Buai Bui
- buat ole dan onya-
akhirnya kalian
berjalan
memasuki bui
yang dibuai angin
sepoi bulan mei
wajah sumringah, jiwa pasrah
pada nafas cinta
yang menghembus dari
lubuk hati
sejak bertahun-tahun lampau
ketika dermaga di
utara pulau
membuka rahasia
pertemuan asam gunung
dan asin laut
di jalan-jalan subak
dan pematang
sawah
yang dibasuh embun
dinihari
bui itu dibangun dari
buai cinta
sangkar keramat sang waktu
yang setiap orang
ingin memasuki
dan menghuninya dengan rela
maka pada jiwa embun
kita berbagi untuk
cinta
yang bagai kerlip kunang-kunang
agar cahaya tidak
sepenuhnya musnah
pada hamparan kelam kehidupan
Mempelai Bulan Mei
- buat feybe & robert sroka -
dua purnama bersemi
di awal dan akhir mei
berkilau begitu wangi
dua purnama bersitatap
saling membaca isyarat
jiwa
begitu sumringah
bagai senyum pengantin
dua purnama berkaca di
telaga
punah sudah kepedihan
sebab terbuka rahasia
dalam celah indah
cahaya
bayang-bayang senja
dua purnama tertawa
dunia masih
sebatangkara
Mei 2007
hingga menuju jalan
berbatu itu
jalan masa lalu di
bawah naungan gunung agung
aku tertegun:
rindu kepadamu begitu menggebu
apakah di tikungan itu
kau senantiasa
menunggu
kehadiranku?
batu-batu lahar di
rumahmu
telah ditatah menjadi
candi dan arca
suatu waktu aku pun
rela
menjadi patung batu
karena dikutuk rindu
menggebu
rindu kepadamu
kini aku mengikuti
bayangmu
ke mana pun pergi
sebab aku tidak mau
lagi
kehilangan jejakmu
(Ababi, Karangasem,
2007)
AMELIE MARIE JEANNE
bunga dari segala bunga
adalah kau
wangi dari segala wangi
adalah kau
indah dari segala indah
adalah kau
senyum dari segala senyum
adalah kau
ceria dari segala ceria
adalah kau
begitulah aku memujamu
wahai, bidadari kecil
kilau matamu adalah biru laut sanur
sejak mula diciptakan
kulitmu yang bagai cempaka
adalah harum gandum
rambutmu serupa kelam rimba tropika
yang suatu waktu memikat pengembara
singgah mengagumi keindahan ilahi
kepedihan sirna dalam ceria tawamu
hari-hari menjadi wangi
dan tiada lagi nyeri di hati
amelie, bidadari kecil,
perjuangan telah dimenangkan
keserakahan yang bertiwikrama
musnah dalam sekuntum bunga kenanga
dan kau adalah benih kenanga
yang perlahan tumbuh di tanah penuh bara
yang akan mekar dalam musim
yang tidak sepenuhnya kau pahami
(Ababi, Karangasem, 2007)
Gelegak Tuak
dalam bumbung bambu
tuak menggelegak bagai
birahi liar perawan belia
pohon asam di
sepanjang jalan menuju rumahmu
telah
menyempurnakan diri
dalam siraman cahaya
purnama
aku melihat bayangmu
berkelebat di antara jubah malam
yang tersepuh halimun
aku tidak tahu siapakah
sesungguhnya Kau?
sebab aroma tuak
menyihirku
serupa lidah dan ludah
manis penjaga kedai
yang
kukulum di belakang gubug
para sahabat masih
berceloteh
perihal padi yang
gagal panen
tentang nomer buntut yang luput
tentang kekasih yang
raib entah kemana
dan hidup sekelam
kematian
tapi mereka
tertawa-tawa
di hadapan bumbung-bumbung
tuak,
serpih-serpih sate
babi yang gurih, kacang tanah,
lawar merah, dan kerupuk beras
aku bersama kalian,
wahai sahabat !
sebab tuak telah
mempersatukan nasib kita
di tanah asing ini
masa lalu mengambang
dalam mata kodok hijau
tapi pohon ara itu
tetap saja angkuh
dengan
rahasia-rahasia sunyata
yang memendam para
pesakitan dan pecundang
ke dalam
lumpur-lumpur sawah
segalanya akan penyap
dalam sekejap mata
maka betah-betahkan
dirimu
meneguk tuak demi tuak
mabuklah sebelum waktu
berlalu
dan menyumbat aliran
nadimu
dalam genangan tuak di
bumbung bambu
purnama yang jelita tertawa
jenaka
kita semakin fana
kodok hijau
menenggelamkan diri dalam lumpur
gadis penjaga kedai lenyap tanpa
tilas
tapi lembut bibirnya
masih berasa di bibirku
namun akan terus
kususuri jalan
yang menuntunku sampai
padaMu
meski kita sama-sama
rahasia
di ujung musim yang
akan musnah
pada tetes terakhir gelegak
tuak
(2007)
Liang Mata Si Mati
sebab aku alpa pada
janji semesta
sampai di mana aku kini?
kulit tubuhku dilapisi
sisik ular
pundakku ditumbuhi
sepasang sayap kelelawar
aku merasa hanya
berputar-putar
pada lingkaran tahun
yang kau bangun
segala berhala segala
pelacur segala pujangga
hanya menanak mimpi
jadi kerak hitam hari
apa yang mampu
disembunyikan malam dariku?
malam yang dicipta
dari kutukan para pendosa
kau hanya pendurhaka laknat kata-kata
tidak ada yang mampu
mencapai nirwana
kecuali seekor burung
dari api
yang terbang melintas
mimpimu
tapi apa mimpimu?
hanya selarik puisi
hampir pudar
seperti janji semesta
yang meresap ke liang
mata si mati
mimpiku menjelma ular
dan kelelawar
(2007)
Di Emperan TIM Jakarta
apa yang bisa
ditawarkan si pemabuk
kecuali dirinya sendiri
lalu, segalanya
kembali nisbi
seiring denting gitar
pengamen jalanan,
gemerincing receh
gadis cilik pengemis,
bau baju kucel penyemir
sepatu,
dan seniman
gelandangan
tapi rinduku padamu
serupa suara bising
bajaj
yang menumpahkan aku
di emperan ini
paripurnalah sunyata
sempurnalah sudah rasa
arak
ketika aku reguk
sambil membayangkan Li
Po
bercinta dengan bulan
di telaga
tapi tidak ada bulan
di Jakarta
hanya sekotak kecil
bedak
dengan sebundar cermin
yang terjatuh dan
terlindas bus kota
kacanya yang remuk
masih menyimpan
bayanganku
dan bibirmu yang mengering kelu
kebeningan macam apa bisa
dipetik
dari betis-betis belalang
itu
atau bahu separuh
bugil
yang menawarkan
seteguk penyejuk mata
saat mabuk menggapai puncak malam
tapi aku mengerti kini
mengapa begitu damai
di sini
Dermaga dan Ranjang
“jangan jadi dermaga
hanya untuk satu
perahu,”
desahmu
lalu kita nikmati
dan hikmati ciuman
dan pelayaran
yang memabukkan
lalu, apa setelah itu?
andai ranjang ini
perahu
aku ingin kembangkan
layar untukmu
agar selekasnya kau mampu
merengkuh dermaga yang
menunggumu
tapi yang ada hanya
dua nyawa
dua tubuh
bergumul
seraya menggarami
luka sendiri
usai itu, dermaga akan
kembali sepi
perahu-perahu berlalu
tanpa tuju
ranjang berhenti menyanyi
dan bulan nglangut
di lelangit kamar kita
Jakarta, 14 Juli 2007
Terbang Malam Jakarta-Bali
kini segala kenangan
mulai memuai
menjelma serpih-serpih
cahaya,
sungai-sungai cahaya,
hamparan cahaya…
aku membuncah dalam
udara malam
di kabin pesawat yang melesat
melongok ke bawah, di
mana kau kini berada
apakah kau juga telah
menjelma cahaya
dalam bayang-bayang
kelam kota Jakarta
aku melaju
menjauh
dari apa yang kucinta
aku menuju
arah terbit matahari
karena aku pun rindu
menjadi cahaya
di binar matamu
yang menggetarkan
jiwa kembaraku
Denpasar, 14 Juli 2007
Stasiun Gambir di Hari Akhir
masih ada sisa hari
yang memberi arti
untuk kembali
senja meresap di
rel-rel kereta
di pilar-pilar peron
dan roda-roda bus yang
bergegas
tapi waktu tak pernah tumpas
masih ada sisa hari
malam yang gemulai
berdandan
menunggu tiba birahi
masih ada sisa hari
untuk pergi
tanpa kembali
Jakarta, 14 Juli 2007
CENAKU*
tilas-tilasku akan usai
di rimba keramat ini
malam demi malam telah
kurambah
dan tibalah aku padamu
wahai bomo tua bermata saga
mantra dari mula
mantra
aksara bergantang
aksara
tergurat di gulungan
lontar lapuk
yang kau semayamkan
pada bubungan rumah
panggung
telah kau rafal
seirama tafakur
apalah aku kini
selain menyusuri
titahmu
aku cenaku dikutuk menghuni malam
mengembara dari jiwa
ke jiwa celaka,
gunjo-gunjo yang penasaran dengan takdir ilahi
hingga tetirah di hutan
larangan ini,
rimba keramat
orang sakai
upacara semah ladang dan menetau tanah
digelar dengan nujum dan kata
tapi mengapa
hutan-hutan jiwa
makin jadi
hampa
ke mana lagi aku semai
airmata
yang menetes dari
jiwa-jiwa lara kerabatku
boma, jangan kau hanya rafal mantra
aku tak ‘kan terusir dengan jampi
saktimu
ruhku adalah ruhmu jua
akan menjelma
pohon-pohon
yang meniupkan jiwa
bagi belantara bara
kojur telah menikam lambungku
lalu apa pula yang
ingin kau ramu
dari serpih
dagingku
kelak bila tiba kubu labu
dan para nangau kembali mengasah kojur
aku pun akan sampai
pada jampi-jampimu
dan kerajaan mambang
memberkatiku
dengan darah dan airmata bomo
yang mengaliri
sungai-sungai orang sakai
(Oktober 2007)
Sejauh Alur Batanghari
sejauh alur Batanghari
senja tiba lebih dini
hamba terus berkayuh
menjauh dari dermaga
Muaratembesi,
dari nalam masa silam
Batanghari masih
memeram bayang wajah hamba
mengalirkan kenangan
ke dalam sanubari
berpusar menjadi lubuk-lubuk waktu
dan rindu yang terus
berlagu
serupa nyanyi peri-peri penunggu
sungai
senantiasa memunculkan
wajah jelita
Tuan Putri
Pinangmasak,
junjungan hamba dalam segala
cuaca
kini hamba kembali ke
sini
namun bukan untuk
berdagang pinang
hamba hanya terjebak kenang
pada pelayaran sejauh
alur Batanghari
anggrek hutan, pakis, ilalang,
dan bunga-bunga tepi
sungai
masih menyapa ramah
pada hamba
hamba menemukan cahaya
berkilau dari jiwamu
lebih sumringah dari
pendaran lampu-lampu dermaga
dimana syahbandar
menyulap perahu-perahu jadi niaga
setiba hamba nanti di
tepi hari di kedalaman Jambi
sudi kiranya Tuan
Putri menyambut hamba
dengan sirih-pinang
kita duduk beralas
tikar pandan
bercengkerama di rumah
panggung
hamba ingin kembali
mereguk nikmat
kenangan
ketika kita mengayuh
perahu dengan cemas
dari Muaratembesi menuju dermaga Pinang
ketika dayung hampir
patah
dan cinta
rekah
sejauh alur Batanghari
(2007)
Geletar Pinggulmu
- mengenang asia carera -
geletar pinggulmu
merasuki malam pualam
dimana kematian
sembunyi
dalam nyaman liang ular liar
pecundang itu tertatih
mendaki licin bukitmu
berkali-kali
terpeleset di jalan setapak
yang berliku dan
menanjak
hingga terdampar pada
hamparan lembah kelabu
dimana rumput alang-alang mengering
sebelum
tiba musim semi
dalam garbamu yang
gulita
aku nyalakan pelita
agar cahaya memberkati
aksara
hingga sehelai puisi selesai
tergurat di dinding rahimmu
menyimpan segala
rahasia
pengembara padang tundra
apa lagi yang sisa
usai kematian
jelita matamu, mulus tubuhmu
telah menjelma debu
di altar dewa-dewa
pemuja yoni
Carera, Carera, tiada
lagi yang pasti
api persajian telah
sempurna binasa
dan perjalanan
terakhir dimulai
dari dalam diri
yang membekas hanya
geletar pinggulmu
menjalari malam-malam
sekaratku…
(Karangasem, Bali, November 2007)
kau masuki rimba penuh
halimun
hingga bayang tubuhmu
jadi nanar
menggigilkan cuaca di puncak takdir
sekilas pertemuan, seutas kenangan
meramu senja penghabisan
tapi usia belum usai melata
pada paras belia yang jelita
yang seindah bunga sakura
miyabi, mengapa mesti
kau luruhkan busana
hanya untuk ilusi
yang tak jenuh kau
suguhkan
pada akhirnya hari
akan tahu
dimana mesti berhenti
untuk tidak kembali
menjenguk masa lalu
(Karangasem, Bali, November
2007)
- untuk: nike ardilla
-
hujan belum tuntas
menderas
ketika kau menyeruak
tiba
dari kerumunan taman
silam
dari tilas-tilas getas
usia belia
kau masih seperti dulu
raut parasmu yang lugu
menyapaku dengan lagu
pilu
nirwana macam apa
kau peram dalam muram matamu
cinta apa bergetar
pada alur alismu,
yang serupa bayang samar
sepasang camar
mengembara di hari
terakhir,
di langit akhir
ketika kata dan cinta perlahan patah
seperti
ranting rapuh
menggantung pada pohon
kehidupan
namun jalan duka masih
berliku
menyusuri celah manis
bibirmu
semanis gerimis yang
membasahi permadani
pada malam-malam penuh igau
dan mimpi yang
tak pasti
Nike, serupa apa
bahagia di tanah tua
tempat kau bermula dan
kembali
pada sunyi diri yang
sejati
keanggunan dan
kemegahan hanya semu
seperti kilau embun
permata
pada kelopak bunga
seroja
tapi keindahan abadi
telah kau temui
pada nyanyi
sedihmu
yang menggenangi
telaga puisiku
Nike, nyalakan kembali
api dalam jiwamu
hingga bercahaya segala yang fana
hingga tiba aku pada
rahasia nirwanamu…
(Karangasem, Bali, November 2007)
Angan dan Angin Memberkatimu
- untuk: iyut fitra & jamila -
impian apa kiranya
yang mengelabui sukmamu
untuk pasrah menaiki
bahtera
tanpa mualim tanpa nahkoda
fajar dan falak hanya
sebatas mata
ihram yang kau idamkan
tertuju hanya kepada kekasih
sejati
raut wajah yang pernah
menghuni ihtilammu
akankah kembali tiba saat malam
pengantin
ceritakan padaku
seperti apa rasa khuldi
ihwal rindu kita sejak
mula menggauli dosa
nalam yang kau gubah sedalam malam
telah paripurna di pucuk kelambu
akan sampai dimana
kita usai perkawinan
jarak dari jejak silam
telah tergerai
angin perlahan
menuntun pelayaranmu
menjauh dari impian dan kenangan
ilahi telah membuka
rahasia samudera
laju, lajukan bahtera
angan dan angin senantiasa
memberkatimu
(Karangasem, Bali, November
2007)
Upacara Seroja
angin apa yang
membawamu kepadaku
resah serupa arwah
bawah tanah,
wabah dari masa lalu
impikan keabadian saat
usia mulai rapuh
nujumanmu hanya sisa sampah sejarah
dimana segala cuaca
mati rasa di tubuhmu
akhir sempurna dari mabuk
tequila
hio wangi cendana kau
nyalakan
upacara malam hampir padam
relung rahasia bunga
seroja perlahan terbuka
inikah avalokitesvara yang kau
angankan
pejamkan mata,
merasuklah ke lubuk jiwamu
(Karangasem, Bali, November
2007)
Gapura Tiga Puluh Dua
memasuki gapura ke
tiga puluh dua
akan sampai dimana kau tiba
duka telah lama berlalu
dari parasmu
enyah serupa bayang-bayang pudar
selalu kau nyalakan
unggunan api bagi jiwa pengembara
umpama purnama yang
rekah di legam rambutmu
dingin pun menyingkir
dari kerumunan halimun
agar udara leluasa berbagi cahaya
dengan jiwa,
nuansa nelangsa yang
memabukkan pejalan
iringi irama hari yang pergi sendiri
gairah akan punah di
ambang ruh
ungsikan letihmu ke arah cahaya
yang senantiasa
menjadikanmu bintang sabitah,
olahan jiwa yang kau ramu dengan
keteguhan
tapa di hutan penuh
bebayang, danyang dan kekunang
(Karangasem, Bali, Agustus 2006)
Menyebrangi Selat Sunda
/1/ Keberangkatan
yang menggoda adalah
peluit perahu
melengking pilu
dan daratan perlahan
menjelma detak nadi
gemetar di ujung
buritan
kompas tak terbaca
dan peta tak punya
garis lintang
masih adakah yang aku
tuju?
tapi di lubuk jiwa
masih tersimpan getir
debar
hari akan tahu apa
yang dirasa hati
mungkin camar-camar
menunjuk arah
menuntunku meraba
celah indah pulaumu
muli, muli, muli
jangan biarkan
impianku usai
di helai-helai
rambutmu
yang gemetar dibelai
angin ganggang
sesekali kita perlu
bercermin
pada rasa cemas yang
getas
karena angin aku
menderita angina
lampu mercusuar tak
menyala
dan angan jadi pucat
di pucuk tiang layar
di anjungan mualim
tafakur
meresapi lautan baru
sedikit regukan arak
tentu pelayaran jadi
lebih indah
lumba-lumba bermata
mutiara
mengikuti impianku
yang menyerap buih lautan
tak ada lagi
lokan-lokan buta
yang merayap di
batu-batu itu
krakatau sudah lama
menunggu
serupa ragu dan rindu
di dada
gemuruhnya yang samar
pastilah kau rasa
muli, muli, muli
apakah kau menungguku
di bakauheni
atau kau menginginkan
aku menyusuri
jejak-jejak pejalan
penyair sepi
hingga kaki dan hatiku
penuh duri
dan kau tiada mau lagi
dinanti
hanya ada bayang
cemburu kelapa tua
dan begitulah daratan
selalu meminta lebih
dari yang
diinginkannya
/2/ Kepulangan
telah kutinggalkan
pulau kasihku yang galau
gugusan bukit,
anak-anak ombak, tugu air,
dan putih pasir yang
dibasuh purnama
kembali lagi
kuseberangi selat
yang rindu pada
dirinya sendiri
krakatau masih
termangu di dasar laut
sebab amuk purba yang
melemparkan serpih perahu
dan bongkahan mercusuar hingga ke kota para muli
begitulah mercusuar
masih saja nglangut
sendiri
di terik hari di dalam
detak nadi
tapi malam dan
kegelapan adalah kuasanya
berkah bagi
perahu-perahu yang tersesat
ketika menuju pulaumu
selat sunda yang
rahasia
tenung ombakmu yang
kulayari
adalah kegaiban masa
lalu
hingga menggapai mulus
tubuhmu
atau aku hanya
berkubang di mata purnama
yang menyimpan telaga
dan igau malam-malam
tanjungkarang
camar menari sendiri
di atas pucuk
mercusuar
yang ragu menunggu
senja
perahu kecil yang
muram muncul
dari celah indah
pulaumu
apakah impian baru
akan rekah di akhir
titahmu
tapi aku hanya rindu
tetirah
dalam jiwamu yang
serupa haiku
atau pada matamu
yang memeram benih
lautan
garis cakrawala adalah
bayangan hampa
pada akhir senja yang
terlunta
bongkah-bongkah
pulaumu masih samar dan asing
deru cerobong tungku
makin mendera jiwa
sempurnalah pertemuan
kelak anak-anak ombak
akan mengajariku
cara hanyut yang tidak
hanyut
sebab dermaga hanya
penipuan diri
tak ada tempat
berlabuh
untuk perahu yang
dijelang maut
perahu yang membawa
mesiu dan sekutu
bagi jiwa-jiwa galau
lalu dimana
sesungguhnya akhir igau nelayan
apakah cinta akan
lengkap jadi terumbu karang
tempat bermain
ikan-ikan molek yang kesepian
matahari, bakauheni
mati hari di puting
pagi
lesap sudah rasa cuka
pada luka
dan kita pun sepakat
untuk saling
berkhianat
sebab pasir dan pantai
dua sejoli yang
mengingkari diri
muli, muli, muli
aku kini mengarungi
pelayaranmu,
hingga ke tepi paling
sepi
dari duka dan duri
sebab puisi lahir
dari sunyi perjalanan
aku rebahkan diri
di hampar biru mushola
di atas laut yang
hening
mencoba merasakan
lirih angin
dalam tangis bayi dan
tempias garam
getar adzan
membelai-belai
helai-helai rambutku
selalu ada perjalanan
untuk kembali
ke dalam diri
setelah air wudhu
membasuh hati
dan juga hari
tapi yang berdenting
adalah airmata
bergulir serupa
kata-kata
pada kertas-kertas
kusam di tanganku
sebab perahu kita
melaju
saling berlawanan arah
pada hampar laut yang
ragu
memaknai pelayaran
kini hanya dua jiwa
menatap hampa
pada semesta senja
satu jiwa berada di
pucuk mercusuar
di pulau seberang
jiwa yang lain
nglangut di atas geladak perahu
selamat jalan,
pengembara…
lumba-lumba meminta
airmataku
untuk dijadikannya
lautan
bagi pelayaranmu kelak
tapi angin lebih dulu
mengeringkan airmata
dan matahari
menyulamnya
menjadi untaian
permata
berkilau di lekuk
lehermu
yang kuning gading
(Selat Sunda, Agustus
2007)
Di Hotel Sriwijaya, Teluk
Betung, Lampung
/1/ Untuk: M. Arman AZ
serupa apa haru
yang tiba-tiba gagu
ketika berjumpa masa
lalu
di hotel yang menggetarkan
kenangan
sepi saja di sini
saat jemari waktu
mengukir hari
di dinding-dinding
suram kota
apa angin garam telah
menumpas sisa asa
pada jiwa yang lena
di setiap musim
persinggahan
perempuan-perempuan di
tikungan
di bawah tiang listrik
masih menyisakan jejak
perjalanan
di kota tua yang rahasia
cahaya lampu merkuri
membasuh wajahnya
dan tahulah kita
segala bermula dari
fana
/2/ Untuk: Ahmad Syubbanuddin
Alwy
alwy, dimana akhir
birahi
ketika langkah kata
bersijingkat dari
lantai bawah
ragu menapaki tangga
sebab cemas pada diri
yang begitu belia
pada pucuk malam
kita hanya sekelumit
bayangan
gemetar meraba arah
di jalan-jalan kota yang murung
ada kupu-kupu begitu
lugu
belum sempurna lepas
dari lendir
kepompongnya
menghampiriku di kamar
terakhir
sayap yang indah dan
polos
mencoba belajar
terbang
mengarungi malam demi
malam
alwy, dimana akan
gugur
sayap kupu-kupu itu
di hampar kasur lapuk
atau di ladang kering
jiwaku
(Lampung, Agustus
2007)
Di Warung Diggers, Lampung
dari ketinggian
yang kita ratapi hanya
cahaya
dan perahu-perahu layu
di teluk lampung
malam melamun
dalam cangkir kopi
jiwaku mengaca
pada bening parasmu
o, haiku yang gagu
serpih kisah yang
pasrah
dari perahan waktu
kapan kita akan
berjumpa kata
dan mengakhiri air
mata
pada semesta cahaya
jangan biarkan waktu
melaju
kita belum usai meramu
malam
rindu belum tuntas
diserap meja kayu
atau terlunta pada
pagar bambu
celah-celah bukit
kelabu
pada hamparan jiwamu
penyap dari tatap
mataku
dan kau belum
menemukan
dari mana mula kata
(Lampung, Agustus
2007)
/1/
jerit adzan merambat
dari urat nadi
toko-toko tua
di kota niaga teluk betung
burung-burung sriti
menaburi udara dengan
janji
hari perlahan menanti
sebelum tiba senja
jalanan lengang
angin aroma ganggang
/2/
dari loteng
jalanan serupa
bayang-bayangmu
petang akan tuntas di
ujung ranjang
sisa gincu pada sarung
bantal dan ujung selimut
tilas kenangan kecil
pada dinding kamar pucat
dari loteng
kau lekang
aku gamang
(Lampung, Agustus
2007)
No comments:
Post a Comment