Tilas-tilas Kecil
/1/
fajar gemetar di ufuk
dini
mengantar pilu lengking
tangis
mantra pertama yang digumamkan
rasa tak rela berpisah
dengan ari-ari,
saudara setia di gua
garba
tahi lalat di pangkal paha kiri
oleh-oleh dari negeri
seberang,
dari bapa tua penunggu waktu
sebagai bekal kali pertama
mengakrabi kilau matahari
merasakan hangatnya
/2/
tanganku
menggapai-gapai udara
sendiri di kasur tua
ibu, di mana kau?
aku dahaga, aku rindu
susumu, ibu…
/3/
kera siluman
bergelayut
di dahan jambu di
depan pintu kayu
mulutnya nyengir
menertawaiku
yang telanjang tanpa
selimut
kera yang lucu
penghibur setia malam-malamku
tapi nenek tampak sibuk
menyiapkan sesajen
nenek merafal
mantra-mantra penolak bala
mengusir si siluman
/4/
malam-malamku jadi
sepi sejak si kera pergi
aku bergumam dengan
cahaya pelita di meja
sesekali cicak
menyanyi menghiburku
ibu
tidak ada, entah ke mana pergi
aku menyusu pada nenek
hingga lelap tidurku
/5/
kupungut helai-helai
daun nangka dan jepun
dalam remang cahya pelita
mereka menjelma
bayang-bayang
aku bersorak girang
seorang diri di remang
ruang
/6/
wangi malam mulai
menggodaku
mata burung hantu di
dahan randu
tajam mengawasi pintu
yang kuketuk
jendela terbuka
aku melongok ke dalam
ruang
yang tidak menyisakan
bayangmu
ini kali pertama aku dicintai sepi
/7/
halimun yang jauh
seperti rindu yang
terasing
di pucuk-pucuk malam
hening suara seruling
adalah getaran gaib
gumam-gumam sunyiku
yang purbani
/8/
tiada yang mampu
meredakan amuk jiwaku
bahkan ibu semakin menjauh
ketika aku memasuki
hutan,
menyusuri sungai
yang membawaku entah
ke mana
belum jua puisi menghampiri diriku
aku berkawan dengan
batu-batu akik,
kayu-kayu bertuah,
lontar-lontar lapuk
dan hari-hari yang
selalu senja di mataku
/9/
sebuah istana berkilau
indah di tepi sungai
sebentang tangan
berbulu merah
menjulur
menyambutku
aku diangkat anak oleh
pohon randu
bermain dan berpesta
di rumah memedi
orang-orang panik mencariku
mereka menabuh tambur,
kentongan dan panci
aku menyembul dari rimbun bambu
dengan wajah letih dan
penuh jelaga
/10/
seperti apa pusar
sungai
ketika aku menceburkan diri?
ular-ular air membelit
kakiku
dan akar-akar serabut
pohon masa lalu
menjerat
tubuh kecilku
peri jelita penunggu
sungai
mengangkatku dari
kedalaman air
aku mengambang dalam
rasa hampa
hingga kicau burung
menyadarkan aku
betapa hidup penuh kemungkinan
/11/
pohon jepun di halaman
rumah
adalah guru yang setia
bagiku
sungai masih mengalirkan
masa lalu
dalam
jalur-jalur nadiku
aku mengakrabi setiap
dahan jepun
yang mengerak dan
bergetah
bagai ibu atau nenekku
sendiri
kutatah nama kecilku di situ
hingga angin
mengeringkan setiap luka
dan juga kenangan
/12/
pada akhirnya kita
akan berakhir
serupa pijar cahaya
yang nanar
/13/
perpisahan adalah
pertemuan tiada terduga
di hamparan taman raya
di mana bayang-bayang
mengendap dalam halimun
ketika
kau berlari-lari kecil
serupa kekupu
warna-warni yang terbang riang
di antara bunga
dan sari-sari hari
tapi kita senantiasa
lupa pada arti wangi
yang dibawa angin senja
ke dalam diri
/14/
aku selalu haru pada
waktu yang gagu
apa yang mampu kucatat
dan kubaca
hanya serpih-serpih
cinta belia
yang rapuh seperti
sarang laba-laba
yang membujuk dan
menjebakku
untuk mencintai luka
/15/
telah kau baca air mataku
di telaga bening matamu
/16/
aku sampai di puncak
malam
pendakian sungguh meletihkan
jiwa
demi larik-larik puisi
yang tak akan pernah
selesai
tapi kau masih setia menunggu
di pintu lorong waktu
yang kuketuk dengan ragu
/17/
usia adalah halimun
yang akan usai
di penghabisan matahari
tapi bunga-bunga
mungil itu
masih menawarkan diri
dengan senyum manisnya
tak satu pun mampu kupetik
sebab duri yang
senantiasa membayangi diri
maka kubiarkan saja
sungai itu
mengaliri
nadiku
hingga tiba di samudra
dengan rasa hampa
yang sesungguhnya telah
kupahami
/18/
pesisir pantai masih
seperti sediakala
menyisakan buih, lokan
dan pasir yang gemetar
ketika kau tiba dengan
ragu
yang dulu-dulu juga
bahkan pekik camar pun
tak sanggup
menaksir hari yang biru
oleh kilasan lampu
mercusuar
hutan bakau masih
merendam perih
sampah-sampah dari
masa lalu
jukung-jukung terlunta
sendiri dengan dayung
hampir patah
/19/
kau gagu di ujung
dermaga
cemas menunggu jukung
yang akan menjemputmu
senja lemas di garis
cakrawala
apa yang sisa dari
perjalanan?
hanya kenangan
tercecer
yang mengikutimu
serupa bayang-bayang
kematian
/20/
serupa apa warna pagi
ketika hari-hari pergi
dari lamunanmu yang
ngungun
pada batu-batu
dan jalan yang hanya mimpi
berkelindan menyerupai
belukar waktu
apakah akan sampai aku
padamu?
segalanya akan kembali
meresap ke dalam pusar
pasir
dan berkubang dalam
genangan takdir
/21/
berikan tanganmu
sebelum angin garam
menghapus nama kita
yang kutatah dengan
air mata
di bilah-bilah kayu
dermaga
perahu hanya satu
yang tiba tertatih
dari amuk kenangan
sejauh pelayaran
tapi kita selalu memiliki mercusuar
dalam jiwa,
kesepian yang bercahaya
dari kegelapan purba
yang senantiasa kau rindukan
ketika senja perlahan berpendaran
pada kilau matamu yang mutiara
/22/
akhirnya hanya tilas lokan
di sisa basah pasir
membekas pada hari
yang pudar
ketika kau sepenuhnya
paripurna
dan purnama kehilangan
laut
yang dulu selalu
bergelora
dalam jiwamu
dalam jiwaku…
/23/
hari-hari pergi
membawa sepinya
sendiri
rumput jawawut seperti
mengerti
tangis bayi dalam
kuburanku
dan kau tak perlu
dungu
menujum dimana mesti
kita bermuara..
(Karangasem, Bali, 2007)
No comments:
Post a Comment