Labels

Thursday 20 October 2011

Anjing dan Dendam


Cerpen: Wayan Sunarta


Jimi seekor anjing lucu, peliharaan keluargaku. Ia termasuk jenis anjing pendek berbulu lebat dengan tampang sangat menggemaskan. Setahun lalu, Ibu membelinya dari penjaja anjing yang sering lewat di depan rumah. Persis seperti memperlakukan anak kecil, Jimi dirawat sangat telaten oleh Ibu dan adik bungsuku. Anjing lucu itu biasa diberi makan teratur dalam sebuah piring khusus yang bersih, diberi minum susu hampir setiap hari, diperiksa kesehatannya oleh dokter hewan kenalan Ibu. Jimi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga kami.
Bahkan, agar tidak mengganggu atau buang kotoran di rumah sebelah—rumah kakak sepupuku—Jimi seringkali dirantai dan diawasi oleh Ibu. Sesekali Jimi dibiarkan lepas bebas di sekitar halaman rumah. Kalau sudah menikmati kebebasan seperti itu, Jimi pun asyik bermain-main dengan keponakan-keponakanku, berlarian tak tentu arah. Sungguh, tampang Jimi selalu mengundang simpati dan  gemas orang yang melihatnya.
Seperti kebanyakan orang Bali, aku lahir dan hidup dalam lingkungan keluarga besar. Keluarga besar kami, yang menempati sebidang tanah seluas sekitar setengah lapangan sepakbola, terbagi menjadi lima keluarga kecil, salah satunya adalah keluargaku. Kami dipersatukan oleh sebuah sanggah, bangunan suci tempat roh-roh leluhur disembah dan dimuliakan.
Hidup dalam keluarga besar tentu berbeda dengan hidup dalam keluarga kecil. Meski kami disatukan oleh sanggah, namun itu tidak menjamin sebuah persatuan yang kekal dalam keluarga besar. Seringkali meletup pertengkaran antar keluarga yang dipicu oleh hal-hal sepele, seperti gosip miring, skandal diantara menantu, iri hati, persaingan mempunyai sepeda motor baru, perselingkuhan, sampai pada tuduh menuduh dan fitnah mempratekkan ilmu hitam.
 Masih membekas dalam ingatanku bagaimana Ibu pernah nyaris dibunuh oleh Kakek misanku. Saat itu anaknya sakit keras dan nyaris lumpuh. Kakek memutuskan menanyakan perihal penyakit anaknya kepada balian (dukun). Balian menuduh Ibu yang mengguna-gunai anak Kakek. Tanpa pikir panjang dan bukti-bukti, sesampai di rumah, Kakek menyeret Ibu dan menjambak rambutnya yang panjang. Kakek menyeret Ibu dari kamar ke halaman rumah. Ibu yang tidak tahu duduk perkaranya, menjerit histeris dan melolong minta tolong.
Mulut Kakek memuntahkan kata-kata tuduhan dan makian. Tangan kanannya memegang keris terhunus. Aku yang saat itu masih berusia delapan tahun hanya bisa menangis dan menjerit sejadi-jadinya sambil mulutku tak henti memanggil-manggil Ibu. Keluarga besar bungkam. Saat itu, Ayah sedang tidak ada di rumah. Hanya pamanku, adik bungsu Ayah, yang masih punya nyali merebut keris terhunus yang dipegang Kakek, lalu membanting Kakek hingga terjerembab ke tanah. Agaknya, sejak saat itulah dalam jiwaku menumpuk kebencian terhadap Kakek, terlebih kepada orang-orang dalam keluarga besar yang selalu mencari gara-gara untuk menyingkirkan keluargaku.
Kini, bara perseteruan antar keluarga kembali meletup. Penyulutnya adalah Jimi. Sore itu, Jimi yang baru saja dibebaskan dari rantainya sedang asyik bermain-main dengan anak-anak kecil di keluarga besar kami. Entah karena sebab apa tiba-tiba saja Jimi marah dan menggigit kaki salah satu anak kecil itu. Anak itu menangis sejadi-jadinya.
Meski gigitan Jimi tidak membahayakan, namun seluruh keluarga besar gempar, panik dan ribut. Mereka ramai-ramai memaki-maki Jimi dan menyindir-nyindir Ibu dengan kata-kata yang menusuk perasaan. Mendengar anaknya digigit anjing, saudara misanku, Toblot, menyerbu dari kamarnya. Ia  menggenggam tongkat besi dan memburu Jimi. Dalam sekejap anjing itu dapat dikejar dan dikepruk dengan tongkat besi. Jimi yang lucu itu berkaing-kaing kesakitan dan dengan panik berlari-lari mengitari rumah mencari tuannya. Mulutnya menyemburkan darah segar.
Aku yang saat kejadian lagi asyik menonton TV di ruang tamu ikut panik dan bergegas keluar ingin mengetahui apa yang terjadi. Sambil berkaing-kaing Jimi berlari ke arahku, seperti mohon perlindungan dari kejaran Toblot yang kalap. Setelah mengetahui anjing itu masuk ke dalam rumah tuannya, Toblot menghentikan pengejaran dan berbalik ke rumahnya sambil terus memaki-maki dan mengancam akan mengusir keluargaku kalau Jimi tidak segera dibunuh.
“Kau bunuh anjing itu! Kalau tidak, jangan huni rumah ini lagi!” teriak Toblot.
Toblot masih terus menyumpah-nyumpah sembari melihat kondisi anaknya. Ibuku dengan bingung mohon maaf pada istri Toblot. Adik bungsuku menangis melihat anjing kesayangannya sekarat. Sedang aku hanya bisa melongo, namun hatiku pedih. Luka masa lalu kembali bernanah dalam jiwaku..
Aku berjongkok di depan Jimi, meneliti kondisi lukanya. Rahang kanannya patah dan menggelantung ke bawah. Lidahnya yang bercampur liur dan darah menjulur-julur menahan sakit dan perih. Ia masih berkaing-kaing. Anjing ini tidak akan bisa diselamatkan, batinku. Paling tidak ia mengalami gegar otak yang parah karena kepalanya dipukul dengan tongkat besi. Tanpa terasa mataku basah menahan marah, sakit hati, sedih, kecewa, bercampur-aduk menjadi satu. Kenangan pahit menyaksikan Ibu hampir dibunuh kembali terbayang dalam kepalaku.
Sesungguhnya akar ketidaksenangan pada keluargaku berawal jauh sebelum aku lahir, ketika kakekku masih hidup. Ini kuketahui dari cerita Nenek, istri kedua Kakek. Kakekku bersaudara enam orang, empat lelaki dan dua perempuan. Orang tua Kakek tidak mewariskan apa-apa kepada anak-anaknya, kecuali tanah tempat rumah berdiri. Tidak ada sawah atau ladang yang bisa digarap bersama. Mereka terpaksa menjadi petani penggarap dengan sistem bagi hasil. Bahkan nenekku pernah menjadi buruh tani di sawah juragan kaya di desa kami. Ketika perut lapar, mereka seringkali makan nasi yang lebih banyak bercampur cacahan ketela rambat. Untuk lauk jangan ditanya. Mereka sudah cukup puas dengan garam dan minyak kepala yang diaduk dengan nasi bercampur ketela. Saat itu, kehidupan Kakek dan saudara-saudaranya sangat melarat.
Ketika Kakek beranjak dewasa dan matang untuk menikah, kakekku memilih nyentana pada keluarga kaya di desa kami. Sedangkan saudaranya yang lain memilih bertahan di rumah. Dari sinilah bibit sengketa bermula.
Sebetulnya saudara Kakek yang lain tidak setuju dengan keputusan Kakek untuk nyentana. Walaupun diserbu kemiskinan yang parah, mereka memutuskan bertahan di rumah dan sedikit demi sedikit membangun rumah. Kakekku yang memilih nyentana dianggap menghianati saudaranya yang lain. Ia dianggap tidak berani menghadapi kenyataan, pemalas yang berlindung di bawah ketiak perempuan, ingin cepat kaya dari warisan keluarga istri. Dan inilah kesalahan terbesar kakekku—kalau hal itu bisa disebut kesalahan—ia tidak menggubris saran dan sindiran dari saudara-saudaranya. Dengan tega ia meninggalkan saudara-saudaranya, nyentana pada keluarga kaya.
Setelah berjalan beberapa tahun, pernikahan Kakek mengalami bencana. Istrinya meninggal. Kakek dirundung kesedihan. Beberapa  tahun kemudian ia kembali pulang ke rumah dan menikah lagi. Dari perkawinan terakhirnya ini lahirlah ayah, paman dan bibiku. Karena pernah nyentana, Kakekku tidak mendapatkan warisan apa-apa. Tanah untuk rumah yang seluas setengah lapangan sepakbola telah dibagi-bagi oleh saudaranya. Demi rasa persaudaraan, dan terutama rasa belas kasihan, Kakekku diijinkan menempati sisa tanah kosong milik kakek misanku, kakek si Toblot. Di tanah kosong seluas 1,5 are inilah kakekku membangun rumah sederhana yang ditempati oleh anak-anak dan cucu-cucunya hingga sekarang.
 Kini, semua kakek kami sudah meninggal. Cucu-cucunya pun sudah besar dan beberapa diantaranya sudah menikah dan mempunyai anak. Kebutuhan pun semakin meningkat, terutama masalah rumah. Sebab kami tidak memilki sawah atau ladang, maka tanah-tanah kosong di sekitar rumah pun diperebutkan. Termasuk tanah tempat keluargaku tinggal. Tanah itu pula yang seringkali menjadi biang pertengkaran dalam keluarga besar, terutama antara keluargaku dengan keluarga Toblot.
Toblot sesungguhnya sudah sejak lama mengincar tanah keluargaku. Beberapa kali ia mencari gara-gara agar kami bisa menyingkir atau keluar dari keluarga besar. Toblot lelaki pengangguran. Kerjanya cuma berjudi dan kluyuran sampai jauh malam. Malah tanpa malu ia seringkali meminta uang untuk berjudi pada istrinya yang hanya bekerja sebagai pedagang sayur di pasar. Aku berpikir, wajar kalau ia mengincar tanah keluargaku, mengingat tanah itu terletak di pinggir jalan besar. Bisa jadi ia akan menjualnya dan uangnya dipakai judi atau foya-foya beserta kawan-kawannya yang kebanyakan pemabuk. Memang tanah itu merupakan hak kakeknya, meski tanpa sertifikat yang sah. Namun, aku murka bila hal itu dijadikan alasan untuk menyingkirkan keluargaku, menyakiti ibuku atau membunuh anjingku.
Jimi kembali muntah darah. Kini ia kejang-kejang dan seperti susah bernafas. Adik bungsuku yang berusia 14 tahun kembali meledak tangisnya. Dia menyumpah-nyumpahi Toblot sambil memeluk anjing kesayangannya yang sudah tidak bernafas lagi. Jimi mati dengan rahang patah dan kepala gegar otak.
Mataku basah. Hatiku panas. Aku masuk ke kamar. Kuraih tongkat besi berukuran satu meter yang biasa kubawa untuk tugas ronda. Sebilah belati kuselipkan di punggung. Dengan mata merah menahan amarah, aku keluar kamar. Samar-samar kembali terlintas wajah kakek misanku yang hampir membunuh Ibu, silih berganti dengan wajah cucunya, Toblot, yang memuakkan, yang dengan bengis telah membunuh Jimi.
Tongkat besi kugenggam erat-erat. Dengan pasti aku melangkah ke rumah Toblot. Sudah saatnya darah mesti tumpah dalam keluarga besar ini. Tapi, belum beberapa langkah aku berjalan, sambil menangis Ibu dan adik bungsuku mencegah tindakan konyolku.
“Nak, jangan bertindak bodoh. Pertumpahan darah hanya akan melahirkan dendam-dendam baru. Tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Kendalikan emosimu, Anakku!” sambil menangis Ibu mencengkram kedua lenganku, berusaha menahan langkahku. Kemudian, adik bungsuku memeluk kakiku. Aku sama sekali tidak bisa bergerak.
“Ibu, kita sudah terlalu lama bersabar menerima berbagai perkataan dan perlakuan menyakitkan dari mereka,“ aku berusaha mengatur nafasku. Ibu melepaskan cengkramannya di lenganku.
“Masih ingatkah Ibu, fitnah yang dulu dilancarkan pada Ibu? Masih ingatkah Ibu ketika Kakek hampir membunuh Ibu karena tuduhan tanpa bukti? Dengan jelas aku masih mengingat semuanya, Ibu. Ingatan itu telah menjadi kerak-kerak dendam dalam jiwaku. Kini, anjing kesayangan kita dibunuhnya, besok entah siapa yang akan dibantainya. Aku harus membalasnya, Ibu!” aku melangkah menuju rumah Toblot. Ibu menangis histeris dan berusaha mencegahku. Aku menghentikan langkahku lagi. Tidak tega aku mendengar tangis Ibu seperti itu.
“Nak, kalau kau masih sayang dengan Ibu. Kalau kau masih hargai Ibu, mohon jangan lakukan tindakan bodoh ini! Jangan lakukan, Nak! Ibu tidak ingin melihatmu terkapar bersimbah darah, atau mendekam dalam penjara. Dua kenyataan yang sama-sama akan membuat Ibu luka. Biarlah Jimi yang jadi tumbal dalam keluarga besar ini,” ujar Ibu diselingi dengan isak tangisnya.
Darahku berdesir. Jimi, anjing lucu itu, telah jadi tumbal demi dendam yang terus akan berputar? Tiba-tiba saja, kenangan itu kembali terbentang dalam benakku.
Aku terkenang pagelaran wayang yang suka kutonton ketika kanak-kanak, justru bersama kakak misanku, Toblot. Kisah yang paling kami sukai adalah ketika Pandawa dan Drupadi mendaki Gunung Mahameru untuk mencapai Sorga.
Dalam pendakian itu, kecuali Yudhistira, semua menemui ajalnya secara berurutan sesuai karma masing-masing. Yang paling dulu meninggal adalah Drupadi, terakhir Bima. Tapi, Yudhistira, dengan ditemani seekor anjing kudisan sebagai penunjuk jalan, berhasil mencapai pintu Sorga.
Anjing menjijikkan itu dipungut Yudhistira di tengah perjalanan, dan sempat mengundang perdebatan diantara saudara-saudaranya. Anjing itu dianggap akan merepotkan dan tidak pantas dibawa masuk Sorga. Tapi, Yudhistira yang bijak, menegaskan bahwa semua mahluk berhak masuk Sorga, sesuai takaran karmanya masing-masing. Yudhistira paham bahwa anjing kudisan itu bukan anjing sembarangan. Anjing itu adalah jelmaan Dewa Dharma, Dewa Kebenaran, yang memang ditugaskan untuk menuntun Pandawa menuju gerbang Sorga.
Terpengaruh oleh kisah wayang itu, sejak kanak-kanak aku memang suka memelihara dan menyayangi anjing. Begitu pun Ibu, Ayah dan adik-adikku. Toblot pun sebenarnya suka memelihara anjing. Hal ini pula yang membuat aku tidak habis pikir mengapa dia sampai kalap membunuh anjing kesayangan kami.
Kembali aku terkenang pada Jimi. Jelmaan siapakah dia? Apakah Jimi ditakdirkan sebagai tumbal dalam keluarga ini? Apakah dengan kematiannya yang tragis keluarga ini akan tenang, atau bara dendam akan semakin menyala? Hal itu sebenarnya tergantung pada diriku sendiri. Mau meneruskan dendam, atau mengikuti nasehat Ibu, agar kami pasrah dan mengalah.
Aku menatap wajah Ibu. Beribu derita masa lalu tergurat samar-samar pada raut wajah itu. Kekuatan macam apa yang mampu membuat Ibu setenang itu? Kelopak matanya yang lembut masih digenangi airmata. Adik bungsuku telah menghentikan tangisnya, namun matanya masih menatapku, seperti memohon agar aku tidak meneruskan tindakan konyolku membuat perhitungan dengan Toblot.
“Baiklah. Kalau Ibu tidak menginginkan aku membalas kematian Jimi dan sakit hati keluarga kita, maka demi Ibu, aku membatalkan niatku membuat perhitungan dengan Toblot,” aku menatap wajah Ibu yang masih tampak memelas. Aku kembali menyimpan tongkat besi dan belatiku di kamar. Ibu dan adik bungsuku, tersenyum haru menatapku. Mereka memelukku. Aku merasa tenang sekali. Ruh Jimi telah menuntunku menggapai Sorga dalam diriku.*** 


Denpasar, 2002



Keterangan:
-          Sanggah adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah disucikan dan dewa-dewa.
-          Nyentana adalah sistem pernikahan adat Bali dimana suami tinggal di rumah keluarga istri. Biasanya, nyentana hanya dilakukan jika sebuah keluarga tidak memiliki anak lelaki sebagai pewaris dan pelanjut keturunan keluarga tersebut.

No comments:

Post a Comment