Labels

Friday 21 October 2011

Puisi-puisi 2009

Sajak-sajak Wayan Sunarta

Lovina


begitulah ombak pagi ini
menepi merayapi celah indah hatimu

secangkir kopi dan jiwa yang baka
mengapa mesti kau kisahkan resah
          selalu ada yang berlalu
dan kita lebih dari paham
                        untuk tidak bertanya

jukung telah menjemput
kita melaju menyibak ombak
bertukar kabar pada angin
berbagi kasih pada pekik camar
mengaca pada mata bening lumba-lumba
agar mengerti makna kedalaman cinta

di manakah akhir pelayaran
         pesisir tak tampak mata
kedalaman laut serupa jiwamu
         selalu ada yang tiada terduga

aku pasrah dalam siul angin
merasakan matahari pagi
                  berbinar di mataku
dan tahulah aku
senyummu telah melarutkan aku
dalam pusaran laut yang kucintai


(Lovina, Buleleng, Bali, Januari 2009)


Lovina (2)


dedaun waru menatap sendu
pelupuk kelabu matamu
kepiting ragu-ragu melaju
di hampar pasir hitam

jiwa galau menatap samudra
sampai dimanakah kita
lelah adalah langkah terakhir
sebelum tiba di ujung pesisir


 (Lovina, Buleleng, Januari 2009)


Lorong Batu di Julah


menyusuri lorong batu
aku menemukan jiwaku
tersesat di situ
lumut mengerak
dan aku kaku tanpa gerak

entah di mana ujung lorong batu ini
         aku menepi dari hari
yang menindas kesejatianku

lorong batu
di kiri kanan rumpun bambu
seberapa jauhkah kerling matamu
        hingga aku terpukau
hamparan lumut yang terus merambat
                   ke lubuk terkelam jiwaku

aku telah tersesat
aku biarkan diri hanyut
menyusuri lorong batu


(Julah, Buleleng, Januari 2009)


 Singa Tua
-obituari Penyair Ketut Suwidja-


singa tua yang sendiri itu
kini telah ditumbuhi sayap
lalu lesap ke dalam asap
dupa dan menyan

tiada lagi penguasa halimun
di hutan larangan
semua suara
jadi senyap
jadi sayap
tanpa kepak

bunga-bunga kopi luruh
di tengah gerimis amis
darah beku dalam tubuh

pucuk-pucuk cengkeh
perlahan kelam
angin hanya sisa
di sela-sela dedaun
yang pekat yang hitam

singa berbulu kelabu itu
adalah turunan singa bersayap api
suka mengembara ke lembah dan ngarai
               menyusuri tepi laut dan sungai
menggapai puncak-puncak bukit keramat
                        dan gunung-gunung asing

kerumunan aksara
di bilah-bilah lontar tua
makin memudar warnanya

dulu aksara-aksara itu
tergurat indah
di lubuk jiwa terdalam singa tua
yang berteman mambang dan memedi
yang mengaum sendiri di hutan larangan
hanya untuk merasakan angin
lebih dekat di dalam semadinya

di dangau di tengah kabut
sekelebat rindu dari langit
telah singgah
menjenguk singa tua
yang merana
yang menggigil
yang sekarat

maut yang hanya
mampir sebentar
menggetarkan senja
di penghabisan januari
yang basah yang resah
yang dingin airmata

jemari maut menyemai
wangi kamboja
di kening singa tua


(Karangasem, Bali, akhir Januari 2009)


Angin Telah Kembali
     -untuk: penyair ketut suwidja-


ke arah mana kini angin berhembus
entah sampai dimana lelayang sanggup terbang
        tak tahu gerimis telah mewarnai hari
usai sudah segala mimpi masa bocah
tak satu pun mampu direguk dari bumbung waktu

suara sunari makin menjauh
usai pula percakapan di bawah temaram bulan
walau kau masih rindu melantunkan selarik sajak
         irama dalam jiwa telah mati rasa
dan kau hanya termangu di ujung lorong malam
         jadi baiknya kita sudahi permainan
angin telah kembali ke dalam jiwa semesta


(Karangasem, Bali, Februari 2009)


