Labels

Saturday, 24 December 2011

Entitas Mengritisi Bali

- Tulisan di Katalog Acara  "Entitas Nurani # 2" yang berlangsung di Gedung Kriya, Taman Budaya Bali, 23 Desember 2011 hingga 6 Januari 2012 -


Oleh : Wayan ‘Jengki’ Sunarta


Dan Bali,
dengan segenap kesenian,
kebudayaan, dan alamnya,
harus bisa diringkaskan,
untuk dibungkus dalam kertas kado,
dan disuguhkan pada pelancong.
…….
Di Bali :
pantai, gunung, tempat tidur dan pura,
telah dicemarkan
 
(Sajak Pulau Bali, WS Rendra, 23 Juni 1977)


(Made Kaek, Gubernur Bali Mangku Pastika, dan Wayan Redika saat pembukaan pameran)
Dalam acara pembukaan “Entitas Nurani #1” yang digelar tanggal 31 Mei 2008 di Gedung Kriya, Taman Budaya Bali, Made Mangku Pastika menorehkan komitmennya di sebidang kanvas: “Strategi budaya harus menjadi acuan dalam menuju Bali Mandara: Maju, Aman, Damai, Sejahtera.” Komitmen ini adalah salah satu jargon andalan yang dilontarkan Mangku Pastika dalam upaya politik pencitraan, yang tujuannya tentu meraup dukungan masyarakat seluas-luasnya. Sejarah kemudian mencatat, Made Mangku Pastika dinobatkan sebagai Gubernur Bali lewat sistem pemilihan langsung.

Seperti biasa, masyarakat Bali menaruh begitu banyak harapan dan impian di pundak dan benak gubernur yang baru terpilih. Tidak hanya harapan dan impian dari kalangan seniman dan budayawan, melainkan juga dari industri pariwisata, lembaga pendidikan, lembaga adat, pers, dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan Bali. Sementara itu, harapan dan impian rakyat jelata mungkin dianggap angin lalu, sebab tak memiliki akses langsung pada jejaring kekuasaan.

Friday, 2 December 2011

Yudane: Dari Sunyi ke Bunyi, Mengolah Jati Diri


oleh : Wayan Sunarta

(Wayan Gde Yudane)
Dikenal sebagai pembangkang, tetapi tak berarti ia sombong. Menggandrungi new music, tetapi bukan lantas ia anti tradisi. I Wayan Gde Yudane, lahir di Banjar Kaliungu Denpasar, tersohor selaku komposer, mengolah bunyi menegaskan jati diri, dikagumi di bumi sendiri dan tentu disegani pula di luar negeri.
Yudane memang sosok yang selalu gelisah untuk terus berupaya mencari dan menggali berbagai kemungkinan baru dalam aliran seni musik yang digelutinya. Suka mendebat dosen, tidak pernah puas pada materi kuliah yang diberikan. Suka menciptakan garapan-garapan nyleneh, seperti "Laya"(1991), yang melahirkan pro dan kontra saat digelar.
         Kebandelan dan kegigihan itu membuahkan hasil, kini ia menjelma seorang komposer yang memiliki segunung pengalaman dan penghargaan. Undangan konser, menjadi pengajar, pembicara dan berkolaborasi dengan beberapa tokoh  new music, berdatangan dari berbagai negara. Paris, Munchen, Switzerland, Adelaide, Melbourne, Sydney, London, Genewa, Brussel, New Zealand, dan beberapa kota besar lainnya bukan  sekali dua kali menggelar karyanya. Meski telah menjelma komposer kaliber internasional, Yudane tetaplah orang Bali yang selalu tampil bersahaja dan memiliki kemauan keras untuk terus belajar.

Wednesday, 9 November 2011

Wirawan, Garap Persoalan Sosial


Teks dan foto Wayan Sunarta


Wayan Wirawan termasuk salah satu pelukis muda yang memiliki kepedulian terhadap berbagai permasalahan ekologi, sosial dan politik. Visual dan konsep karyanya selalu berubah sesuai dengan isu-isu yang sedang berkembang. Dia tidak pernah terikat pada suatu kecenderungan tematis tertentu. “Tema favorit saya kebanyakan persoalan ekologi dan sosial,” ujarnya.

Tuesday, 8 November 2011

Petarung dan Sebuah Nama


(Tulisan pengantar pameran tunggal Made ‘Romi’ Sukadana, bertajuk “Sebuah Nama”, di Ten Fine Art Gallery, Sanur, 27 Desember 2009 – 10 Januari 2010)


Oleh: Wayan Sunarta 


(Demi Sebuah Nama, karya Romi Sukadana)
Penyair dan dramawan legendaris Inggris, William Shakespeare, pernah melontarkan sekelumit kalimat terkenal dalam naskah dramanya, Romeo and Juliet. Kalimat beraroma eksistensialis itu mengandung setengah pernyataan, setengah pertanyaan: “Apalah artinya sebuah nama?”  
Namun, bagi I Made “Romi” Sukadana, sebuah nama sangatlah berarti. Hakikat nama mengandung pencarian jati diri, perjuangan, pertahanan, reputasi, doa, harapan dan kebanggaan. Dalam pengertian luas, nama seringkali berkaitan dengan identitas dan eksistensi diri. Ada pertarungan dan pertaruhan di sana. Tentu saja sebagai pelukis, selain nama, yang diadu dan dipertaruhkan adalah kepiawaian menciptakan karya-karya bernas, yang dikenang sepanjang masa. Dan, nama si pelukis akan tercatat dengan tinta emas dan memperoleh pengakuan luas dalam dunia kesenian. Sebagian besar pelukis tentu mengharapkan hal itu.

Transformation: Antara Harapan dan Kegamangan


(Tulisan pengantar pameran tunggal Anthok S. bertajuk “Transformation”, di HitamPutih Art Space, Sangeh, Bali, 28 Oktober – 28 November 2010)



Oleh: Wayan Sunarta*


(Anthok dan Wayan Sunarta, saat pembukaan pameran Transformation)
Lukisan-lukisan Anthok kebanyakan berkisah tentang perubahan (transformation), suatu kondisi alamiah yang sering dialami manusia. Ada banyak faktor yang memengaruhi perubahan. Seperti keinginan untuk maju atau menggapai masa depan yang lebih baik, bosan dengan suatu rutinitas, mencari atau mencoba pengalaman baru, tidak puas dengan yang telah dimiliki, atau keinginan menghancurkan diri sendiri karena suatu kekecewaan, dan sebagainya. Begitulah, setiap perubahan bisa merujuk pada dua hal, positif atau negatif, tergantung latar belakang atau niat yang melandasinya.

Setia di Jalur Abstrak


(Dimuat di Majalah Arti, Edisi 023/Januari 2010)


Teks dan Foto Wayan Sunarta


Seni lukis abstrak belum mati. Bahkan tidak akan pernah mati. Abstrakisme masih tegak menantang dunia seni rupa mutakhir, di tengah gempuran seni lukis figuratif, realisme, hiper realisme, realisme-fotografis, yang berlindung di bawah payung “kontemporer”.

Pengusung setia abstrakisme masih cukup banyak, baik pelukis muda maupun tua. Salah satunya adalah Made Mahendra Mangku, pelukis kelahiran Sukawati, Gianyar, Bali, 30 Desember 1972. Dia lulusan ISI Yogyakarta. Beberapa karya Mangku pernah menjadi finalis Philip Morris Indonesia Art Award (1996, 1997 dan 1998), The Best Painting of Dies Natalis ISI Yogyakarta 1997, Award from Ministry of Art and Culture Republic of Indonesia 1998. Sejak 1992 karya-karyanya ikut menyemarakkan sejumlah pameran bersama, baik di dalam maupun luar negeri. Dia pun telah lebih dari tiga kali menggelar pameran tunggal.

Setia Menjadi Penulis


(Dimuat di Majalah Arti, Edisi 021/November 2009)

Teks dan Foto Wayan Sunarta
 

“Bagaimana kabar? Masih terus menulis?” sapa Jean Couteau ramah, saat saya berkunjung ke rumahnya yang bersahaja di tepi sungai Ayung di kawasan Denpasar Utara.

“Kabar baik, Pak Jean. Menulis jalan teruslah,” ujar saya. 

“Ehm, bagus ya. Meski kita tahu menjadi penulis harus siap tetap miskin,” seloroh Jean sembari ketawa. Saya juga ketawa, tentu dengan hati miris.

Meraih Kemurnian Dengan Pencil

(Dimuat di Majalah Arti, Edisi 020/Oktober 2009)


Teks dan Foto: Wayan Sunarta


(Putu Wirantawan)
Bagi Putu Wirantawan, berkesenian harus terus bergerak, mencari dan menelusuri berbagai macam kemungkinan. Dan pada akhirnya harus bisa menentukan karakter atau ciri khas yang hendak dijadikan pijakan dalam berkarya. Tentu itulah tantangan yang terberat menjadi seorang pelukis.

Wirantawan pernah mengalami konflik batin berkepanjangan dalam mengambil sebuah keputusan untuk menentukan bahan, medium, karakter dan corak yang tepat dalam berkarya. “Kegelisahan dan konflik batin itu membuat saya hampir gila,” ujarnya.

Pendobrak dari Pengosekan



Oleh: Wayan Sunarta


(Dewa Putu Mokoh)
Dewa Putu Mokoh adalah seorang pendobrak seni lukis corak Pengosekan, Ubud. Ketika pelukis senior Pengosekan banyak menggarap karya-karya bertema Ramayana dan Mahabarata dan pelukis muda membuat lukisan bertema flora dan fauna, Mokoh malah asyik menggali objek-objek yang naif, lucu, sederhana, nyleneh dan cenderung nakal. Mokoh banyak melukis apa-apa yang dilihat di sekitarnya, atau yang sedang mengusik fantasinya. Tema-tema lukisannya sederhana dan remeh temeh.

Murni, Betapa Sunyi Jalan itu…





Oleh: Wayan Sunarta


Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba

(Chairil Anwar)


(I Gusti Ayu Kadek Murniasih, foto oleh Hardiman)
            Rabu malam, 11 Januari 2006, saya dikejutkan oleh SMS yang dikirim seorang teman: Berita duka-telah meninggal dunia teman tercinta kita, perupa Murniasih, petang tadi jam 6 wita. Semoga mendapat tempat yang mulia dari Sang Hyang Widhi Wasa.
            Saya masih belum percaya dengan rentetan kata-kata yang tertera di layar ponsel. Secepat itukah pelukis I Gusti Ayu Kadek Murniasih meninggalkan kita? Bagai sebuah gulungan film, dalam benak saya kembali melintas senyum dan tawanya yang lebar dan lepas, seakan tanpa beban derita. Saya kembali terkenang sepasang alisnya yang lebat hitam dan tajam. Sepasang alis yang nyaris menyatu itu selalu mengingatkan saya pada alis Frida Kahlo yang digambarkan begitu dramatis oleh Goenawan Mohamad dalam sebuah puisinya untuk pelukis Meksiko itu: di alismu langit berkabung dengan jerit hitam  dua burung.

Sukari, Selamat Jalan...

(Tulisan ini dimuat di Majalah Arti, 2010)

 
Teks Wayan Sunarta, Foto Dokumentasi Made Budhiana


(Made Budhiana dan Nyoman Sukari)
Suatu malam, di bulan Agustus 2007, usai acara pembacaan puisi di Festival Kesenian Yogyakarta XIX, seorang lelaki menyapa saya, “Yan, bawa arak?” Lelaki itu bertubuh pendek, namun gempal. Rambut gondrong sebahu, kumis dan jenggotnya sangat lebat, terkesan sangar. Namun, dia memamerkan senyum penuh persahabatan. Dia adalah Nyoman Sukari, pelukis yang cukup diperhitungkan dalam jagad seni rupa Indonesia.

Belajar pada Lebah



(Tulisan kuratorial “Suasana Lebah”, pameran tunggal Ketut ‘Kabul’ Suasana di Sudana Gallery, Ubud, 7 – 17 Oktober 2009)


Oleh: Wayan Sunarta



(karya Ketut 'Kabul' Suasana)
Dunia seni rupa tidak hanya unjuk keterampilan teknis, melainkan juga pergulatan ide, pemikiran atau wacana, untuk mencoba melahirkan berbagai terobosan baru. Namun  pada kenyataannya, dunia seni rupa dipersempit dengan maraknya trend atau selera pasar dimana banyak pelukis muda terjebak menjadi bebek, tanpa memiliki pendirian jelas.
Misalnya, ketika trend lukisan tertentu banyak diminati pasar, para pelukis “bebek” ramai-ramai meniru trend tersebut. Bila perlu dengan menggunakan teknik-teknik canggih dan bantuan komputer beserta perangkat lunak lainnya. Pelukis-pelukis itu kemudian berlindung dibalik kata “kontemporer” tanpa memahami betul makna kata itu sendiri. Galeri dan para cukong seni rupa sering pula mendikte pelukis untuk mengikuti selera pasar. Parahnya lagi, demi terserap pasar, banyak pelukis muda kehilangan jati dirinya karena tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Kondisi ini menyebabkan dunia seni rupa lebih mirip pasar kerajinan seperti biasa dilihat di pasar Sukawati atau Ubud.

Polusi Rasa : Atmi dan Dunia Anak-anak


(Pengantar kuratorial pameran “Polusi Rasa” Atmi Kristiadewi di Ten Fine Art Gallery, Sanur, 4 - 14 Juni 2011)


Polusi Rasa : Atmi dan Dunia Anak-anak

Oleh: Wayan Sunarta *


Anak-anakmu bukanlah milikmu
Mereka adalah putra-putri kehidupan
Yang rindu pada dirinya sendiri...

(Kahlil Gibran)


(salah satu karya Atmi)
Dunia anak-anak adalah suatu dunia yang polos, riang, senang bermain, selalu ingin tahu, namun terkadang menjengkelkan para orang tua. Anak-anak ibarat kertas putih yang siap menerima goresan warna apa saja. Kalau salah memberi warna, maka anak-anak akan tumbuh dewasa dengan warna yang salah itu.

Kesalahan terbesar para orang tua adalah mereka seringkali menganggap anak-anak sebagai miliknya yang absolut. Mereka mencekoki otak anak-anak dengan berbagai keinginan yang seringkali bertabrakan dengan keinginan anak-anak itu sendiri. Misalnya, anak-anak disuruh les ini-itu, dijejali pelajaran-pelajaran yang belum perlu, diarahkan menjadi ini-itu, sehingga anak-anak depresi dan mencari pelampiasan dengan hal-hal yang membahayakan.

Monday, 7 November 2011

Pertemuan dengan Umbu


Oleh: Wayan Sunarta




(Umbu Landu Paranggi)
Pertemuan pertama saya dengan Umbu Landu Paranggi merupakan sebuah pertemuan yang sangat menjengkelkan sekaligus menggelikan, yang terus membekas dalam kenangan. Namun pertemuan-pertemuan selanjutnya merupakan anugerah tak ternilai yang ikut mempengaruhi perjalanan hidup saya, terutama ketika bergesekan dengan dunia puisi.
Pada sebuah petang yang cerah di bulan Agustus 1993, ketika saya masih kelas tiga sekolah menengah atas, saya diajak oleh seorang kawan menonton pertunjukan teater di sebuah sanggar di Sanur, Denpasar. Kata kawan saya, Umbu pasti datang dalam acara itu. Kata dia lagi, kesempatan bertemu Umbu sangat langka, maka sangat rugi kalau saya tidak datang.

Sunday, 6 November 2011

ARSIP ULASAN/KRITIK SENI RUPA 2001-2005 Karya Wayan Sunarta

ARSIP ULASAN/KRITIK SENI RUPA 2001-2005 Karya Wayan Sunarta



Pameran Koniherawati di Seniwati Gallery Ubud: Protes Dominasi Kodrat. Majalah Gatra, 25 Agustus 2001.

Pameran IB Lolec di Paros Gallery, Sukawati-Gianyar: Musim Semi dalam Duka. Majalah Gamma, 7-13 November 2001.

Pameran I Wayan Pastika: Mencintai Tubuh Perempuan tanpa Rasa Birahi. Koran Bali, 8-11 November 2001.

Pameran Seni Instalasi Yoshie Mizuno di Sika Gallery, Ubud: Si Perindu Kebebasan. Majalah Gamma, 21-27 November 2001.

Pameran “Refleksi Tiga Pelukis” di Darga Gallery, Sanur: Tiga Menguak Bali. Koran Bali, 3-5 Desember 2001.

