Oleh : Wayan Sunarta
(suasana pameran/foto Gus Wir) |
Sejak zaman kerajaan, Kepulauan
Nusantara telah tersohor hingga manca negara sebagai kawasan yang penuh dengan
harta karun. Itu karena kekayaan alam yang sangat melimpah, seperti hasil
tambang (emas, perak, permata, dll), hasil pertanian dan perkebunan
(rempah-rempah, dll). Harta karun yang melimpah inilah menyedot perhatian
negara-negara lain untuk menguasai Nusantara.
Para pelaut dan saudagar Portugis,
Inggris, Belanda melakukan pelayaran hingga berbulan-bulan untuk mencapai
Nusantara. Niat awal mereka adalah mencari rempah-rempah (terutama buah Pala).
Namun, melihat kekayaan alam Nusantara yang melimpah, kerakusan mulai
menghinggapi hati mereka. Terjadilah pertikaian hingga peperangan, baik dengan
kerajaan-kerajaan yang menguasai Nusantara maupun dengan negara lainnya. Mereka
berlomba-lomba ingin menguasai kawasan Nusantara. Satu demi satu pusat-pusat
harta karun jatuh ke tangan Portugis, Inggris, Belanda.
Salah satu pusat perhatian dan yang
menjadi rebutan mereka adalah biji pala (Myristica fragrans). Pada masa
itu, pala menjadi komoditi terpenting dalam perdagangan dunia, bahkan sejak
zaman Romawi. Demi kepentingan menguasai perdagangan pala, Belanda bahkan mengambil
keputusan membarter New Amsterdam dengan Pulau Rhun. New Amsterdam adalah
sebutan untuk Pulau Manhattan (bagian Kota New York) yang berlokasi di sebelah
selatan ujung Sungai Hudson, yang dikuasai Belanda pada tahun 1624. Sementara
itu, Pulau Rhun adalah sebuah pulau kecil dengan panjang 3 km dan lebar 1
km, yang berlokasi di Kepulauan Banda, yang
saat itu dikuasai Inggris. Pulau Rhun adalah penghasil buah pala terbesar dan
menjadi rebutan dunia.
Barter pulau itu dilakukan untuk
menyelesaikan konflik Belanda dengan Inggris. Dituangkan dalam Perjanjian Breda
(Treaty of Breda) yang ditandatangai pihak Belanda dan Inggris di Kota Breda,
Belanda, pada tanggal 31 Juli 1667. Bisa dibayangkan, pada masa itu, nasib
Pulau Manhattan sangat tergantung pada biji-biji pala yang tumbuh di Kepulauan
Banda. Dari sana kita bisa merenungi betapa berharganya rempah-rempah dari Kepulauan
Nusantara.
(perempuan dan karya Wianta/foto Gus Wir) |
Untuk mengenang barter pulau itu, perupa
serba bisa berkelas internasional, Made Wianta, menggelar pameran seni
instalasi bertajuk “Treasure Islands”. Pameran bernuansa ironi yang dibuka
dengan fashion show itu berlangsung di Gaya Art Space, Sayan, Ubud, Bali, sejak
15 Desember 2012 hingga 15 Desember 2013. Wianta memajang sekitar 50-an kulit
kerbau yang ditusuk ratusan paku baja dan ditempeli mosaik-mosaik kaca yang
berkilauan. Tak hanya di dinding, kulit-kulit kerbau itu juga bergelantungan di
ruang pameran, membetot perhatian hadirin.
Menurut Wianta, lembaran-lembaran kulit
kerbau yang bergurat dan bertekstur itu dimaksudkan sebagai simbol permukaan
bumi atau Kepulauan Nusantara. Mosaik-mosaik kaca yang berkilauan adalah simbol
harta karun yang sejak zaman kerajaan telah menarik perhatian negara-negara
asing untuk berekspansi ke kepulauan Nusantara. Sedangkan paku-paku baja itu
adalah simbol ketajaman pikiran dan kemauan keras untuk mengolah harta karun
itu.
Wianta kemudian membenturkan
simbol-simbol kepulauan Nusantara itu dengan lampu-lampu disko yang
kerlap-kerlip, musik dugem dan adegan fashion show dari sejumlah model berkelas.
Kerlap-kerlip lampu disko dan fashion show itu adalah simbol dari gemerlap kota
New York yang pernah ditukar dengan Pulau Rhun.
Kini, Pulau Manhattan dengan New
York-nya tumbuh menjadi salah satu kota metropolitan terpenting di dunia.
Sementara itu, Pulau Rhun tak dikenal luas, bahkan merana dalam kesepiannya.
Padahal sejarah mencatat, pada masanya, Pulau Rhun adalah pusat penghasil pala
terbesar dan menjadi rebutan para penguasa dunia. Pada titik inilah muncul rasa
keprihatinan Wianta terhadap nasib Indonesia ke depan.
Wianta menekankan bahwa kita sebagai
bangsa yang berdaulat dengan kekayaan alam melimpah semestinya mampu bersaing
di tingkat internasional, tidak minder ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa
lain di dunia. Yang diperlukan bangsa ini adalah ketajaman pikiran dan
kemampuan mengolah sumber daya alam yang melimpah sehingga berguna bagi
kemakmuran rakyat Indonesia. Namun, yang terjadi sekarang adalah Indonesia
tetap saja masih menjadi bulan-bulanan negara asing, menjadi pelengkap
penderita dalam konteks neoliberalisme atau perdagangan bebas.
(suasana pameran Wianta/foto ? ) |
Ide seni instalasi yang ditampilkan
Wianta kali ini, telah muncul ketika dia mengikuti Pra Olimpiade di Athena,
Yunani pada tahun 2003/2004. Dari berbagai perbincangan dengan teman-teman
sejawatnya, terbersit pemikiran tentang bagaimana meningkatkan harkat dan
martabat bangsa Indonesia. Bahwa sejak zaman dulu, karena kekayaan alamnya, Kepulauan
Nusantara sangat bernilai di mata dunia.
Pada tahun 2009, Wianta mengikuti
pameran di sebuah galeri di Amsterdam dan bertemu dengan Robert van Den Boos
dan Helena Spanyar. Mereka sangat mendukung ide mengenang “barter pulau” itu
dan mengusulkan proyek teater dan seni instalasi. Baru-baru ini, Wianta
diundang sebagai dosen tamu di College of Holy Cross, Worcester, Massachusetts.
Wianta mendapat kesempatan untuk meneliti pulau-pulau di sekitar Manhattan dan
mempersiapkan konsep-konsep karya seni instalasi dan pementasan teater tentang
Pulau Rhun.
Ke depan, Wianta akan terus menggarap
proyek-proyek kesenian berkaitan dengan perayaan pertukaran Pulau Rhun dengan Pulau
Manhattan. Proyek jangka panjang itu akan dituangkan dalam bentuk seni instalasi,
teater dan buku. Dan, pada tahun 2017, peristiwa barter pulau itu (The Treaty
of Breda) memasuki usia 350 tahun. Kita tunggu saja gebrakan Wianta selanjutnya.
No comments:
Post a Comment