Labels

Friday, 21 October 2011

Puisi-puisi 2007

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Buai Bui
- buat ole dan onya-

 akhirnya kalian berjalan
                                memasuki bui
yang dibuai angin sepoi bulan mei
         wajah sumringah, jiwa pasrah
pada nafas cinta
yang menghembus dari lubuk hati
                  sejak bertahun-tahun lampau
ketika dermaga di utara pulau
membuka rahasia pertemuan asam gunung
                                                dan asin laut
di jalan-jalan subak
                                dan pematang sawah
yang dibasuh embun dinihari

bui itu dibangun dari buai cinta
                    sangkar keramat sang waktu
yang setiap orang ingin memasuki
                  dan menghuninya dengan rela
maka pada jiwa embun
kita berbagi untuk cinta
               yang bagai kerlip kunang-kunang
agar cahaya tidak sepenuhnya musnah
                pada hamparan kelam kehidupan


 (Desa Ababi, Karangasem, 2007)


Mempelai Bulan Mei
     - buat feybe & robert sroka -

 dua purnama bersemi
di awal dan akhir mei
berkilau begitu wangi

dua purnama bersitatap
saling membaca isyarat jiwa
begitu sumringah
bagai senyum pengantin

dua purnama berkaca di telaga
punah sudah kepedihan
sebab terbuka rahasia
dalam celah indah cahaya
bayang-bayang senja

dua purnama tertawa
dunia masih sebatangkara


Mei 2007


Umanyar


aku mengikuti bayangmu
hingga menuju jalan berbatu itu
jalan masa lalu di bawah naungan gunung agung
aku tertegun:
    rindu kepadamu begitu menggebu

apakah di tikungan itu
kau senantiasa menunggu
                      kehadiranku?

batu-batu lahar di rumahmu
telah ditatah menjadi candi dan arca
suatu waktu aku pun rela
                 menjadi patung batu
karena dikutuk rindu menggebu
                          rindu kepadamu

kini aku mengikuti bayangmu
           ke mana pun pergi
sebab aku tidak mau lagi
           kehilangan jejakmu

 (Ababi, Karangasem, 2007)


  
AMELIE MARIE JEANNE


bunga dari segala bunga
adalah kau
wangi dari segala wangi
adalah kau
indah dari segala indah
adalah kau
senyum dari segala senyum
adalah kau
ceria dari segala ceria
adalah kau
begitulah aku memujamu
wahai, bidadari kecil

kilau matamu adalah biru laut sanur
sejak mula diciptakan
kulitmu yang bagai cempaka
adalah harum gandum
rambutmu serupa kelam rimba tropika
yang suatu waktu memikat pengembara
singgah mengagumi keindahan ilahi

kepedihan sirna dalam ceria tawamu
hari-hari menjadi wangi
dan tiada lagi nyeri di hati

amelie, bidadari kecil,
perjuangan telah dimenangkan
keserakahan yang bertiwikrama
musnah dalam sekuntum bunga kenanga

dan kau adalah benih kenanga
yang perlahan tumbuh di tanah penuh bara
yang akan mekar dalam musim
yang tidak sepenuhnya kau pahami


(Ababi, Karangasem, 2007)


Gelegak Tuak


dalam bumbung bambu
tuak menggelegak bagai birahi liar perawan belia
pohon asam di sepanjang jalan menuju rumahmu
                                     telah menyempurnakan diri
dalam siraman cahaya purnama
aku melihat bayangmu berkelebat di antara jubah malam
                                                       yang tersepuh halimun
aku tidak tahu siapakah sesungguhnya Kau?
sebab aroma tuak menyihirku
serupa lidah dan ludah manis penjaga kedai
                                      yang kukulum di belakang gubug

para sahabat masih berceloteh
perihal padi yang gagal panen
          tentang nomer buntut yang luput
tentang kekasih yang raib entah kemana
                          dan hidup sekelam kematian
tapi mereka tertawa-tawa
di hadapan bumbung-bumbung tuak,
serpih-serpih sate babi yang gurih, kacang tanah,
                          lawar merah, dan kerupuk beras
aku bersama kalian, wahai sahabat !
sebab tuak telah mempersatukan nasib kita
                                                di tanah asing ini

masa lalu mengambang dalam mata kodok hijau
tapi pohon ara itu tetap saja angkuh
                                       dengan rahasia-rahasia sunyata
yang memendam para pesakitan dan pecundang
                                          ke dalam lumpur-lumpur sawah

segalanya akan penyap
dalam sekejap mata
maka betah-betahkan dirimu
meneguk tuak demi tuak
mabuklah sebelum waktu berlalu
dan menyumbat aliran nadimu

dalam genangan tuak di bumbung bambu
purnama yang jelita tertawa jenaka
             kita semakin fana

kodok hijau menenggelamkan diri dalam lumpur
          gadis penjaga kedai lenyap tanpa tilas
tapi lembut bibirnya masih berasa di bibirku

namun akan terus kususuri jalan
yang menuntunku sampai padaMu
meski kita sama-sama rahasia
di ujung musim yang akan musnah
                pada tetes terakhir gelegak tuak


 (2007)


 Liang Mata Si Mati


malam hampir mencekikku
sebab aku alpa pada janji semesta
        sampai di mana aku kini?
kulit tubuhku dilapisi sisik ular
pundakku ditumbuhi sepasang sayap kelelawar

aku merasa hanya berputar-putar
pada lingkaran tahun yang kau bangun
segala berhala segala pelacur segala pujangga
hanya menanak mimpi jadi kerak hitam hari

apa yang mampu disembunyikan malam dariku?
malam yang dicipta dari kutukan para pendosa
                kau hanya pendurhaka laknat kata-kata
tidak ada yang mampu mencapai nirwana
kecuali seekor burung dari api
                       yang terbang melintas mimpimu

tapi apa mimpimu?
hanya selarik puisi hampir pudar
                       seperti janji semesta
yang meresap ke liang mata si mati

mimpiku menjelma ular
dan kelelawar


(2007)


Di Emperan TIM Jakarta

 apa yang bisa ditawarkan si pemabuk
                       kecuali dirinya sendiri

lalu, segalanya kembali nisbi
seiring denting gitar pengamen jalanan,
gemerincing receh gadis cilik pengemis,
                 bau baju kucel penyemir sepatu,
                            dan seniman gelandangan

tapi rinduku padamu
serupa suara bising bajaj
yang menumpahkan aku
                di emperan ini

paripurnalah sunyata
sempurnalah sudah rasa arak
         ketika aku reguk
sambil membayangkan Li Po
bercinta dengan bulan di telaga

tapi tidak ada bulan di Jakarta
hanya sekotak kecil bedak
dengan sebundar cermin
yang terjatuh dan terlindas bus kota

kacanya yang remuk
masih menyimpan bayanganku
     dan bibirmu yang mengering kelu

kebeningan macam apa bisa dipetik
                     dari betis-betis belalang itu
atau bahu separuh bugil
yang menawarkan seteguk penyejuk mata
          saat mabuk menggapai puncak malam

tapi aku mengerti kini
mengapa begitu damai di sini


Jakarta, 13-14 Juli 2007


Dermaga dan Ranjang
          

“jangan jadi dermaga
hanya untuk satu perahu,”
                           desahmu

lalu kita nikmati
dan hikmati ciuman
dan pelayaran
yang memabukkan

lalu, apa setelah itu?

andai ranjang ini perahu
aku ingin kembangkan layar untukmu
                   agar selekasnya kau mampu
merengkuh dermaga yang menunggumu

tapi yang ada hanya
dua nyawa
                 dua tubuh
bergumul
seraya menggarami
            luka sendiri

usai itu, dermaga akan kembali sepi
perahu-perahu berlalu tanpa tuju
                   ranjang berhenti menyanyi
dan bulan nglangut
                   di lelangit kamar kita


Jakarta, 14 Juli 2007



Terbang Malam Jakarta-Bali


kini segala kenangan mulai memuai
menjelma serpih-serpih cahaya,
            sungai-sungai cahaya,
                            hamparan cahaya…
aku membuncah dalam udara malam
         di kabin pesawat yang melesat

melongok ke bawah, di mana kau kini berada
apakah kau juga telah menjelma cahaya
dalam bayang-bayang kelam kota Jakarta

aku melaju
menjauh
dari apa yang kucinta
aku menuju
arah terbit matahari

karena aku pun rindu
menjadi cahaya
di binar matamu
yang menggetarkan
jiwa kembaraku


Denpasar, 14 Juli 2007


Stasiun Gambir di Hari Akhir


masih ada sisa hari
yang memberi arti
          untuk kembali

senja meresap di rel-rel kereta
di pilar-pilar peron
dan roda-roda bus yang bergegas
           tapi waktu tak pernah tumpas

masih ada sisa hari

malam yang gemulai berdandan
menunggu tiba birahi

masih ada sisa hari
untuk pergi
       tanpa kembali


Jakarta, 14 Juli 2007



CENAKU*


tilas-tilasku akan usai di rimba keramat ini
malam demi malam telah kurambah
         dan tibalah aku padamu
                     wahai bomo tua bermata saga

mantra dari mula mantra
aksara bergantang aksara
tergurat di gulungan lontar lapuk
               yang kau semayamkan
pada bubungan rumah panggung
telah kau rafal seirama tafakur
         apalah aku kini
selain menyusuri titahmu

aku cenaku dikutuk menghuni malam
mengembara dari jiwa ke jiwa celaka,
gunjo-gunjo yang penasaran dengan takdir ilahi
                 hingga tetirah di hutan larangan ini,
                                  rimba keramat orang sakai

upacara semah ladang dan menetau tanah
          digelar dengan nujum dan kata
tapi mengapa hutan-hutan jiwa
                                makin jadi hampa

ke mana lagi aku semai airmata
yang menetes dari jiwa-jiwa lara kerabatku
boma, jangan kau hanya rafal mantra
aku tak ‘kan terusir dengan jampi saktimu
          ruhku adalah ruhmu jua
akan menjelma pohon-pohon
yang meniupkan jiwa bagi belantara bara

kojur telah menikam lambungku
lalu apa pula yang ingin kau ramu
                             dari serpih dagingku
        kelak bila tiba kubu labu
dan para nangau kembali mengasah kojur
aku pun akan sampai pada jampi-jampimu
dan kerajaan mambang memberkatiku
              dengan darah dan airmata bomo
yang mengaliri sungai-sungai orang sakai

                                                  (Oktober 2007)


Sejauh Alur Batanghari


sejauh alur Batanghari
                    senja tiba lebih dini
hamba terus berkayuh
menjauh dari dermaga Muaratembesi,
                      dari nalam masa silam

Batanghari masih memeram bayang wajah hamba
mengalirkan kenangan ke dalam sanubari
             berpusar menjadi lubuk-lubuk waktu
dan rindu yang terus berlagu
             serupa nyanyi peri-peri penunggu sungai
senantiasa memunculkan wajah jelita
                                    Tuan Putri Pinangmasak,
               junjungan hamba dalam segala cuaca

kini hamba kembali ke sini
namun bukan untuk berdagang pinang
       hamba hanya terjebak kenang
pada pelayaran sejauh alur Batanghari
        anggrek hutan, pakis, ilalang,
dan bunga-bunga tepi sungai
masih menyapa ramah pada hamba

hamba menemukan cahaya berkilau dari jiwamu
lebih sumringah dari pendaran lampu-lampu dermaga
dimana syahbandar menyulap perahu-perahu jadi niaga

setiba hamba nanti di tepi hari di kedalaman Jambi
sudi kiranya Tuan Putri menyambut hamba
                                                 dengan sirih-pinang
kita duduk beralas tikar pandan
                         bercengkerama di rumah panggung

hamba ingin kembali
mereguk nikmat kenangan
ketika kita mengayuh perahu dengan cemas
         dari Muaratembesi menuju dermaga Pinang
ketika dayung hampir patah
                                  dan cinta rekah
sejauh alur Batanghari


(2007)


 Geletar Pinggulmu
- mengenang asia carera -


geletar pinggulmu merasuki malam pualam
dimana kematian sembunyi
             dalam nyaman liang ular liar

pecundang itu tertatih mendaki licin bukitmu
berkali-kali terpeleset di jalan setapak
                            yang berliku dan menanjak
hingga terdampar pada hamparan lembah kelabu
            dimana rumput alang-alang mengering
                                     sebelum tiba musim semi

dalam garbamu yang gulita
          aku nyalakan pelita
agar cahaya memberkati aksara
     hingga sehelai puisi selesai
                 tergurat di dinding rahimmu
menyimpan segala rahasia 
          pengembara padang tundra

apa lagi yang sisa usai kematian
      jelita matamu, mulus tubuhmu
               telah menjelma debu
di altar dewa-dewa pemuja yoni

Carera, Carera, tiada lagi yang pasti
api persajian telah sempurna binasa
dan perjalanan terakhir dimulai
                             dari dalam diri

yang membekas hanya
                     geletar pinggulmu
menjalari malam-malam sekaratku…


(Karangasem, Bali, November 2007)


Puisi untuk Miyabi


kau masuki rimba penuh halimun
hingga bayang tubuhmu jadi nanar
menggigilkan cuaca di puncak takdir
sekilas pertemuan, seutas kenangan
              meramu senja penghabisan

tapi usia belum usai melata
pada paras belia yang jelita
yang seindah bunga sakura

miyabi, mengapa mesti
               kau luruhkan busana
hanya untuk ilusi
yang tak jenuh kau suguhkan

pada akhirnya hari akan tahu
           dimana mesti berhenti
untuk tidak kembali
           menjenguk masa lalu


(Karangasem, Bali,  November 2007)


Langit Akhir
- untuk: nike ardilla -


hujan belum tuntas menderas
ketika kau menyeruak tiba
dari kerumunan taman silam
dari tilas-tilas getas usia belia

kau masih seperti dulu
        raut parasmu yang lugu
menyapaku dengan lagu pilu

nirwana macam apa
          kau peram dalam muram matamu
cinta apa bergetar pada alur alismu,
yang serupa bayang samar sepasang camar
                       mengembara di hari terakhir,
di langit akhir
          ketika kata dan cinta perlahan patah
                                 seperti ranting rapuh
menggantung pada pohon kehidupan

namun jalan duka masih berliku
                   menyusuri celah manis bibirmu
semanis gerimis yang membasahi permadani
           pada malam-malam penuh igau
                               dan mimpi yang tak pasti

Nike, serupa apa bahagia di tanah tua
                   tempat kau bermula dan kembali
pada sunyi diri yang sejati

keanggunan dan kemegahan hanya semu
seperti kilau embun permata
                       pada kelopak bunga seroja
tapi keindahan abadi telah kau temui
                                 pada nyanyi sedihmu
yang menggenangi telaga puisiku

Nike, nyalakan kembali api dalam jiwamu
             hingga bercahaya segala yang fana
hingga tiba aku pada rahasia nirwanamu…

(Karangasem, Bali, November 2007)


Angan dan Angin Memberkatimu
   - untuk: iyut fitra & jamila -


impian apa kiranya
        yang mengelabui sukmamu
untuk pasrah menaiki bahtera
        tanpa mualim tanpa nahkoda

fajar dan falak hanya sebatas mata
         ihram yang kau idamkan
                   tertuju hanya kepada kekasih sejati
raut wajah yang pernah menghuni ihtilammu
         akankah kembali tiba saat malam pengantin

ceritakan padaku seperti apa rasa khuldi
ihwal rindu kita sejak mula menggauli dosa
         nalam yang kau gubah sedalam malam
                  telah paripurna di pucuk kelambu
akan sampai dimana kita usai perkawinan

jarak dari jejak silam telah tergerai
angin perlahan menuntun pelayaranmu
             menjauh dari impian dan kenangan
ilahi telah membuka rahasia samudera
             laju, lajukan bahtera
angan dan angin senantiasa memberkatimu

(Karangasem, Bali,  November 2007)


Upacara Seroja


angin apa yang membawamu kepadaku
resah serupa arwah bawah tanah,
                         wabah dari masa lalu
impikan keabadian saat usia mulai rapuh
          nujumanmu hanya sisa sampah sejarah
dimana segala cuaca mati rasa di tubuhmu
                 akhir sempurna dari mabuk tequila

hio wangi cendana kau nyalakan
          upacara malam hampir padam
relung rahasia bunga seroja perlahan terbuka
          inikah avalokitesvara yang kau angankan
pejamkan mata, merasuklah ke lubuk jiwamu


(Karangasem, Bali,  November 2007)


Gapura Tiga Puluh Dua


memasuki gapura ke tiga puluh dua
        akan sampai dimana kau tiba
duka telah lama berlalu dari parasmu
        enyah serupa bayang-bayang pudar

selalu kau nyalakan unggunan api bagi jiwa pengembara
umpama purnama yang rekah di legam rambutmu
dingin pun menyingkir dari kerumunan halimun
         agar udara leluasa berbagi cahaya dengan jiwa,
nuansa nelangsa yang memabukkan pejalan
         iringi irama hari yang pergi sendiri

gairah akan punah di ambang ruh
           ungsikan letihmu ke arah cahaya
yang senantiasa menjadikanmu bintang sabitah,
        olahan jiwa yang kau ramu dengan keteguhan
tapa di hutan penuh bebayang, danyang dan kekunang


(Karangasem, Bali, Agustus 2006)

 
Menyebrangi Selat Sunda

 /1/  Keberangkatan

yang menggoda adalah peluit perahu
melengking pilu
dan daratan perlahan menjelma detak nadi
gemetar di ujung buritan
kompas tak terbaca
dan peta tak punya garis lintang
masih adakah yang aku tuju?

tapi di lubuk jiwa
masih tersimpan getir debar
hari akan tahu apa yang dirasa hati
mungkin camar-camar menunjuk arah
menuntunku meraba celah indah pulaumu

muli, muli, muli
jangan biarkan impianku usai
di helai-helai rambutmu
yang gemetar dibelai angin ganggang
sesekali kita perlu bercermin
pada rasa cemas yang getas

karena angin aku menderita angina
lampu mercusuar tak menyala
dan angan jadi pucat di pucuk tiang layar
di anjungan mualim tafakur
meresapi lautan baru

sedikit regukan arak
tentu pelayaran jadi lebih indah
lumba-lumba bermata mutiara
mengikuti impianku yang menyerap buih lautan
tak ada lagi lokan-lokan buta
yang merayap di batu-batu itu

krakatau sudah lama menunggu
serupa ragu dan rindu di dada
gemuruhnya yang samar
pastilah kau rasa

muli, muli, muli
apakah kau menungguku di bakauheni
atau kau menginginkan aku menyusuri
jejak-jejak pejalan penyair sepi
hingga kaki dan hatiku penuh duri
dan kau tiada mau lagi dinanti

hanya ada bayang cemburu kelapa tua
dan begitulah daratan
selalu meminta lebih
dari yang diinginkannya


/2/ Kepulangan

telah kutinggalkan pulau kasihku yang galau
gugusan bukit, anak-anak ombak, tugu air,
dan putih pasir yang dibasuh purnama

kembali lagi kuseberangi selat
yang rindu pada dirinya sendiri
krakatau masih termangu di dasar laut
sebab amuk purba yang melemparkan serpih perahu
dan bongkahan  mercusuar hingga ke kota para muli

begitulah mercusuar
masih saja nglangut sendiri
di terik hari di dalam detak nadi
tapi malam dan kegelapan adalah kuasanya
berkah bagi perahu-perahu yang tersesat
ketika menuju pulaumu

selat sunda yang rahasia
tenung ombakmu yang kulayari
adalah kegaiban masa lalu
hingga menggapai mulus tubuhmu
atau aku hanya berkubang di mata purnama
yang menyimpan telaga
dan igau malam-malam tanjungkarang

camar menari sendiri
di atas pucuk mercusuar
yang ragu menunggu senja
perahu kecil yang muram muncul
dari celah indah pulaumu
apakah impian baru
akan rekah di akhir titahmu

tapi aku hanya rindu tetirah
dalam jiwamu yang serupa haiku
atau pada matamu
yang memeram benih lautan

garis cakrawala adalah bayangan hampa
pada akhir senja yang terlunta
bongkah-bongkah pulaumu masih samar dan asing
deru cerobong tungku makin mendera jiwa
sempurnalah pertemuan

kelak anak-anak ombak
akan mengajariku
cara hanyut yang tidak hanyut
sebab dermaga hanya penipuan diri
tak ada tempat berlabuh
untuk perahu yang dijelang maut
perahu yang membawa mesiu dan sekutu
bagi jiwa-jiwa galau

lalu dimana sesungguhnya akhir igau nelayan
apakah cinta akan lengkap jadi terumbu karang
tempat bermain ikan-ikan molek yang kesepian

matahari, bakauheni
mati hari di puting pagi
lesap sudah rasa cuka
pada luka
dan kita pun sepakat
untuk saling berkhianat
sebab pasir dan pantai
dua sejoli yang mengingkari diri

muli, muli, muli
aku kini mengarungi pelayaranmu,
hingga ke tepi paling sepi
dari duka dan duri
sebab puisi lahir
dari sunyi perjalanan

aku rebahkan diri
di hampar biru mushola
di atas laut yang hening
mencoba merasakan lirih angin
dalam tangis bayi dan tempias garam
getar adzan membelai-belai
helai-helai rambutku

selalu ada perjalanan
untuk kembali
ke dalam diri
setelah air wudhu
membasuh hati
dan juga hari

tapi yang berdenting adalah airmata
bergulir serupa kata-kata
pada kertas-kertas kusam di tanganku
sebab perahu kita melaju
saling berlawanan arah
pada hampar laut yang ragu
memaknai pelayaran

kini hanya dua jiwa
menatap hampa
pada semesta senja
satu jiwa berada di pucuk mercusuar
di pulau seberang
jiwa yang lain nglangut di atas geladak perahu

selamat jalan, pengembara…

lumba-lumba meminta airmataku
untuk dijadikannya lautan
bagi pelayaranmu kelak

tapi angin lebih dulu
mengeringkan airmata
dan matahari menyulamnya
menjadi untaian permata
berkilau di lekuk lehermu
yang kuning gading


(Selat Sunda, Agustus 2007)


 Di Hotel Sriwijaya, Teluk Betung, Lampung

 /1/  Untuk: M. Arman AZ

serupa apa haru
yang tiba-tiba gagu
ketika berjumpa masa lalu
di hotel yang menggetarkan kenangan

sepi saja di sini
saat jemari waktu mengukir hari
di dinding-dinding suram kota
apa angin garam telah menumpas sisa asa
pada jiwa yang lena
di setiap musim persinggahan

perempuan-perempuan di tikungan
di bawah tiang listrik
masih menyisakan jejak perjalanan
di kota tua yang rahasia

cahaya lampu merkuri
membasuh wajahnya
dan tahulah kita
segala bermula dari fana


/2/  Untuk: Ahmad Syubbanuddin Alwy

alwy, dimana akhir birahi
ketika langkah kata
bersijingkat dari lantai bawah
ragu menapaki tangga
sebab cemas pada diri
yang begitu belia

pada pucuk malam
kita hanya sekelumit bayangan
gemetar meraba arah
di jalan-jalan kota yang murung

ada kupu-kupu begitu lugu
belum sempurna lepas
dari lendir kepompongnya
menghampiriku di kamar terakhir
sayap yang indah dan polos
mencoba belajar terbang
mengarungi malam demi malam

alwy, dimana akan gugur
sayap kupu-kupu itu
di hampar kasur lapuk
atau di ladang kering jiwaku


(Lampung, Agustus 2007)

  
Di Warung Diggers, Lampung

 dari ketinggian
yang kita ratapi hanya cahaya
dan perahu-perahu layu
di teluk lampung

malam melamun
dalam cangkir kopi
jiwaku mengaca
pada bening parasmu

o, haiku yang gagu
serpih kisah yang pasrah
dari perahan waktu
kapan kita akan berjumpa kata
dan mengakhiri air mata
pada semesta cahaya

jangan biarkan waktu melaju
kita belum usai meramu malam
rindu belum tuntas diserap meja kayu
atau terlunta pada pagar bambu

celah-celah bukit kelabu
pada hamparan jiwamu
penyap dari tatap mataku
dan kau belum menemukan
dari mana mula kata


(Lampung, Agustus 2007)


Di Teluk Betung, Lampung


/1/
jerit adzan merambat
dari urat nadi toko-toko tua
di kota niaga teluk betung

burung-burung sriti
menaburi udara dengan janji
hari perlahan menanti
sebelum tiba senja

jalanan lengang
angin aroma ganggang


/2/
dari loteng
jalanan serupa bayang-bayangmu
petang akan tuntas di ujung ranjang

sisa gincu pada sarung bantal dan ujung selimut
tilas kenangan kecil pada dinding kamar pucat

dari loteng
kau lekang
aku gamang


(Lampung, Agustus 2007)











No comments:

Post a Comment