Walter van Oel: Menemukan Tuhan dalam Warna. Koran Bali, 24-26 Desember 2001.

SK Hanny: Meditasi dalam Putaran Lingkaran. Koran Bali, 24-26 Desember 2001.

Pameran Made Romi Sukadana: Tanpa Gala, Tiada Dali. Majalah Gamma, 12-18 Desember 2001.

Tuesday, 25 October 2011

Kelompok Hitam Putih : Memandang Tradisi, Alam dan Diri


Catatan : tulisan ini adalah pengantar pameran "In The Name of Identity" di Tanah Tho Gallery, Ubud, 8 Oktober - 7 November 2011 


Oleh: Wayan Sunarta *


Prolog

(karya Anthok S.)
Hitam Putih adalah sebuah kelompok seni rupa yang didirikan pada tanggal 18 Agustus 1999 oleh sejumlah mahasiswa STSI (kini ISI) Denpasar Angkatan 1996. Anggota Hitam Putih terdiri dari sebelas perupa, yakni: Anthok Sudarwanto, Ketut Lekung Sugantika, Ni Nyoman Sani, I Gusti Ngurah Putu Buda, I Nyoman Bangbang Ariana, Anak Agung Gede Darmayuda, Rachmat Saleh, I Made Alit Suaja, I Made Sudiarta, I Wayan Susana, I Gede Pande Paramartha.

Puisi-puisi 2010

Sajak-sajak Wayan Sunarta

Denpasar


denpasar, kota yang lahir
                     dari belukar
adalah akar
                 yang menjalar
di urat-urat nadimu

tertatih menahan perih
             usia yang hijau
kau memburu bayang ibu
       yang raib di ufuk barat
di senja penghabisan kata

saat bocah, jernih matamu
tak habis mereguk
                cahya purnama
membayangkan sosok ibu
          merenda kebaya di situ

namun, kau selalu
        berseteru dengan waktu
sayup-sayup tangis ibu
       menggema dalam darahmu

kini, waktu menjelma ibu
        kau menjadi sekutu
hari-harimu yang ragu

denpasar, kota yang menyusu
pada perempuan-perempuan jelata,
      ibu-ibu penjaja sayur di pasar
nanar menatap kepergianmu
      tanpa pamit pada leluhur...


 (Denpasar, Januari 2010)

Friday, 21 October 2011

Puisi-puisi 2009

Sajak-sajak Wayan Sunarta

Lovina


begitulah ombak pagi ini
menepi merayapi celah indah hatimu

secangkir kopi dan jiwa yang baka
mengapa mesti kau kisahkan resah
          selalu ada yang berlalu
dan kita lebih dari paham
                        untuk tidak bertanya

jukung telah menjemput
kita melaju menyibak ombak
bertukar kabar pada angin
berbagi kasih pada pekik camar
mengaca pada mata bening lumba-lumba
agar mengerti makna kedalaman cinta

di manakah akhir pelayaran
         pesisir tak tampak mata
kedalaman laut serupa jiwamu
         selalu ada yang tiada terduga

aku pasrah dalam siul angin
merasakan matahari pagi
                  berbinar di mataku
dan tahulah aku
senyummu telah melarutkan aku
dalam pusaran laut yang kucintai


(Lovina, Buleleng, Bali, Januari 2009)

Puisi-puisi 2008

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Sarkopagus Alasangker, Buleleng


mesti dengan apa lagi kukisahkan padamu
nubuat yang kubuat bagi keturunanmu
                             telah sempurna terbuka
namun kau lebih suka merayu waktu
tanpa mau menjenguk kawasanku
         masa lalu telah menyerpih
                            dan jadi abu dalam diriku
tertimbun dalam periuk tanah liat,
bersama kalung manik-manik, gelang perunggu,
                      tombak usang dan kenangan lapuk

mengapa kau tiada mampu membaca nujuman itu
aku telah guratkan segala tanda di dinding tebing
                    aku telah tatah di setiap jiwa manusia

kerajaanku akan bangkit
sebab kau memaksaku tiba pada kerinduan purba
        apa yang tiada luput dari kabut
yang menyisir perkampungan dan hutan keramat
              yang dihuni para danyang dan memedi

beri aku bunga embun
agar waktu kembali mencair
                   dari ruhku yang kelam,
sekelam kutukan batu-batu di hunian ini
          kau tak paham makna pertemuan
apa yang bisa diimpikan sepasang kijang
yang terpanah di tengah hutan gersang
          saat asmara mencapai ubun-ubun

kedalaman tanah moyangku  
daerah istirah yang selalu membayang
       kepayang pada pepucuk pohon lontar
                                yang kau sadap jadi tuak
dan kau guratkan aksara purba di bumbungnya
       tapi kau tak pernah usai
                                mengurai nujuman itu
senja akan musnah
dan mata tiada jenuh bergelut
                     dengan kemesraan maut

peramal tua itu telah tiba
dari jalan hidupmu yang hampa kata-kata
mengapa kau tiada ikuti kemauan jiwa
ketika hari makin genap dalam perjamuan cinta

pada akhirnya kita hanya
tumpukan kerangka tiada guna
namun aku telah menyibakkan jalan
bagi segala kenangan
               yang melintasi aliran nadimu

Alasangker menyungkupi kebisuanku
                               beribu-ribu tahun
cuaca telah membaca nubuat yang kugurat
              pada pohon-pohon dan batu-batu  
maka begitu pula aku membacamu
                           dari tidur abadiku


(Bali, 2008)

Puisi 2007 - Tilas-tilas Kecil

Sajak Wayan Sunarta


Tilas-tilas Kecil


/1/
fajar gemetar di ufuk dini
mengantar pilu lengking tangis
   mantra pertama yang digumamkan
rasa tak rela berpisah dengan ari-ari,
                       saudara setia di gua garba
      tahi lalat di pangkal paha kiri
oleh-oleh dari negeri seberang,
                dari bapa tua penunggu waktu
      sebagai bekal kali pertama  
                mengakrabi kilau matahari
merasakan hangatnya
                    sehangat dada ibuku

Puisi 2007 - Singa Bersayap Api

Sajak Wayan Sunarta

Singa Bersayap Api


singa bersayap api
     menari-nari
di atas runtuhan candi
     gerimis miris
                mengusir hari
pohon lontar kuyu
          pada basah air mata

jalan setapak berliku
                     dan berbatu itu
menuju ceruk kelabu jiwaku

aku tercekik udara dari kenangan
yang merambati liang pekat batu
ketika gugusan waktu memudar
      pada serpih-serpih tembikar

Puisi-puisi 2007

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Buai Bui
- buat ole dan onya-

 akhirnya kalian berjalan
                                memasuki bui
yang dibuai angin sepoi bulan mei
         wajah sumringah, jiwa pasrah
pada nafas cinta
yang menghembus dari lubuk hati
                  sejak bertahun-tahun lampau
ketika dermaga di utara pulau
membuka rahasia pertemuan asam gunung
                                                dan asin laut
di jalan-jalan subak
                                dan pematang sawah
yang dibasuh embun dinihari

bui itu dibangun dari buai cinta
                    sangkar keramat sang waktu
yang setiap orang ingin memasuki
                  dan menghuninya dengan rela
maka pada jiwa embun
kita berbagi untuk cinta
               yang bagai kerlip kunang-kunang
agar cahaya tidak sepenuhnya musnah
                pada hamparan kelam kehidupan


 (Desa Ababi, Karangasem, 2007)

Puisi-puisi 2006

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Surat Dari Rumah Pantai
 

wahai perempuan bertudung sepi
akhirnya aku kembali ke rumah pantai
           ombak berkali-kali membujukku
dengan desah dan lenguh memabukkan
      erang pun bergema dari cangkang kerang

wangi bunga pandan bagai aroma pipimu
       urai, urailah rambutmu agar angin garam membelainya mesra
lalu senyumlah padaku yang lenyap dalam pelukan laut
          agar tentram jiwaku menatapmu lekang
namamu, namaku, mungkin abadi di setiap dermaga

rumah pantai telah menerimaku dengan keteduhannya
aku ‘kan bermukim di situ bersama ubur-ubur dan hiu biru
             tak perlu lagi kau risaukan aku
nelayan-nelayan bermata cahaya menjadi kawan karibku
       aku telah menggadaikan jiwaku pada peri-peri laut penipu


2006

Puisi-puisi 2005

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Di Sudut Kafe


pada meja kayu
cangkir jadi dingin dan kenangan ungu
tapi kau masih berceloteh tentang puisi tak jadi
           aku terpukau lukisan kaca di dinding:
                                 empat badut main ayunan

apalagi kau risaukan?
hari akan segera surut
ke dalam cangkir kopi
            lukisan mural di sudut kafe
mengabarkan duka tukang becak
dan nenek renta penjunjung kayu bakar

aku ingin kau berkisah
perihal malam pedih
namun dari botol coca-cola
kau tuangkan dongeng negeri salju

asbak penuh puntung
tak ada guna lama-lama
merenungi sepi di sudut kafe
batuk menahun
               telah mencekik hayatmu


2005

Puisi-puisi 2004

                Sajak-Sajak Wayan Sunarta

Bukit Venus


aku tiba pada hamparan bukit venus
milikmu yang penuh pesona
pada tebing merah muda
di antara rerimbun pinus
sebuah pancuran di atas goa
mengalir air ibu bumi

seperti pertapa tua letih
mencari sumber air suci
aku berjalan tertatih
terseok keluar-masuk
menyibak lebat semak
goa gelap di tebing bukit

cahaya dari hutan pinus
seperti sorot mata ular di taman firdaus
aroma tanah sehabis gerimis

embun menghias pepucuk pinus
merembesi goa tapaku
kurasakan nikmat tertinggi
kidung persembahan ibu bumi


2004

Puisi-puisi 2003

Sajak-sajak Wayan Sunarta

Pilar Senja

    

pada pilar senja
      rahasia hari tertera
akhirnya garis tanganmu membuka
         nubuat yang telah dikekalkan
ingin aku merengkuhmu
      tanpa mesti ada ruh lain
atau pendaman rahasia

di mana kau peram benih kelam
        entah serupa apa kau kenang aku
wujud yang kemilau sebelum kau ada
          ilahi pun menyusun puisi untukmu
ketika waktu tiba di muka gapura
        usap wajahku hingga sempurna ruhku


2003

Thursday, 20 October 2011

Puisi-puisi 2002

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Pijar Duka


pada matamu muram
waktu tiba-tiba padam

parasmu. parasmu
di biru laut. di biru langit
di biru jiwaku
tuntas sudah abu

bulan terpukau
pada suara duka
yang meracau
di telaga matamu

kerling
hening

parasmu. parasmu
usia yang harum bunga pandan
larik-larik sajakku luruh
dari kelam merajam subuh

pijar duka
bertahanlah dalam bara
karena  kau hanya
unggunan api yang fana


2002

Puisi-puisi 2001

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Bhisma


sebab kutuk dan janji
aku bertahan pada takdir ini
akulah bhisma
yang menatap hampa pada senja

beribu gagak
menggumpal hitam
di langit kurusetra
dan senja
muara abadi segala keluh

seperti abadi kesepianku
srikandhi, bentangkan busur panahmu
amba, bidikkan muram dendammu
biar melesat beribu anak panah biru
menyangga ragaku
mengukir takdir akhir

mengapa harus ada duka?
telah tumpas segala suka
saat surya rebah ke utara
aku pun tiba pada hampa


2001

Puisi-puisi 2000

Sajak-sajak Wayan Sunarta

                Selamat Pagi


selamat pagi secangkir kopi
sehisap sigaret, sebutir embun, selusin mimpi
yang hanyut saat hujan malam, separuh ilusi
                         yang menuntunku pada hari

selamat pagi udara
bau pegunungan, bau tubuhmu
wajah anak-anak riang
bermain layang-layang
pada bau humus

selamat pagi pada segala
yang bernama asa
pada segala lagu, segala puisi
dan juga mati

selamat pagi


2000

Puisi-puisi 1999

                Sajak-sajak Wayan Sunarta
                      Lorosae

namun senja
seakan enggan
menghapus air mata
               pada cuaca

kudengar lengking camar kehilangan ibu
buih mengeluh
                garis pantai cemas
seorang bocah berlari ke arah malam
menyongsong bintang biduk
               yang hendak lapuk

(seperti aku mengenal wajahnya yang fana
menyembul dari gundukan candi candi pasir
seakan ingin berucap: jangan biarkan langit kembali merah!)

angin timur mengalir dari pantai
pasir pasir buyar
            bau anyir
pembantaian di musim semi
kerang kerang mendadak kering
terbuka dengan daging yang meleleh
dan lokan buta menangis
                      udara amis

senyummu, maria, seperti bunga bungur
kuntum yang dipatahkan paksa

prahara akan kembali tiba
segera bergegas. berlindung
ke dalam mercusuar di ujung tanjung
di situ mungkin masih tersisa
                        penawar duka

jerit anak camar
menggigil
melihat kabut pecah
jadi buih darah
pada rongga mata
seorang serdadu tua

dalam udara amis
langit menangis
kata kata kusam
lumer dari grafiti
yang ditera dengan darah
di tembok mercusuar

kau tak akan pernah tahu
di lorosae
waktu yang setia itu
adalah seteru
`           yang diam diam menyusun
rencana
penghianatan
untukmu

cahaya cinta dari hatimu, maria
telah jadi ragi
hancur seperti remah roti
dan anggur yang dulu kau peras
dari tetes air matamu
telah memabukkan mereka


1999

Puisi-puisi 1998

                Sajak-sajak Wayan Sunarta

BirahiBiru


                   malam tiba
purnama mengurai rambut di jendela
      aku susuri pesona suara serangga
sayap sayap malaikat bergetar
perjalanan kau guratkan
             pada tapak tanganku

         aku rindu kau
         aku jauhi kau

                       kupahami ngilu
memusar dalam darah adamku

             purnama jatuh
separuh digigit kelelawar buah
separuh hanyut membawa hayatku
 aku termangu
menghitung rindu yang tak henti gugur
sejauh perjalanan memburumu

kelelawar memuntahkan remah purnama
serbuk sari telah terbenam di kepala putik
    perkawinan?
kau tak jenuh meneliti gurat keningku
                 di situkah muara rahasiaku
belum seluruh lekukmu kupahami
              aku rebah pada altar suci

apa lagi yang rahasia
o, birahi biru. altar suci
aku terkapar dalam nikmat
                        dalam sakit
                   gerigi waktu beradu
kau seperti ada. aku seperti tiada

mawar mekar
kau hablur
aku lebur


1998

Puisi-puisi 1997

                Sajak-sajak Wayan Sunarta


Situs Candi Gunung Kawi


Bayangan candi:
wujud masa silam yang meleleh
ke dalam genang kenangan seorang bocah gembala
Penggalan kepala patung terjatuh
Menilik senja
Menebar pesona wangi yang aneh
Menjalar dalam alir nadiku
Sungguh terasa sunyi
Menelusuri jalan setapak berliku,
setapak masa silam
yang meranggaskan aku ke bumi
               beribu ribu kali
Seperti penggalan kepala patung itu,
menjelma Brahmana, Ksatria, Waisya,
Sudra, bahkan Paria. Kulakoni semua itu
Hingga tiba pada sebuah telaga,
aliran tiga mata air dewa
ke situ Kau tuntun aku
bagai keledai dungu
Membasuh wajah, tangan, kaki. Melebur jiwa
dalam wangi bunga, harum dupa, hening tirta
Hingga mite Mayadenawa, dewa dewi, bianglala
menguap bersama gemerincing uang kepeng dan
taburan dolar para peziarah
Sungguh terasa sunyi
Sendiri menciumi wangi tubuhmu, Batu Padas
Pahatan purba yang bangkitkan sayup sayup kenangan
Nelangsa doa:
aku asing di mataMu
Kau asing di mataku
Namun selalu kita saling belit
Serupa sepasang Naga kasmaran
Tunggal
Hening

Di antara gurat dan retak candi
Bayang bayang tubuhMu meleleh
Di sebuah jalan setapak
Menjelma embun
Memisahkan dunia gaib kita
Satu hal yang mutlak:
Aku terperangkap dalam ruang dalam waktu
karena karma
karena punarbhawa
Tak paham kapan awal kapan akhir letih ini
Tapi yakin,
kerinduan kepada Ibu,
mula denyut waktu
Lebih suci dari beribu sajen beribu upacara
yang menuntaskan wujudmu,
O, candi candi tua
Arca arca dewa
Semua meleleh bagai cairan darah tabuh rah
Meleleh ke palung paling kasih
dari hidupku.


1997