Bukit Venus
aku tiba pada hamparan bukit
venus
milikmu yang penuh pesona
pada tebing merah muda
di antara rerimbun pinus
sebuah pancuran di atas goa
mengalir air ibu bumi
seperti pertapa tua letih
mencari sumber air suci
aku berjalan tertatih
terseok keluar-masuk
menyibak lebat semak
goa gelap di tebing bukit
cahaya dari hutan pinus
seperti sorot mata ular di
taman firdaus
aroma tanah sehabis gerimis
embun menghias pepucuk pinus
merembesi goa tapaku
kurasakan nikmat tertinggi
kidung persembahan ibu bumi
Sarang Capung
kau memasuki sarang capung
peliharaan peri hutan
lebat tetumbuhan pakis
dan percik air terjun bagai butiran tepung
batu-batu di sepanjang sungai bernyanyi
lumut-lumut menguapkan harum tanah
aku terkurung dalam sarang capung
kembali bocah itu menawariku kalung
untaian butir-butir kerang
yang dipungutnya di pasir sungai
letih telah membawaku menjauh dari waktu
tak mampu lagi kugurat kata
pada batu-batu sungai
kata-kata yang akan mengabarkan kisahku
sejauh waktu menenun sarang laba-laba air
peri-peri hutan
mengantar ruhku ke tengah sungai
dari mana perjalanan baru kumulai
kudengar merdu nyanyi serangga hutan
kulihat bocah itu melambai
:selamat tinggal bumi!
2004
Ambang Petang
ketika hari pergi
dengan secercah cahaya senja
usiamu mengikuti terbang burung
pulang ke sarang waktu
kau, aku, kita
terhimpun dalam pusaran itu
terkutuk takdir sendiri
tak pernah kita sesali kelahiran
tapi kita coba buru bahagia
hingga ambang petang
tubuh mengukur umur
jiwa menakar karma
seuntai puisi telah kuzikirkan
untuk namamu
hingga waktu perlahan memecah
jadi beribu keping keheningan
2004
di pantai canggu
aku menunggu senja menjelma
pada kepak sayap camar
pada sirip lumba-lumba
pada desau bunga pandan
namun, mungkin hanya pada
laut kelabu
aku mengadu rinduku padamu
pun sepiku yang hina
di tengah badai hari ini
aku limbung
hilang arah
dengan apa mesti kau
mengampuniku?
seperti Rama yang menguji
Sita
dalam kobaran api cemburu dan
putus asa
aku hilang akal
kau tahu, Dasamuka akan
kembali bertiwikrama
dan berkeliaran di sekitar
kita
ia ingin merebutmu
menghancurkan hidupku
kekasih, kau terlalu lemah
dan lugu
memahami hasrat jiwa sendiri
jiwamu yang hijau adalah
hutan Dandaka
yang mengurungku dalam
prasangka tak terperikan
kau tahu, bahkan dengan
Laksamana pun aku curiga
luka masa lalu telah membuat
aku alpa
memahami rasa setia bunga
seroja
sesal dan malu kukubur di gua
Kiskenda
di mana kera-kera juga
menjaganya dengan curiga
bagaimana pun juga
para pendeta istana telah
mengujimu
aku tahu, lidah api yang
ganas
tak mampu menjilat
mulus tubuhmu
dari bumi kau bermula
ke pangkuan bumi kau kembali
kau suci, kau abadi
aku nista, aku fana
2004
Malam Pantai Canggu
-buat: p.d.-
di pucuk meru pura
bayangmu menjelma bunga
angsana
senja ungu
aroma garam
berbaur wangi dupa
kerang mengerang saat pasang
aku terkenang duri-duri
pandan
yang menyusup di kulit tangan
kau bersimpuh
sujud di muka altar batu
adakah puisi mencurahkan
cahaya semesta
pada jiwamu?
aku fana di limbung gelombang
hanya pasir bergetar di pucuk
layar
mari cintaku, pranitaku,
bisikkan lembut lenguh ombak
di jiwaku
agar tenteram aku berbaring
di pesisir
aku tahu lampu-lampu itu
hanya memeram warna senja
yang tiba tertatih
apa kau percaya kata mereka
tentang kita yang dikutuk
masa lalu?
jangan kawini laut
aku cemas kau makin asing
di gigir gelombang
cumbu aku
hingga kau mampu
memahami peta perjalanan
yang berliku menuju puncak
sajak
kau memintaku pulang
sebab kelam malam telah
mengepung pesisir
kenapa mesti cemas pada
malam?
malam adalah kawan setia
pejalan
aku bisa berkemah di mana
saja
kunyalakan unggunan api di
hampar pasir
serigala akan mendekat dan
menjilati kakiku
seperti bocah yang minta
dibelai ibu
dengan puisi kuhangatkan
tubuh dan jiwa luka
yang diderita para pengembara
maka cobalah berbaring di pasir
dengarkan laut berkisah
perihal perjalanan patahan kayu menuju muara
tentang biduk-biduk lapuk
yang bertahan di tengah topan
atau perihal peri-peri laut
yang suka menggoda nahkoda
buka mata, cobalah tatap
langit malam
kau akan saksikan rasi mithuna dan kataka
saling bercumbu
betapa mesra, kekasihku
bahkan baruna, si dewa laut,
pun
cemburu menatapnya
api unggun masih menyala
jangan pernah padami
biarlah baranya yang biru
menjaga dan menentramkan jiwa
kita
hingga usia bumi makin renta
Canggu, Bali, 10 Juli 2004
Kampung
Terakhir
pungguk itu tunduk di dahan
waru
ada seberkas cahya purnama
memintas batas
sepi tiba-tiba
ada nyanyi dari buluh
seruling
mungkin seorang pengembara
terkenang kampung halaman
di dalam bilik gubuk
hanya kita, mungkin juga
cicak,
berbagi desah, resah,
dan juga lenguh
yang coba membunuh
sosok waktu yang ngalir
di kanal nadimu
aku terkenang sebatang kayu
mahoni
yang terlunta dihanyutkan
sungai
hingga lelaki tua yang
bungkuk itu memungutnya
penuh iba
di halaman gubuk
lelaki tua menatah kayu
menjadi arca dewa
arca dewa yang tua
tanpa janggut, tanpa mahkota
lebih menyerupai patung yang
murung
namun pada tapak tangannya
tergurat aksara
aksara pada jiwa
mendedah sembilan dewa
yang terusir dari lingkaran
mandala
di dalam bilik gubuk
di tengah remang cahya pelita
kita mencipta dewa
bagi semesta jiwa
pungguk itu terkantuk
di dahan waru
alun seruling menjauh
aku tiba di kampung
terakhir
2004
Aku
Rindu Mariyuana
malam ini aku rindu mariyuana
namun hanya suara serak radio
menjalar
seperti keluh nenek renta
yang pikun
mata tak pejam
desir angin dan bisik dedaun
bikin aku makin asing
dari kenangan
hanya buku-buku tua
pada rak berdebu
mungkin di antaranya terselip
surat cinta
atau bon-bon yang lama
tak terbayar
mata belum pejam
suara radio makin serak
serupa gerutu gagak
di pucuk pohon palam
pada cermin retak
aku cermati wajah
“keningmu makin penuh kerut
o, penyair !”
kulipat surat cinta kertas
kusam
jadi burung bangau
hanya mengambang dan gemetar
saja
terayun-ayun di lelangit
kamar bercat biru
o, aku rindu mariyuana
puisi-puisimu begitu cerewet
dan membosankan
bakar! bakar saja!
malam ini, kau tahu,
aku hanya rindu mariyuana
menghisapnya perlahan
seraya melamunkan kekasih
di bawah purnama
2004
Pada
Lingkar Putingmu
pada lingkar putingmu
pada lingkaran tahun batang
cendana
jiwaku berputar-putar di situ
tak juga kutemukan jalan
keluar
bertahun-tahun aku terjebak
belantara sabana di pangkal
pahamu
apakah telah kutemukan sumber
air
di antara kelopak seroja
merah muda?
aku si pertapa bisu tak lagi
letih
merambah bukit venus
meraba dengan tongkat kayu
tua
dan kau yang selalu
kehilangan siang
hanya terlentang saja di
ranjang
pupur telah lama luntur
dan wangi tubuhmu masih
mengambang
di kamar beraroma damar
tapi kita telah dikalahkan
hari
tak mampu lagi menyepi
atau menari
dengan lagu sendiri
pada lingkar putingmu
aku mengukur umur
pertemuan kita
2004
Jangan
Usik Sunyi
jangan kau usik sunyi
dengan kata-kata puisimu
sunyi milik abadi waktu
kau hanya segurat cahaya pada
air
aku telah jelajahi hutan
perawanmu
tanpa menemukan apa-apa di
situ
selain rasa hampa
liang lengang mengakhiri
petualang
dari kembara tak berujung
2004
No comments:
Post a Comment