Labels

Friday, 21 October 2011

Puisi 2007 - Singa Bersayap Api

Sajak Wayan Sunarta

Singa Bersayap Api


singa bersayap api
     menari-nari
di atas runtuhan candi
     gerimis miris
                mengusir hari
pohon lontar kuyu
          pada basah air mata

jalan setapak berliku
                     dan berbatu itu
menuju ceruk kelabu jiwaku

aku tercekik udara dari kenangan
yang merambati liang pekat batu
ketika gugusan waktu memudar
      pada serpih-serpih tembikar

singa bersayap api
terbang ke awang-awang
            mengelabui bebayang
dan petang paripurna
dalam tarian kunang-kunang
     tapi siapa menuntun ruhku
               ke musim yang dijanjikan
musim penuh mawar putih-perak mekar

kau hanya termangu
ketika kata-kata meresap
            ke lipatan senyap
kau menunggangi singa bersayap api
                     lalu lenyap
di balik ufuk penghabisan langit

matahari selalu memata-matai langkahku
                          di terik tanah gersang
bayang-bayangku lumer
             bagai lelehan lemak babi

singa bersayap api siaga
menunggu di pintu retak candi
        dan alangkah dungu
yang menerima nujuman itu

aku perlu sekerat aksara
              atau seteguk arak
agar lepas dari kutukan cinta
                  dan liar birahi

tak perlu kau menjenguk
ke jalan setapak berdebu itu
        sebab kau bukan lagi raga
                yang menunggu pelepasan
kini kau anak singa bersayap api
kuku-kuku jari runcing
                dan gerigi taring
                           telah terbentuk
             saat ufuk mengantuk
dan sungai-sungai tidur
dalam kepedihan panjang kemarau

remah-remah waktu
berceceran sejauh perjalananmu
                menggapai kesejatian
dan dimanakah aku kini?
aku yang menunggumu
dalam cengkeraman kelopak
            dan sari bunga matahari

di kawasan ini hanya ada kaktus
           yang memeram benih air
dalam kemalasan hari senja
           sedikit rumput jawawut
           akan menjaga kuburanku
tapi aku perlu alunan
                            lolong serigala
atau salak anjing kampung
         yang kurus, kudis, kerempeng
anjing yang terbuang
        yang melata di jalan-jalan sepi
               penuh teluh dan kutukan

pada jauh tatap mata
yang sisa hanya keheningan
malam telah merambati atap langit
         dan bulan yang rombeng
                       telah terusir ke barat
dimana kau menengadah
         dan menadah sisa kenangan
sepanjang waktu, sejauh musim
        ketika kau menjelma arca batu
yang memakan bunga-bunga
                            dan sari madu
yang dipersembahkan
               gadis-gadis desa
                       berkebaya putih kafan

singa paling tua
menjilati tubuh molek-bugil gadis belia
yang menggelinjang dan meradang
              pada ranjang keramat
yang nikmat
         yang laknat
                    yang kiamat

singa paling muda
berputar-putar di udara kelabu
dipenuhi serbuk cahaya kekunang
ia ragu akan takdir dan birahinya sendiri
              hanya menatap kuyu
pada payudara-payudara hampa
                             perawan belia

sebuah pesta di petilasan penuh lumut
       tambur dan genderang bertalu
penari-penari tua menandak-nandak
                          di atas kuburan batu
kain disingkap hingga lutut
           paha-paha layu
                    dalam rayuan malam
api cahaya biru berkedip-kedip
           di sela-sela rambut terurai
lidah menjulur dengan percik-percik api
            api dari birahi
            api sakti
            dari durga
yang akan menghanguskan aku
                                  tanpa sisa

singa bersayap api menari di udara
          mengaum ke dalam kelam cuaca
penari api mengangakan mulut
         menadah liur singa bersayap api

aku menyembunyikan waktu
         ke dalam lipatan daun sirih
pohon pandan menggeliat
                      di bening pagi

ke arah mana kini angin bertiup
         sepasang serangga hutan
telah menuntaskan musim kawin
        di telaga seroja penuh amis darah

baiknya kau minum seteguk arak
           bersama para pengembara
yang riang mengarungi hari-hari sepi
          yang telah menabur benih
               di hutan-hutan basah hujan
yang terbiasa menanggalkan kenangan
               di jalan-jalan sejauh kembara
arak akan menghangatkan
                                 pembuluh nadimu
sebelum kau kembali menyusuri waktu
           yang akan membawamu ke arah
istana kemilau singa bersayap api

tapi istana itu
berdiri anggun
pada kedalaman jiwamu
kaulah yang menandai setiap jejak
                   dari langkahmu sendiri
kaulah waktu dari muara waktu
         dini dari sekelumit dini           
                   senja dari semua senja
bunga dari benih bunga
           yang disemai serangga
di taman-taman penghabisan
                                 hayatku

sebuah altar akan terbangun
          di tengah hutan yang terbakar
dan kau pemuja segala berhala
         yang dikeramatkan para peziarah
         yang terlunta di jalan terakhir takdir

singa bersayap api adalah restu abadimu
      akar kota akan merambat dari hutan
yang dihuni liliput dan halimun
           kota yang disangga laut raya
kota yang akan basah air mata
             dan air ketuban kekasihmu

khianat dan kiamat perlahan menjalar
                       menuju jari-jari kakimu
            kota akan terbakar
menjelang dinihari paling asing
            singa-singa bersayap api meraung
menuntaskan birahi penghabisan
                             di atas tubuh ibumu

kau merayakan perjamuan kemarau
burung-burung yang bersiul murung
             merontokkan bulu-bulunya
             di atas puing-puing candi
jengkrik sembunyi dalam liang-liang dangkal
sepasang ular saling belit di belukar
          duri-duri pandan masih terasa
                   menyusup di tapak-tapak kaki
para penari api kembali menandak-nandak
            asap menyan, gaharu, cendana
                                   berbaur bau bangkai
            maut masih menghuni rongga hati,
daging busuk terlontar ke udara bertuba
                             di atas setra gandamayu

tapi kau keturunan singa bersayap api
matamu memeram bara masa silam
           di timur kau anggapati
           di selatan kau mrajapati
           di barat kau banaspati
           di utara kau banaspati-raja
beribu kutukan menjulur
                                  dan menjalar
                    dari lidah apimu
membakar aksara-
                           aksara sukmaku !



(Ababi, Bali, Februari 2007)




No comments:

Post a Comment