Oleh: Wayan ‘Jengki’ Sunarta
(suasana pameran) |
Sebagai kawasan pariwisata
internasional, seperti halnya Sanur dan Ubud, eksistensi Kuta tak bisa
dilepaskan dari peran seni rupa. Hingga saat ini, Kuta masih tercatat sebagai
salah satu pusat perdagangan karya-karya seni rupa, baik lukisan maupun kriya.
Hal itu diperkuat lagi dengan kehadiran galeri-galeri seni rupa yang lebih
memosisikan diri sebagai tempat “jualan.” Di Kuta, seringkali sulit membedakan karya-karya
seni rupa kodian (kelas artshop) yang cenderung berbaur dengan karya-karya yang
menjunjung pencapaian ekspresi dan estetika.
Dalam terminologi seni rupa di Bali,
Kuta seperti rantai putus, tak memiliki akar tradisi dan sejarah yang kuat. Hal
inilah yang membuat Kuta sulit diposisikan dalam sejarah seni rupa di Bali,
seperti Sanur, Ubud, Kamasan. Kuta adalah desa nelayan yang tumbuh dan
berkembang pesat menjadi kawasan urban dan pariwisata. Karena daya tarik
dollar, para pekerja seni berdatangan dari berbagai daerah dan mencoba mengadu
peruntungan di Kuta. Tujuannya jelas, yakni melarutkan diri dalam
komersialisasi seni dan menjadikan Kuta sebagai batu pijakan untuk “go
internasional”.
Namun, di tengah-tengah pusaran
komersialisasi seni itu, bermunculan pula perupa-perupa yang masih setia
mengabdikan diri di jalur ekspresi dan estetika, tanpa begitu memperdulikan
urusan “untung-rugi”. Para perupa tersebut mungkin dengan heroik menanamkan
semacam kredo dalam jiwanya bahwa menjadi perupa adalah panggilan hati atau pilihan
hidup yang mesti dijalani dengan berbagai resikonya.
Syahdan, sejumlah perupa merasa gelisah
dengan kondisi Kuta yang terlalu sibuk dengan hiruk pikuk pariwisata dan
komersialisasi seni, namun miskin apresiasi terhadap kegiatan kesenian yang
berada di luar jalur mainstream. Para
perupa itu berkumpul di Zoom Art Gallery, sebuah oase seni yang secara resmi
berdiri tanggal 7 Desember 2012, yang berlokasi di Pengubengan Kauh, Kerobokan,
Kuta Utara. Zoom Art menjadi ruang apresiasi dan komunikasi para seniman Kuta
dari berbagai suku, ras, agama, dan status sosial. Zoom Art menjadi basis untuk
melakukan berbagai kegiatan seni, seperti workshop seni lukis untuk pemula dan
anak-anak, latihan musik, teater, diskusi seni, dan pameran rutin. Dari Zoom
Art itu muncul niat luhur untuk melakukan upaya revitalisasi atau membangkitkan
kembali semangat berkesenian yang memudar di kawasan Kuta.
Pameran bertajuk “Suara Jiwa Kuta” ini
adalah salah satu bentuk upaya revitalisasi tersebut. Pameran yang berlangsung
dari 21 Desember 2012 hingga 11 Januari 2013 ini diikuti oleh sembilan pelukis,
yakni Artanto Sapto Nugroho (Sintong), Achmad Pandi, Srinaryo, Herry Yahya
Budiantoro (Yayak), Ricky Karamoy, I Made Bhakti Wiyasa, Basugiart, Heru
Setiawan, dan Marthin Sitepu. Sebagian besar dari mereka adalah perupa otodidak
yang menimba ilmu dari pengalaman dan kehidupan. Hanya tiga perupa yang pernah
mengenyam pendidikan seni rupa secara akademis. Namun, mereka semua telah kenyang
mengecap manis-pahit berkesenian di kawasan Kuta. Mereka tetap memelihara
semangat militan dalam berkesenian. Itu pula sebabnya mereka masih terus
bertahan sebagai perupa, meski berada di pinggiran mainstream seni rupa Bali.
Pameran ini sengaja tidak diikat dalam
tema tunggal. Mereka bebas melukis apa saja yang menjadi pusat perhatian dari
kegelisahan jiwa mereka. Maka, yang terbaca dari karya-karya mereka adalah
berbagai rupa persoalan, seperti krisis identitas, gender dan feminisme, kehancuran
alam, kearifan lokal, pengalaman pribadi, hingga nasionalisme. Bisa dikatakan, mereka
menjadi semacam perwakilan dari suara-suara jiwa (seniman) Kuta, yang
merindukan apresiasi dan semangat berkesenian terus bermekaran di kawasan
“kampung internasional” itu. Selanjutnya, mari kita simak satu per satu
berbagai bentuk kegelisahan mereka.
(suasana pameran) |
Persoalan identitas tercermin pada
lukisan “Mukaku-Mukamu” karya Basugiart. Dia mengeksplorasi ekspresi wajah
dalam dua puluh panel lukisan. Bagi Basugiart, wajah adalah jejak yang tak
terbatas. Namun, di sisi lain, wajah adalah soal identitas yang di zaman
kontemporer ini banyak diseragamkan melalui iklan dan pencitraan produk-produk
kecantikan. Soal “cantik”, misalnya, bukan lagi menjadi suatu kepribadian atau
fisik yang khas atau unik, melainkan hasil bentukan atau cetakan iklan. Lukisan
ini merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap penyeragaman wajah. Sebab
sebenarnya wajah adalah suatu identitas yang khas darimana kita mampu mengenal
satu sama lain.
Pembauran berbagai elemen seni,
sehingga melahirkan budaya kontemporer diungkapkan Srinaryo melalui lukisan
“Kuta Karnival”. Seni modern dan tradisi, menyatu dan bisa dinikmati secara
serentak dalam suatu perayaan karnival. Namun, tak hanya pada event Kuta
Karnival, justru karnival yang sebenarnya terjadi dalam proses menjalani
kehidupan ini, mulai dari lahir, menjadi dewasa, lalu mati. Menjalani kehidupan
adalah mengalami perayaan demi perayaan.
Di Indonesia, semangat
nasionalisme telah semakin memudar, terutama di kalangan generasi muda. Banyak
generasi muda tak bangga lagi mengosumsi produk dalam negeri. Bahkan mereka
merasa telah menjadi manusia modern hanya dengan mengosumsi makanan sampah
sejenis Mac Donald atau KFC. Melalui lukisan “N.K.R.I”, Pandi menggambarkan
semangat nasionalisme yang masih membara di kalangan generasi tua. Lukisan
ironis ini seakan meneriakkan sinisme di tengah krisis nasionalisme yang
melanda generasi muda.
Kearifan lokal seringkali menjadi
mata air inspirasi bagi banyak seniman modern maupun kontemporer. Salah satu
contohnya adalah lukisan Sintong yang berjudul "Magic Pixel". Lukisan
ini terinspirasi dari proses kerja para penenun dan penganyam tradisional,
terutama proses mengharmoniskan gerakan vertikal dan horisontal. Garis
horizontal melambangkan hubungan antara manusia dan alam. Sedangkan garis vertikal mewakili hubungan antara manusia
dan Sang Pencipta. Hal ini sesuai dengan konsep dan filosofi Tri Hita Karana
yang menjadi salah satu landasan dalam memahami kebudayaan Bali. Namun, secara
sepintas, karya-karya Sintong juga menyerupai kuadrat piksel dalam fotografi
digital modern.
Persoalan gender diungkapkan oleh Yayak melalui lukisan “Cerita dari Sebuah
Dunia yang Dibisukan”. Yayak mengamini pendapat para feminis, bahwa ideologi gender merupakan realitas yang
dihegemoni kaum lelaki. Dalam ideologi ini, kaum perempuan hanya subordinat.
Ideologi gender berkaitan dengan
ideologi patriarkhi yang hegemonik, yang menyebabkan kaum perempuan lebih
sering terancam berbagai bentuk penindasan dan eksploitasi. Mistifikasi
perempuan sebagai manusia kelas dua telah melembaga dalam mitos, sosial, budaya,
agama, negara, dan berlangsung secara historis dalam bentangan waktu yang cukup
panjang. Wacana untuk mewujudkan keadilan gender
telah banyak disuarakan oleh kaum feminis. Kaum perempuan menolak sebagai obyek,
melainkan harus menjadi subyek yang "bicara". Hal itulah yang ingin
disampaikan Yayak melalui lukisan yang simbolik ini.
Namun, di sisi lain, Bhakti
Wiyasa masih menganggap bahwa perempuan adalah sumber keindahan. Dalam karyanya
yang berjudul “Real Absolutely”, secara simbolik dan paradoks, dia
menyandingkan sensualitas tubuh perempuan dengan sepatu lars tentara. Di sini
keindahan berpadu dengan kekuasaan (kekerasan). Bahkan, dalam lukisan tersebut
tampak wajah perempuan itu tertutup baju. Atau mungkin perempuan itu dengan
terpaksa membuka bajunya di bawah ancaman kekerasan (lelaki). Bagi Bhakti,
dualitas selalu membayang-bayangi kehidupan manusia, seperti keindahan dan
keburukan, kelembutan dan kekerasan, dan sebagainya.
Persoalan krisis ekologi menarik
perhatian Heru Setiawan. Melalui lukisan simbolik “Pawang Iwak”, Heru
mengungkapkan keprihatinannya atas berbagai bentuk pencemaran alam. Banyak
manusia tak lagi peduli dengan kelestarian alam. Mereka lebih suka memerkosa
alam beramai-ramai, ketimbang membagi kasih sayang kepada alam. Bukti dan data
kehancuran alam akibat keserakahan manusia tentu sudah sangat banyak. Melalui
lukisan ini, Heru ingin mengimbau kita untuk kembali bersahabat dengan alam,
agar tercipta keharmonisan dalam menjalani kehidupan di bumi ini.
Marthin Sitepu adalah sosok pelukis yang
seakan menenggelamkan dirinya dalam tarian warna di kanvas. Dia berupaya
menggali corak baru dalam keragaman seni rupa dan warna kehidupan. Hal itu
terlihat dalam lukisan abstraknya yang berjudul “Mengamati Kehidupan”.
Permainan warna di lukisannya seperti menjelma kerumunan roh cahaya yang tak
henti menari, demi menyatukan kerinduan pada Sang Maha Cahaya.
Sementara itu, Ricky Karamoy mengeksplorasi
pengalaman pribadinya ketika menderita sakit paru-paru dan sempat menjalani
operasi yang berat. Lukisan berjudul “Sakit Paru-paru” ini menjadi semacam
kenangan terhadap penderitaannya itu. Ricky menampilkan gunungan/kayon (ikon
pewayangan), yang di dalamnya tampak gambar belahan paru-paru, jantung,
urat-urat darah, mata melotot, mulut, belut, dan wajah-wajah manusia yang
berserakan. Dia seakan ingin mengatakan bahwa kehidupan ini tak lebih dari
sekadar permainan, dimana manusia sendiri tak paham kapan awal kapan akhirnya. Warna-warna
cerah dalam lukisannya mengisyaratkan bahwa kehidupan harus tetap dijalani,
meski dalam kondisi sakit paru-paru.
Begitulah. Pameran “Suara jiwa Kuta” ini
adalah semacam refleksi terhadap berbagai rupa persoalan yang sedang dihadapi
manusia. Melalui karya-karya sembilan perupa ini, kita bisa menggali renungan
bahwa seni dan kehidupan adalah dua hal yang layak diapresiasi dan dihargai. Sehingga
kita menjadi lebih lengkap dalam menjalani hidup sebagai manusia yang
berbudaya.
(sumber: katalog pameran "Suara Jiwa Kuta")
No comments:
Post a Comment