(karya Dewa Putu Mokoh)
         Sebagai pelukis, Mokoh telah mengecap pahit manisnya dunia kepelukisan. Namun dibandingkan bekerja sebagai petani, ia lebih menyukai pekerjaan melukis. Baginya, melukis bisa dilakukan sampai menjelang ajal, sedangkan mencangkul memerlukan tenaga ekstra, apalagi saat usia semakin beranjak senja.  “Seperti sekarang ini, walau masih sakit-sakitan, saya tetap melukis. Ketika berhadapan dengan kanvas, kuas dan warna, saya menjadi segar kembali. Kondisi seperti ini tidak bisa saya pakai untuk mencangkul di sawah,” ujarnya sembari ketawa.
            Mokoh masih bisa mengenang ketika ia pertama kali memegang uang sebanyak 25 sen, hasil dari menjual lukisan. Ia sangat senang karena ternyata ada orang yang  menghargai karyanya. Dan uang 25 sen pada jaman Belanda sungguh jumlah yang sangat berarti bagi Mokoh muda. Kini, lukisan-lukisan Mokoh sering diikutkan dalam banyak pameran bersama di dalam dan luar negeri. Mokoh pertama kali berpameran tunggal tahun 1995 di Fukoaka, Jepang. Bahkan banyak yang tidak tahu dan luput dari pemberitaan kalau Mokoh juga pernah diundang berpameran di Biennale Venesia.
            Selama ini banyak kritikus dan penulis seni rupa menggolongkan Mokoh ke dalam ranah pelukis tradisional, terutama berkaitan dengan corak Pengosekan. Padahal Mokoh sesungguhnya pendobrak seni lukis corak Pengosekan yang sudah mapan dan terpola itu. Mokoh belajar pada pelukis tradisional, Baret dan Kobot, terutama masalah teknik tradisi. Namun sesungguhnya, ia banyak menyerap pola berpikir Bonnet, yang lebih mengedepankan penggalian kreativitas dan penemuan corak khas individual, tidak melulu hanya membebek pada pakem-pakem melukis yang sudah mapan.
            Menilik dari konsep berkesenian dan kreativitas Mokoh dalam menggali kemungkinan-kemungkinan baru pada karya-karyanya, bisa disimpulkan bahwa Mokoh bukanlah pelukis tradisional. Ia melampaui pola-pola berpikir pelukis tradisional. Mokoh telah berupaya melepaskan diri dari ikatan tradisi seni lukis Pengosekan.
           
***

Mokoh meninggal dunia pada Sabtu, 26 Juni 2010, di kampung halamannya, Pengosekan. Selama dua bulan ia dirawat di rumah sakit di Denpasar karena gagal ginjal dan komplikasi penyakit lainnya. Selamat jalan, Mokoh…

No comments:

Post a Comment