Catatan : tulisan ini adalah pengantar pameran "In The Name of Identity" di Tanah Tho Gallery, Ubud, 8 Oktober - 7 November 2011
Oleh: Wayan Sunarta *
Prolog
(karya Anthok S.) |
Hitam Putih adalah sebuah kelompok seni rupa yang didirikan
pada tanggal
18 Agustus 1999
oleh sejumlah mahasiswa STSI (kini ISI) Denpasar Angkatan
1996. Anggota Hitam Putih terdiri
dari sebelas perupa, yakni: Anthok Sudarwanto, Ketut ‘Lekung’ Sugantika, Ni Nyoman
Sani, I Gusti Ngurah Putu Buda, I Nyoman Bangbang Ariana, Anak Agung Gede Darmayuda, Rachmat Saleh, I Made Alit Suaja, I Made
Sudiarta, I Wayan Susana, I Gede Pande Paramartha.
Nama “Hitam Putih” digali dari konsep Bali, Rwa Bhineda, yang makna harfiahnya adalah dua hal berbeda yang
tercipta untuk menjaga keseimbangan (harmonisasi). Simbol Hitam Putih berbentuk segi tiga di tengah lingkaran
opal. Segi tiga melambangkan tiga
proses purba yang mesti dialami manusia, yakni lahir,
hidup dan mati. Sedangkan, lingkaran melambangkan
siklus yang tak pernah putus, berkelanjutan, dan ikatan kebersamaan.
Para anggota Hitam Putih mengusung aliran seni rupa yang berbeda-beda,
yang digali dan disesuaikan dengan karakter, talenta dan kecenderungan
masing-masing anggotanya. Bagi mereka, perbedaan bukanlah suatu masalah,
melainkan berkah yang mesti disyukuri. Perbedaan itu diikat dalam suatu
lingkaran kebersamaan di dalam memaknai dan menjalani proses berkesenian.
Mereka menyadari dilahirkan dengan anugerah bakat seni, maka sudah sewajarnya
menjalani dan mengisi kehidupan dengan berkesenian hingga akhir hayat, sesuai swadharma (tugas dan kewajiban) sebagai
seniman.
Semboyan Hitam Putih adalah “Art for Happiness”, seni untuk kebahagiaan.
Mereka berharap dengan berkesenian mampu memberi kebahagiaan bagi diri sendiri
dan juga bagi orang lain. Tataran ideal ini diharapkan mencapai suatu titik
dimana kesenian mengemban tugas mulia: mewujudkan kedamaian. Sebab, pada
hakikatnya seni menyasar hati, tidak melulu urusan “jual-beli”.
Sebagai sebuah kelompok, Hitam Putih memiliki visi dan misi yang jelas.
Hal itu dengan gamblang tercantum di katalog pameran mereka yang bertajuk
“MERAH, Art for Happiness” yang
berlangsung di sebuah galeri di Ubud pada tanggal 10 Desember 2004 hingga 3
Januari 2005. Bagi mereka, hidup itu persembahan, hidup itu persaudaraan, hidup
itu berkarya, hidup itu karya seni, dan
seni itu sebuah kejujuran dan kemurnian jiwa.
Hidup itu Persembahan, penjabarannya adalah mereka berupaya
memosisikan diri, membangun image
dari masa transisi dunia, khususnya dunia seni rupa dengan cara membingkai diri
dalam suatu ideologi kelompok seni rupa, yaitu berkarya, berkesenian untuk
kebahagiaan, atau mempersembahkan kebahagiaan melalui seni. Hidup itu Persaudaraan, mereka berupaya menjalin,
memberi, menerima, dan memahami kehadiran orang lain, peristiwa mahkluk hidup
dan benda-benda lainnya di alam semesta untuk hidup secara damai, selaras dan
harmonis. Hidup itu Berkarya, mereka
berupaya menjadi diri sendiri, baik dalam kualitas
personal, maupun karya dan berkarya, yang juga berarti melanjutkan hidup. Hidup
itu Karya Seni, mereka menyadari setiap menjalani kehidupan melalui perannya masing-masing merupakan
saat-saat penciptaan dan setiap penciptaan melahirkan kemungkinan-kemungkinan
baru yang tiada batas. Betapa indahnya misteri hidup dan alangkah indahnya
bentuk seni. Seni adalah sebuah kejujuran dan kemurnian jiwa, artinya mereka terus
menerus mencari dan menggali sesuatu yang lebih esensial
dan abadi di dalam
seni.
Hitam Putih Memandang Tradisi
Secara visual, karya-karya anggota Hitam Putih cenderung beragam. Ada
yang mengusung aliran realis, figuratif-deformasi, abstrak, bahkan ada juga yang merambah ke seni tiga dimensi,
instalasi dan fotografi. Namun,
secara tematik, dalam pameran kali ini, mereka mendedahkan kegelisahan dan
kegamangan menghadapi tradisi, baik berupa pergeseran tata nilai, norma, perilaku,
komodifikasi, adat istiadat, etnisitas atau etnosentrisme. Perenungan tentang
alam, tata ruang, dan hakikat eksistensi diri juga menyeruak di beberapa karya
mereka.
Persoalan tradisi dan kegamangan selalu akan terjadi di berbagai masa,
sesuai pergeseran atau perubahan jaman. Kegamangan menghadapi tradisi
seringkali memunculkan konflik batin, bahkan konflik terbuka. Dalam kehidupan
nyata, ada banyak persoalan yang tidak mampu lagi diakomodasi oleh wadah
tradisi, sehingga terjadi pemberontakan atau pembangkangan demi mencari dan
mendapatkan wadah lain yang lebih tepat atau yang sesuai selera pribadi
masing-masing.
Namun, di sisi lain, pada saat tertentu, manusia terkadang merindukan
gua-gua tradisi yang membuat mereka merasa nyaman dari berbagai gempuran budaya
global. Hal-hal seperti ini sering membuat manusia berada di persimpangan
jalan, dan mungkin tak akan pernah sampai pada tujuan yang ingin dicapainya,
terutama bagi para pemberontak “nanggung”. Begitulah, di satu sisi tradisi
menawarkan kenyamanan dan keamanan, di sisi lain memberikan
ketegangan-ketegangan.
Contoh yang sangat menarik bisa dilihat pada lukisan Ketut Lekung Sugantika yang
berjudul “Life
is Pink Between Love and Hate”. Dalam lukisan itu dia
menampilkan grafiti yang dibentuk
dari susunan gambar babi, berbunyi “Love” dan “Hate”. Bagi Lekung, babi adalah simbol kemakmuran,
sekaligus kemalasan dan kerakusan. Dalam tatanan masyarakat Bali, babi memiliki
banyak fungsi di dalam ranah tradisi, baik fungsi agama (bagian dari sesajen
besar), fungsi adat, fungsi ekonomi, dan sebagainya. Artinya, babi identik
dengan Bali dan tradisinya. Lekung memakai babi sebagai simbol dari tradisi
Bali. Kata “Love” dan “Hate” dalam lukisannya menunjukkan kegamangan menghadapi
tradisi Bali, terutama adat istiadat yang berbau kolot. Di satu sisi tradisi
dicintai, di sisi lain dibenci. Melalui lukisan ini, Lekung menyampaikan bahwa
kegamangan seperti ini banyak melanda jiwa generasi muda Bali.
Generasi muda Bali terkini adalah contoh generasi yang gamang menghadapi
tradisinya. Apakah tradisi harus terus dipertahankan dan diwarisi secara turun
temurun, atau diadaptasi sesuai kemajuan jaman? Begitulah kira-kira yang ingin
disampaikan Alit Suaja melalui lukisannya yang berjudul “Target # 2”. Lukisan ini menampilkan seorang bocah lelaki berkostum pakain adat Bali, berkamben kain
geringsing, bersepatu model terbaru, sedang dalam posisi membidik dengan
senapan. Posisi bocah lelaki
berkulit biru itu berada di antara gadis Bali yang sumringah dengan rambutnya dihiasi mahkota bunga-bunga emas
dan selembar kain geringsing berkibaran. Bocah lelaki berkulit biru adalah
simbol pewaris tradisi Bali di masa depan. Kain geringsing adalah lambang
keteguhan memelihara tradisi.
Melalui lukisan ini, Alit Suaja ingin menyampaikan salah satu ironi
yang melanda Bali, berkaitan dengan kegamangan menghadapi tradisi yang dianggap terlalu menjadi beban dan
terkesan kolot. Bahkan,
wacana-wacana pelestarian tradisi akhirnya jatuh menjadi jargon, slogan dan
retorika yang sering digembar-gemborkan para pejabat pemerintah. Ujung-ujungnya
adalah demi kepentingan pariwisata, yang konon telah mampu memakmurkan rakyat
Bali. Contoh yang nyata misalnya, kain tenun geringsing yang dianggap sebagai
kekayaan dan warisan tradisi di masyarakat Tenganan, namun di sisi lain menjadi
barang konsumsi turistik.
