Pilar Senja
pada
pilar senja
rahasia hari tertera
akhirnya
garis tanganmu membuka
nubuat yang telah dikekalkan
ingin
aku merengkuhmu
tanpa mesti ada ruh lain
atau
pendaman rahasia
di
mana kau peram benih kelam
entah serupa apa kau kenang aku
wujud
yang kemilau sebelum kau ada
ilahi pun menyusun puisi untukmu
ketika
waktu tiba di muka gapura
usap wajahku hingga sempurna ruhku
walau
kau selusuri garis edar,
arah
yang melahirkanku di tepi pagi
yatim-piatu
aku dalam bumi puisi
abdi
letih kembaramu
nestapa
membaca nujuman itu
sabitah,
bintang mungil yang kekal itu
ulurkan
kenangan ke langit arasy
nalam
yang kau gubah begitu muram
adalah
pesona surga yang lama kulupa
rabi,
rabuku remuk sebab ilhammu membuncah
tafakur
aku, takluk dalam ilusimu, ilahi
abu
aku dalam bara apimu.
2003
riwayat
ayat suci kau lebur
erang
panjang serupa kiamat warna
violet
yang meredam gemuruh jiwa
oase
terakhir adalah nadi
lalu
akan kau apakan warisan sunyi
uap
garam pada helai-helai rambutmu
samarkan
peta yang kubuka tergesa
inginku
kau berlalu sepenuh waktu
dari
menara mercusuar kau lontarkan kutuk
aib
melata ke seluruh pesisir
riwayat
raib dalam rahasia semesta
ingkar
pada pusaran takdir
badai
yang memenuhi pagi
abai
pada gurat syair terakhirmu
luka
yang kau toreh di lambungku
ilham
yang menumbuk riwayatmu berdebu
2003
Bocah Bermain Ayunan
bocah
bermain ayunan
di tangga menuju awan
dia
berputar-putar pada dua tali
dari tumbuhan jalar
terus
berputar dan berayun
seolah
menduga di tangga ke berapa
pintu surga terbuka
dari
gaun putihnya
tiga
merpati bersih hambur
langit
begitu biru
seperti
mata bocah perempuan
yang
bermain ayunan itu
di
tangga ke sembilan
sosok
tua berjubah kelam
melepas
helai demi helai kertas ke udara
kertas-kertas
melayang
menjelma
burung
namaku
atau
namamu
tertulis
entah
pada
helai kertas ke berapa
bocah
perempuan itu
larut
bermain di awan
perlahan
dia menjadi ayunan
pintu surga
belum juga terbuka
2003
Kaliurang
di pucuk-pucuk pakis
di kulit-kulit pohon
cemara
kugurat namamu
jalan setapak ini
entah menuju arah mana
kita hanya bisa menyusuri
tanpa tahu batas pasti
dari kelam rimba
hanya halimun
melamun di pucuk pepohonan
kita terus mendaki
merasa waktu telah
menunggu
di puncak kaliurang
2003
Bulan pun Layu
angin pun layu
mengenang
bayangmu
yang
menggenang di kubangan warna
kau
beringsut ke arah senja
tak
pernah tahu
di
mana perahu berlabuh
hanya tiang-tiang layar
hampir
patah
dan
angin garam
mengaduk
kalbu
aku
mengenang usia bumi
kau
hanya mengulum senyum
dan
kita tahu
jiwa
hanya sesuatu
yang
hablur dalam didih waktu
warna
ungu menjerit lirih
pada
bidang kanvasmu
angin
garam dari pantai selatan
bersuir-suir
membungkus jiwamu letih
di
ketewel, sebuah desa
dan
kerumunan arca-arca dewa
aku
menemu sisa waktu
menguap
dari hidupmu
warna-warna
leleh
dalam
gairah yang patah
seperti
garis atau gurat
pada
kening kelabumu
2003
Dua Jiwa Sesat
we’re just two lost souls swimming in a
fish bowl
year
after year
running
over the same old ground
(wish you were here, pink ployd, 1975)
kau dan aku
dilaknati
langit malam
kau
simpan derita masa lalu
di
lusuh saku bajumu
malam
menjadi kawan karib kaum insomnia
kau
dan aku, dua jiwa sesat
terperangkap
jala nasib
tak
mungkin luput dari jerat masa silam
yang
kelamnya lebih kelam
dari
langit malam warna kelabu
dua
lusin puntung rokok
bercampur
abu dalam asbak
“aku
perlu sigaret,” kata kau
“aku
rindu mariyuana,” ucapku
kau
dan aku, dua jiwa sesat
sampai
kapan akan kau ikuti
nujuman ini?
kita bertemu di simpang jalan
lalu
berpisah mengikuti jalan
yang
kita cipta dalam pikiran
kita
tak ingin seperti ikan
dalam
akuarium
hanya
berenang dan berputar
pada
lingkaran yang sama
sampai
waktu beku di luar kaca
kau
dan aku, dua jiwa sesat
kita
berenang di langit malam warna kelabu
dan
kau telah reguk rahasia itu
tubuh
berpeluh. jiwa mengeluh
dan
insomnia terus mendedah
kau
dan aku
2003
Di Rumah Tukang Syair
-buat zain hae-
di
pelataran surau tumbuh sepohon kecapi
di
bawah teduhnya bocah-bocah belajar mengaji
emak
menanak nasi dan mengulek sambel terasi
kau
sibuk berseteru dengan puisi
di
ujung gang pada remang senja
none
betawi girang cengkerama
tak
peduli hiruk-pikuk pusat kota
ranum
bibirnya tanpa gincu
dan
betisnya..ai..ai..ai…berkilau
abah
bergurau dengan bedug tua
sambil
membetulkan letak kopiah di kepala
emak
memanggilmu pulang untuk makan malam
di
meja makan terhidang: soto betawi,
nasi
mengepul, ikan mujair, petai
dan
sambel terasi
ai..ai..ai..
aku
seperti di rumah sendiri
2003
No comments:
Post a Comment