Di
Sudut Kafe
pada
meja kayu
cangkir
jadi dingin dan kenangan ungu
tapi
kau masih berceloteh tentang puisi tak jadi
aku terpukau lukisan kaca di
dinding:
empat badut
main ayunan
apalagi
kau risaukan?
hari
akan segera surut
ke
dalam cangkir kopi
lukisan mural di sudut kafe
mengabarkan
duka tukang becak
dan
nenek renta penjunjung kayu bakar
aku
ingin kau berkisah
perihal
malam pedih
namun
dari botol coca-cola
kau
tuangkan dongeng negeri salju
asbak
penuh puntung
tak
ada guna lama-lama
merenungi
sepi di sudut kafe
batuk
menahun
telah mencekik hayatmu
telah
kau tularkan paranoia itu
pada
jiwaku murung
serupa burung
kau
bisa tebang ke mana suka
ranting-ranting
yang kau hinggapi
rapuh dan diliputi kecemasan
apa makna setia
bagi hijau pucuk bambu?
kau
coba cicipi rasa dosa
ada
dua jiwa dalam dirimu
satu
setia ke timur
satu
pasrah ke barat
apa
lagi yang mesti kupahami?
saat
laut pasang, kenangan kita
tergerus ombak
senja hanya hampa
di
hampar pasir aku tengadah
meneliti
jejak rasi mithuna
yang melingkupi jiwamu
kau
duga aku berhati kelam
namun
waktu punya pendulum
menunjuk
yang pantas dirajam
2005
Penjaga
Kata (1)
hilang
sudah kau
angan mendulang
sukmamu,
segala lara yang
ingin
abadi dalam pusara musim
fitrahmu hanya kata-kata hampa
tidurkan
mimpimu di sela
iga yang segera rontok
demi
memuja larik-larik sajak
aku hanya penyair tua di gua garba
kau pembaca rabun segala makna
nikmati
saja janji-janji puisi
gelegak
surga yang ingin kau raih
entah di atap langit ke berapa
raung
itu kembali bergema
tapi tak kau yakini sebagai
ilusi yang
nisbi
pemburu
makna terkutukkah kau
upayamu
sia-sia mengais sisa kata
ihwal yang senantiasa kandas
seperti
rama-rama hangus
ingin tandas di sumbu lampu
2005
Penjaga
Kata (2)
pemuja
bintang dini
upaya apa lagi mampu
imbangi
segala igau
segala resah, segala keluhmu
ingin raih ufuk yang lapuk
nujumanmu
kata-kata semu
irama yang ragu
ritma yang kaku
walau
kau coba segala peribahasa
apa inginnya puisi yang melolong sepi
ngembara dari puing-puing bunyi
jangan
titahkan waktu
ujung lorong kelabu
gaung gema yang sia-sia
angankan
puisi sejatiku
semestinya
cermin itu benar
akan membuka rahasia kata
memantulkan
bayangmu yang gagu
pada segala warna musim
atau
kau hanya penadah
halimun yang sirna
kini
kilau benakmu
akan
segera mengerak
tak mampu lagi
akhiri luka kata
2005
Penjaga
Kata (3)
fatamorgana apa lagi
alirkan
kilasan-kilasan warna
jejak yang kikuk di simpang jalan
antara
kampung kumuh dan kota tua
rahasia mimpimu terkubur
aku
tak ingin kau jadi pecundang
pesakitan
yang sekarat menunggu
ajal datang menjelang
mungkin
masih mampu kau raih
angan
penyair yang tintanya telah tandas
umpama pohon gugur daun
meranggas
sembari memuja masa silam
untaian kenangan menyerpih
dulu
pernah aku mengeram mimpi
endapan
kerak yang telah menghitam
nujuman palsu aksara tua
gurat-gurat
pun makin sempurna di keningku
apa lagi yang mesti diucapkan
nyanyian
jiwamu makin sumbang
cuaca
tanah leluhur telah lama kita lupa
embun pun tidak lagi bening
rasa
pagi menghilang dari jiwaku
pudar serupa bayang-bayang samar
erang purba yang bikin ngilu
nujuman kelabu si tukang sihir
2005
Ode
Untuk Penunggang Kuda
usiamu
makin mendera, kuda tua
meringkik letih di jalanan berbatu
begitu
dungu kau di atas pelana
usir mimpimu sebelum tiba pagi
lelahkah
kau berpacu
arak menunggu kau reguk
namamu
terpahat di guci tua itu
di antara relief-relief purba
utas
tali kekang pun putus kau hentak
pejamkan
sejenak rindu-dendammu
agar kau mampu pahami
rahasia
lubuk-lubuk puisi
agar kau bisa dendangkan sendiri
nyanyi
anak-anak di jalanan desa
girang, girangkan hatimu selalu
gemakan
siulmu di tebing-tebing cadas
iringi senja yang kembali…
2005
Lirik
Untuk Pengigau
walau
kau terus susuri malam
aku tak tahu sampai kapan
ruhmu
menuju kilau abadi bintang
igau yang kekal serupa ajal
hembuskan
kata-katamu di ujung lidah
wilayah mana tak kau jelajah
istana
musim semi menutup gerbangnya
siapa mampu meraba arah waktu
alur
yang melingkar serupa ular tidur
tapi peta telah kau buka
saat
senja mati rasa di jiwamu
apakah arah, apatah tuju
nujumanmu
tak lagi bermakna
amsal pun lupa ihwal kata
2005
Dongeng
Untuk Bondet
selalu saja muncul sesal
iringi
kabar dari kapal asing yang
galau
dihempas musim gelombang
impas sudah segala sial
tempias
yang menderas di tepi geladak
segera
siapkan pelampung
ucapkan doa terakhir
siapa
tahu takdir akhir menjauh
atau kita karam sebelum subuh
namamu
mungkin lekang, namaku hilang
tapi
maut akan memahat tugu bagi jiwa agung
ombak pun tunduk saat kau sibakkan laut
2005
Sajak
Untuk Pemabuk
guratkan
dukamu di batang-batang pohon
dedahkan kenangan di bawah hujan
eram
segala risau di sarang kepompong
pendulum
masa silam telah berayun
hanya sisa satu kemungkinan
arahkan
busurmu lurus-lurus
lepaskan
panah hidupmu hingga melesat
atau kau tertikam panahmu sendiri
yang
kau asah begitu yakin siang-malam
apakah kau akan mati
sebelum mimpimu berpijar
arah
mana akan kau tempuh
segala
luka akan jadi abadi
umpama
uap tuak di bumbung tua
kita bersulang untuk yang hilang
mabuk,
mabuklah hingga subuh menjelang
atau
kau akan ditinggalkan waktu
kemasi semua utang, lalu
ambil sebumbung tuak lagi
rasakan
aroma terakhirnya
seperti mimpi yang tiba-tiba sirna
akan
kembali di ambang petang
2005
Lagu
Untuk Yok
telaga
telah lama kering
apa mungkin ikan bertahan
nasib
baik tak kunjung datang
lalu
apa guna duduk mencangkung
irama gitarmu serasa makin sumbang
oleh-oleh
masa silam yang kau rindukan selalu
entah sampai kapan kau menunggu di situ
ingatanmu
akan meranggas dan fana
empat puluh tujuh musim semi sia-sia
2005
Yang
Fana Senantiasa Fana
akhirnya
kita tak saling mengerti
meski
kita punya kenangan
seperti
jambangan
penuh
bunga warna-warni
mungkin
hanya senja
masih
menautkan jiwa kita
atau
senja tidak lagi menjelma
seperti
mimpimu
ritual
tidak lagi digelar
malam-malam
segera hablur
ke
dalam tidur yang nglindur
mungkin
kau bosan
pada
sesuatu yang rutin
mungkin
ada kupu-kupu liar
membujukmu
dengan tarian
yang
baka
tidak
baka
yang
fana
senantiasa
fana
15
April 2005
Kwitang,
Jakarta
kucoba
raba bayangmu
di
sela-sela rak buku berdebu
kutahu
kau menyelinap di situ
pada
kitab-kitab sejarah
yang
meluruh jadi abu
apa
yang coba kau tawar
ketika
aksara tidak lagi
punya
makna pasti
di
kotamu yang melipur
mimpi-mimpi
penyair
masihkah
bayangmu
melekat
pada jejak-jejak kata
di
kitab-kitab tua itu
bertahun-tahun
aku memburumu
hingga
tak jua kutemukan kau
mungkin
kau
telah
jadi abu
dalam
puisi
penyair
urban
yang
rabun
membaca
jaman
Juni
2005
Salemba,
Jakarta
hanya
peluh membasuh
jalan-jalan kota
aku
tersuruk-suruk sendiri
asing
di antara wangi parfum
dan bau bacin selokan
di
depan St. Carolus
kau
resah menunggu bus
ketika
sunyi merambah slang infus
asma dan tifus
saling
berpacu gerogoti tubuh kurus
hanya
peluh membasuh
kaca-kaca
jendela bus kota yang penuh
dan airmata membasahi aspal jalan
di
mana kau tunggu kepastian?
aku
saksikan sekeping cinta tembikar
hancur
diinjak pejalan sibuk
dan
lumat dilindas kendaraan yang pikuk
wangi
parfum mengambang
bercampur bau bacin
dan,
di sebuah kamar putih di St. Carolus
urat
biruku ditembus jarum infus
entah kapan aku lampus
Juni
2005
dan
kita pun sampai
setelah
lelah berjalan
mengukur
dan mengukir terik hari
warna
laut masih seperti dulu
kelabu dan kelabu
perahu-perahu
kecil menunggu
di dermaga
kayu
senja
sempurna tanpa ciuman mesra
dulu
pernah kau tatah namamu
di
bilah kayu di ujung dermaga
dan
angin garam menuntaskan
segala yang fana
di
tepi pantai
kau
lantunkan syair-syair cinta
begitu
merdu dan syahdu
hingga
menyihir langit jadi kelam
sekelam
matamu menatap hampa
lampu-lampu kota jakarta
dari
lengkung alis
gerimis
turun ritmis
menggurat
siluet kepak camar
yang
bergegas menuju sarang
“hujan-topan
akan tiba,” cemasmu
apa
bulu-bulu mata bisa gugur
seperti
dedaun waru atau bulu camar
di tengah angin
resah
apa
kau percaya
kita
telah tiba di pantai
yang
kau angankan
aku
merasa
ada
yang diam-diam
menyusun
airmata
jadi
candi-candi pasir
Juni
2005
Di
Kafe Tera, Rawamangun, Jakarta
buih
bir itu mungkin pernah
menduga dirinya buih laut
sampai
kau bertutur
tentang
ladang dan kampung
yang hampir rampung
diserang wereng
jagung
pun tak mampu matang
musim
kering begitu kerontang
hingga
segala benih jadi garing
kau
tuang laut ke dalam gelas
aku
tahu, malam segera tuntas
dan
asap kretek akan tumpas
dari bibirku yang haus
“aku
dari indramayu,” ujarmu
indramayu,
sebuah daerah kuyu
di pesisir utara jawa
penuh janda ayu
perahu-perahu
suka berlabuh di situ
“apa
kau tidak mau berlabuh?”
nenti,
nenti, sunenti...
aku
hanya pejalan sunyi
melulu
ditemani duri
yang
melekat di tapak kaki
pedihnya
tak kurasa lagi
di
bibirku yang rekah
buih
laut itu
mungkin
menduga dirinya buih bir
malam
bergumam
di
sudut paling suram
kafe tera
Juni
2005
Menyusuri
Jakarta Tengah Malam
tak
ada lagi yang bisa selamatkan kita
menghindari
malam yang makin buram
mari
susuri saja jalan ini
sejauh
mana kita mampu berjalan
letih
hanya milik waktu
dan
ragu akan segera berlalu
dari
sendu matamu
lampu-lampu
kota
makin
tua cahyanya
namun
wajahmu yang belia
membayang
di setiap warna iklan
senantiasa
menggoda
di
mana kita mesti singgah
untuk
sekedar istirah
menghentikan
langkah
rumah
terlalu jauh
dan
losmen murah hanya sisa keluh
mungkin
juga sejumput lenguh
mengapa
cemas pada selimut tipis
yang
menutup kawasan rawan tubuhmu
selimut
yang serupa selaput itu
mungkin
terlalu rapuh
tapi
yang suci adalah hati, kekasih
“dan
yang setia adalah perjalanan,” gumammu
kau
gagu
meraba
wajahku
aku
kelu menduga kilau
airmata
di pelupukmu
seperti
embun
di
lembah subuh
2005
Dago,
Bandung
malam
menjelang
sudut-sudut
kota mengembang
penuh
senyum kepayang
udara
dingin menyusup di sela serat syal biru
aku
terkenang sepasang alismu
yang
melengkung malang
mewartakan
duka burung-burung usiran
di
dago di sepanjang jalan lempang
kembang
dan kumbang melenggang
seakan
tak hirau kabut linglung
tapi
pada cangkir cappucino hangat
senyummu
membayang ranum
masihkah
bibirmu sehangat
saat
kutinggalkan kotamu
andai
kau di sini
tentu
kemerlip lampu di lembah dago
lebih
punya arti
namun
hanya seleret pinus
mengurai
makna airmata panas
meleleh
pada jarak dan jejak
Juli
2005
Di
Dago Tea House
cahaya
senja menerpa wajah
hujan
telah lama reda
di
reranting cemara rapuh
di
atap-atap sirap pendapa
seulas
senyum
tiba
di muka pintu
secerah
tatap mata
yang
coba padamkan senja
tapi
senja tak pernah padam
“kau
samar dalam mimpiku,” serumu
dan
senja kembali paripurna
mengapa
kau tak percaya
kata
milik pengembara
mampu
hangat
sekaligus
laknat
“karena
aku menggenggam udara,” tukasmu
tapi
kau pergi
tanpa
kata-kata janji
tapi
aku pergi
tanpa
pamit pada puisi
lalu
kau ramu serpih-serpih kenang
di
ujung senja yang hampir lekang
dan
suara hujan telah henti
sedari
tadi
Juli
2005
Menjaga
Malam Braga
di
braga
malam
belum hablur
dan
lampu-lampu belum tidur
masih
berjaga bersama ingar
musik pub dan kafe
trotoar
nglindur
mabuk
wangi
di
bawah atap kedai
kau
duduk sendiri
menunggu
pagi
mengakhiri
mimpi
penghuni
kota bunga
dan
gedung-gedung sisa kolonial
anggun
merangkum malam
apa
makna puisi
bagi
pejalan kaki
sihir
lampu iklan
masih
mengikuti bayang diri
hingga
ke sudut-sudut gang kotamu
“di
braga, lukamu tak akan sempurna,”
bisikmu
aku
rindu braga
entah mengapa
kau
menjaga
luka
yang lena
Juli
2005
Elegi
Jimbaran
belum
genap rasa gurih
ikan bakar di lidah
telah
kau tebar pasir
di biji mataku
bibirku
kelu
menatap
buih ombak bercampur darah
dan serpih daging kekasih
mengapa
pasir bergetar tiba-tiba
dan
ombak membuncah
tak
paham malam beringsut diam-diam
ke
mana lenyapnya tawa canda tadi senja
saat
sepasang sejoli saling rapatkan bibir
di
bawah siraman cahaya lampu-lampu kafe
hanya
jerit tangis
berpadu
pekik cemas camar
orang-orang
panik
kursi-kursi
kayu terlempar ke udara
dan
puing kafe rontok
di
piringku yang retak
terhidang
sebongkah tangan
hampir remuk
dari
balik kelam
durjana
menyeringai
si
bedebah bersiul riang
memandang
mata hampa bocah
kehilangan
ibu
(Oktober
2005)
dalam
kamar sempitmu
apa
yang kau pahami
kau
tak memiliki apa-apa lagi
seperti
kembali ke dalam rahim
ke
mula asal
suara
parau burung hantu
seperti
luka masa lalu
dan
langit itu juga
adalah
langit sebelum kau
mencium
tanah dengan hati luluh
mata
betina berkali-kali memukaumu
kau
merasa menemukan nirwana di situ
pada
bibir ranum
pada
payudara padat
pada
pinggul bulat
kau
tenggelamkan diri dalam kolam berlumpur
menyusup
ke celah kelopak seroja merah muda
kau
hanya noktah
pada
hamparan semestamu sendiri
dalam
kamar sempitmu
kau
menyulap diri jadi pertapa bisu
kitab-kitab
telah rapuh
mengapa
kau masih bersikukuh
ingin
mengekalkan waktu
dalam
kerumunan kenangan
yang
kelak akan musnah
serupa
kepiting tua
kau
hanya mampu berlindung pada kulit kerasmu
jiwamu
rapuh pada sekeliling
seperti
penyu
kau
sembunyikan kepala dalam tempurung
apa
dayamu, o, si lugu biru
seorang
pandir berkata:
“kau penyembah berhala,
pemakan babi,
pezinah pelacur..”
tapi
kau terus memburu cahaya
dalam
lubang hitam semesta
sebab
kitab-kitab agama
tak
lagi bermakna
bagi
pengembara abadi
matamu
adalah langit
jiwamu
lautan biru
aku
semayam dalam ruhmu
kau
senyawa dalam diriku
2005
Sanur
lekuk
dan lenggok pinggul padat
menghadang
mataku yang penat
ini
senja penghabisan
dan
pantai hanya lenguh ombak
o,
rambut yang terurai
yang
membuai birahi
wangi
yang mengatupkan kelopak mawar laut
rembang
petang
gemerisik
angin di pepucuk waru
perahu-perahu
kembali pulang
dan
pinggulmu yang telah matang
mengapa
menunggu ujung senja kelabu
2005
No comments:
Post a Comment