akhirnya aku kembali ke rumah pantai
ombak berkali-kali membujukku
dengan desah dan lenguh memabukkan
erang pun bergema dari cangkang kerang
wangi bunga pandan bagai aroma pipimu
urai, urailah rambutmu agar angin garam
membelainya mesra
lalu senyumlah padaku yang lenyap dalam
pelukan laut
agar tentram jiwaku menatapmu lekang
namamu, namaku, mungkin abadi di setiap
dermaga
rumah pantai telah menerimaku dengan
keteduhannya
aku ‘kan
bermukim di situ bersama ubur-ubur dan hiu biru
tak perlu lagi kau risaukan aku
nelayan-nelayan bermata cahaya menjadi kawan
karibku
aku telah menggadaikan jiwaku pada peri-peri
laut penipu
Suatu
Waktu Aku Tiba di Rotterdam
helena…helena…
suatu
waktu aku ‘kan tiba di rotterdam
mengunjungimu
dengan seluruh rindu
saat
musim semi mekar demi janji
kita
berperahu sejauh alur sungai
aku
mendayung, terus mendayung
kau
senyum menatap kawanan angsa
yang bercumbuan mesra
hingga
lesung pipimu lembut merona
bikin
aku gemas karena cinta
siapa
yang bisa menduga
kau
dan aku dipertemukan
sehelai kartu pos
bergambar
bunga-bunga tulip merekah
sejenak
kita abaikan waktu, sang guru
yang
mengajari kita banyak rahasia itu
kita
menyelinap ke gang-gang kota
mampir
di kedai-kedai sederhana
minum
anggur sambil saling membaca harapan
pada
matamu yang bagai lautan tak terduga
pada
mataku yang letih karena insomnia
bergandengan
tangan kita susuri trotoar yang ramah
tawar
menawar dengan pedagang-pedagang cindramata
kau tentu suka kalung
manik-manik
yang
dijulurkan si gadis gipsy itu
di
lehermu yang ramping
yang
lekuk dan likunya tak jenuh kujelajahi
manik-manik
itu berkilau
lebih
sempurna dari cahya senja
lebih
sumringah dari semerbak bunga
hingga
urat biru di bening kulitmu
jadi
makin bermakna
helena…helena…
suatu
waktu aku ‘kan tiba di rotterdam
sekuntum
bunga margot kusematkan
di rambutmu yang
blonda
dan
kita bercinta dalam telaga
bagai
sepasang angsa kasmaran
2006
Menanti
Pagi di Terminal Ubung, Denpasar
-bersama gioia risatti-
berapa lama rasa kehilangan itu
mengerak di kursi-kursi tua
di ruang tunggu terminal
mengapa jiwa kita seperti berkarat
melekat erat di atap-atap bus yang pergi
tanpa perhentian
pasti
pertemuan senantiasa tiada terduga
dan perpisahan menjadi makin sempurna
ketika pagi yang belia tiba begitu saja
ketika separuh mimpi menguap dari cangkir kopi
ketika hari pergi seperti bus yang melaju
tergesa
membawa tubuhmu lenyap
dari pelupuk mataku yang
sembab
Denpasar, 1 Mei 2006
Di Warung Kings, Denpasar
-buat:
melani w. setiawan-
ketika kata bertemu rupa
pada meja makan yang membuka
rahasia malam
entah di mana akhir perjamuan
saat bayangmu melindap pada cangkir kopi
dan aku sangsi menerka wajah sendiri
di sini mula kata
di sini mula rupa
silahturahmi mempertautkan cuaca
sebelum waktu mendera
atau menatah usia kita
mari membuka diri
pada segala kemungkinan
entah berapa waktu entah berapa musim
kutemui parasmu di sudut-sudut kafe
di ujung-ujung gang kota
yang perlahan menjalar renta
dan kita masih saja
seperti semula
di antara kata dan rupa
yang itu-itu juga
Denpasar, 15 Mei 2006
Campuhan, Ubud
-bersama phutut ea-
mengapa jalanku tiba-tiba buntu
ketika senja menjelma
bunga alang-alang
yang tumbuh di tebing karang
di bawah, ricik air bagai mantra purba
yang dilantunkan para pendeta
atau mungkin baris-baris aksara
yang digurat sang kawi
mengapa jiwa serupa angin
mengalun dari buluh-buluh bambu
pada akhirnya kau pergi
aku pergi
mereka pergi
tapi hanya jalanku
yang tiba-tiba buntu
disumbat gumpalan masa lalu
yang tidak juga enyah
Ubud, 22 Mei 2006
Kucumbui Kau di Hampar Pasir
kucumbui kau di hampar pasir
desah buih serupa lenguhmu
apa yang kita buru?
waktu akan segera berlalu
dari matamu yang senantiasa
memeram muram
namun kau tertawa menatap langit malam
betapa indah kelam lautan, katamu
tahukah kau, gempa
akan segera meniadakan kita
menumpas kita hingga tandas
dan kematian begitu sederhana
begitu mudah
tanpa kita sempat mengaduh
tapi selalu saja kucumbui kau
di hampar pasir
hingga maut hampir mampir
di celah bibirmu yang merekah
indah
seindah kematian itu…
(Denpasar, 25-27 Mei 2006)
Di Pantai Sindu, Sanur
- bersama
gioia risatti-
ombak telah mencoba setia
pada pantai
ia tiba dan tiba lagi
seperti semula
namun perahu telah lama menunggu
laut menolak biru
sebab biru hanya milik langit
kabar cuaca hari ini
ialah kesiasiaan
tapi kau masih saja gagu di sampingku
mata birumu menatap kelam lautan
mencoba menduga yang tak terduga
seperti percuma rindu kita
meraba getar ombak
merasa debar buih
perahu masih menunggu
dan kita lama termangu
di pantai sindu
Denpasar, awal Mei 2006
Puisi untuk Mila
menyusuri garis edar puisi
ingin kau raih segala abadi
letih pun musnah dalam taman bulan juni
alpa akan raga
yang fana
di ihuru kau peram sunyi dan luka
usai ufuk terbentuk di subuh merah
cerita berlalu dari waktu ke waktu
hingga tandas sudah kata-kata
lalui bintang pari atau mungkin rasi kataka
upacara itu, mila, telah usai di akhir senja
luruh
namun selalu kau coba beri makna jiwa rapuh
Taman Silam
hari mengalir di lipatan tanganmu
hanyut di sungai silam
yang membentang di sebuah taman
berbunga rupa dan kata
di bawah rimbun pepohonan
di antara reruntuhan petilasan tua
kau memanen air mata
sebab kitab-kitab aksara
atau lembar-lembar gambar
entah bermakna apa
nyaris lapuk di ujung penantianmu
tunjukkan aku sahelai rupa
atau segurat kata
yang mampu menyihir jiwaku
agar kembali aku padamu
tapi masih saja kau gagu di taman itu,
taman yang ribuan tahun
memberkatimu
dengan keindahan sekaligus kepedihan
taman seserpih kisah
yang diramu sang pemilik abadi waktu
sia-sia menunggu
jiwa-jiwa galau
kau lepas
aku tandas
di sungai tak berbatas
di taman tak berbekas
hanya desis ular
menjalar di rimbun belukar
siaga mematuk resahmu,
gelisahmu,
keluhmu,
dungumu…
(Taman Budaya Bali, 8 Juli 2006)
Narsissus
aku merindukan bunga seroja di telaga
bukan hanya air bening
yang memantulkan anggun bayang wajahku
bertahun-tahun kuburu telaga dalam jiwaMu
namun hanya kutemui sungai-sungai mati
yang dihuni batu-batu dan memedi
terhampar penuh praduga di situ
aku menjelma bunga
di tepi telaga jiwaku sendiri
tapi bukan seroja atau teratai
melainkan bunga bangkai
yang aromanya memabukkanMu
bagai asap dupa dengan wangi aneh
yang diam-diam Kau cintai
mengapa selalu kita bertikai
perihal kesejatian diri
aku sudah cukup mengakuiMu
Kau pun masih mengasihiku
dengan segala pedih perih kelahiran
hingga belum jua kutahu
di mana akhir perjalanan
bagai bagau-bangau terbang jauh
akhirnya pulang ke sawah juga
begitulah yang pasti, aku akan kembali
ke telaga jiwaMu
dan berkubang penuh nikmat di situ
maka, berhentilah kita bertikai
tentang kebenaran dan kebeningan telaga
yang Kau ciptakan
yang menggodaku mengagumi diri sendiri
Agustus 2006
Perahu
Tua
perahu tua yang sendiri di laut raya
adakah halimun melingkupimu
saat waktu-waktu biru mengukir batas
pada warna ombak beralun-alun
atau bayang bebukitan
di kejauhan
perahu tua yang teronggok sendiri
di laut tersepuh cahaya
di manakah akhir pelayaran
dermaga demi dermaga
telah menambatkan usia
dan juga dosa
tapi belum juga kau tahu
di mana pulau itu berada
perahu tua yang telah menjelajahi
segala cuaca dan wangi musim
kau pilih laut itu
sebagai kuburan abadimu
camar-camar dan elang laut akan singgah
melepas letih di tiang-tiang layarmu
yang setengah patah
dan ikan-ikan beranak pinak di lapuk lambungmu
perahu tua, perahu tua
kurayakan masa lalumu
dengan kidung kerang
di lepas senja
dan mimpi-mimpi indah
terumbu karang
Agustus 2006
Tirtagangga
taman air yang disepuh purnama
memudarkan bayang wajah hamba
yang gagu meraba cahaya
senja
terakhir telah tiba
di haribaan
malam
namun hamba
masih bisa mendengar
suara tabuh
genjek yang menjalar
dari bibir
anak-anak desa
hamba
tepekur
di
pelataran paduka ratu
menghayati
sepi yang tiba tertatih
merambati
jiwa yang telah paripurna
paduka ratu
junjungan hamba
berapa
penjelmaan lagi mesti hamba lalui
untuk
sampai pada jiwamu
laksana pucuk-pucuk pohon angsana
hamba gugur daun
bunga dari
segala bunga yang paling sempurna
telah hamba jalin untuk penghias semerbak
rambut paduka ratu
buah dari segala buah telah hamba sajikan
sebagai penutup makan malam paduka
kutukan apa gerangan
yang menjadikan hamba budak
hamba ingin
kembali pada perjumpaan pertama
ketika tiada dosa dan ampunan
yang menguntit hayat kita
Tirtagangga, Karangasem, 12 Juli 2006
lima ribu
depa dari kota tua amlapura
ada
sebongkah batu yang ditatah gurat-gurat aksara
batu yang
dicerabut dari kebisuannya
batu yang
dianugrahi tahta di istana airmata
taman
tirtagangga
bulan kuning langsat yang menggeliat di celah
bukit
di hampar lembah yang dihuni malam dan sawah
cahaya kunang-kunang merambat dari kalbu
langit
mencoba meraba aksara
yang digurat pujangga tirtagangga
lima ribu
depa dari kota tua amlapura
bayi-bayi
puisi lahir dari kedalaman hati
dari sunyi
yang kau peram
sejak mula
pertama
kita
berjumpa kata
namun dingin dan malam telah menyusup
di daun-daun pakis, kerak-kerak pohon kamboja,
anggrek ungu dan rindu melumut
lima ribu
depa dari kota tua amlapura
cintaku,
adakah yang lebih pedih
dari
kehilangan cinta?
langit
telah sempurna kelabu
suara
serangga dan kodok hijau
telah
menuntaskan mimpimu
yang penuh
pijar aksara dan igau
aroma tuak
kelapa
(Tirtagangga,
Karangasem, 12 juli 2006)
Arak dan Malam
seguci arak
di meja kayu
malam makin
mengendap
dalam jiwaku
kegelapan telah melingkupi persawahan
kerlip kunang-kunang bercampur aroma lumpur
kidung serangga hutan adalah kepedihan
yang dipersembahkan malam
ketika
peri-peri kecil
mengunjungiku
dengan payudara mungil
dan tubuh
menggigil
aku tergetar
menahan getir
yang menjalar
hingga sumsum nadir
kelopak-kelopak malam gugur di halaman
hari-hari kujalani dengan nyanyian kodok
dan ricik air yang berdenting bagai genta
pendeta
di manakah akhir setapak yang kulalui?
inikah jalan takdir
yang pernah dinujumkan
para brahmana?
dari kejauhan, seribu depa
di seberang persawahan
suara kidung merambat pelan
bersama dingin halimun
seperti
merasuki jiwa para pengembara
yang lupa
kampung halaman
di meja
kayu
arak nyaris
tandas
dan
kunang-kunang
begitu
sempurna cahaya
(Tirtagangga,
15 Juli 2006)
Capung Sayap Ungu
-buat Feybe Mokoginta-
capung sayap ungu yang bertengger
di atas
daun teratai
adakah itu
bayanganmu
yang
menujumku begitu rupa
dengan
secercah cahaya keabadian
yang
diturunkan langit warna abu
alir air
adalah jalan terakhir
bagi
kura-kura tua
yang semadi
di selokan
di rerimbun
belukar
apakah yang
sisa dari daun waru
yang gugur
di ujung waktu
kecuali sebait mantra
yang hilang makna
capung sayap ungu
dan segurat bayangan
seperti kenangan yang punah
di hari ketujuh
Tirtagangga, 16 Juli 2006
Ular Tidur
ular tidur
ribuan tahun
di gua diri
kini bangkit
coba rayapi bukit
sebab tergoda cahya
pada jiwamu
pada nyawaku
Tirtagangga, 18 Juli 2006
Amed
di antara ladang-ladang garam
sepanjang pesisir pantaimu
kau tanak airmata terakhir
saat tubuh-tubuh jukung mengering
di bawah bayang-bayang lampu restaurant
pohon-pohon lontar berbaris
di bebukitan tandus
menyambut kehadiranku
pada suka cita
begitu bersahaja
tapi di ladang-ladang garam
bulir-bulir airmata telah mengerak
angin asin
menyungkupi jiwa yang telah jenuh
memeram kepedihan
adakah yang lebih tahan
dari bukit gersang
menerima segala takdir
membuka diri pada
segala kemungkinan
pada nyanyi burung kedasih
di pucuk pohon lontar
Amed, 21 Juli 2006
Malam-malam Mabuk di
Tirtagangga
lampu-lampu
jalan mengambang
dalam
petikan gitar tua
seperti
mengalunkan rindu
yang
diperam angin lembah
seorang
gadis perancis
menenggak
arak campur coca-cola
bibirnya
yang manis
menyisakan
jejak kenangan pada gelas
malam
yang hijau mampir
ke
meja kayu
si
gadis perancis melempar igau
ada
kutemu duka
mengendap
pada biru matanya
malam
memanjat bukit
denting
gitar mengiringi setapak langkah
terseok
menuju homestay
aku
oleng, si perancis kemoleng
tanganku
membelit pinggangnya ramping
sambil
ngoceh dia mengutuki bintang
dan
kunang-kunang
siang
menjelang ditingkahi teriakan pengusir burung
dari
jendela membentang sawah menguning
angin
gunung mengurai rambut separuh pirang
si
gadis perancis yang molek
tergolek
di ranjang
pinggulnya
sempurna bagai lekuk gitar
membuat
mata jadi nanar
payudaranya
menggoda penuh mukjizat
bagai
buah khuldi
puting
merah muda merekah indah
di
siang yang pasrah
waktu
jadi lamban dan malas
si
gadis menggeliat
matanya
setengah terbuka
bibir
tipisnya aroma arak:
dia
masih mengigau:
“di mana saya?
mau ke mana saya?”
Tirtagangga,
21-22 Juli 2006
Taman Rahasia
taman rahasia itu
bernama kenangan
ketika malam ungu
tiba di akhir waktu
apakah kita tiada harap
harapan adalah semerbak bunga
yang dibawa angin lembah
yang basah airmata
dan airmata,
getah dari duka pohon-pohon
yang menggumpal
menjadi kenangan
di taman rahasia
Tirtagangga, 23 Juli 2006
Ular
selingkar ular belang menghadang jalan
setapak samar dibasuh cahya bulan
kepala ular itu sembunyi di rerimbun rumput
kulitnya hitam-putih berkilau
aku melintasi setapak itu
agak ragu
ngeri membayangkan ular
menjelma naga taksaka
atau raksasa seribu kepala
yang semayam dalam jiwamu
tapi ular itu tidur melingkar
di celah bongkah batu hitam
siaga memagut nyawa siapa saja
yang mengusiknya
agak mabuk aku pergi tidur
berharap lupa pada si ular
tapi ular menjenguk mimpi
dan igauku
pagi-pagi sekali aku terbangun
kudapati tubuhku bersisik
aku menjelma ular!
Tirtagangga, 7 Agustus 2006
Impian
Usai
impian usai di akhir
napak tilas yang bergegas
galau meraba getir takdir
gagu membaca jejak aksara di tapak tangan
ingatkah kau pada pasir yang mampir dan
terlunta di bening gelas
anggurmu?
pantai akan tuntas membekas pada jiwa
usai dan tandas sebelum tiba senja
tapi yang abadi selalu kenangan
rekah dan sumringah bagai bunga pandan,
ihwal yang senantiasa menuntunmu
abadi dalam pasang
surut musim
mimpi terpanjangmu adalah keheningan
angan yang menyesatkan pengembara pada
rahasia cuaca dan
getar cahaya
guratkan lagi aksara penghabisan
agar sempurna kepedihan demi kepedihan
Desember 2006
Pada
Akhirnya
pada akhirnya kita
akan bertemu di hampar samudra
bersama merayakan asin garam
mengurai abu menjadi serpih-serpih haru
kau dengar senja berkisah
pada dedaun ketapang
yang mengalunkan lagu rindu
ke pucuk-pucuk mercusuar
ke tiang-tiang layar yang patah
hingga pasir menyerap segala sisa kenangan
segala sisa buih yang membuncah-buncah
di tepian
jiwamu
mungkin juga jiwaku
pada akhirnya kita adalah kata
yang gemetar di dua bibir
menakar jejak pasir di lingkar puting
memaknai langit yang mudah berganti rupa
atau bayang kelabu sepasang camar
yang tersesat dalam kelam badai
upacara belum usai
belum genap usia hari
tapi kau masih susuri pantai
yang sama berkali-kali
hingga kita kembali bertemu
dalam larutan garam dan abu
yang dulu-dulu juga
Sindhu
- buat: i.p.m-
di sindhu
selembar daun waru
menyerpih
menjadi 17 suku kata
pada putih pasir
yang mengulum buih bir
kau sebut itu
haiku yang menunggu
kehadiranmu
perahu dengan cahaya pelita pudar
mengapa luput dari kilau tatap matamu
bagai mutiara yang hampir matang
kau rampungkan hening
dalam nyaman cangkang kerang
namun, di sindhu
yang sisa hanya lagu bisu
dan haiku
menyimpan rahasia
daun waru tua
(Desember 2006)
4 jempol bwt post.a
ReplyDelete