Oleh: Wayan Sunarta
(Dewa Putu Mokoh) |
Dewa
Putu Mokoh adalah seorang pendobrak seni lukis corak Pengosekan, Ubud. Ketika
pelukis senior Pengosekan banyak menggarap karya-karya bertema Ramayana dan
Mahabarata dan pelukis muda membuat lukisan bertema flora dan fauna, Mokoh
malah asyik menggali objek-objek yang naif, lucu, sederhana, nyleneh dan
cenderung nakal. Mokoh banyak melukis apa-apa yang dilihat di sekitarnya, atau
yang sedang mengusik fantasinya. Tema-tema lukisannya sederhana dan remeh
temeh.
Misalnya, ia
melukis perempuan sedang tidur-tiduran di ranjang bambu, lalu sebentuk tangan
terulur menarik kain perempuan itu. Atau ia memenuhi bidang kanvas dengan figur
bocah telanjang yang nyengir lucu dan menggemaskan. Atau pada lukisannya yang
lain, kanvasnya dipenuhi berbagai jenis mulut, dari yang terkatup, sinis,
rakus, tersenyum, sampai mulut yang sedang tertawa terbahak-bahak.
Sembari
mengunyah sirih, Mokoh menekankan, selama masih hidup manusia wajib belajar dan
bekerja. Siapa yang tekun, ia akan memperoleh apa yang diinginkannya.
“Menjadi
pelukis itu harus berani menampilkan karya-karya dengan gaya dan objek yang
berbeda. Tidak hanya mengikuti apa-apa yang sudah pernah dilukis orang sebelumnya.
Pelukis harus berani menggali berbagai kemungkinan baru,” ujar Mokoh dengan
bahasa Bali yang kental.
Berbekal
prinsip ini, tak heran Mokoh bekerja hampir setiap hari. Kalau tidak sedang
mengerjakan lukisan di kanvas, ia meluangkan waktu membuat gambar-gambar
sederhana di kertas. Ia sadar sedang bermain kucing-kucingan dengan Sang Waktu
yang menunggunya dengan gemas di ujung perjalanan hidupnya. Mokoh termasuk
pelukis yang produktif dan mampu menghargai waktu.
(karya Dewa Putu Mokoh) |
Mokoh mulai
belajar menggambar sekitar umur 15 tahun. Namun obsesi untuk menjadi pelukis
telah mengusik batinnya ketika ia masih kanak-kanak. Sang ayah sangat keras menentang keinginannya menjadi
pelukis dan sempat sekian waktu mengubur obsesinya. Sang ayah ingin Mokoh
telaten menggarap sawah, mengembalakan sapi dan bebek. Ayahnya menganggap,
menjadi pelukis hanya buang-buang waktu saja dan tidak menghasilkan uang.
Namun, Mokoh
muda tidak kehabisan akal. Ia suka mencuri-curi waktu diantara kesibukan
bekerja di sawah, untuk bermain ke rumah pamannya, I Gusti Ketut Kobot, seorang
maestro pelukis Pengosekan. Ia suka memperhatikan dan mengagumi Kobot ketika
sedang melukis. Mokoh menjadi keponakan yang sangat disayang, terutama oleh
adik kandung Kobot, I Gusti Made Baret. Dari Baret-lah Mokoh banyak belajar
melukis, terutama teknik tradisi, seperti nyeket, ngabur, ngasir,
nyigar, ngontur, dan sebagainya.
Karya
pertama yang berhasil dibuat Mokoh adalah gambar hutan lengkap dengan manusia
dan hewan, menggunakan teknik abur (gradasi). Gambar itu sampai sekarang
masih ia simpan dengan rapi, bahkan dilaminating layaknya surat-surat berharga.
Selain itu, ada sejumlah karya awal yang dibuat di atas kertas, yang masih
tersimpan rapi. Mokoh sangat menghargai karya-karya awal dan sangat rapi dalam
hal dokumentasi. Sayang lukisan-lukisan ini tidak berangka tahun sehingga susah
memastikan kapan lukisan itu dibuat. Mokoh juga melukis tema kehidupan
sehari-hari, kehidupan petani, hewan-hewan eksotis, legenda, fabel dan
sebagainya. Lukisan-lukisan periode awal ini, rata-rata berukuran kertas gambar
A3 dengan warna cat air dan tinta cina, masih menggunakan teknik tradisi.
“Jaman itu kertas sangat susah dicari, harganya pun sangat mahal. Untuk membeli
kertas pun harus ke Klungkung (sekitar 60 Km dari Ubud),” kenang Mokoh.
Lukisan-lukisan
hasil belajar pada Kobot dan Baret ini kemudian ia perlihatkan kepada Rudolf
Bonnet, pelukis Belanda yang menetap di Ubud sejak 1928. Bonnet adalah salah seorang penggagas perkumpulan
pelukis dan pematung Bali Pita Maha
(1935). Saat itu, Bonnet telah menjadi patron yang cukup kuat bagi
pelukis-pelukis Ubud. Dari Bonnet Mokoh mendapatkan pelajaran langsung
prinsip-prinsip seni lukis modern, terutama dalam hal penggalian kreativitas
individual. Bonnet selalu menyarankan agar Mokoh mencari kreasi sendiri, tidak
mengikuti jejak Kobot dan Baret yang masih berkutat pada tema-tema Ramayana dan
Mahabarata. Mokoh banyak menyerap perihal komposisi modern, teknik mencampur
warna, dan tema-tema yang lebih luas yang digali dari fantasi dan dunia batin.
(karya Dewa Putu Mokoh) |
Mokoh
mengalami pencerahan. Kepercayaan dirinya semakin tumbuh. Ia mulai menyadari,
lukisan yang bagus tidak harus bertemakan Ramayana dan Mahabarata dengan
komposisi ruwet dan rumit memenuhi bidang gambar. Bagi Mokoh, lukisan yang
bagus pun bisa digali dari objek-objek sekitar atau berdasarkan fantasi
pelukisnya, dengan teknik pewarnaan dan pengolahan bidang secara sederhana. Tidak
heran lukisan Mokoh banyak mencuatkan kesan naif, lucu, satire, nyeleneh,
bahkan cenderung nakal dengan bermain-main di wilayah yang ditabukan para
agamawan dan moralis.
Mokoh mempunyai
dua murid kesayangan, I Gusti Kadek Murniasih dan Mondo (dari Italia). Kepada
muridnya, terutama Murni, Mokoh selalu menganjurkan saran yang pernah diberikan
Bonnet. Pelukis harus terus menggali kreasi-kreasi baru secara individual dan
berani menampilkan sesuatu yang berbeda. Saran ini dengan cerdas diwujudkan
Murni melalui lukisan-lukisannya yang sangat berani menampilkan sesuatu yang
ditabukan.
Mokoh adalah anak pertama dari enam
bersaudara. Ia dilahirkan di Pengosekan Ubud, 31 Desember 1934. Ia hanya sempat
mengenyam pendidikan selama 3 tahun di SR (Sekolah Rakyat). Ia mengaku tidak
pintar bicara dan sering pikun. Untuk urusan manajemen karya-karyanya yang
segudang itu, ia menyerahkan sepenuhnya pada adik kandungnya, Dewa Nyoman
Batuan, mantan guru SD yang juga pelukis Pengosekan yang diperhitungkan hingga
sekarang. Mokoh menikah dengan Desak Nyoman Sari, dan dikarunia 6 anak: 4
lelaki dan 2 perempuan. Dari 6 anaknya,
hanya Dewa Putu Sumertha dan Dewa Ketut Sudiana yang benar-benar menekuni seni
lukis, mengikuti jejak sang ayah, termasuk dalam hal teknik, pewarnaan dan
penggalian kreativitas.
(karya Dewa Putu Mokoh) |
Sebagai
pelukis, Mokoh telah mengecap pahit manisnya dunia kepelukisan. Namun
dibandingkan bekerja sebagai petani, ia lebih menyukai pekerjaan melukis.
Baginya, melukis bisa dilakukan sampai menjelang ajal, sedangkan mencangkul
memerlukan tenaga ekstra, apalagi saat usia semakin beranjak senja. “Seperti sekarang ini, walau masih
sakit-sakitan, saya tetap melukis. Ketika berhadapan dengan kanvas, kuas dan
warna, saya menjadi segar kembali. Kondisi seperti ini tidak bisa saya pakai
untuk mencangkul di sawah,” ujarnya sembari ketawa.
Mokoh
masih bisa mengenang ketika ia pertama kali memegang uang sebanyak 25 sen,
hasil dari menjual lukisan. Ia sangat senang karena ternyata ada orang yang menghargai karyanya. Dan uang 25 sen pada
jaman Belanda sungguh jumlah yang sangat berarti bagi Mokoh muda. Kini,
lukisan-lukisan Mokoh sering diikutkan dalam banyak pameran bersama di dalam
dan luar negeri. Mokoh pertama kali berpameran tunggal tahun 1995 di Fukoaka,
Jepang. Bahkan banyak yang
tidak tahu dan luput dari pemberitaan kalau Mokoh juga pernah diundang
berpameran di Biennale Venesia.
Selama
ini banyak kritikus dan penulis seni rupa menggolongkan Mokoh ke dalam ranah
pelukis tradisional, terutama berkaitan dengan corak Pengosekan. Padahal Mokoh
sesungguhnya pendobrak seni lukis corak Pengosekan yang sudah mapan dan terpola
itu. Mokoh belajar pada pelukis tradisional, Baret dan Kobot, terutama masalah
teknik tradisi. Namun sesungguhnya, ia banyak menyerap pola berpikir Bonnet,
yang lebih mengedepankan penggalian kreativitas dan penemuan corak khas
individual, tidak melulu hanya membebek pada pakem-pakem melukis yang sudah
mapan.
Menilik
dari konsep berkesenian dan kreativitas Mokoh dalam menggali
kemungkinan-kemungkinan baru pada karya-karyanya, bisa disimpulkan bahwa Mokoh
bukanlah pelukis tradisional. Ia melampaui pola-pola berpikir pelukis
tradisional. Mokoh telah berupaya melepaskan diri dari ikatan tradisi seni
lukis Pengosekan.
***
Mokoh
meninggal dunia pada Sabtu, 26 Juni 2010, di kampung halamannya, Pengosekan. Selama
dua bulan ia dirawat di rumah sakit di Denpasar karena gagal ginjal dan
komplikasi penyakit lainnya. Selamat jalan, Mokoh…
No comments:
Post a Comment