 Pintu ke-34


burung hantu di dahan waru
memanggilku dengan lagu pilu
jengkrik mengerik di rekah tanah
              nyanyi serangga hening
di kuncup-kuncup bunga malam
         merasuki jiwa galau
menerka dan menakar waktu

sendiri meresapi sepi
bermuka-muka dengan diri
         tiada yang pasti
pada riak-riak telaga hari

hanya resah
membuncah
mendedah kalbu
yang nyaris hangus
oleh kenangan getas

mungkin di pintu kelu itu
         aku menunggu
kubacakan untukmu
kisah-kisah malam
        sekelam igau
burung-burung hantu


(Karangasem, Bali, 22 Juni 2009)


Peri Kecilku


tak mampu kutatap parasmu, peri kecilku
hanya bayangmu melintasi lengang petang
        ke mana kau akan terbang?
sayapmu masih terlalu rapuh
                                  untuk sekedar tetirah

suara serangga lelah merangkum malam
kabut pun luput dari jemari tanganmu
tak usai menebar getir, menyemai airmata

takdirmu hanya sampai di situ
             apa yang mampu kubantu
untuk sekedar mengantarmu sampai di pintu
             tanganku tak kuasa merengkuhmu

peri kecilku, matahari di bumi
         mungkin bukan milikmu
kau telah punya matahari lain
                  di dunia yang lain
bercahayalah senantiasa
dalam lubuk terkelam kalbuku

kini, biarlah aku melamunkanmu
termangu di ambang pintu
menerawangi malam kelabu
mengenang waktu-waktu sembilu

jika saat itu tiba
ijinkan aku meraba parasmu
agar sempurna doaku
                untukmu…


 (Karangasem, Bali, Juni 2009)


Tanah Tua


di tanah tua aku tiba
membawa bunga ilahi
dari jiwa yang senja

samaran cahaya melampaui kilau
bayang gerhana matamu-mataku
lingkaran kelabu luka masa lalu

di tanah tua
kita saling menduga
hidup yang fana

cuma ada sekerat kenangan
di celah hangat tubuhmu
namun jiwa telah paham
apa yang tak dirasa angin

di tanah tua
usai semua usia
pun cahaya
lupa cahaya


(Karangasem, Bali, Juli 2009)


Malam Telah Menjauh


malam telah menjauh
dari kelam matamu
ada secercah jiwa
menunggu dalam galau
tak tahu ke mana arah tuju

pada hitam matamu
kulihat tangan pengemis buta
                      menadah sedih

kata-kata meleleh
dari larik-larik sajakmu
yang penghabisan

malam telah menjauh
ke relung jiwa paling murung
menganga dalam bayang
terkelam dari kenangan

tak perlu kau pedulikan puisi-puisiku
tak’kan kau temukan apa-apa di situ
                 kecuali kemabukan dukana

tangan pengemis buta
menjulur dari rongga matamu
mencekik urat leherku

malam telah menjauh
dari kematian kita
dan kematian kata


(Denpasar, Juli 2009)


Mawar Liar


mawar liar mekar di belukar
         di tepi danau berkabut

kucium hangat mawar liar
jiwaku gairah karenanya
         tak tahu aku
entah berapa pengembara
         telah mencium wanginya

tak peduli aku
duri di belukar mawar melukaiku
bunga liar telah memesona
                     jiwa para pendosa

 (Bedugul, Bali, Juli 2009)


Pelabuhan Lembar, NTB


bongkah-bongkah pulau
menyusun dirinya
dalam warna musim

laut adalah laut itu juga
suara deru perahu
tak tahu waktu

kau begitu gegas berlalu
bayangan garis pantai
      tilas yang getas
dalam diri pengelana

ada saat waktu
mempertemukan kita
di asing musim
dan semua kembali
sebagai sedia kala
seperti tak ada lagi
kata
mengapa...


(Lembar, NTB, Agustus 2009)


Malam Mataram


gumam mataram
dalam kata-kata kelam
kecipak cidomo
menapak jalan masa silam
di bawah teduh pohon asam

malam mataram
dalam dengung parau
sajak-sajak cintamu
begitu gegas suara angin
dari nadi menuju pusat hari

malam mataram
usia garam dari lautan jiwa
butir-butir angin
mengayuh belasungkawa

igau-igau kata
merunut silsilah
jiwa mataram

namun tak ada
yang merasa
terselamatkan
semua menunda airmata
dalam kepedihan hari
yang celaka


(Mataram, NTB, Agustus 2009)


Kota Masbagik, Lombok Timur


“pohon asam itu
berbuah emas,” ujarmu

aku tetirah di kota
yang dihidupi bau tahi kuda,
pasar jelata, nenek renta, debu jalan
di antara sumringah senyum
gadis-gadis berkerudung

aku kembali ke suaka
gerah tanah gora
dimana biji-biji puisi
mulai tumbuh dan semi
di sini

antara pematang
ladang tembakau
gerak angin
dan malam pengantin
aku menemukanmu,
buah asamku


(Masbagik, Lombok Timur, Agustus 2009)


Senggigi


adakah parasmu
kembali melintas
di hampar pasir
dimana kita
pernah tergambar

ombak telah menuntaskan
           bahu putih mulus
yang menggeliat
          di udara garam

aku tak mampu
menyisakan waktu
dan menggantungnya
di reranting pohon waru

hingga dedaun perlahan berguguran
menggumamkan igau-igau silam

di senggigi, perahu-perahu
merenung kenangan ungu
cercah cahaya lelampu kafe
makin mempertegas makna
                    perpisahan kita


(Senggigi, NTB, Agustus 2009)


Pekarangan Tubuhku


jika kau jelajahi pekarangan tubuhku
‘kan kau temukan sekuntum mawar
          berwarna merah hampir luntur
dimakan waktu yang tak mau tahu

mawar itu
tumbuh di dada kiriku
aliran darah dari jantung
menghangatinya
saat musim dingin
menjalar dari ujung pulau
di tengah bulan juni

suatu waktu perawan belia
                 ingin memetik mawar itu
“bagus dipajang di meja belajarku,” ujarnya

telah kuberikan jiwaku
melebihi sekuntum mawar
tapi dia terpukau belukar liar
yang membelit dan menyeretnya
ke kuburan terkelam dari malam

di waktu lain
gadis-gadis manis
menyiram mawar itu
dengan air liur cintanya
itu sebab warnanya
kadangkala cerah
seperti langit pagi
yang bening

suatu malam
suara perempuan
lembut menyapaku
dari seberang yang jauh
          yang entah dimana
“di dadamu ada mawar, ya?”

tiba-tiba saja
aku kembali sadar
mawar di dadaku
telah lama
tidak disiram air cinta
tidak dipupuk rindu
namun denyut hayat
masih terasa hangat
meski samar-samar

jika kau sempat menyusuri
bagian tubuhku yang lain
            di lengan kananku
bercahaya pentagram
            serupa mandala
dengan angka “69” di tengah lingkaran,
lambang kelahiran yang dianugerahi langit
angka mistik yang menuntun jalanku
                             menyusuri semesta ilahi
hingga berkali-kali kukandas di pantai
                          yang begitu asing dan sepi

di punggungku seekor naga melingkar
bercengkerama dengan burung keabadian
burung api yang lahir dari abunya sendiri

naga itu tercipta dari arak
burung itu lahir dari tuak
di dusun-dusun pedalaman Bali
petani, kuli, penjaga kedai, dan brandal desa
                               merayakan kelahirannya

mungkin dulu naga itu hanya seekor ulat bulu
dan burung itu bisa jadi seekor pipit yang lucu
           namun rahasia demi rahasia malam
telah mempertemukan mereka di punggungku
          jika aku mati, mereka akan hidup selalu
dalam gambar-gambar yang kauciptakan

bayang-bayang gerhana memberi restu
          bagi perjalanan terakhirku
mawar di dadaku akan kembali mekar
         di atas gundukan kuburanku
                         yang tak dikenal
jauh dari orang-orang yang kucinta


(Karangasem, Bali, 12 Agustus 2009)


Di Tirtagangga


langit tiba kelabu
sehelai bulu matamu
luruh ke tengah telaga

“ricik air dan sepoi angin,
mataku ingin terpejam,” lirihmu

hanya ikan-ikan
yang paham galau cuaca
ketika aku bercerita
perihal semesta
dan keheningan

di tirtagangga, menara air itu
melamunkan kenangan lampau
        putri-putri istana bercengkerama
dengan peri-peri dari rimba rahasia

belum mampu kuduga
kau titisan putri istana
                atau peri rimba?

menara air itu membuncahkan tanya
mengapa jiwa diliputi bahagia
ketika bulu matamu perlahan
                 menjelma teratai di telaga
dan ikan-ikan kehilangan senja


(Karangasem, Bali, 2009)


Lelaki Bertubuh Puisi

kau menyebut ia
lelaki bertubuh puisi
tapi belum mampu kau resapi
puisi tersedih di dalam sanubari

ia susuri jalanan sepi
cahaya lampu merkuri meredup
      tiba ia di muka gapura tertutup
dengan gemetar diketuknya pintu kayu
                         jauh di ruang jiwamu

ia hanya pasasir
yang hampir kehilangan arah
mungkin ia masih punya impian
ketika semesta menjawab tanyanya

lelaki bertubuh puisi itu
berjalan terhuyung
memanggul salib nasib

bagai anjing jalanan
ia setia dengan langkah letihnya
orang-orang mencibir
dan mengiranya laknat
tapi ia punya mukjizat
segala rahasia kesedihan
telah direngkuhnya

ia ulurkan tangan kurusnya
pada samar cahaya bulan
ia tawarkan bahagia
pada bunga-bunga di belukar
ia bagi wangi
untuk puisi tersedih
di ruang jiwamu

namun kau ragu
selalu gagu
di waktumu
yang membatu


(Ubud, Bali, Oktober 2009)


Nujuman


cahaya semesta telah mengirim tanda
saat aku tenggelam di relung jiwa
setiap tengah malam kulontarkan tanya
selalu muncul jawaban yang sama

sejauh kau lari dan sembunyi
kau tak luput dari bayanganku
meski kau menghilang
              ke dalam remang
bayanganku ‘kan melingkupimu

tak perlu kau risau
ragu hanya milik si dungu

tapi mantra, mula semesta,
            dan akhir rahasia
telah tiba sebelum kita ada
lapar dan haus yang begitu purba
            akan menyatu
bersekutu dengan waktu
           mempertemukan jiwa kita


(Karangasem, Bali, 28 Oktober 2009)


Nocturno


keheningan melingkupi diriku
wajahmu kembali berpendar di telaga
kurasa udara menyusup ke dalam jiwa
terperangkap dan gemetar di situ

batu ungu di jemari tanganku
meraba cahaya dari ubun-ubunmu

samudera dari segala samudera
menyatu dalam telaga jiwaku

batu surya dan batu purnama
berpadu di telapak tanganku
membaca segala tanda
dari cuaca paling kelabu

peri-peri tersedu
meratapi buah karma
yang kita telan bersama

raih tanganku
agar kau
tak kehilangan jejakku
di rimba rahasia

malam dan halimun
meretas batas yang getas
di mana kita mungkin
tak lagi berbekas...

(Karangasem, Bali, 30 Oktober 2009)


Pura Lempuyang


menapaki tangga-tanggamu
serupa kabut bayangmu
menjelajahi jiwaku

entah berapa waktu
tak kutemukan wajahmu
hingga kerinduan membeku
di antara daun-daun pakis
dan batu-batu cadas

tak kutahu
apa sebab kita bertemu
ada karma yang begitu jauh
kini membuncah kembali
menjadi resapan sunyi
di aksara-aksara jiwaku
di lumut-lumut candimu

halimun begitu rupa
menguatkan pendakian
jiwa merasuki kegaiban
dan tahu aku
kau telah menyatu
dalam jiwaku


(Karangasem, Bali, Oktober 2009)


Malam Amlapura


tak ada yang sisa dari ramai kota
ketika kucoba tulis puisi cinta
        untukmu, kaum jelata
di sudut remang terminal tua

entah ini malam ke berapa
aku meracik sepi
menjadi kembang api
warna-warni di jiwaku

hanya gumam dan gerutu
menjalar dari trotoar kota
tiba di tugu pahlawan
pemuda-pemuda mabuk tergeletak
bunga-bunga taman terkoyak

malam yang kehilangan gairah
mengeluh kepadaku :
       tak ada lagi revolusi
                     dan juga puisi
                                  di sini...


(Amlapura, Bali, 9 Desember 2009)



1 comment: