Lorosae
namun senja
seakan
enggan
menghapus
air mata
pada cuaca
kudengar
lengking camar kehilangan ibu
buih
mengeluh
garis pantai cemas
seorang
bocah berlari ke arah malam
menyongsong
bintang biduk
yang hendak lapuk
(seperti
aku mengenal wajahnya yang fana
menyembul
dari gundukan candi candi pasir
seakan
ingin berucap: jangan biarkan langit kembali merah!)
angin
timur mengalir dari pantai
pasir pasir buyar
bau anyir
pembantaian
di musim semi
kerang kerang mendadak kering
terbuka
dengan daging yang meleleh
dan lokan buta menangis
udara amis
senyummu,
maria, seperti bunga bungur
kuntum
yang dipatahkan paksa
prahara
akan kembali tiba
segera
bergegas. berlindung
ke
dalam mercusuar di ujung tanjung
di
situ mungkin masih tersisa
penawar duka
jerit
anak camar
menggigil
melihat
kabut pecah
jadi
buih darah
pada
rongga mata
seorang
serdadu tua
dalam udara amis
langit
menangis
kata
kata kusam
lumer
dari grafiti
yang
ditera dengan darah
di
tembok mercusuar
kau tak akan pernah tahu
di lorosae
waktu yang setia itu
adalah seteru
`
yang diam diam menyusun
rencana
penghianatan
untukmu
cahaya
cinta dari hatimu, maria
telah
jadi ragi
hancur seperti remah roti
dan
anggur yang dulu kau peras
dari
tetes air matamu
telah memabukkan mereka
Lanskap
Laut
mereguk
asin laut
terkenang
bulu
bulu halus kudukmu,
kepak
camar dan
pelaut
muda yang mabuk
di
geladak
ombak
betina tiba
pesona
menatap senja
kugenggam
geliat laut
kau
membuih
di
gurat tangan
bulu
bulu camar gugur
senja
samar
lenganku
lunglai
merengkuh
waktu
yang karam
bayangmu
bergetar
menahan
getir
denyut
pada nadi
suatu
saat
dapat
jadi laknat
lalu
berkhianat
pada
pasir membekas jejak
mungkin
jejakmu
1999
Notasi
Pantai
seekor
camar buta
gemetar
di pucuk tiang perahu
laut
melulu biru
dan
matamu, kekasih
seperti
batu pualam
suram
dan muram
langit
gugup. angin mengerang
di
ruang hening cangkang kerang
kau
melirik ke arah senja
masa
silam hanya untaian rantai
kalung
yang melingkari lehermu
o, gelinjang panjang
aku
meradang pada ranjang lengang
perlahan
meredakan gemuruh batin
dalam
zikir yang meremukkan
seluruh rusuk
waktu
seperti terlontar
dari
cekung mataku
pasir
pasir tertebar
membentuk
ornamen
sebuah
peta terbuka
kubaca
lagi tubuhmu
seekor
camar buta
penyap
pada samar senja
1999
Laut
Bali
sisa
cahaya. arus waktu
larut
dalam kadar darahmu
dalam kadar darahmu
laut
tak jemu mengigau
pilu
seperti
sedu
peri
peri penipu
kau
hitung jejak, kelahiran itu, pada pasir
sisa cahaya merembes dari pusar
kawanan
bocah muncul dari rekah karang
menawarimu
kalung kalung kulit kerang
pada matanya
kau
lihat pesisir bali menangis
bukit bukit kapur terkikis
pantai pantai
tereklamasi
perahu
bercadik melaju
seperti
masa lalu
seorang
tua menegurmu:
"kembalilah
ke laut, cucuku
laut
adalah ibu,
awal
dan akhir waktumu
seperti
nadimu"
kau
masih tafakur
tubuh
pelaut tua itu
perlahan
larut dalam air garam
dalam
kalbu laut
kau
berpusar mengikuti arus waktu
sisa
sisa cahaya merintih:
"ucapkan
mantram leluhur pelaut
agar
angin jinak, ombak jinak, ikan jinak
dan
turunanmu jadi bijak!"
1999
Potret Diri
lebih sepi kau kini
sehelai puisi tak selesai
puntung rokok dan kerak kopi
makin kusam dalam gelas malam
waktu seperti risau
menunggu di ujung
gang itu
seperti apa paras bulan
saat langit muram
puisi tak selesai
hidup merambat lambat
racun tembakau dan mariyuana
telah sampai pada pusaran nadi
lalu kau temukan diri
dengan sepotong pena rombeng
dan seberkas mimpi usang
1999
Sebelum
Waktu Jadi Abu
kami
lahir dari puing-puing
reruntuhan
tahun-tahun duka
bersama
pekik serak gagak
kami
merangkak ke balik malam
kami
ungsikan air mata
sejauh
jalan sejarah
waktu
terus bergerak
kami
terus berbiak
melahirkan
turunan kami
di
atas tumpukan arang
reruntuhan
peradaban
jangan
tanya apa makna
apa
warna air mata kami
berhentilah
membasuh bumi
dengan
darah
saatnya
pedang dan bedil
biarkan
berkarat, teronggok penuh debu
lalu
kita susuri setapak jalan kasih
pasrahkan
jiwa pada alam
gapai
keheningan bulan
yang
melambai pada kelopak seroja
belajar
memelihara nyawa
seraya
terus membaca
perangai
cuaca dalam diri
sebelum
waktu jadi abu
mari
kembali ke bahasa purba
berbagi
cerita pada pepohonan tua
pada
batu-batu dan bunga-bunga
melebur
dendam pada mata air
agar
air mata tak tumpah sia-sia
1999
Jejak Kata
waktu
membungkus sunyi
dalam
temaram cahaya matamu
pengembara
dari lembah musim semi
tiada
henti meredam dendam hari
saat
kau cari jejak sebuah kata
yang
penyap pada bentangan pelangi
dan
pada hamparan jiwamu, kau temukan dirimu
sebagai
pecundang yang menatap hampa ke cakrawala
membayangkan
jejak kata
pelangi
melebur warnanya dalam gerimis
kutemukan
keindahan dan kepiluan
larut
jadi satu
maka
betah-betahkan diri jadi pejalan sunyi
yang
suntuk menyusuri setapak jejak waktu
bila
kau letih sandarlah pada sepoi angin
berteduhlah
di bawah pohon-pohon cemara
yang
tiada henti mengigaukan kenanganmu
1999
Taman yang Kau Impikan
rahasia
yang semayam
dalam
taman
beri
aku seteguk waktu
untuk
memahami adamu
saat
cahaya bulan
mendedah
tubuhku
letih
aku menggapaimu
hari-hari
berlari
seperti
amis darah sendiri
pada
punggung bebukitan
rambut
legam menjuntai
dan
matamu adalah sumber air
rasa
haru pada wajah langit
kau
adalah rahasia
dari
sekelumit perjalanan
di
akhir waktu
pengembara
akan mati dalam kesepiannya
sebab
ragu pada rumah
atau
mencerca tanya pada persinggahan
aku
memilih celah paling kelam dari malam
duduk
mengenang hari-hari lalu
atau
tawar menawar dengan sisa-sisa waktu
untuk
sebuah kemungkinan makna
kau
adalah keutuhan bagi rusukku
mengalir
menjadi darah dalam nadi
menangislah
selalu
di
taman yang kau impikan
1999
Notasi
Maut
tak
mampu lagi kuigaukan kata puisi
cahaya
menyamarkan tanah pijakku
kemana
lagi kujelajah jejakmu
wajahku
semakin jauh dari cahaya
semakin
pucat dan fana
deru
angin menggigilkan waktu
mengingatkan
tubuh yang pedih
perjalanan
itu o, maut
merambat
pada lumut-lumut tubuhku
(lenyapkan.
lenyapkan igaumu….)
kabut
menyeret bayangku
gemerincing
kereta makin nyaring
kuulurkan
tangan pada siul angin
yang
memberi kabar
burung-burung
telah pulang dari rantau
kutemukan
diriku di situ
menggigil
mengundi jiwamu
siapakah
yang lebih tulus merindu
o,
maut
saudara
seperjalananku
1999
Menyusuri Jl. Thamrin, Denpasar
kau
simpan kenangan
pada
saku baju yang lusuh
kau
membelok ke sebentuk tikungan
"di
sinilah dulu sarang burung malam itu
aku
pernah mengenyam nyamannya,"
gumammu pada malam
kau
seret jiwamu letih
kota
ini telah terkepung bentuk
bentuk
yang tak lagi akrab bagimu
sepuluh
tahun lalu kau dan keheningan
suntuk
menjalani sisa waktu
sebuah
jagad kecil menjelma dalam diri
sebuah
sapaan yang mesra
kini
diri seperti sampah saja
di
sekeliling gedung-gedung angkuh
kota
adalah langit senja
yang
sebentar lagi akan malam
lalu
di manakah tempat bagi kaum urban
di
sepanjang jalan thamrin
sejauh
gerimis
mengejar
perjumpaan dengan malam
kau
memasukkan kenangan
demi
kenangan baru
ke
dalam saku bajumu
yang
lusuh
1999
Melankoli
melankoli,
pergilah jauh dari diriku
karena
aku hanya tangan yang terulur
aku
coba raih cahaya di rerimbun belukar
dan
bulan semu berkaca pada dataran
rasa
rapuh pada dadaku
kembali
mengungkit remah sejarah
jika
aku debu
sungai
akan menjadikan aku lumpur
aku
menyerah pada arusmu
pada
sebelok tikungan
kucium
amis angin
dan
cuaca malam
yang
berpusar pada perutku
melankoli,
pergilah dari diriku
sekian
jenuh telah kurambah
nanah
mengalir dari dedahan waktu
jika
kukulum kau tiba-tiba
itu
hanya karena rasa resah
karena
puisi tak jadi
melankoli,
pergi
pergi
jauhlah dari diriku
1999
Angin Garam
angin
garam itu bernama duka
saat
aku datang lalu pergi
meninggalkan
kotamu
bagaimana
mungkin aku
menjadikan
diriku pengembara
bila
pada sunyi diri saja
aku
tak mampu mengadu
kau
selalu berada pada kemurnian hari
yang
menggelantung seperti embun
saat
aku singgah pada kota tua
bangunan
bangunan belanda atau juga pacinan
di
sanalah aku tersungkur kalah oleh keindahan purbamu
penyair
yang merasa paling berhasil mengungkapkan
makna
keindahan kalah oleh keindahan kotamu
angin
garam itu bernama sunyi
dan
kau adalah keabadian
yang
melindapkan batu-batu
jika
jiwamu seperti air
maka
air itulah yang melarutkan
aku
pada lautmu
aku
sudahi kembara
dan
kembali pulang
ke
haribaan ibu
1999
Notasi Kenangan
bila
nanti kau temukan jiwaku lebam
terkubur
di reruntuhan puri bulan
baris-baris
puisi telah mengepung malam
igauan-igauan
terbelenggu
di
lorong-lorong kampung
pohon
ara di depan gapura
melindungi
bayangmu
pada
terik hari
serumpun
rahasia lindap
di
muka pintu
mawar
putih membuka senja
musim
laron
malam
berhujan
ke
mana kutuntun pedih pengungsian
rumah
ruhku telah hangus
terbakar
api saktimu
aku
abu
dalam
persajianmu
kau
api dalam ruhku
1999
No comments:
Post a Comment