Labels

Friday 21 October 2011

Puisi-puisi 2006

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Surat Dari Rumah Pantai
 

wahai perempuan bertudung sepi
akhirnya aku kembali ke rumah pantai
           ombak berkali-kali membujukku
dengan desah dan lenguh memabukkan
      erang pun bergema dari cangkang kerang

wangi bunga pandan bagai aroma pipimu
       urai, urailah rambutmu agar angin garam membelainya mesra
lalu senyumlah padaku yang lenyap dalam pelukan laut
          agar tentram jiwaku menatapmu lekang
namamu, namaku, mungkin abadi di setiap dermaga

rumah pantai telah menerimaku dengan keteduhannya
aku ‘kan bermukim di situ bersama ubur-ubur dan hiu biru
             tak perlu lagi kau risaukan aku
nelayan-nelayan bermata cahaya menjadi kawan karibku
       aku telah menggadaikan jiwaku pada peri-peri laut penipu


2006


 Suatu Waktu Aku Tiba di Rotterdam


helena…helena…
suatu waktu aku ‘kan tiba di rotterdam
mengunjungimu dengan seluruh rindu
saat musim semi mekar demi janji

kita berperahu sejauh alur sungai
aku mendayung, terus mendayung
kau senyum menatap kawanan angsa
                     yang bercumbuan mesra
hingga lesung pipimu lembut merona
bikin aku gemas karena cinta

siapa yang bisa menduga
kau dan aku dipertemukan
                sehelai kartu pos
bergambar bunga-bunga tulip merekah

sejenak kita abaikan waktu, sang guru
yang mengajari kita banyak rahasia itu

kita menyelinap ke gang-gang kota
mampir di kedai-kedai sederhana
minum anggur sambil saling membaca harapan
pada matamu yang bagai lautan tak terduga
pada mataku yang letih karena insomnia

bergandengan tangan kita susuri trotoar yang ramah
tawar menawar dengan pedagang-pedagang cindramata
               kau tentu suka kalung manik-manik
yang dijulurkan si gadis gipsy itu

di lehermu yang ramping
yang lekuk dan likunya tak jenuh kujelajahi
manik-manik itu berkilau
lebih sempurna dari cahya senja
lebih sumringah dari semerbak bunga
hingga urat biru di bening kulitmu
jadi makin bermakna

helena…helena…
suatu waktu aku ‘kan tiba di rotterdam
sekuntum bunga margot kusematkan
                         di rambutmu yang blonda
dan kita bercinta dalam telaga
bagai sepasang angsa kasmaran


2006

  
Menanti Pagi di Terminal Ubung, Denpasar
       -bersama gioia risatti-


berapa lama rasa kehilangan itu
mengerak di kursi-kursi tua
di ruang tunggu terminal
mengapa jiwa kita seperti berkarat
melekat erat di atap-atap bus yang pergi
                             tanpa perhentian pasti

pertemuan senantiasa tiada terduga
dan perpisahan menjadi makin sempurna
ketika pagi yang belia tiba begitu saja
ketika separuh mimpi menguap dari cangkir kopi
ketika hari pergi seperti bus yang melaju tergesa
membawa tubuhmu lenyap
                       dari pelupuk mataku yang sembab



Denpasar, 1 Mei 2006



 Di Warung Kings, Denpasar
  -buat: melani w. setiawan-


ketika kata bertemu rupa
pada meja makan yang membuka
                               rahasia malam
entah di mana akhir perjamuan
saat bayangmu melindap pada cangkir kopi
dan aku sangsi menerka wajah sendiri

di sini mula kata
di sini mula rupa
silahturahmi mempertautkan cuaca
sebelum waktu mendera
atau menatah usia kita
mari membuka diri
pada segala kemungkinan

entah berapa waktu entah berapa musim
kutemui parasmu di sudut-sudut kafe
di ujung-ujung gang kota
yang perlahan menjalar renta