Di sisi lain, Wayan Susana, melalui lukisan berjudul “Kata Hati”, menampilkan setangkai
teratai terselip di celah dada seorang gadis yang dibalut kain Bali (motif kain
mirip batik). Susana melihat tradisi sebagai suatu yang adiluhung yang perlu terus dilestarikan. Dia mengibaratkan tradisi Bali
seperti bunga teratai. Meski
tumbuh di kolam berlumpur, namun tetaplah indah. Suatu pandangan yang sangat idealis tentang tradisi Bali.
Wacana pewarisan tradisi sekaligus kegamangan menghadapi tradisi sendiri
ditampilkan dengan cukup memikat dalam dua foto hasil jepretan Made Sudiarta, yakni “Salam dari Orang Tua” dan
“Melihat Budaya Luar”. Foto pertama menampilkan seorang penari
topeng tua yang menyalami balita yang digendong
ibunya. Secara simbolis, foto ini menceritakan tuntunan generasi tua kepada generasi muda dalam
pewarisan tradisi. Sebab, bagaimana pun juga, tradisi dan budaya Bali harus tetap eksis,
sehingga pewarisan tradisi menjadi suatu yang penting. Sedangkan pada foto
kedua bisa dilihat bagaimana kecenderungan generasi muda sekarang
yang lebih banyak menyerap dan terpengaruh budaya luar, ketimbang menekuni dan mendalami budayanya
sendiri.
Sementara itu, Pande Paramartha melihat pewarisan nilai-nilai tradisi
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya, banyak anak jaman sekarang yang
tidak mengenal permainan tradisional warisan leluhurnya. Mereka lebih tertarik
dengan permainan modern. Lebih akrab dengan Spiderman ketimbang Gatotkaca. Ini
menunjukkan bahwa anak-anak pun telah tidak peduli dengan hal-hal yang berbau
tradisional. Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan Pande melalui karyanya
yang provokatif.
Setiap lini kehidupan penuh dengan berbagai macam pergulatan. Manusia
berada di antara banyak pilihan. Perenungan inilah yang ingin disampaikan Anthok
Sudarwanto melalui lukisannya yang berjudul “Fokus”. Lukisan ini menampilkan dua
gadis bergaya gaul, kelinci, dan hamparan plastik. Bagi Anthok, kelinci adalah simbol pilihan, si
gadis sebagai pemilih, hamparan plastik adalah ikon modernitas. Sambil
bersantai di atas hamparan plastik merah dan biru, dua gadis itu berusaha fokus
pada kelinci pilihannya. Melalui lukisannya ini, Anthok ingin menyampaikan bahwa
seseorang harus fokus pada pilihannya. Entah itu memilih menetap di ranah
tradisi atau mengembara di dunia modern yang penuh tantangan. Tentu setiap
pilihan mengandung resikonya masing-masing yang secara sadar harus dihadapi dan
dijalani.
Hitam Putih Memandang Alam
Pergeseran tata nilai, norma dan perilaku tidak hanya melanda tatanan
tradisi, melainkan juga berimbas pada tatanan ekologi. Dalam hal ini Bali bisa
menjadi contoh menarik. Banyak tradisi
Bali yang positif telah ditinggalkan, misalnya konsep dan pelaksanaan Tri Hita Karana. Akibatnya, alam dan
tata ruang Bali menjadi disharmoni, kacau balau, chaos. Kalau direnungi, sesungguhnya Bali telah dirusak oleh
orang-orang Bali sendiri, dengan segala ketamakan, kerakusan, kekuasaan,
individualisme, dan sejenisnya.
Perihal kerusakan alam Bali akibat ulah manusia Bali sendiri, direpresentasikan
oleh Gusti Buda dalam seri lukisan abstrak berjudul “Pesta Beton”. Susunan dan
sapuan aneka warna dalam lukisannya yang dijiwai kegundahan akan kerusakan alam
menjadi renungan ketegangan antara tradisi dengan modernitas. Kekuatan alam, budaya, materi, ego
manusia, gaya hidup, pencarian jati diri, menjadi tarik ulur yang tak habis-habis, terutama antara kekuatan tradisi dan modern.
Hal senada juga bisa disaksikan pada lukisan Bangbang Ariana yang
berjudul “Care My Self”, menampilkan kemaluan laki-laki yang dibalut. Secara simbolis lukisan ini
mengilustrasikan kerusakan alam akibat kemajuan teknologi. Manusia
yang berbuat, maka manusia pula yang merasakan akibatnya. Bumi makin panas,
bangunan beton tumbuh di lahan-lahan subur, alam tidak dipedulikan. Menurut
Bangbang, manusia mesti kembali merawat dan melindungi alam, seperti merawat dan melindungi kemaluan
sendiri.
Hitam Putih Memandang Diri
Momen manis atau momen indah adalah suatu peristiwa yang selalu
diharapkan manusia, baik dalam ranah tradisi maupun ranah jaman kontemporer
ini. Ketika manusia mengalami kegamangan dalam menapaki jalan kehidupannya, kenangan
pada momen indah seringkali kembali dihadirkan, meski hanya di
angan-angan. Hal itulah yang ingin
disampaikan Agung Darmayuda melalui seni instalasi bertajuk “Sweet Moment”.
Seni instalasi ini terdiri dari rangkaian lukisan dan seni trimatra. Lukisan
dengan latar warna hijau segar menampilkan penyatuan dua jari telunjuk dan ibu
jari sehingga menyerupai bentuk kemaluan perempuan. Di tengahnya terlihat benda
bulat merah menggoda. Di bawah lukisan ini terdapat patung abstrak berbentuk
spiral yang ditusuk permen lolipop raksasa. Di sekujur patung spiral itu berisi
tulisan tangan yang berbunyi “defusion”, “integritas”, “intuisi”, “fortune”,” relationship”, dan sebagainya. Patung berwujud permen lolipop raksasa itu
ditempeli puluhan permen lolipop asli, sehingga kawanan semut berdatangan dan
mengerubungi permen itu. Secara keseluruhan, seni instalasi ini
merepresentasikan penyatuan lingga-yoni. Dalam tataran lebih luas bisa
disimbolkan sebagai dualisme yang saling berkaitan: nature (alam)-culture
(budaya), suka-duka, pahit-manis, dst-nya.
Renungan tentang hakikat perjalanan kehidupan dan pencarian jati diri
direpresentasikan oleh Rachnat Saleh melalui lukisan berjudul “Take It Off from Me”. Lukisan figuratif
ini menampilkan kegamangan manusia dalam memaknai hidupnya. Kegamangan serupa
juga terjadi pada manusia-manusia yang berada di perbatasan antara kehidupan
tradisi dan modern. Kegamangan tersebut memunculkan sebuah pertanyaan besar,
apa sebenarnya yang dicari dalam hidup ini? Tentu jawabannya ada pada setiap
individu yang menjalani kehidupannya.
Perenungan makna eksistensi diri juga bisa dilihat pada seri foto “Long
Way to be Now” karya Ni Nyoman Sani. Dengan menggunakan timer yang telah diatur, dia menjepret dirinya sendiri dalam
berbagai pose. Menurut Sani, seri foto ini mengisahkan perjalanan perempuan
yang meniti karier sebagai seniwati. Dalam menapaki jalan kesenimanan itu,
tentu muncul berbagai suka duka, yang mesti dihadapi sebagai upaya menjadi yang
terbaik. Semua itu mengandung hikmah dan merupakan proses pematangan diri.
Epilog
Pembacaan terhadap kecenderungan visual dan tematik karya-karya Kelompok
Hitam Putih memberi suatu kesimpulan, bahwa para anggota kelompok ini secara
sadar selalu membubuhkan isi (contents) dalam setiap karya-karyanya, yang
dituangkannya secara simbolis maupun metaforis. Ada sejumlah narasi besar
maupun kecil yang diangkat ke permukaan dan menjadi bahan renungan bersama,
berkaitan kegamangan menghadapi tradisi, kehancuran alam, maupun pemaknaan
kembali eksistensi diri. Begitulah kira-kira…
*Penulis adalah lulusan Antropologi Budaya, Fakultas
Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Rupa di ISI Denpasar.
Karya-karya sastra, esai/artikel seni budaya, feature, ulasan/kritik seni rupa
dipublikasikannya di media massa lokal dan nasional.
No comments:
Post a Comment