(Dimuat di
Majalah Arti, Edisi 020/Oktober 2009)
Teks dan Foto: Wayan Sunarta
(Putu Wirantawan) |
Bagi Putu
Wirantawan, berkesenian harus terus bergerak, mencari dan menelusuri berbagai
macam kemungkinan. Dan pada akhirnya harus bisa menentukan karakter atau ciri
khas yang hendak dijadikan pijakan dalam berkarya. Tentu itulah tantangan yang
terberat menjadi seorang pelukis.
Wirantawan
pernah mengalami konflik batin berkepanjangan dalam mengambil sebuah keputusan
untuk menentukan bahan, medium, karakter dan corak yang tepat dalam berkarya.
“Kegelisahan dan konflik batin itu membuat saya hampir gila,” ujarnya.
Akhirnya dia
memutuskan memilih drawing sebagai sarana untuk menyampaikan kegelisahan
kreatifnya sebagai pelukis. Jauh sebelum itu, dia pernah mencoba dan menekuni
berbagai medium dan corak. Dia pernah suntuk memakai cat minyak, akrilik dan
cat air di atas kanvas atau kertas. Dengan bahan-bahan itu dia menuangkan
ide-idenya melalui corak ekspresionisme, figuratif, semi realis, impresionis
dan abstrak. Bahkan dia pernah dijuluki “Affandi Kecil” karena kegemarannya
melukis di alam bebas, langsung berhadapan dengan objek, dan corak
goresan-goresan lukisannya sangat ekspresif.
“Namun semua itu
tidak memuaskan jiwa saya. Kegelisahan saya justru lebih terwakili dengan
goresan dan arsiran pencil di atas kertas atau kanvas. Saya memutuskan memilih
drawing sebagai bahasa saya dalam berkesenian,” tuturnya.
Wirantawan
mengatakan menggarap drawing mendatangkan kenikmatan tersendiri. Metode dan
teknik melukis yang tidak didapatnya dengan cat minyak, akrilik atau cat air, bisa ditemuinya melalui goresan dan arsiran
pencil di kertas. Layaknya Musashi yang mengganti pedang besinya yang tajam
dengan pedang kayu.
(karya Putu Wirantawan) |
Pencil yang
sederhana dan sering dilecehkan pelukis lain, di tangan Wirantawan menjelma
alat melukis atau menggambar yang sangat ampuh. Jari tangannya sangat lihai
memainkan pencil sehingga melahirkan goresan dan arsiran yang spontan dan
memukau. Wujud-wujud yang tercipta pun sangat unik dan imajiner, dibuat melalui
kesungguhan hati dan perenungan yang dalam.
Menurut
Wirantawan, karya-karyanya tercipta dari ide-ide yang sederhana yang bertebaran
di sekitar kehidupan manusia, namun seringkali dilupakan atau diremehkan orang.
Misalnya, benda-benda berbentuk lingkaran, segi tiga, berkas cahaya, lelehan
lilin, sinar pelita, dan objek-objek sederhana lainnya. Melalui kekuatan
observasi, penghayatan dan imajinasi, benda-benda tersebut mengalami sublimasi
dalam karya-karya drawingnya.
“Yang terpenting
dalam melukis bukanlah ide, melainkan kesungguhan, kejujuran dan kepuasan
batin. Buat apa melukis kalau tidak jujur pada diri sendiri dan batin tidak
puas,” ujar Wirantawan.
Berpijak dari
prinsip itu, Wirantawan tidak terlalu peduli apakah karyanya disukai orang atau
tidak. Baginya, jalan hidup sebagai pelukis adalah berkarya sebaik mungkin,
tanpa pretensi, tanpa memikirkan keuntungan materi ataupun popularitas. “Bagi
saya materi dan popularitas hanyalah efek dari ketekunan berkesenian,” ujarnya.
(karya Putu Wirantawan) |
Ketika melukis,
Wirantawan menolak didikte oleh orang lain atau demi mengejar kepuasan pasar.
Baginya, melukis atau membuat drawing adalah terapi menghilangkan stress, yang
ujungnya demi kebahagiaan batin. Tentu saja, membuat drawing dengan pencil
perlu kesabaran dan ketekunan.
“Paling cepat
perlu waktu seminggu dalam membuat drawing ukuran kecil. Karya ukuran besar
pernah saya garap selama sembilan bulan,” kata Wirantawan menjelaskan betapa
lamanya sebuah karya diciptakannya.
Dalam membuat
drawing dengan pencil, dia tidak memerlukan penghapus jika terjadi kesalahan.
Goresan dan arsirannya yang spontan memerlukan ketelitian yang tinggi. Dengan
pencil dia lihai memainkan gelap terang suatu bidang atau menciptakan bayangan.
Bahkan teknik-teknik bercak, tekstur semu, bisa dibuatnya dengan pencil.
“Memang lebih
sulit menciptakan efek-efek visual dengan pencil. Tapi bagi saya menggambar
dengan pencil adalah suatu kemurnian, perlu kesabaran dan keterampilan tingkat
tinggi. Namun di sanalah letak tantangan dan kenikmatannya,” tuturnya.
Tantangan
terbesarnya dalam berkarya adalah ketika ide-ide terus berputar dalam kepala,
seakan medium yang ada tak cukup mampu menampungnya. Maka seringkali ketika
sedang mengerjakan drawing, pada saat yang hampir bersamaan dia juga membuat
sketsa-sketsa. Baginya, drawing dan sketsa masing-masing merupakan karya yang
otonom. Namun terkadang dia membuat sejumlah sketsa dulu sebagai studi, lalu
dipindahkan ke dalam drawing.
“Seringkali
visual di sketsa menjadi jauh berbeda ketika dipindah ke drawing. Itu
tergantung keliaran imajinasi saat menggarap drawing. Bahkan tangan saya sering
bergerak sendiri seakan dituntun oleh alam bawah sadar,” ungkapnya.
Dengan
menerapkan metode yang sering dipakai kaum surealis, wujud-wujud karya
Wirantawan seperti berada di ambang alam nyata dan impian. Beberapa mirip jasad
renik, seperti kuman, bakteri, parasit, amuba. Sebagian lagi penuh simbol-simbol
bernuansa mistis dan spiritual. Misalnya, seberkas cahaya yang seakan meleleh
di atas meja, atau bias-bias lingkaran cahaya yang berpendar dalam kegelapan.
“Saya suka menggambar cahaya. Bagi saya, cahaya adalah energi kehidupan,”
ujarnya.
Wirantawan lahir di Negara, Bali, 14 April 1972. Tahun 2005 dia menamatkan
kuliah seni rupanya di ISI Yogyakarta. Sejak 1993, dia telah aktif tampil dalam pameran-pameran bersama di
berbagai kota di Indonesia. Dan sejak 2002, dia telah lima
kali menampilkan karya-karyanya dalam pameran tunggal, di antaranya di Edwin’s Gallery (Jakarta), Bentara Budaya Yogyakarta, Griya Santrian Gallery (Sanur,
Bali), Ganesha Gallery (Jimbaran, Bali).
Sejak 1985, dia telah mengantongi sepuluh penghargaan seni rupa,
di antaranya Finalist of the Philip Morris Art Award (1999), Nominee Among The
Best 10 of Philip Morris Art Award VII (2000), Honorable Mention, The 12th
International Biennial Print and Drawing Exhibition R.O.C, Taiwan (2006),
Finalist of the 2nd International Trienale “Print and Drawing”,
Bangkok, Thailand (2008). Beberapa karyanya telah menjadi koleksi The National Taiwan Museum of Fine Art, Museum der Weltkulturen (Frankfurt,
Germany) dan Silpakorn University (Bangkok, Thailand).
(Tambahan data) Pada
tahun 2010, karya Wirantawan yang bertajuk “The Wandering Soul III” (180 x 200
cm, pencil on paper, 2010) berhasil meraih predikat Juara Utama dalam event
Jakarta Art Award 2010. Ia menyisihkan 762 perupa dari dalam dan luar negeri
yang ikut dalam perlombaan tersebut.
No comments:
Post a Comment