Oleh Wayan ‘Jengki’ Sunarta
(akar muda....) |
Siapa yang pantas disebut pahlawan?
Pahlawan bukan hanya orang-orang yang ikut berjuang melawan penjajah, seperti
yang dipahami masyarakat awam. Konsep “pahlawan” tentu bisa menjadi sangat
luas. Sebutan “pahlawan” layak juga diberikan kepada, misalnya, pelacur yang
berjuang menghidupi anak-anaknya, preman yang menyelamatkan seorang gadis dari
pemerkosaan, atau seekor anjing yang menyelamatkan majikannya dari gigitan
kobra. Deretan contoh ini akan menjadi sangat panjang untuk memasukkan siapa
saja yang bisa dikatagorikan sebagai pahlawan.
Semangat kepahlawanan bisa muncul dalam
diri siapa saja, bisa hadir di mana saja. Sesungguhnya, setiap manusia
mengandung benih-benih kepahlawanan dalam jiwanya, seperti keikhlasan untuk
berkorban, keberanian melawan penindasan, dan sebagainya. Tentu menjadi soal
lain, apakah benih-benih itu mau dipupuk dan dipelihara, atau malah diberangus
sehingga yang muncul adalah sifat-sifat egois sempit yang hanya mementingkan
diri sendiri.
Pameran bertajuk “Restart Point” yang
digelar di Hitam Putih Artspace, Sangeh, Badung, sejak tanggal 15 hingga 25
November 2012, merupakan sebuah pameran bersama. Mengangkat tema spirit
kepahlawanan dengan penjabaran yang sangat luas dalam bentuk-bentuk karya seni
rupa. Restart Point merupakan gerakan kecil untuk meningkatkan kepekaan agar
muncul kesadaran hidup untuk melanjutkan nilai-nilai terdahulu. Pameran ini
dimaksudkan untuk memperingati Hari Pahlawan yang jatuh setiap tanggal 10
November.
Akhir-akhir ini, Hari Pahlawan hanya dimaknai
sebagai seremoni yang formal, seperti upacara bendera, nyekar ke taman makam pahlawan. Sangat jarang yang mau
sungguh-sungguh menghayati dan melaksanakan nilai-nilai kepahlawanan dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini juga banyak menimpa generasi penerus bangsa yang semakin
mengalami pendangkalan-pendangkalan dalam menjalani kehidupannya.
Pameran ini diikuti oleh 12 perupa muda
yang tergabung dalam kelompok “Akar Muda” yang baru didirikan pada tanggal 1
Oktober 2012. Para “Akar Muda” itu adalah A.A. Gede Agung Jaya Wikrama,
Winarto, Jevi Albaniadi, Ratih Sintya Dewi Pinatih, I Wayan Sudanta, Jin
Diragandi, I Made Adi Putra Sentana, Pande Wayan Sugiarta, Luh Gde Fridayanti,
M.Hilal Fachrazi Harahap, I Made Badung, I Ketut Budiarta.
(melihat lukisan akar muda) |
“Akar Muda” adalah sebuah simbol, sebuah
gerakan yang siap mewarnai wacana seni rupa kontemporer di Bali dan luar Bali.
Pameran perdana ini adalah sebagai suatu bentuk perkenalan, sekaligus unjuk
kekuatan para “Akar Muda” sesuai dengan kemampuan dan kualitas karya mereka
masing-masing. Bagaimana pun juga mereka masih berproses untuk menjadi “akar
yang kuat”.
Dengan kemampuan olah imajinasinya, para
“Akar Muda” ini berupaya merefleksikan nilai-nilai kepahlawanan itu secara
subjektif dan kreatif. Karya-karya mereka menampilkan berbagai rupa persoalan
yang terjadi di dalam kehidupan berbangsa saat ini. Dalam sejumlah karya,
mereka melancarkan kritik sekaligus otokritik. Sebab sekecil apa pun, langsung
atau tak langsung, mereka sebagai generasi penerus bangsa telah melihat,
mengamati, terlibat, atau mungkin menjadi korban dari persoalan-persoalan yang
menimpa bangsa ini.
Meski dipayungi satu tema besar, secara teknik
karya-karya mereka tampak mengikuti aliran-aliran yang telah mapan dalam seni
rupa dunia, seperti realisme, naivisme, surealisme, dekoratif, teknik distorsif,
deformatif, dengan berbagai variannya. Hal ini menunjukkan betapa beragamnya
aliran yang diyakini para “Akar Muda” ini dalam menjalani proses berkesenian
mereka. Selain itu, mereka merenungi dan memaknai nilai-nilai kepahlawanan itu
melalui ikon-ikon, simbol-simbol, dan bahasa rupa yang juga beraneka ragam,
yang digali dari ranah tradisi maupun kontemporer.
Dalam karya-karya mereka, nilai-nilai kepahlawanan
diberi muatan baru yang dikaitkan dengan berbagai persoalan sosial, budaya,
ekologi, bahkan relegi. Winarto mengaitkan nilai-nilai kepahlawanan dengan
dominasi kapitalisme global, seperti terlihat dalam lukisan “Perspektif
Pertarungan Ruang”. Persoalan ekonomi (uang) yang dikaitkan dengan semangat
kepahlawanan dan kasih sayang dalam keluarga tampak pada karya I Wayan Sudanta,
berjudul “Jangan Ambil Uangku”. Persoalan kisruh sepak bola di Indonesia
menginspirasi I Made Adi Putra Sentana untuk melukiskan memudarkan nilai-nilai
nasionalisme dan kepahlawanan dalam jati diri bangsa, seperti terlihat dalam
lukisan “Lucunya Sepakbolaku”.
Dengan gaya naivisme, Ratih Sintya Dewi
melukiskan keinginan berkorban, atau menolong orang lain, seperti tercermin
pada karya parodinya yang berjudul “Di antara Super R”. Sementara itu, “Bermain
Perang-perangan”, sebuah lukisan naivisme karya Fridayani, mengingatkan kita
pada permainan masa kanak yang dilatari semangat heroisme. Di sisi lain, lukisan “The Journey” karya
M.Hilal Fachrasi Harahap menggambarkan perjalanan sejarah kepahlawanan dalam
konteks perang mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan RI.
(akar tua dan akar muda) |
Pembelaan terhadap permainan rakyat,
folklore, kearifan lokal, atau hal-hal yang berkaitan dengan budaya bangsa bisa
disimak pada karya Albaniadi yang berjudul “Dolanan”. Hal yang senada juga
terlihat dalam lukisan berjudul “Cerita Sang Kakek” karya I Ketut Budiarta. Persoalan
memori tubuh, pertarungan budaya tradisional dengan gaya hidup modern, yang
mengakibatkan manusia berada di persimpangan zaman, diungkapkan dengan teknik
distorsif dalam lukisan “Hot Periode” karya A.A. Gde Agung Jaya Wikrama.
Sementara itu, melalui lukisan berjudul
“Terjebak”, Pande Wayan Sugiarta memakai simbol ikan yang terperangkap dalam
keranjang untuk mengilustrasikan nilai-nilai kesederhanaan yang terjebak dalam
arus modernisasi. Gaya hidup modern yang mengusung pragmatisme dengan caranya
sendiri telah menggerus nilai-nilai kepahlawanan, kerelaan berkorban yang tanpa
pamrih itu. Hal senada juga disampaikan I Made Badung lewat lukisan “Semangat
yang Tak Pernah Padam”. Dia memakai simbol sapi untuk menggambarkan semangat
berkorban. Di sisi lain, persoalan kemerosotan moral, pudarnya nilai-nilai
kepahlawanan di zaman sekarang ini, dilukiskan dengan surealistik oleh
J.Diragandi melalui karya berjudul “Menuju Kenikmatan Terlarang”.
Pameran “Restart Point” para “Akar Muda”
ini patut diapresiasi. Bukan saja karena semangat mereka dalam berkarya dan
upaya mereka menjelajahi berbagai kemungkinan estetika. Namun juga karena
tematik nilai-nilai kepahlawanan yang dimaknai ulang atau pun dipertanyakan
dalam konteks zaman kekinian, seperti tercermin dalam karya-karya mereka.
Kepahlawanan bukan hanya monopoli para pejuang atau veteran perang. Namun,
semangat kepahlawanan ada dalam diri setiap insan, seperti benih cinta yang
siap tumbuh dan berkembang dalam jiwa. Dan, tentu saja, perlu proses untuk
menyadari dan menjalaninya.***
(sumber: katalog pameran "Restart Point")
No comments:
Post a Comment