Oleh Wayan ‘Jengki’ Sunarta
(perupa Wayan Sujana Suklu) |
Senja hampir samar di awal April 2011. Hujan
belum juga reda. Saya tiba di Banjar Lepang, Klungkung, Bali.
Tubuh saya setengah basah karena
perjalanan menembus hujan dari Denpasar. Saya menghentikan motor di depan jalan
setapak di pinggiran bypass Ida Bagus Mantra. Dari arah Denpasar, jalan setapak
itu berada di sebelah kiri. Di tepi mulut jalan setapak itu teronggok sebuah beruk raksasa. Beruk itulah penanda jalan
setapak menuju tempat “pertapaan” I Wayan Sujana alias
Suklu, perupa kelahiran Klungkung,
6 Pebruari 1967, yang namanya telah tercatat di ranah seni rupa nasional dan internasional.
Dengan senyum dan
tawanya yang khas, Suklu menyambut saya di jalan setapak itu. Rambutnya yang gondrong sebahu dan baju
kaos putih yang dikenakannya sedikit basah terkena tetes-tetes hujan. Dalam kesamaran senja, saya
masih sempat menikmati hampar persawahan di tepian jalan setapak itu. Gemericik
air dan suara serangga senja menjadi orkhestra yang sangat menghibur pikiran
yang sedang letih.
Suklu membuka pintu
gapura kayu
gaya Bali yang menghubungkan hampar persawahan dengan ruang studionya. Ketika saya masuk, saya disambut
oleh lukisan-lukisan beraneka ukuran yang tertata rapi di dinding, rak-rak
buku, meja dan kursi kayu bernuansa antik. Studio itu terdiri dari dua lantai.
Lantai bawah tempat Suklu berkarya dan menerima tamu, lantai atas menjadi
tempat penyimpanan karya dan ratusan buku dari berbagai desiplin seni, agama,
filsafat, dan buku pengetahuan umum.
Suklu termasuk perupa yang suka membaca dan mengoleksi buku. Sejenak
saya terkenang pada suatu peristiwa di tahun 2001, ketika saya dan Suklu rebutan memborong buku yang diobral dan
nyaris dikorbankan jadi kertas bubut di sebuah toko buku kecil yang bangkrut.
Saat itu, Suklu memborong satu-dua kardus, sedangkan saya satu mobil pick up
lengkap dengan rak bukunya. Kami ketawa mengenang peristiwa “tragis” itu.
Saya duduk di
sebuah kursi kayu. Mata saya mengitari ruang studio yang terkesan ramah
lingkungan. “Kawan-kawan seniman
biasa tidur di sini jika kebetulan mampir atau ada kegiatan kesenian,” ujar Suklu.
Suklu memang tipe
seniman yang selalu gelisah dengan ide-ide kreatif dan inovatif. Misalnya, pada tahun 2009, dia menjadi salah
seorang penggagas
kegiatan “Apa Ini, Apa Itu”,
festival yang mewadahi berbagai bentuk seni. Kegiatan yang melibatkan seniman dari dalam dan
luar negeri itu digelar di seputaran studionya yang luas dan
asri dan di pantai Lepang yang
menghampar tak jauh dari rumahnya.
(apa ini, apa itu) |
Sejak 2011, Suklu juga mengembangkan
Komunitas Batubelah yang diasuhnya menjadi BatuBelah Art Space (BBAS). Suklu merangkul beberapa seniman
dan budayawan untuk ikut mengonsep visi dan misi serta menggodok
program-program andalan BBAS. Pergerakan utama BBAS adalah pengembangan laboratorium seni yang berbasiskan pada konsep, riset, dan eksperimen
multicultural (tradisional, modern dan kontemporer), terutama untuk seni dan
budaya Bali.
Dalam setiap kegiatan kesenian itu, Suklu selalu
melibatkan warga lokal menjadi voluntir. Seperti, ikut membantu seniman pada saat berproses dan membuat seni instalasi. Secara langsung, Suklu membiasakan warga lokal mengapresiasi kesenian kontemporer,
sesuatu yang mungkin asing dan aneh bagi pandangan mereka.
Malam mulai
merambat. Suara katak dan kodok
bersahutan dengan gemericik air. Tak berapa lama, istri
Suklu datang membawa kopi. Setelah menghidangkan kopi dan pisang goreng,
istrinya turut serta duduk mendampingi Suklu. Meski usia pernikahan mereka telah
belasan tahun dan dikarunia empat
anak, mereka masih terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang menikmati masa
berpacaran. Suatu hubungan yang sangat harmonis. Istri Suklu, Ni Nyoman Sartini, yang kesehariannya sebagai ibu rumah
tangga, turut serta sebagai tenaga serabutan jika digelar kegiatan-kegiatan
kesenian di sana.
Saya menikmati
tegukan demi tegukan kopi yang hangat. Kami lantas hanyut dalam obrolan seputar
kesenian dan proses kreatif Suklu dalam melahirkan berbagai bentuk karya seni
rupa, seperti sketsa, lukisan, seni instalasi, seni objek, dan sebagainya.
Ida Pedanda Made Sidemen dan Ketut Lier
Pada tahun 1987,
Suklu menamatkan pendidikannya di SMSR Denpasar. Secara kebetulan dia sempat
menghadiri diskusi budaya di Art Centre yang membahas ketokohan Ida Pedanda
Made Sidemen. Saat itu, yang
menjadi pembicara Ida Bagus Agastya, dimoderatori oleh Ida
Bagus Dharma Palguna. Hal yang paling mengesankan Suklu dari diskusi itu adalah
pemaparan laku kehidupan Ida Pedanda
Made Sidemen yang sangat meditatif. Diskusi
itu menjadi titik awal pencerahan bagi Suklu.
“Dari diskusi itu saya berkeyakinan, bahwa proses
berkesenian merupakan salah satu bentuk meditasi dalam kehidupan sehari-hari.
Yang terpenting prosesnya, bukan hasil akhir,” ujar Suklu.
Berpijak dari keyakinan itulah, Suklu melakoni jalan
hidup berkeseniannya dan melahirkan karya-karyanya. Pada masa-masa 1987 itu
pula Suklu menetap di Ubud dan menekuni seni lukis tradisi, terutama gaya Ubud.
Selama dua setengah tahun dia nyantrik di rumah Ketut Lier. Selain sebagai pelukis tradisi Ubud yang pernah bergabung dalam Pita Maha, Ketut Lier juga dikenal sebagai balian dan pernah ikut
main film “Eat Pray Love” (2010) yang dibintangi Julia Robert.
Dari Ketut Lier,
Suklu banyak menyerap teknik dan
filosofi seni lukis tradisi Ubud. Ketut
Lier pula yang membuka wawasan Suklu bahwa setiap lukisan,
baik tradisi maupun modern, punya karakter tersendiri dalam menyusun komposisi. Ketika Desa Pengosekan
dipenuhi dengan lukisan bertema flora-fauna, Suklu yang masih remaja sedikit
bimbang menentukan pilihannya di dunia seni rupa. Ketut Lier pula yang
mengingatkan Suklu agar tidak terpengaruh pada trend flora-fauna yang lagi
marak saat itu. Terbukti bahwa trend itu hanya untuk memuaskan keinginan pasar.
Suklu semakin meyakini kekuatan seni tradisi yang banyak mengandung kearifan
lokal jika ditekuni dan dikaji secara mendalam. Hal yang paling berkesan baginya ketika menggarap seni lukis tradisi adalah
melakoni proses meditasi melalui tarikan garis, nyeket, nyigar mangsi, mewarnai, dan berbagai proses lainnya.
Pada tahun 1992, Suklu melanjutkan
pendidikan seni lukisnya di STSI Denpasar, hingga tamat tahun 1997. Suklu termasuk angkatan pertama di jurusan seni
lukis STSI Denpasar. Di bangku akademis itu, talenta Suklu semakin
diasah, baik secara teknik maupun wawasan tentang seni rupa modern dan
kontemporer. Hingga kini, Suklu
mengabdikan diri sebagai dosen di almamaternya.
“Di bangku kuliah
saya tidak hanya menyerap teknik seni lukis modern, namun juga wawasan dan
pengetahuan seni rupa modern melalui diskusi dan mengikuti mata kuliah kajian dan kritik seni,”
tutur Suklu.
Meditasi dan Repetisi
Selama masa-masa kuliah itu, konsep
berkesenian sebagai suatu proses meditasi terus melekat di benaknya dan mewujud
ke dalam karya-karyanya, terutama sketsa-sketsanya. Suklu termasuk perupa yang
sangat rajin membuat sketsa. Dia tidak mengenal tempat dan waktu saat membuat
sketsa. Alat dan medium pun tidak jadi soal baginya. Sebab semua itu didasari
oleh laku berkesenian sebagai proses meditasi. Melalui tarikan dan guratan
garis dalam banyak sketsanya, Suklu mengembangkan batinnya dalam laku meditasi.
Tidak jadi soal entah berwujud apa sketsanya, sebab bukan hasil akhir yang terpenting, namun proses
itu sendiri. Dalam hal ini, Suklu benar-benar mengandalkan kekuatan intuisi dan imajinasinya.
Membuat sketsa
baginya tidak hanya untuk melatih kelincahan dan kelenturan tangan dalam
menarik dan mengolah garis, namun juga untuk memberikan ruang bagi kegelisahan dan pengembaraan batinnya. Baginya sketsa menjadi semacam
catatan harian. Setiap karya punya nasibnya sendiri yang terkadang tak terduga. Membuat
sketsa merupakan suatu bentuk menjalani proses berkesenian. Suklu meyakini
setiap sketsa yang dibuatnya akan mampu bercerita dan punya sejarahnya sendiri.
Dia tidak
pernah berhenti membuat sketsa-sketsa imajinatif sesuai desakan intuisinya.
Dalam karya-karya mutakhirnya, proses meditasi
banyak berhubungan dengan repetisi
(pengulangan) demi mencapai kejernihan, baik secara pikiran maupun batin. Bagi
Suklu, repetisi merupakan suatu metode, dimana orang lain juga bisa ikut terlibat dan merasakan proses itu
sendiri.
“Dalam banyak karya
saya yang bersifat repetitif, saya selalu mengajak orang lain ikut terlibat di dalamnya, merasakan
proses itu sendiri. Saya tak peduli hasil akhirnya akan berbentuk apa. Yang
penting adalah proses. Dan orang lain pun ikut mengalami dan merasakan proses
yang sedang saya lakoni. Secara tak langsung saya sebenarnya mengajak orang
lain ikut menjalani proses meditasi dalam berkesenian saya,” tuturnya.
Suklu merintis dan mengeksplorasi metode repetitif
itu sejak 1997. Dan, sejak tahun 2000, Suklu mulai menemukan kematangan
dalam proses dan metode repetitif itu. Suklu semakin intens
dengan proses berkesenian sebagai jalan meditasi ketika dia banyak berdiskusi
dengan seorang seniman Jerman yang menetap di Ubud. Seniman ini juga menerapkan
metode yang hampir sama dalam berkesenian.
Secara visual,
karya-karya repetitif Suklu kebanyakan dipenuhi oleh garis-garis lengkung, yang
mirip dengan bentuk senyum atau smiling
line. Pemilihan warna juga dilakukan dengan kesadaran meditatif. Warna awal
dari garis lengkung yang repetitif itu akan diakhiri atau dikunci dengan warna
awal itu juga. Filosofinya adalah awal dan akhir tiada berbeda, sama, kosong, keheningan.
“Kunci dari metode
repetitif adalah pemusatan pikiran, yang mengarah pada suatu kondisi meditatif.
Sekali lagi ini adalah sebuah metode, bukan hasil akhir,” ujar Suklu.
Dalam menjalani
laku berkesenian sebagai suatu proses meditasi, tentu tidak ada hal-hal lain di
luar kesenian yang membebaninya. Berkesenian adalah suatu jalan keikhlasan,
tanpa beban, tanpa pamrih.
“Saya tidak terlalu
peduli apakah karya saya nantinya diapresiasi publik atau diminati pasar. Itu
semua di luar kehendak saya. Yang penting saya tetap menjalani proses meditasi
dalam berkesenian,” ujarnya.
Dari konsep
berkesenian seperti ini, Suklu juga
menciptakan seni-seni instalasi yang terbuat dari bambu
atau terinspirasi dari objek-objek temuan yang pernah akrab dengan
kesehariannya di masa kanak dulu. Misalnya, bubu
(perangkap ikan), bambu, sendok penyaringan, beruk (wadah air),
hingga eksplorasi simbol kacang tanah sebagai suatu bentuk pernyataan bahwa
kacang jangan sampai lupa pada kulitnya, bahwa manusia yang mengaku modern
jangan sampai lupa pada tradisi yang menghidupinya.
Beruk dan Budaya Agraris
Beruk adalah salah satu benda warisan budaya
agraris yang paling mengesankan
Suklu. Benda bulat yang dibuat dari batok kelapa itu
dulunya berfungsi sebagai wadah air, tempat garam, atau bahkan sebagai piring
makan. Pada zamannya
beruk mengandung nilai sosial yang tinggi.
Suklu menuturkan, pada zaman dulu, para petani biasa
membawa beruk ke sawah. Ketika
para petani kehausan sehabis menggarap sawah, mereka saling berbagi
air yang ditampung dalam beruk. Beruk menjadi
wahana sosial yang membangun keakraban. Dari sana sering bermunculan ide-ide kreatif untuk menciptakan seni-seni yang
berbau agraris. Kini, di zaman internet dan facebook, nilai sosial seperti itu telah menjadi langka. Sawah-sawah pun makin menyempit tergerus
pembangunan fisik.
“Saya mengangkat simbol, konsep dan
filosofi beruk untuk mengenang kembali nilai-nilai sosial dan kearifan lokal
itu. Mengenang sekaligus mengetuk kembali kesadaran sosial kita di tengah zaman yang sangat
individualis ini,” tutur Suklu.
Berpijak dari objek
beruk ini, Suklu mengembangkan karya kreatifnya ke dalam bentuk lukisan, seni
instalasi, sketsa, dokumentar, seni pertunjukan, maupun seni yang bersifat spontanitas. Dia beberapa kali menampilkan ikon beruk dalam
pameran-pameran seni rupa yang pernah diikutinya.
Bagi Suklu, beruk
adalah salah satu simbol dari kebudayaan agraris atau kebudayaan kaum petani
yang kini telah punah. Beruk telah
lama disingkirkan, diganti dengan wadah-wadah plastik,
keramik maupun logam. Kepunahan beruk seiring dengan bergesernya budaya agraris ke budaya industri, seiring
pula dengan menyempitnya lahan persawahan, karena dikepung kerumunan ruko (rumah toko), kafe remang-remang, perumahan, perkantoran. Bahkan, persawahan di Lepang yang dulu sangat asri, kini telah dibelah jalan bypass.
Saluran irigasi macet, kegiatan subak
pun banyak yang tinggal kenangan.
Beruk juga
mengingatkan kita bahwa banyak kesenian di Bali sesungguhnya lahir dari kebudayaan
agraris, dari kaum tani, dari
organisasi bernama subak. Ambillah contoh seni lukis, patung, kerawitan, sastra, tembang, dan seni-seni yang
bersifat spontan seperti lelakut dan kesenian rakyat lainnya. Sebagai bentuk penghormatan terhadap kenangan masa kecilnya, Suklu
membuat sebuah beruk raksasa yang dipajang di depan jalan setapak menuju
studionya. Dia juga gemar mengoleksi beruk-beruk bernilai antik dan artistik.
Beruk juga bisa menjadi pengingat kita betapa
pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam, bersahabat akrab dengan alam. Kalau dikaitkan secara
luas, beruk bisa menjadi pengingat kita pada persoalan-persoalan ekologi yang
terjadi sekarang, seperti perubahan iklim, kekacauan cuaca, hama tikus, hama
ulat bulu, deretan bencana yang melanda bumi, dan sebagainya. Hal ini jelas
bermula dari kedurhakaan dan
keserakahan manusia pada Ibu Pertiwi (alam) yang
melahirkan dan menghidupinya.
Beruk merupakan
bentuk kesadaran dan penyadaran betapa pentingnya menjaga dan merawat alam agar
kehidupan terus berlangsung. Dari kesadaran
ini pula Suklu mengembangkan seni instalasinya dengan menggunakan medium
beruk. Beruk dihubungkan dengan empat unsur alam semesta: air, api, udara, tanah. Misalnya, Suklu pernah membuat seni instalasi
beruk di sebuah kawasan di Kintamani dalam kaitannya dengan udara dan gunung. Instalasi beruk juga dipajang di tepian
pantai dalam kaitannya dengan udara dan air.
Dalam banyak seni instalasinya,
Suklu menggunakan berbagai medium, seperti benda-benda temuan, benda-benda
hasil daur ulang, yang selalu memiliki sejarah dan kaitan dengan karya-karya yang
ditampilkannya. Misalnya, beruk sebagai wadah air ditampilkan ke ranah yang lebih luas yakni
sebagai benda seni yang sarat perenungan. Bahkan bubu yang selama ini dikenal sebagai perangkap ikan dimodifikasi
menjadi karya seni. Begitu pula dengan sendok penyaringan yang diolah menjadi karya seni
instalasi dan pernah direspon dengan tarian kontemporer oleh koreografer Nyoman Sura.
Dialektika dan Kolaborasi Seni
Berpijak dari berkesenian
sebagai suatu proses, Suklu secara intens dan kontinyu membuat dan
mengembangkan kolaborasi-kolaborasi seni, baik dengan seniman dari berbagai desiplin seni
maupun dengan karya-karya seninya. Misalnya, dia pernah berkolaborasi dengan
seniman sastra, teater, tari, musik. Kolaborasi melalui karya, Suklu biasa membubuhi
sketsa atau drawing di halaman-halaman buku novel, baik karya pengarang dalam
negeri maupun luar negeri. Ada puluhan buku novel yang dibubuhi sketsa oleh
Suklu, baik novel berbahasa Indonesia, Inggris, Jepang, Jerman, maupun Belanda.
“Semua itu saya
lakukan dengan kesadaran berkolaborasi. Pada buku-buku novel itu saya memakai
kertasnya untuk saya bubuhi sketsa, tanpa harus merobek lembar-lembar kertas
itu dari bukunya,” tuturnya.
Keinginan berkolaborasi dan mencoba
sesuatu yang baru juga dia terapkan pada pengerajin dan benda-benda kerajinan,
juga pada seniman-seniman tradisional, maupun seniman-seniman yang menyepi di
pedesaan. Suklu menganggap seni kerajinan adalah ibu, sesuatu yang mengingatkannya
pada tanah kelahiran (Bali).
Mesti dalam ranah
seni rupa, seni kerajinan dianggap berkasta rendah, Suklu tak pernah
membeda-bedakan seni sebagai kasta tinggi maupun rendah. Baginya, setiap benda
seni memiliki keunikan tersendiri.
“Semua benda seni,
bahkan seni kerajinan sekalipun memiliki keunikan tersendiri jika dilihat
secara berbeda. Bahkan si senimannya juga unik, baik dilihat dari pola hidup
maupun pola pikirnya dalam memaknai suatu bentuk kesenian yang digelutinya,”
ujar Suklu.
Suklu termasuk
seniman yang rajin melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok desa. Misalnya, di
kawasan Karangasem, Bali Timur, dia mengunjungi kediaman Mangku Jenggo, seniman
patung yang kehidupannya sangat bersahaja. Suklu banyak menyerap aura inspiratif yang dipancarkan
lingkungan sekitar rumah Mangku Jenggo yang penuh dengan pepohonan lebat,
maupun lewat diskusi-diskusi kecil berkaitan
dengan pandangan berkesenian Mangku Jenggo.
“Saya sangat
menikmati saat berdiskusi dengan seniman-seniman alam, seperti Mangku Jenggo.
Banyak hal yang bisa saya pelajari, terutama dalam hal keikhlasan berkesenian,”
kata Suklu.
Keinginan berdialog
itu pula yang membuat Suklu sering mendatangi kantong-kantong kesenian. Dia termasuk orang yang cemas
jika kantong-kantong kesenian yang apresiatif dan inspiratif meredup karena berbagai
permasalahan. Itu pula yang mendorong Suklu banyak berdialog dan berkolaborasi
dengan seniman-seniman dari komunitas kesenian yang terpinggirkan, seperti
komunitas pelukis wayang kaca. Dan dia selalu menikmati proses kolaborasi itu. Tanpa sungkan, dia mengikuti workshop seni
grafis,
mengamati seni kerajinan yang baginya unik, atau mengeksplorasi seni menatah topeng. Kegiatan kolaborasi yang dia lakukan sangat beragam dan selalu didasari
dengan kesadaran eksplorasi.
Tai Cacing Tanah
Bahkan ketika Suklu melanjutkan kuliah
S-2 nya di ITB pada tahun 2008, dia sering mengamati tai cacing-cacing tanah
yang banyak dijumpainya di halaman kampusnya. Dia sangat terkesan dengan bentuk tai cacing tanah
yang melingkar-lingkar seperti spiral itu. Tai cacing itu kemudian dikumpulkannya dan
dikemas dalam wadah-wadah kaca yang
secara khusus dibuatnya. Bahkan seonggok tai cacing tanah itu dibungkus dengan kain
kasa putih dan ditulisi dengan aksara
Bali layaknya jimat.
“Kehidupan cacing
tanah mengandung filosofi yang tinggi kalau kita mau meluangkan waktu
merenunginya. Cacing tanah makan tanah, tainya juga berupa tanah, yang mampu
menyuburkan tanah, menjadi pupuk bagi tanah. Di beberapa kebudayaan, tai cacing tanah
dipercaya sebagai obat keseleo.
Bahkan cacing tanah
sendiri dipercaya untuk obat tipes, sakit kuning, dan bahan
kosmetika. Cacing tanah pun mengandung kekuatan mistis. Jadi jangan
menyepelekan cacing tanah,” tuturnya.
Bagi Suklu, cacing
tanah menjadi spirit dalam berkesenian. Spirit kesabaran dan ketabahan dalam
mengolah alam dan menjaga kehidupan di bumi. Bahkan sebelum manusia menghuni
bumi, cacing tanah telah lebih dulu menjadi penghuni bumi. Tai-tai cacing tanah
itu sampai sekarang masih disimpannya, sebagai pengingat akan pentingnya
menjaga alam, dan menjadi spirit dalam berkesenian.
Begitu bermaknanya tai cacing tanah bagi Suklu, ketika
seniman jeprut asal Bandung, Wawan
S. Husin, sedang berulang tahun,
Suklu menghadiahinya sebongkah tai cacing tanah yang dibungkusnya dengan kasa. Wawan kaget
ketika membuka bungkusan itu. Wawan
tak menyangka Suklu begitu menghargai cacing tanah. Wawan kemudian
menuturkan kepada Suklu betapa pentingnya makhluk yang dianggap hina itu bagi kehidupan manusia. Tanpa diduga Wawan
langsung memakan tai cacing tanah itu. Tentu saja Suklu kaget. Tapi, itulah seni jeprut yang dipertontonkan Wawan di
hadapan Suklu. Seni jeprut yang ada, namun tiada, seperti
halnya kehidupan itu sendiri.
Kurang Membumi
Suklu adalah salah satu perupa
kontemporer yang diperhitungkan. Namun,
menurut Suklu, seni rupa kontemporer selama ini hanya
dipahami oleh segelintir orang. Seni rupa kontemporer kurang membumi.
“Perlu ditemukan metode yang jitu agar seni rupa kontemporer lebih membumi, sehingga bisa dinikmati khalayak luas. Agar seni rupa kontemporer tidak
hanya bersemayam di menara gading,” ujarnya.
Menurut Suklu,
sekarang ini banyak seniman diracuni oleh teori dan konsep yang dilontarkan oleh orang-orang yang berkepentingan terhadap si seniman, termasuk juga
kepentingan pasar. Menikmati proses berkesenian dan kesadaran untuk menuangkan ekspresi
pribadi telah
lama menghilang dari dunia
kesenian.
“Sekarang ini, banyak seniman mengejar hal-hal yang
artifisial dan sesuatu yang instan. Kesadaran untuk berdialog dan berkolaborasi juga
semakin berkurang di tengah hegemoni pasar,” tukas Suklu.
Penyuka Sastra dan
Penekun Orhiba
Selain suntuk sebagai perupa, Suklu juga punya minat yang besar pada
bidang sastra. Ketertarikannya pada dunia sastra telah terbit sejak masa
kanak-kanaknya. Dia suka menulis kata-kata
dan menyusunnya dalam bentuk puisi. Seringkali sketsa-sketsanya dibubuhi kata-kata
puisi, seakan-akan kosa-rupa tak cukup memadai mewakili kegelisahan batinnya.
Suklu memang perupa yang penikmat seni sastra. Mungkin
karena itu
pula banyak karya seni rupanya terkesan puitis, diciptakan dari intuisi,
menjelma menjadi bentuk-bentuk simbolik.
Ketertarikannya
pada dunia sastra pula yang membuat dirinya makin dekat dengan dunia intelektualitas, sehingga bacaannya
melebar pada buku-buku filsafat, antropologi, sosiologi dan kebudayaan secara
umum. Dari sana pula dia suka membuat atau membubuhkan sketsa-sketsa di
halaman-halaman buku sastra yang selesai dibacanya. Sastra dan seni rupa
baginya adalah refleksi berkesenian yang tentu saja penuh dengan
renungan-renungan kehidupan.
Modernitas telah membuat seniman terkotak-kotak.
Pelukis harus melukis. Sastrawan hanya boleh bersastra. Dan anehnya banyak
seniman yang terjebak dalam pengkotakan itu. Berbeda dengan seniman zaman renaisan yang bisa
melakukan banyak bidang dan desiplin seni, seperti Leonarda Da Vinci. Atau bisa
dilihat pada seniman Bali zaman dulu yang hidupnya tidak hanya untuk berkesenian. Seniman Bali zaman dulu lebih responsif
pada sekitarnya.
Bagi Suklu,
berkesenian tidak hanya untuk mengejar uang atau karya laku di pasaran.
Melainkan lebih pada proses berkesenian itu sendiri. Dia selalu gelisah untuk
menciptakan proses-proses baru dalam berkesenian yang dilakoninya. Berkesenian adalah suatu proses meditasi.
Suklu termasuk perupa yang sadar menjaga kesehatan jiwa dan raga. Selain
tidak merokok dan minum alkohol, sejak 1983 Suklu menekuni Olah Raga Hidup Baru
(Orhiba). Dengan meditasi, yoga asana, dan pranayama, Orhiba melatih tubuh, jiwa dan ruh untuk mencapai keharmonisan dan pencerahan dalam kehidupan. Ya, begitulah sisi lain Suklu, Sujana dari Klungkung ini.***
Denpasar, April
2011/Agustus 2012
(Sumber : katalog pameran tunggal Wayan Sujana Suklu, “The
Unseen Things”, 9 Desember 2012 – 9 Januari 2013, di Komaneka Fine Art Gallery,
Ubud, Bali)
No comments:
Post a Comment