Oleh : Wayan ‘Jengki’ Sunarta
(Putu Bonuz di depan lukisannya/foto Gus Wir) |
Jangan pernah mengapresiasi lukisan-lukisan
abstrak dengan logika. Sebab lukisan abstrak tak pernah menyimpan atau memberi
jawaban untuk memuaskan logika. Menikmati lukisan abstrak seperti memandang keindahan
alam. Ketika kita menatap sehampar laut yang tenang dan biru, atau panorama
pegunungan yang hijau sejuk, kita hanya akan terdiam dan merasakan keindahan
itu mengalir menjalari sel-sel tubuh kita. Di depan sehampar laut biru, tak
mungkin terlontar dari mulut kita pertanyaan bodoh, seperti: “apa artinya ini?”
Jadi, harus simpan baik-baik pertanyaan
“apa artinya ini?” ketika Anda sedang berada di depan sehampar lukisan abstrak.
Lukisan abstrak dibangun dari elemen garis, warna, tekstur, bidang, yang
membentuk komposisi. Komposisi itu bisa terlihat harmonis, atau sebaliknya
meneror batok kepala sehingga kita menjadi terganggu. Kenapa terganggu? Ya,
tentu saja bisa terganggu. Misalnya, kita tak suka warna merah, lalu kita
terpaksa berhadapan dengan lukisan abstrak yang dominan warna merah menyala.
Jelas kepala kita langsung puyeng.
Namun, tentu saja warna bisa dimaknai
melalui berbagai macam penafsiran. Elemen terpenting lukisan abstrak adalah
warna. Sebab warna adalah sesuatu yang paling mudah dilihat mata manusia yang
tidak mengalami penyakit buta warna. Dan setiap manusia memiliki selera warna
yang berbeda. Kesukaan pada suatu warna berkaitan dengan kepribadian manusia
itu sendiri. Misalnya, manusia yang enerjik dan agresif cenderung menyukai
warna merah, dan membenci warna kelabu. Manusia yang suka ketenangan dan
kedamaian, biasanya lebih menyukai warna biru.
(Putu Bonuz dan kolektornya/foto Gus Freddy) |
Lebih jauh lagi, warna juga berkaitan
dengan keyakinan pada hoki, feng shui, dan sebagainya. Warna bisa
juga menjadi simbol dengan makna yang berbeda-beda antara kebudayaan yang satu
dengan kebudayaan lainnya. Misalnya, dalam kebudayaan Barat, warna hitam adalah
simbol kematian dengan berbagai variannya. Sebaliknya, dalam kebudayaan Hindu
Bali, warna hitam adalah simbol Dewa Wisnu yang berkarakter memelihara
kehidupan.
Warna juga bisa dihubungkan dengan aura
dan getaran tujuh cakra mayor dalam tubuh manusia. Warna merah berkaitan dengan
cakra akar/dasar (muladhara) yang berada di pangkal tulang belakang. Oranye
berkaitan dengan cakra seks (svadhisthana). Kuning berada di cakra pusar
(manipura). Hijau adalah simbol cakra jantung (anahata). Biru berhubungan
dengan cakra tenggorokan (visuddha). Nila bercahaya di cakra mata ketiga (ajna)
yang berlokasi di dahi. Ungu menyala di ubun-ubun dan berkaitan dengan cakra
mahkota (sahasrara). Warna dan cakra itu memiliki fungsi masing-masing yang
berkaitan dengan tujuh lapisan tubuh, yakni tubuh fisik, emosi, mental,
intuisi, atma, monad, dan ilahi. Para ahli kundalini menyadari keberadaan tujuh
cakra ini dan mampu membersihkan serta mengendalikan tujuh lapisan tubuh itu. Dalam
hal ini, warna berkaitan dengan terapi atau teknik penyembuhan trauma fisik
maupun batin.
Begitulah. Warna sangat kaya dengan
simbol dan makna. Dalam kebudayaan Hindu Bali, warna berkaitan dengan
kepercayaan akan keberadaan Dewata Nawa Sanga,
sembilan dewa penjaga penjuru mata angin, yang mengendalikan kosmis agar tetap
harmonis. Di Timur bersthana Dewa Iswara dengan simbol warna putih. Di Timur Laut
adalah kekuasaan Dewa Sambu dengan warna biru. Di Tenggara adalah Dewa
Maheswara dengan warna dadu (merah muda). Di Selatan adalah kekuasaan Dewa
Brahma dengan warna merah. Di Barat Daya bersthana Dewa Rudra dengan warna
jingga. Di arah Barat, Dewa Maheswara dengan warna kuning. Di Barat Laut, Dewa
Sangkara dengan warna hijau. Di Utara adalah kekuasaan Dewa Wisnu dengan warna
hitam. Sedangkan di tengah adalah kekuasaan Dewa Siwa dengan warna brumbun (panca warna).
(Putu Bonuz dan putra kesayangannya/foto Gus Wir) |
Keberadaan manusia Hindu Bali tak bisa
dipisahkan dari Dewata Nawa Sanga itu. Sebab, selain berkaitan dengan
keberadaan sembilan pura besar yang wajib dikunjungi, juga berhubungan dengan
alam mikrokosmos (jiwa dan raga manusia). Segala jenis ritual/upacara Agama
Hindu Bali, termasuk di dalamnya konsep sosial-budaya, susastra (nyastra), dan
ajaran mistik (kebatinan), selalu berkaitan dengan ajaran Dewata Nawa Sanga. Di
Bali, konsep dan filosofis Dewata Nawa Sanga adalah manifestasi dari
keterkaitan atau harmonisasi makrokosmos dan mikrokosmos.
Sebagai seorang pemangku (pemimpin
ritual Hindu Bali) dan penekun spiritual, Putu Sudiana alias Bonuz tentu
memahami makna dan simbol warna-warna yang berkaitan dengan Dewata Nawa Sanga
itu. Maka tak heran jika dalam kebanyakan karya lulusan ISI Denpasar ini,
warna-warna bernuansa magis selalu menjadi pertimbangan penting dalam setiap
komposisi lukisannya. Kini, dalam proses perjalanan spiritualnya, Bonuz
berupaya memburu keharmonisan dengan mengeksplorasi warna hitam, merah, putih,
kuning, dan biru. Hal itu bisa kita simak dalam pameran tunggalnya yang
bertajuk “Harmoni”, yang digelar di Rumah Seni Maestro, Sanur, sejak 21
Desember 2012 hingga 21 Januari 2013.
Tentu saja sapuan-sapuan warna dalam
lukisan-lukisan Bonuz masing-masing mengandung makna tertentu. Dan, kita
sebagai penikmat hanya bisa memuaskan keingintahuan kita melalui penafsiran
yang bisa saja berbeda-beda. Jadi, selamat menikmati karya-karya Bonuz. Semoga
Anda mendapatkan pencerahan di dalamnya.
(sumber: katalog pameran tunggal Putu Sudiana Bonuz bertajuk "Harmoni")
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete