( I Kadek Seinia Dwi Pratama) |
Di
dalam dunia seni, seringkali usia tak berbanding lurus dengan kematangan dan
kualitas karya yang diciptakan seorang seniman. Misalnya, banyak seniman yang
matang secara usia, namun masih mentah secara karya. Begitu pula sebaliknya.
Dalam seni menulis puisi, misalnya, dunia mengenal Arthur Rimbaud (1854-1891),
penyair cemerlang Perancis yang menulis puisi sejak usia 15 tahun. Di usia
belianya, puisi-puisinya yang surealistik menggemparkan perpuisian Perancis
saat itu. Pada usia 21, dia berhenti menulis puisi. Namun, hingga kini
puisi-puisinya tetap dikagumi dan menjadi kajian kesusastraan dunia.
Dalam
seni rupa, kita tahu banyak perupa belia bermunculan dengan karya-karya yang
menggetarkan. Namun, tak sedikit dari mereka yang seperti meteor, menakjubkan
sekejab lalu sirna begitu saja. Sebagian besar dari mereka hanya mengandalkan
bakat alam. Padahal menurut Albert Einstein, peranan bakat cuma satu persen,
selebihnya adalah proses belajar yang tak pernah berhenti dan bekerja keras
untuk menggapai cita-cita atau keinginan.
Menurut
saya, selain mengasah kemampuan teknis, perupa (terutama yang muda usia) juga
harus mengasah kemampuan intelektual dan intuisinya. Banyak belajar dari karya
para pendahulunya. Peka atau kritis terhadap isu atau fenomena yang terjadi. Menggali
dan mengembangkan potensi diri semaksimal mungkin. Dunia seni rupa seperti
hutan rimba, siapa yang kuat dia yang akan tetap eksis. Kuat dalam hal ini
adalah kuat secara karya, konsep, dan kuat dalam membangun jaringan.
(Seinia demo melukis saat pembukaan pamerannya) |
Salah
satu perupa belia yang saya kenal adalah I Kadek Seinia Dwi Pratama. Dia lahir
di Denpasar, 2 Agustus 1996. Remaja pendiam dan pemalu ini adalah siswa SMK 1
Sukawati (SMSR Batubulan). Menyimak karya-karyanya, saya menilai Seinia
memiliki bakat luar biasa. Kematangan karya-karyanya jauh melampaui usianya.
Namun, yang saya kagumi adalah produktivitas dan kegigihannya dalam berkarya.
Dia ingin eksis dalam dunia seni rupa. Dia ingin karya-karyanya diapresiasi
dalam suatu pameran tunggal.
Sejak
2008 hingga kini, Seinia telah berhasil menyelesaikan 200-an lukisan. Karya-karya
awalnya cenderung figuratif dengan objek manusia, barong, rangda. Namun, dia
tak puas dengan karya-karya figuratif yang kebanyakan untuk memenuhi tugas
sekolah. Sejak 2011, Seinia tertarik menekuni abstrakisme dan ekspresionisme.
Dalam
melukis, Seinia memakai tapak dan jari-jari tangannya sebagai kuas. Ketika
berhadapan dengan sebidang kanvas dan pada saat kondisi mood, dia mengerahkan seluruh energinya untuk melukis. Dia
mencakar-cakar, menggerakkan dan meliukkan jemari tangannya yang berlumuran
warna di bidang kanvas. Pada saat demikian dia seperti berada dalam kondisi trance. Dia seakan ingin menumpahkan
seluruh emosi dan gejolak jiwanya, tanpa memikirkan hasil akhir. Dengan
perangkat warna dan kanvas, dia menggerakkan jiwanya untuk selaras dengan
tarian semesta. Dia seperti dituntun oleh naluri purba, intuisi jiwa yang masih
murni.
(karya Seinia) |
Lukisan-lukisan
Seinia terkesan liar, magis, mistis, seakan lahir dari campur tangan alam ruh.
Warna-warna bernuansa kelam saling berkelindan dengan liukan warna bernuansa
cerah. Kalau dicermati, seringkali liukan-liukan warna dalam lukisannya
berkerumun atau menggumpal membentuk berbagai wujud, seperti manusia, monster,
rangda, atau binatang dari dunia antah berantah. Semuanya tak terjelaskan,
namun bisa dilihat secara samar-samar di kebanyakan lukisannya. Seinia mengaku
sering bermimpi tentang barong dan rangda. Wujud-wujud tersebut banyak muncul
dalam lukisan-lukisannya.
Seinia
adalah pengagum berat pelukis Affandi. Itulah sebabnya, teknik dan gaya
melukisnya masih terpengaruh Affandi. Namun, bagi saya, dalam dunia seni
pengaruh mempengaruhi adalah suatu hal yang biasa, sebagai suatu proses
menemukan jati diri. Saya harap, ke depan, seiring kematangan usia dan
pengalaman, Seinia semakin intens menunjukkan kekuatannya sebagai pelukis,
lepas dari bayang-bayang para pendahulunya.
Lukisan-lukisan
Seinia kebanyakan berukuran besar. Dia merasa kurang puas melukis di kanvas
ukuran kecil. Bahkan lukisan-lukisan buatan tahun 2012 kebanyakan berukuran di
atas satu meter. Lukisan-lukisan ini bukanlah untuk tugas sekolahnya. Namun
muncul dari keinginannya, perenungan dan dorongan jiwanya. Seinia memang
bercita-cita menjadi pelukis. Semangatnya tak pernah padam untuk terus melukis.
Orang tuanya mendukung penuh cita-cita dan obsesinya. Orang tuanya selalu
menyediakan kanvas ukuran besar, warna, dan frame. Di rumahnya, di kawasan
Sanur Kauh, Seinia biasanya melukis pada malam hari, ketika suasana hatinya
lagi bagus. Jika sedang jenuh, dia main game
online di internet sepuas-puasnya.
(Ilmu Tahapan Pertama, karya Seinia) |
Meski
usia belia dan belum punya jam terbang yang banyak dalam berpameran, Seinia
berkeinginan kuat untuk memamerkan karya-karyanya secara tunggal. Dia telah
menyiapkan mental dalam menghadapi pujian dan kritik atas karya-karyanya. Dalam
hal ini, saya salut dengan keberaniannya, suatu keberanian yang jarang dimiliki
oleh perupa belia lainnya. Tentu semua itu, tujuannya hanya satu, dia sangat ingin
karya-karyanya diapresiasi secara luas oleh publik seni rupa di Bali.
Bagi
saya, karya-karya Seinia sangat layak ditampilkan dalam pameran tunggal.
Karya-karyanya, terutama buatan 2011-2012, telah menunjukkan kekuatan Seinia
sebagai pelukis abstrakisme dan ekspresionisme. Dalam hal ini, Seinia mengandalkan
kekuatan letupan emosi dan intuisi yang dicurahkannya dalam bidang-bidang
kanvas. Secara artistik dan teknik, karya-karya Seinia tak kalah dengan karya
para perupa yang telah mengantongi banyak jam terbang dalam berpameran. Akhir
kata, selamat menikmati gejolak jiwa Seinia.***
(sumber: katalog pameran tunggal "Gejolak Jiwa Seinia", 20 Januari - 2 Februari 2013, di Warung Yayaa Artspace, Jl. Sekar Waru, Blanjong, Sanur Kauh, Denpasar)
No comments:
Post a Comment