dan kita masih saja
seperti semula
di antara kata dan rupa
yang itu-itu juga


Denpasar, 15 Mei 2006


 Campuhan, Ubud
  -bersama phutut ea-


mengapa jalanku tiba-tiba buntu
ketika senja menjelma
bunga alang-alang
yang tumbuh di tebing karang

di bawah, ricik air bagai mantra purba
yang dilantunkan para pendeta
atau mungkin baris-baris aksara
yang digurat sang kawi

mengapa jiwa serupa angin
mengalun dari buluh-buluh bambu

pada akhirnya kau pergi
aku pergi
mereka pergi
tapi hanya jalanku
yang tiba-tiba buntu
disumbat gumpalan masa lalu
yang tidak juga enyah


Ubud, 22 Mei 2006


Kucumbui Kau di Hampar Pasir

 kucumbui kau di hampar pasir
desah buih serupa lenguhmu
apa yang kita buru?
waktu akan segera berlalu
dari matamu yang senantiasa
memeram muram

namun kau tertawa menatap langit malam
betapa indah kelam lautan, katamu

tahukah kau, gempa
akan segera meniadakan kita
menumpas kita hingga tandas

dan kematian begitu sederhana
begitu mudah
tanpa kita sempat mengaduh

tapi selalu saja kucumbui kau
di hampar pasir
hingga maut hampir mampir
di celah bibirmu yang merekah
indah
           seindah kematian itu…


 (Denpasar, 25-27 Mei 2006)


Di Pantai Sindu, Sanur

 - bersama gioia risatti-


ombak telah mencoba setia
pada pantai
ia tiba dan tiba lagi
seperti semula

namun perahu telah lama menunggu
laut menolak biru
sebab biru hanya milik langit

kabar cuaca hari ini
          ialah kesiasiaan
tapi kau masih saja gagu di sampingku
mata birumu menatap kelam lautan
mencoba menduga yang tak terduga

seperti percuma rindu kita
meraba getar ombak
merasa debar buih

perahu masih menunggu
dan kita lama termangu
di pantai sindu


Denpasar, awal Mei 2006



Puisi untuk Mila



menyusuri garis edar puisi
        ingin kau raih segala abadi
letih pun musnah dalam taman bulan juni
                             alpa akan raga yang fana

di ihuru kau peram sunyi dan luka
usai ufuk terbentuk di subuh merah
          cerita berlalu dari waktu ke waktu
                          hingga tandas sudah kata-kata
           lalui bintang pari atau mungkin rasi kataka
upacara itu, mila, telah usai di akhir senja luruh
namun selalu kau coba beri makna jiwa rapuh


Denpasar, 28 Juni 2006. (jam 01.00 Wita)



Taman Silam


hari mengalir di lipatan tanganmu
               hanyut di sungai silam
yang membentang di sebuah taman
                       berbunga rupa dan kata

di bawah rimbun pepohonan
di antara reruntuhan petilasan tua
kau memanen air mata
         sebab kitab-kitab aksara
atau lembar-lembar gambar
                          entah bermakna apa
nyaris lapuk di ujung penantianmu

tunjukkan aku sahelai rupa
atau segurat kata
yang mampu menyihir jiwaku
agar kembali aku padamu

tapi masih saja kau gagu di taman itu,
              taman yang ribuan tahun memberkatimu
dengan keindahan sekaligus kepedihan

taman seserpih kisah
yang diramu sang pemilik abadi waktu
sia-sia menunggu
                jiwa-jiwa galau

kau lepas
aku tandas
di sungai tak berbatas
di taman tak berbekas

hanya desis ular
menjalar di rimbun belukar
siaga mematuk resahmu,
gelisahmu,
keluhmu,
dungumu…

            (Taman Budaya Bali, 8 Juli 2006)



Narsissus

aku merindukan bunga seroja di telaga
bukan hanya air bening
yang memantulkan anggun bayang wajahku

bertahun-tahun kuburu telaga dalam jiwaMu
namun hanya kutemui sungai-sungai mati
yang dihuni batu-batu dan memedi
terhampar penuh praduga di situ

aku menjelma bunga
di tepi telaga jiwaku sendiri
tapi bukan seroja atau teratai
melainkan bunga bangkai
yang aromanya memabukkanMu
bagai asap dupa dengan wangi aneh
yang diam-diam Kau cintai

mengapa selalu kita bertikai
perihal kesejatian diri
aku sudah cukup mengakuiMu
Kau pun masih mengasihiku
dengan segala pedih perih kelahiran
hingga belum jua kutahu
di mana akhir perjalanan

bagai bagau-bangau terbang jauh
akhirnya pulang ke sawah juga
begitulah yang pasti, aku akan kembali
ke telaga jiwaMu
dan berkubang penuh nikmat di situ

maka, berhentilah kita bertikai
tentang kebenaran dan kebeningan telaga
yang Kau ciptakan
yang menggodaku mengagumi diri sendiri


Agustus 2006


Perahu Tua


perahu tua yang sendiri di laut raya
        adakah halimun melingkupimu
saat waktu-waktu biru mengukir batas
        pada warna ombak beralun-alun
                     atau bayang bebukitan
         di kejauhan

perahu tua yang teronggok sendiri
di laut tersepuh cahaya
          di manakah akhir pelayaran
dermaga demi dermaga
telah menambatkan usia
                            dan juga dosa
tapi belum juga kau tahu
          di mana pulau itu berada

perahu tua yang telah menjelajahi
segala cuaca dan wangi musim
          kau pilih laut itu
sebagai kuburan abadimu

camar-camar dan elang laut akan singgah
melepas letih di tiang-tiang layarmu
                                  yang setengah patah
dan ikan-ikan beranak pinak di lapuk lambungmu
                                                   
perahu tua, perahu tua
         kurayakan masa lalumu
dengan kidung kerang
                    di lepas senja
dan mimpi-mimpi indah
              terumbu karang


Agustus 2006


Tirtagangga


taman air yang disepuh purnama
memudarkan bayang wajah hamba
yang gagu meraba cahaya

senja terakhir telah tiba
di haribaan malam
namun hamba masih bisa mendengar
suara tabuh genjek yang menjalar
dari bibir anak-anak desa

hamba tepekur
di pelataran paduka ratu
menghayati sepi yang tiba tertatih
merambati jiwa yang telah paripurna

paduka ratu junjungan hamba
berapa penjelmaan lagi mesti hamba lalui
untuk sampai pada jiwamu

laksana pucuk-pucuk pohon angsana
hamba gugur daun
bunga dari segala bunga yang paling sempurna
telah hamba jalin untuk penghias semerbak rambut paduka ratu
buah dari segala buah telah hamba sajikan
sebagai penutup makan malam paduka

kutukan apa gerangan
yang menjadikan hamba budak
hamba ingin kembali pada perjumpaan pertama
ketika tiada dosa dan ampunan
yang menguntit hayat kita


Tirtagangga, Karangasem, 12 Juli 2006


Lima Ribu Depa dari Amlapura


lima ribu depa dari kota tua amlapura
ada sebongkah batu yang ditatah gurat-gurat aksara
batu yang dicerabut dari kebisuannya
batu yang dianugrahi tahta di istana airmata
taman tirtagangga

bulan kuning langsat yang menggeliat di celah bukit
di hampar lembah yang dihuni malam dan sawah
cahaya kunang-kunang merambat dari kalbu langit
mencoba meraba aksara
yang digurat pujangga tirtagangga

lima ribu depa dari kota tua amlapura
bayi-bayi puisi lahir dari kedalaman hati
dari sunyi yang kau peram
sejak mula pertama
kita berjumpa kata

namun dingin dan malam telah menyusup
di daun-daun pakis, kerak-kerak pohon kamboja,
anggrek ungu dan rindu melumut

lima ribu depa dari kota tua amlapura
cintaku, adakah yang lebih pedih
dari kehilangan cinta?

langit telah sempurna kelabu
suara serangga dan kodok hijau
telah menuntaskan mimpimu
yang penuh pijar aksara dan igau
aroma tuak kelapa


(Tirtagangga, Karangasem, 12 juli 2006)


Arak dan Malam


seguci arak di meja kayu
malam makin mengendap
                      dalam jiwaku
kegelapan telah melingkupi persawahan
kerlip kunang-kunang bercampur aroma lumpur

kidung serangga hutan adalah kepedihan
yang dipersembahkan  malam
ketika peri-peri kecil
mengunjungiku dengan payudara mungil
dan tubuh menggigil

aku tergetar
menahan getir
yang menjalar
hingga sumsum nadir

kelopak-kelopak malam gugur di halaman
hari-hari kujalani dengan nyanyian kodok
dan ricik air yang berdenting bagai genta pendeta

di manakah akhir setapak yang kulalui?

inikah jalan takdir
yang pernah dinujumkan
para brahmana?

dari kejauhan, seribu depa
di seberang persawahan
suara kidung merambat pelan
bersama dingin halimun
seperti merasuki jiwa para pengembara
yang lupa kampung halaman

di meja kayu
arak nyaris tandas
dan kunang-kunang
begitu sempurna cahaya


(Tirtagangga, 15 Juli 2006)


Capung Sayap Ungu
-buat Feybe Mokoginta-


capung sayap ungu yang bertengger
di atas daun teratai
adakah itu bayanganmu
yang menujumku begitu rupa
dengan secercah cahaya keabadian
yang diturunkan langit warna abu

alir air adalah jalan terakhir
bagi kura-kura tua
yang semadi di selokan
di rerimbun belukar

apakah yang sisa dari daun waru
yang gugur di ujung waktu
kecuali sebait mantra
yang hilang makna

capung sayap ungu
dan segurat bayangan
seperti kenangan yang punah
di hari ketujuh


Tirtagangga, 16 Juli 2006


 Ular Tidur

ular tidur
ribuan tahun
di gua diri
kini bangkit
coba rayapi bukit
sebab tergoda cahya
pada jiwamu
pada nyawaku


Tirtagangga, 18 Juli 2006


 Amed


di antara ladang-ladang garam
sepanjang pesisir pantaimu
kau tanak airmata terakhir
saat tubuh-tubuh jukung mengering
di bawah bayang-bayang lampu restaurant

pohon-pohon lontar berbaris
di bebukitan tandus
menyambut kehadiranku
pada suka cita
         begitu bersahaja

tapi di ladang-ladang garam
bulir-bulir airmata telah mengerak
angin asin
menyungkupi jiwa yang telah jenuh
memeram kepedihan

adakah yang lebih tahan
dari bukit gersang
menerima segala takdir
membuka diri pada
segala kemungkinan
pada nyanyi burung kedasih
di pucuk pohon lontar


Amed, 21 Juli 2006


Malam-malam Mabuk di Tirtagangga


lampu-lampu jalan mengambang
dalam petikan gitar tua
seperti mengalunkan rindu
yang diperam angin lembah

seorang gadis perancis
menenggak arak campur coca-cola
bibirnya yang manis
menyisakan jejak kenangan pada gelas

malam yang hijau mampir
ke meja kayu
si gadis perancis melempar igau
ada kutemu duka
mengendap pada biru matanya

malam memanjat bukit
denting gitar mengiringi setapak langkah
terseok menuju homestay
aku oleng, si perancis kemoleng
tanganku membelit pinggangnya ramping
sambil ngoceh dia mengutuki bintang
dan kunang-kunang

siang menjelang ditingkahi teriakan pengusir burung
dari jendela membentang sawah menguning
angin gunung mengurai rambut separuh pirang
si gadis perancis yang molek
tergolek di ranjang
pinggulnya sempurna bagai lekuk gitar
membuat mata jadi nanar
payudaranya menggoda penuh mukjizat
bagai buah khuldi
puting merah muda merekah indah
di siang yang pasrah
waktu jadi lamban dan malas

si gadis menggeliat
matanya setengah terbuka
bibir tipisnya aroma arak:
dia masih mengigau:
        “di mana saya?
                     mau ke mana saya?”


Tirtagangga, 21-22 Juli 2006


Taman Rahasia


taman rahasia itu
bernama kenangan
ketika malam ungu
tiba di akhir waktu
apakah kita tiada harap

harapan adalah semerbak bunga
yang dibawa angin lembah
yang basah airmata

dan airmata,
getah dari duka pohon-pohon
yang menggumpal
menjadi kenangan
di taman rahasia


Tirtagangga, 23 Juli 2006


 Ular

selingkar ular belang menghadang jalan
setapak samar dibasuh cahya bulan
kepala ular itu sembunyi di rerimbun rumput
kulitnya hitam-putih berkilau

aku melintasi setapak itu
                          agak ragu
ngeri membayangkan ular
menjelma naga taksaka
atau raksasa seribu kepala
yang semayam dalam jiwamu

tapi ular itu tidur melingkar
di celah bongkah batu hitam
siaga memagut nyawa siapa saja
yang mengusiknya

agak mabuk aku pergi tidur
berharap lupa pada si ular
tapi ular menjenguk mimpi
dan igauku

pagi-pagi sekali aku terbangun
kudapati tubuhku bersisik
aku menjelma ular!


Tirtagangga, 7 Agustus 2006


Impian Usai


impian usai di akhir
napak tilas yang bergegas
         galau meraba getir takdir
gagu membaca jejak aksara di tapak tangan
         ingatkah kau pada pasir yang mampir dan
                     terlunta di bening gelas anggurmu?

pantai akan tuntas membekas pada jiwa
usai dan tandas sebelum tiba senja
          tapi yang abadi selalu kenangan
rekah dan sumringah bagai bunga pandan,
           ihwal yang senantiasa menuntunmu
                           abadi dalam pasang surut musim

mimpi terpanjangmu adalah keheningan
angan yang menyesatkan pengembara pada
                              rahasia cuaca dan getar cahaya
            guratkan lagi aksara penghabisan
            agar sempurna kepedihan demi kepedihan



Desember 2006


Pada Akhirnya


pada akhirnya kita
akan bertemu di hampar samudra
bersama merayakan asin garam
mengurai abu menjadi serpih-serpih haru

kau dengar senja berkisah
              pada dedaun ketapang
yang mengalunkan lagu rindu
ke pucuk-pucuk mercusuar
ke tiang-tiang layar yang patah
hingga pasir menyerap segala sisa kenangan
segala sisa buih yang membuncah-buncah
                                      di tepian jiwamu
               mungkin juga jiwaku

pada akhirnya kita adalah kata
             yang gemetar di dua bibir
menakar jejak pasir di lingkar puting
memaknai langit yang mudah berganti rupa
          atau bayang kelabu sepasang camar
                yang tersesat dalam kelam badai

upacara belum usai
belum genap usia hari
tapi kau masih susuri pantai
            yang sama berkali-kali
hingga kita kembali bertemu
dalam larutan garam dan abu
yang dulu-dulu juga


desember 2006


Sindhu
- buat: i.p.m-


di sindhu
selembar daun waru
             menyerpih
menjadi 17 suku kata
          pada putih pasir
yang mengulum buih bir

kau sebut itu
haiku yang menunggu
               kehadiranmu

perahu dengan cahaya pelita pudar
mengapa luput dari kilau tatap matamu
         bagai mutiara yang hampir matang
                      kau rampungkan hening
         dalam nyaman cangkang kerang

namun, di sindhu
yang sisa hanya lagu bisu
                        dan haiku
menyimpan rahasia
daun waru tua


(Desember 2006)

1 comment: