Teks dan Foto : Wayan Sunarta
(suasana pameran) |
Seni lukis gaya Batuan, Bali, telah
dikenal sejak tahun 1930-an, dengan ciri khas figur-figur menyeramkan dan warna
suram yang memenuhi bidang lukisan. Seiring perkembangan zaman, seni lukis
Batuan berkembang secara tematik. Namun, secara pasar, seni lukis Batuan yang
masih dikatagorikan seni lukis tradisional kalah bersaing dengan seni lukis
modern.
Berbagai upaya dilakukan untuk
membangkitkan kembali “kekuatan” seni lukis Batuan. Di antaranya adalah
membentuk komunitas, pameran bersama, menerbitkan buku, dan membangun museum
seni lukis Batuan di Desa Batuan, Gianyar, Bali.
Dalam hal komunitas, para pelukis Batuan
mendirikan Perkumpulan “Baturulangun”, yang diresmikan pada tanggal 1 Juli 2012.
Beranggotakan 80-an pelukis dari berbagai generasi. Bahkan, dalam perkumpulan
ini bergabung juga tiga pelukis perempuan. Ketua Baturulangun, Made Sujendra,
mengatakan perkumpulan ini dibentuk selain untuk mewadahi para pelukis Batuan,
juga untuk memotivasi generasi muda setempat agar kembali mencintai seni lukis
Batuan.
“Sekarang ini, banyak anak muda Batuan
lebih terpengaruh kesenian modern yang dikampanyekan televisi. Mereka kurang
memiliki kebanggaan pada seni lukis Batuan yang telah dikenal di manca negara
sejak zaman dahulu. Dengan adanya perkumpulan ini, kami memotivasi generasi
muda untuk kembali mencintai seni lukis Batuan,” tutur Sujendra.
(demo melukis di Arma Museum) |
Belajar seni lukis Batuan memang
cenderung sulit, memerlukan proses yang lama. Ada banyak tingkat kerumitan pada
saat melukis, karena memakai teknik seni lukis tradisional, seperti nyeket, nyigar, ngabur, dan
sebagainya. Hal ini yang membuat generasi muda yang ingin belajar melukis gaya
Batuan, cenderung putus asa di tengah jalan. Mereka akhirnya banyak beralih
membuat lukisan-lukisan yang mudah diserap pasar. “Maka, menurut kami,
perhimpunan ini menjadi sangat penting. Selain melestarikan seni lukis Batuan,
perhimpunan ini juga menjadi media kaderisasi,” kata Sujendra.
Menurut Sujendra, salah satu cara untuk
memotivasi para pelukis Batuan itu adalah dengan mengadakan pameran. ARMA
Museum, Ubud, menyambut keinginan luhur para pelukis Batuan. Dan, sejak tanggal
15 Desember 2012 hingga 15 Januari 2013, Perhimpunan Pelukis Baturulangun
Batuan, mengadakan pameran bersama di museum tersebut. Pameran ini diikuti oleh
72 pelukis dari berbagai generasi, di antaranya Wayan Bendi, I Made Cekeg, Gde Widyatara, Wayan Eka Mahardika, Made
Griyawan, I Dewa Putu Kantor, Wayan Gendra, Ketut Sadia, Made Sujendra.
Pada saat pembukaan pameran, sebuah buku
tebal berjudul “Inventing Art, The Paintings of Batuan Bali” yang ditulis oleh Bruce Granquist juga ikut diluncurkan. Bruce adalah
seorang ilustrator, fotografer, dan pelukis abstrak kelahiran Chicago, Amerika,
yang memiliki ketertarikan tersendiri pada seni lukis Batuan. Buku tersebut memuat kajian mendalam
tentang seni lukis Batuan, berkaitan dengan kecenderungan objek dan narasi
lukisan, struktur, warna, dan pola garis. Buku ini disusun selama tiga setengah
tahun berdasarkan riset terhadap 600-an lukisan Batuan yang dikoleksi oleh
seorang kolektor di Singapura. Selain itu, data-data juga dikumpulkan melalui
wawancara dengan sejumlah pelukis di Batuan.
Kebangkitan seni lukis Batuan dengan
terbentuknya Perhimpunan Baturulangun dan terbitnya buku yang disusun Bruce
merupakan suatu yang signifikan. Menurut Bruce, selama ini belum ada buku yang
membedah seni lukis Batuan dari segi struktur seni. Yang banyak beredar adalah
buku tentang sejarah seni Batuan yang bernuansa antropologis. Buku ini menjadi
sangat penting jika ingin mendalami seni lukis Batuan yang berkaitan dengan
struktur seninya.
Sujendra mengatakan, sebagaimana
kesenian lain di Bali, fungsi awal seni lukis Batuan adalah untuk kepentingan
relegi, untuk persembahan atau hiasan di pura. Namun, seiring perkembangan
pariwisata, seni lukis Batuan beralih ke fungsi pragmatis. Namun, dari dulu
hingga sekarang, kebanyakan pelukis Batuan tidak mengandalkan seni lukis
sebagai sumber penghasilan mereka. Rata-rata mereka memiliki profesi sampingan,
seperti petani, tukang bangunan, guru, guide, makelar, buka warung, dan
sebagainya. Melukis bagi mereka adalah hobi, profesi, eksistensi sosial.
“Jika hanya mengandalkan penjualan
lukisan, tentu kami kewalahan secara ekonomi. Sebab, cukup sulit menjual
lukisan jenis tradisi, kecuali dijual dengan harga obral. Namun, ada juga satu
dua pelukis yang kehidupannya sukses dari menjual lukisan gaya Batuan,” kata
Sujendra.
(Bruce dan bukunya) |
Sementara itu, Bruce menarik kesimpulan
bahwa tradisi seni lukis Batuan baru muncul sejak tahun 1930-an. Menurut Bruce,
jika mengacu pada sejarah seni rupa dunia, seni lukis Batuan lebih modern
ketimbang kubisme. Meski, secara teknik, seni lukis Batuan masih menggunakan
teknik tradisional. Namun, secara tematik telah berkembang ke arah modern
dengan cirri-ciri khas individu pelukisnya masing-masing.
“Secara perspektif, seni lukis Batuan
lebih dinamis ketimbang perspektif seni lukis Barat. Seni lukis Batuan tak ada
fokus. Sebab semua objek muncul secara serentak. Tak ada hubungannya dengan
waktu. Atau seperti berada di luar waktu. Objek-objek seni lukis Batuan seperti
fragmen-fragmen yang ditempel begitu saja di sebidang kanvas,” ujar Bruce.
Pada tahun 1930-an, Walter Spies dan
Rudolf Bonnet muncul membawa ilmu perspektif Barat. Para pelukis Batuan era
awal, tak begitu terpengaruh dengan perpektif Barat. Justru Spies dan Bonnet
yang banyak menyerap inspirasi dari seni lukis Batuan. Namun, dibandingkan
dengan era 1930-an awal, kini secara tematik seni lukis Batuan telah banyak
bergeser. Dari tema-tema magis dan mistis seperti barong, leak, rangda, menjadi
tema-tema keseharian, bahkan berbau kontemporer, seperti pesawat terbang,
mobil, dll.
Sungguh menarik kiranya penulis bisa meneliti Data lama krn ada pelukis Batuan ( Ida Bagus Njoman Boen-alm) yg ikut Pitamaha dan berpameran bersama Seniman 2 lainnya (Kriya,Patung) di Batavia.
ReplyDelete