Labels

Friday, 21 October 2011

Puisi-puisi 2005

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Di Sudut Kafe


pada meja kayu
cangkir jadi dingin dan kenangan ungu
tapi kau masih berceloteh tentang puisi tak jadi
           aku terpukau lukisan kaca di dinding:
                                 empat badut main ayunan

apalagi kau risaukan?
hari akan segera surut
ke dalam cangkir kopi
            lukisan mural di sudut kafe
mengabarkan duka tukang becak
dan nenek renta penjunjung kayu bakar

aku ingin kau berkisah
perihal malam pedih
namun dari botol coca-cola
kau tuangkan dongeng negeri salju

asbak penuh puntung
tak ada guna lama-lama
merenungi sepi di sudut kafe
batuk menahun
               telah mencekik hayatmu


2005


Paranoia


telah kau tularkan paranoia itu
pada jiwaku murung
                 serupa burung
kau bisa tebang ke mana suka
ranting-ranting yang kau hinggapi
         rapuh dan diliputi kecemasan

         apa makna setia
         bagi hijau pucuk bambu?

kau coba cicipi rasa dosa
ada dua jiwa dalam dirimu
satu setia ke timur
satu pasrah ke barat

apa lagi yang mesti kupahami?
saat laut pasang, kenangan kita
                           tergerus ombak
       senja hanya hampa
di hampar pasir aku tengadah
meneliti jejak rasi mithuna
           yang melingkupi jiwamu

kau duga aku berhati kelam
namun waktu punya pendulum
menunjuk yang pantas dirajam


2005


Penjaga Kata (1)

    
hilang sudah kau
     angan mendulang
sukmamu, segala lara yang
ingin abadi dalam pusara musim
          fitrahmu hanya kata-kata hampa

tidurkan mimpimu di sela
                          iga yang segera rontok
demi memuja larik-larik sajak
          aku hanya penyair tua di gua garba
          kau pembaca rabun segala makna

nikmati saja janji-janji puisi
gelegak surga yang ingin kau raih
          entah di atap langit ke berapa
raung itu kembali bergema
           tapi tak kau yakini sebagai
                                    ilusi yang nisbi

pemburu makna terkutukkah kau
upayamu sia-sia mengais sisa kata
           ihwal yang senantiasa kandas
seperti rama-rama hangus
           ingin tandas di sumbu lampu


2005


Penjaga Kata (2)


pemuja bintang dini
      upaya apa lagi mampu
imbangi segala igau
      segala resah, segala keluhmu
              ingin raih ufuk yang lapuk

nujumanmu kata-kata semu
     irama yang ragu
                  ritma yang kaku
walau kau coba segala peribahasa
     apa inginnya puisi yang melolong sepi
             ngembara dari puing-puing bunyi

jangan titahkan waktu
        ujung lorong kelabu
                  gaung gema yang sia-sia
angankan puisi sejatiku

semestinya cermin itu benar
      akan membuka rahasia kata
memantulkan bayangmu yang gagu
                 pada segala warna musim
atau kau hanya penadah
                        halimun yang sirna

kini kilau benakmu
akan segera mengerak
         tak mampu lagi
                      akhiri luka kata


2005


Penjaga Kata (3) 
    

         fatamorgana apa lagi
alirkan kilasan-kilasan warna
         jejak yang kikuk di simpang jalan
antara kampung kumuh dan kota tua
                       rahasia mimpimu terkubur

aku tak ingin kau jadi pecundang
pesakitan yang sekarat menunggu
                  ajal datang menjelang

mungkin masih mampu kau raih
angan penyair yang tintanya telah tandas
        umpama pohon gugur daun
meranggas sembari memuja masa silam
             untaian kenangan menyerpih

dulu pernah aku mengeram mimpi
endapan kerak yang telah menghitam
             nujuman palsu aksara tua
gurat-gurat pun makin sempurna di keningku
             apa lagi yang mesti diucapkan
nyanyian jiwamu makin sumbang

cuaca tanah leluhur telah lama kita lupa
         embun pun tidak lagi bening
rasa pagi menghilang dari jiwaku
         pudar serupa bayang-bayang samar
                   erang purba yang bikin ngilu
                nujuman kelabu si tukang sihir


2005


Ode Untuk Penunggang Kuda


usiamu makin mendera, kuda tua
        meringkik letih di jalanan berbatu
begitu dungu kau di atas pelana
        usir mimpimu sebelum tiba pagi

lelahkah kau berpacu
        arak menunggu kau reguk
namamu terpahat di guci tua itu
        di antara relief-relief purba
utas tali kekang pun putus kau hentak

pejamkan sejenak rindu-dendammu
         agar kau mampu pahami
rahasia lubuk-lubuk puisi
         agar kau bisa dendangkan sendiri
nyanyi anak-anak di jalanan desa
         girang, girangkan hatimu selalu
gemakan siulmu di tebing-tebing cadas
         iringi senja yang kembali…


2005


 Lirik Untuk Pengigau     


walau kau terus susuri malam
          aku tak tahu sampai kapan
ruhmu menuju kilau abadi bintang
          igau yang kekal serupa ajal
hembuskan kata-katamu di ujung lidah

          wilayah mana tak kau jelajah
istana musim semi menutup gerbangnya
          siapa mampu meraba arah waktu
alur yang melingkar serupa ular tidur
          tapi peta telah kau buka
saat senja mati rasa di jiwamu
          apakah arah, apatah tuju
nujumanmu tak lagi bermakna
          amsal pun lupa ihwal kata


2005


 Dongeng Untuk Bondet


       selalu saja muncul sesal
iringi kabar dari kapal asing yang
galau dihempas musim gelombang
       impas sudah segala sial
tempias yang menderas di tepi geladak

segera siapkan pelampung
       ucapkan doa terakhir
siapa tahu takdir akhir menjauh
       atau kita karam sebelum subuh
namamu mungkin lekang, namaku hilang
tapi maut akan memahat tugu bagi jiwa agung
        ombak pun tunduk saat kau sibakkan laut


2005


 Sajak Untuk Pemabuk
        

guratkan dukamu di batang-batang pohon
       dedahkan kenangan di bawah hujan
eram segala risau di sarang kepompong

pendulum masa silam telah berayun
       hanya sisa satu kemungkinan
arahkan busurmu lurus-lurus
lepaskan panah hidupmu hingga melesat
       atau kau tertikam panahmu sendiri
yang kau asah begitu yakin siang-malam
       apakah kau akan mati
                  sebelum mimpimu berpijar
arah mana akan kau tempuh

segala luka akan jadi abadi
umpama uap tuak di bumbung tua
        kita bersulang untuk yang hilang
mabuk, mabuklah hingga subuh menjelang
atau kau akan ditinggalkan waktu
       kemasi semua utang, lalu
                    ambil sebumbung tuak lagi
rasakan aroma terakhirnya
       seperti mimpi yang tiba-tiba sirna
akan kembali di ambang petang


2005


 Lagu Untuk Yok


telaga telah lama kering
         apa mungkin ikan bertahan
nasib baik tak kunjung datang

lalu apa guna duduk mencangkung
        irama gitarmu serasa makin sumbang
oleh-oleh masa silam yang kau rindukan selalu
        entah sampai kapan kau menunggu di situ

ingatanmu akan meranggas dan fana
       empat puluh tujuh musim semi sia-sia


2005


 Yang Fana Senantiasa Fana


akhirnya kita tak saling mengerti
meski kita punya kenangan
seperti jambangan
penuh bunga warna-warni

mungkin hanya senja
masih menautkan jiwa kita

atau senja tidak lagi menjelma
seperti mimpimu

ritual tidak lagi digelar
malam-malam segera hablur
ke dalam tidur yang nglindur

mungkin kau bosan
pada sesuatu yang rutin
mungkin ada kupu-kupu liar
membujukmu dengan tarian

yang baka
tidak baka

yang fana
senantiasa fana


15 April 2005

 Kwitang, Jakarta
    

kucoba raba bayangmu
di sela-sela rak buku berdebu
kutahu kau menyelinap di situ
pada kitab-kitab sejarah
yang meluruh jadi abu

apa yang coba kau tawar
ketika aksara tidak lagi
punya makna pasti
di kotamu yang melipur
mimpi-mimpi penyair

masihkah bayangmu
melekat pada jejak-jejak kata
di kitab-kitab tua itu
bertahun-tahun aku memburumu
hingga tak jua kutemukan kau

mungkin kau
telah jadi abu
dalam puisi
penyair urban
yang rabun
membaca jaman


Juni 2005


Salemba, Jakarta


hanya peluh membasuh
                   jalan-jalan kota
aku tersuruk-suruk sendiri
asing di antara wangi parfum
                   dan bau bacin selokan

di depan St. Carolus
kau resah menunggu bus
ketika sunyi merambah slang infus
      asma dan tifus
saling berpacu gerogoti tubuh kurus

hanya peluh membasuh
kaca-kaca jendela bus kota yang penuh
      dan airmata membasahi aspal jalan
di mana kau tunggu kepastian?

aku saksikan sekeping cinta tembikar
hancur diinjak pejalan sibuk
dan lumat dilindas kendaraan yang pikuk
wangi parfum mengambang
                       bercampur bau bacin

dan, di sebuah kamar putih di St. Carolus
urat biruku ditembus jarum infus
                     entah kapan aku lampus


Juni 2005


Pantai Ancol


dan kita pun sampai
setelah lelah berjalan
mengukur dan mengukir terik hari

warna laut masih seperti dulu
                        kelabu dan kelabu
perahu-perahu kecil menunggu
                                    di dermaga kayu
senja sempurna tanpa ciuman mesra

dulu pernah kau tatah namamu
di bilah kayu di ujung dermaga
dan angin garam menuntaskan
                            segala yang fana

di tepi pantai
kau lantunkan syair-syair cinta
begitu merdu dan syahdu
hingga menyihir langit jadi kelam
sekelam matamu menatap hampa
            lampu-lampu kota jakarta

dari lengkung alis
gerimis turun ritmis
menggurat siluet kepak camar
yang bergegas menuju sarang

“hujan-topan akan tiba,” cemasmu

apa bulu-bulu mata bisa gugur
seperti dedaun waru atau bulu camar
                           di tengah angin resah
apa kau percaya
kita telah tiba di pantai
yang kau angankan

aku merasa
ada yang diam-diam
menyusun airmata
jadi candi-candi pasir


Juni 2005


Di Kafe Tera, Rawamangun, Jakarta


buih bir itu mungkin pernah
    menduga dirinya buih laut

sampai kau bertutur
tentang ladang dan kampung
           yang hampir rampung
                       diserang wereng
jagung pun tak mampu matang
musim kering begitu kerontang
hingga segala benih jadi garing

kau tuang laut ke dalam gelas
aku tahu, malam segera tuntas
dan asap kretek akan tumpas
             dari bibirku yang haus

“aku dari indramayu,” ujarmu

indramayu, sebuah daerah kuyu
                       di pesisir utara jawa
                              penuh janda ayu
perahu-perahu suka berlabuh di situ

“apa kau tidak mau berlabuh?”

nenti, nenti, sunenti...
aku hanya pejalan sunyi
melulu ditemani duri
yang melekat di tapak kaki
pedihnya tak kurasa lagi

di bibirku yang rekah
buih laut itu
mungkin menduga dirinya buih bir
                     
malam bergumam
di sudut paling suram
                   kafe tera


Juni 2005


Menyusuri Jakarta Tengah Malam


tak ada lagi yang bisa selamatkan kita
menghindari malam yang makin buram
mari susuri saja jalan ini
sejauh mana kita mampu berjalan

letih hanya milik waktu
dan ragu akan segera berlalu
dari sendu matamu

lampu-lampu kota
makin tua cahyanya
namun wajahmu yang belia
membayang di setiap warna iklan
senantiasa menggoda

di mana kita mesti singgah
untuk sekedar istirah
menghentikan langkah
rumah terlalu jauh
dan losmen murah hanya sisa keluh
mungkin juga sejumput lenguh

mengapa cemas pada selimut tipis
yang menutup kawasan rawan tubuhmu
selimut yang serupa selaput itu
mungkin terlalu rapuh
tapi yang suci adalah hati, kekasih

“dan yang setia adalah perjalanan,” gumammu

kau gagu
meraba wajahku
aku kelu menduga kilau
airmata di pelupukmu
seperti embun
di lembah subuh


2005


Dago, Bandung

    
malam menjelang
sudut-sudut kota mengembang
penuh senyum kepayang

udara dingin menyusup di sela serat syal biru
aku terkenang sepasang alismu
yang melengkung malang
mewartakan duka burung-burung usiran

di dago di sepanjang jalan lempang
kembang dan kumbang melenggang
seakan tak hirau kabut linglung

tapi pada cangkir cappucino hangat
senyummu membayang ranum
masihkah bibirmu sehangat
saat kutinggalkan kotamu

andai kau di sini
tentu kemerlip lampu di lembah dago
lebih punya arti
namun hanya seleret pinus
mengurai makna airmata panas
meleleh pada jarak dan jejak


Juli 2005

    
 Di Dago Tea House
           

cahaya senja menerpa wajah
hujan telah lama reda
di reranting cemara rapuh
di atap-atap sirap pendapa

seulas senyum
tiba di muka pintu
secerah tatap mata
yang coba padamkan senja

tapi senja tak pernah padam

“kau samar dalam mimpiku,” serumu

dan senja kembali paripurna

mengapa kau tak percaya
kata milik pengembara
mampu hangat
sekaligus laknat

“karena aku menggenggam udara,” tukasmu

tapi kau pergi
tanpa kata-kata janji
tapi aku pergi
tanpa pamit pada puisi

lalu kau ramu serpih-serpih kenang
di ujung senja yang hampir lekang

dan suara hujan telah henti
sedari tadi


Juli 2005


Menjaga Malam Braga
     

di braga
malam belum hablur
dan lampu-lampu belum tidur
masih berjaga bersama ingar
                musik pub dan kafe
trotoar nglindur
mabuk wangi

di bawah atap kedai
kau duduk sendiri
menunggu pagi
mengakhiri mimpi
penghuni kota bunga

dan gedung-gedung sisa kolonial
anggun merangkum malam

apa makna puisi
bagi pejalan kaki

sihir lampu iklan
masih mengikuti bayang diri
hingga ke sudut-sudut gang kotamu

“di braga, lukamu tak akan sempurna,”
                                              bisikmu

aku rindu braga
       entah mengapa

kau menjaga
luka yang lena


Juli 2005


Elegi Jimbaran


belum genap rasa gurih
             ikan bakar di lidah
telah kau tebar pasir
                        di biji mataku

bibirku kelu
menatap buih ombak bercampur darah
               dan serpih daging kekasih

mengapa pasir bergetar tiba-tiba
dan ombak membuncah
tak paham malam beringsut diam-diam

ke mana lenyapnya tawa canda tadi senja
saat sepasang sejoli saling rapatkan bibir
di bawah siraman cahaya lampu-lampu kafe

hanya jerit tangis
berpadu pekik cemas camar
orang-orang panik
kursi-kursi kayu terlempar ke udara
dan puing kafe rontok

di piringku yang retak
terhidang sebongkah tangan
                      hampir remuk

dari balik kelam
durjana menyeringai
si bedebah bersiul riang
memandang mata hampa bocah
kehilangan ibu

(Oktober 2005)



Requem Juni


dalam kamar sempitmu
apa yang kau pahami
kau tak memiliki apa-apa lagi
seperti kembali ke dalam rahim
ke mula asal

suara parau burung hantu
seperti luka masa lalu
dan langit itu juga
adalah langit sebelum kau
mencium tanah dengan hati luluh

mata betina berkali-kali memukaumu
kau merasa menemukan nirwana di situ
pada bibir ranum
pada payudara padat
pada pinggul bulat
kau tenggelamkan diri dalam kolam berlumpur
menyusup ke celah kelopak seroja merah muda

kau hanya noktah
pada hamparan semestamu sendiri

dalam kamar sempitmu
kau menyulap diri jadi pertapa bisu
kitab-kitab telah rapuh
mengapa kau masih bersikukuh
ingin mengekalkan waktu
dalam kerumunan kenangan
yang kelak akan musnah

serupa kepiting tua
kau hanya mampu berlindung pada kulit kerasmu
jiwamu rapuh pada sekeliling

seperti penyu
kau sembunyikan kepala dalam tempurung
apa dayamu, o, si lugu biru

seorang pandir berkata:
   “kau penyembah berhala,
     pemakan babi,
     pezinah pelacur..”

tapi kau terus memburu cahaya
dalam lubang hitam semesta
sebab kitab-kitab agama
tak lagi bermakna
bagi pengembara abadi

matamu adalah langit
jiwamu lautan biru
aku semayam dalam ruhmu
kau senyawa dalam diriku


2005


 Sanur


lekuk dan lenggok pinggul padat
menghadang mataku yang penat
ini senja penghabisan
dan pantai hanya lenguh ombak
o, rambut yang  terurai
yang membuai birahi
wangi yang mengatupkan kelopak mawar laut

rembang petang
gemerisik angin di pepucuk waru
perahu-perahu kembali pulang
dan pinggulmu yang telah matang
mengapa menunggu ujung senja kelabu


2005

No comments:

Post a Comment