Labels

Tuesday 18 October 2011

Purnama di Atas Pura

Cerpen: Wayan Sunarta


Bocah itu sangat suka menyaksikan purnama bertengger di pucuk-pucuk meru pura. Cahaya purnama telah memesona dan menyihir mata kanak-kanaknya. Sementara warga desa lainnya sibuk sembahyang, ia bersama kawan-kawan sebayanya bermain petak umpet di areal pelaba pura dekat pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Ia paling senang menyembunyikan diri di balik pohon beringin satu-satunya yang tumbuh di situ. Dari sana ia leluasa menatap purnama, tanpa mesti cemas akan tertangkap kawannya. Sebab tak seorang pun yang berani mendekati pohon beringin yang konon angker itu.
Saat bengong menikmati cahaya purnama, ia lebih mirip pungguk kecil yang merindukan bulan muncul di sela-sela dedaun beringin. Seringkali ia membayangkan bidadari kecil bermain ayunan di bulan. Ia merasa bidadari itu memanggil-manggil dirinya. “Sstt…jangan berisik! Nanti aku ketahuan ngumpet di sini!” tegurnya pada bidadari yang dalam bayangannya ketawa menyaksikan kecemasannya.
Tapi bidadari kecil itu tidak ketawa, hanya senyum simpul dengan wajah berbinar-binar. “Tak usah cemas, mereka tidak akan tahu kamu ngumpet di situ. Ayo, ikut main ayunan bersamaku,” ajak bidadari itu.
“Aku ingin sekali bermain bersamamu, tapi aku takut dimarahi Ibu. Apa kau lihat ayahku di sana? Ibu bilang, ayahku pergi ke bulan,” ujar bocah itu murung. Setiap teringat ayah, wajahnya berubah sedih. Kawan-kawannya suka mengejeknya sebagai anak memedi, karena tidak jelas siapa ayahnya.
“Ayahmu?! Tidak ada siapa-siapa di sini, kecuali aku, ibuku dan ayahku. Seperti apa rupa ayahmu? Apa keningnya penuh kerut seperti ayahku?”
Bocah itu kebingungan menjawab pertanyaan bidadari kecil. Ia tidak pernah tahu seperti apa rupa ayahnya. Di rumahnya tidak ada foto keluarga. Ongkos membuat foto sangat mahal, dan hanya orang-orang kaya saja yang mampu membuatnya. Tapi dari cerita ibunya, ia bisa sedikit membayangkan seperti apa ayahnya.
“Kata Ibu, Ayah tidak tinggi, tapi tidak juga pendek. Ayah selalu berpakaian rapi, rambutnya juga suka disisir ke belakang dengan minyak yang tebal. Ibu bilang, Ayah punya banyak kawan yang sering main ke rumahku. Dan Ibu suka jengkel, sebab harus buat kopi banyak untuk kawan-kawan Ayah,” tutur bocah itu dengan mata tidak lepas dari purnama.
“Lalu, ada urusan apa ayahmu ke bulan?” tanya bidadari kecil terheran-heran sambil masih berayun-ayun.
“Aku juga tak tahu. Ibu bilang, aku masih bayi saat Ayah pergi ke bulan. Ayah dijemput teman-temannya berbaju hitam-hitam. Ibu bilang, Ayah diajak menari di bulan. Kau tahu, ayahku pandai menari. Ingat ya, kalau kau ketemu ayahku, tolong bilang aku merindukannya!”
“Bagaimana mungkin aku ketemu ayahmu? Sudah kubilang, di bulan tak ada siapa-siapa!” ujar bidadari kecil kesal. Tapi, bidadari itu kasihan juga melihat bocah murung yang semakin murung itu. “O, ya, mungkin ayahmu sedang jalan-jalan ke bintang. Nanti kalau ketemu, aku akan sampaikan salammu,” hibur bidadari kecil sambil mengerdipkan sebelah matanya dengan jenaka.
Perlahan segulung awan tebal melewati permukaan purnama sehingga cahayanya meredup. Bidadari kecil itu pun menghilang tanpa sempat mengucapkan salam pamit.
“Naahhh! Kena kau!” teriak seorang kawannya menepuk punggungnya sambil tertawa-tawa kegirangan. Kecuali dia, semua kawannya sudah tertangkap. “Kau curang, sembunyi jauh-jauh!”
Bocah itu hanya cengengesan. Belum puas rasanya ia bercengkerama dengan bidadari yang bermain ayunan itu. Ia pun bergegas menjumpai kawan-kawan lainnya dan kembali melanjutkan permainan. Tapi, pertanyaan besar dalam hatinya masih terus mengganggunya: benarkah Ayah pergi ke bulan?
Keesokan paginya ia beranikan diri mengulangi pertanyaan yang sama pada ibunya. “Ayah ke mana, Bu? Mengapa sampai sekarang tidak pulang-pulang?”
Ibunya yang sibuk menanak nasi bercampur ketela rambat seketika menghentikan pekerjaannya. Ibunya jengkel dihujani pertanyaan yang itu-itu saja. Dia menatap anak semata wayangnya dengan pandangan hampa diiringi desahan nafas yang berat, seberat beban hidup yang mesti dipikulnya sendirian. Sampai kapan ibunya mesti berbohong pada anaknya yang hampir berusia 10 tahun itu? “Ayahmu masih sibuk di bulan! Tidak boleh diganggu!” kata ibunya agak ketus.
Si anak tidak puas dengan jawaban ibunya yang itu-itu saja. Ia mulai berani membantah. “Tapi, temanku si bidadari bilang, tidak ada siapa-siapa di bulan!”
 “Apa? Bidadari?! Sejak kapan kau punya teman bidadari? Kau sudah gila, ya?!” ujar ibunya kesal. “Sekarang kau mandi dan pergi sekolah. Dan, jangan ulangi lagi pertanyaan bodohmu itu! Ibu sudah capek, mengerti kau?!”
Si ibu melanjutkan pekerjaannya menanak nasi. Wajah si anak dirundung kemurungan. Ia heran, mengapa ibunya tiba-tiba jadi galak seperti itu? Mengapa pula ia dibilang gila, hanya gara-gara berteman dengan bidadari yang suka menjumpainya dalam lamunan? Ia sangat sayang pada ibunya, tapi hatinya sakit dan pedih mendengar bentakan-bentakan ibunya.
Selesai mandi, ia bergegas ke sekolah yang mesti dicapainya dengan berjalan kaki melewati sawah dan ladang warga desa. Usai sekolah, ia tidak langsung pulang. Ia telah memutuskan minggat dari rumah, pergi ke kota menemui pamannya. Ia berharap di kota bisa menemukan jawaban memuaskan tentang ayah yang sangat dirindukannya.

***

Purnama tepat berada di atas pura. Cahayanya yang putih keperakan membasuh pucuk-pucuk meru. Dari kejauhan, purnama dan pura nampak seperti sedang bercumbuan. Suara ombak masih terdengar merdu seperti dahulu, bagai kidung para dewa yang khusus dilantunkan bagi manusia. Di pura, bersama warga desa aku suntuk mencakupkan tangan di atas kepala, memuliakan keagungan Hyang Widhi. Sejak minggat dari rumah, ini untuk pertama kalinya aku kembali ke desa. Banyak perubahan yang telah terjadi.
Ketika Paman masih tinggal di Denpasar, Ibu beberapa kali pernah menjemputku, mengajakku kembali ke desa. Tapi aku tidak pernah mau. Aku merasa betah bersama Paman. Lagi pula, saat itu aku baru masuk sekolah menengah pertama. “Biarlah anakmu di sini bersamaku. Aku akan menyekolahkannya tinggi-tinggi. Anakmu akan jadi orang besar nanti,” hibur Paman ketika Ibu berusaha membujukku untuk terakhir kalinya. Ibu pun pulang ke desa dengan perasaan bahagia, sedih dan juga kecewa.
Ketika Paman pindah tugas ke Jakarta, aku pun mengikutinya, dan melanjutkan pendidikan di sana. Sebenarnya beberapa kali Paman menyuruhku mengunjungi Ibu, tapi aku tidak pernah mau dengan alasan sibuk kuliah dan mengurusi berbagai kegiatan yang menyita waktuku di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang kudirikan bersama kawan-kawan. Hanya Paman yang pernah beberapa kali mengunjungi Ibu di desa dan mengabarkan keadaanku. Beberapa kali pula Paman membujuk Ibu untuk tinggal di Jakarta bersama kami, tapi Ibu tidak pernah mau. Kata Paman, Ibu merasa sudah terlalu tua untuk hidup di kota besar. Tapi aku yakin, Ibu menyimpan sesuatu yang terasa berat dia tinggalkan di desa ini, desa kelahiran kami.
Usai persembahyangan bersama yang baru kali ini aku lakukan sejak menetap di Jakarta, aku melihat-lihat keramaian di areal pelaba pura. Tempat itu telah berubah menjadi arena berjualan bila ada odalan di pura. Sejumlah pohon kelapa telah ditebangi sehingga pelaba pura menjadi lebih lapang bagi para pedagang. Kedai-kedai kopi yang buka sampai pagi bersandingan dengan warung makanan, penjual mainan anak-anak, penjual pakaian. Ada juga penjual kaset dan CD bajakan yang dikerumuni muda-mudi usai sembahyang. Mereka memutar keras-keras kaset bajakan yang mengumandangkan lagu dangdut Inul Daratista, seolah ingin menyaingi suara loudspeaker dari dalam pura yang mengalunkan genta pemangku dan kidung-kidung upacara.
 Sejumlah permainan judi tradisional juga digelar di sana, seperti dadu, ceki, bola adil. Permainan judi itu digelar di atas terpal seadanya dengan penerangan lampu strongking. Beberapa lelaki dewasa dan remaja tanggung bergerombol mengitari arena judi bola adil. Suara mereka riuh mengikuti gerak bola yang melenggak-lenggok di atas papan judi. Saking menghayati gerakan bola, kadang tanpa sadar mereka juga ikut melenggak-lenggokkan tubuhnya. Di sudut lain, sejumlah anak kecil mengitari bandar dadu dengan taruhan ratusan rupiah. Menurut warga desa, siang tadi tajen juga digelar di tempat itu. Kabarnya tajen akan terus digelar sampai odalan selesai. “Tajen itu digelar untuk mengumpulkan dana memperbaiki wantilan pura yang telah rusak,” jelas seorang warga. Aku hanya bisa melongo mendengar penjelasan polos itu.
 Aku masih mengitari pelaba pura, mencoba mengumpulkan serpih-serpih kenangan. Dan betapa kagetnya aku, pohon beringin tempat dulu aku biasa sembunyi sambil menyaksikan purnama di pucuk meru, telah tumbang. Batangnya yang besar dan telah rapuh melintang di sana. Kata warga desa, beringin itu ditumbangkan angin ribut yang sempat melanda desa beberapa tahun lalu. Kini, di samping batang beringin yang melintang itu, berdiri kios sederhana yang menjual aneka pakaian dalam perempuan.
Sejak tadi, aku berharap menemukan kawan-kawan sepermainanku ketika masih bocah. Aku ingin mendengar kisah mereka selama aku minggat dari rumah. Tentu mereka terkejut melihat kemunculanku yang tiba-tiba. Mungkin mereka sudah beristri dan beranak. Atau mungkin mereka tidak lagi mengenaliku. Tapi, tidak satu pun kutemukan mereka. Di manakah Ole, Sindu, Arcana, Pala? Ke mana mereka pergi? Mengapa mereka tidak hadir di pura? Padahal ini odalan besar yang hanya dirayakan enam bulan sekali. Apa mereka juga telah menjadi orang-orang kualat seperti aku?
 Lelah mencari mereka, aku mampir di sebuah kedai kopi yang sepi pengunjung. Penjaganya seorang gadis remaja yang lumayan manis dalam balutan kain dan kebaya kuning. Aku memesan kopi dan duduk di sudut kedai yang berdinding gedeg dan beratap asbes. Ada sesuatu yang akrab menggetarkan hatiku ketika sekilas menatap gadis itu. Senyumnya mengingatkan aku pada sosok yang telah lama kutinggalkan. Sambil menikmati kopi dan jajan pasar, aku berbasa-basi dengan gadis berambut sepinggang itu.
Belum habis kopi dalam gelas, aku dikejutkan oleh kehadiran perempuan tua yang masuk ke dalam kedai melalui pintu belakang. Rambutnya separuh memutih, namun parasnya masih membiaskan kecantikan masa lalu. Aku hapal betul bentuk tulang hidungnya yang keras dan mancung. Aku merasakan sorot mata itu masih seperti dulu, penuh pancaran luka dan dendam, entah pada apa. Aku pernah akrab dengan mata itu! Tidak salah lagi, dia ibuku.
Ibu menatapku dengan pandangan aneh dan penuh selidik yang membuat gadis penjaga kedai menjadi tidak enak padaku. Apa Ibu masih mengenaliku? Dua puluh tiga tahun telah berlalu. Aku ingin memeluk Ibu dan berlutut di kakinya. Tapi niat luhur itu kutekan kuat-kuat dalam batinku. Ibu masih menatapku seperti melihat mahluk aneh.
“Mau apa kau ke sini?” tanya Ibu, nadanya penuh curiga.
Aku terdiam. Rupanya  dia masih mampu mengenaliku. Mungkin kepahitan hidup yang telah menempa ingatannya menjadi kuat.
“Bukankah di kota hidupmu telah makmur! Buat apa ke sini lagi?!”  Nada bicara Ibu masih belum ramah. Agaknya Ibu masih menyimpan marah karena aku minggat dan tidak mau balik ke desa. Sekilas aku melihat gadis di sebelah Ibu kebingungan, tidak tahu apa yang mesti dilakukannya. Dia mencoba menenangkan Ibu.
“Bu, maafkan saya. Saya telah banyak mengecewakanmu. Saya ke sini mencari Ayah. Apa Ayah sudah pulang dari bulan, Bu?” Dengan perasaan campur-aduk, aku mencoba menggoda dan menyindir Ibu.
“Ayahmu sudah mati!” ujar Ibu ketus.
Aku tidak mengira Ibu bisa bicara seperti itu. Suasana jadi mencekam di kedai yang kebetulan sepi pengunjung itu. Dan, tiba-tiba saja aku merasa tolol dengan pertanyaan tadi. Aku membuka dompet dan membayar kopi dengan uang seratus ribuan tanpa minta kembaliannya. Aku pamit pada Ibu yang terdiam dengan wajah datar. Aku segera meninggalkan kedai. Gadis itu teriak-teriak memanggilku sambil mengacungkan uang kembalian, aku tidak menghiraukannya.
Odalan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Aku kembali mengunjungi kedai itu. Kebetulan Ibu tidak ada. Yang jaga kedai masih tetap gadis manis itu, tapi kini ditemani lelaki tua ubanan. “Ibu ke mana?” tanyaku pada si gadis.
“Ibu tidak mau ke sini. Ibu mengurung diri di rumah. Kadang dia nampak menangis, kadang bengong dengan mata menerawang. Saya takut terjadi apa-apa pada Ibu,” kata gadis itu, mulai akrab denganku.
Agaknya Ibu sudah menceritakan kisah hidupku. Tanpa kuminta, gadis itu juga menceritakan tentang dirinya. Dugaanku ternyata benar, dia adik tiriku. Dan lelaki tua yang duduk di pojok kedai adalah kawan akrab Ayah yang sekarang menjadi suami Ibu. Mengapa Paman tidak pernah menceritakan hal ini kepadaku?
Setelah cukup lama berbasa-basi, lelaki tua yang sekarang menjadi ayah tiriku itu mengajakku menjauh dari kedai. Ia mengajakku bicara serius di pinggir pantai yang sepi, sebab khawatir kalau pembicaraan kami didengar warga lainnya.
 Udara pantai berhempus menerpa daun-daun pandan. Cahaya purnama berpendaran di hampar air. Kami duduk di pasir putih. Dulu ketika bocah aku suka sekali mencari kerang aneka warna di pantai ini.
“Kau sudah dewasa sekarang. Rasanya baru kemarin kau mencuri mangga di kebunku. Apa kau sudah menikah? Kerja di mana sekarang?”
Lelaki tua itu menghujaniku dengan kenangan-kenangan masa kecil dan berbagai pertanyaan basa-basi. Aku menjawab seperlunya saja. Meski aku memang pernah mencuri mangganya, tapi aku tidak terlalu akrab dengan kawan ayahku ini. Aku terkenang cerita Ibu tentang kebiasaan kawan-kawan Ayah. Mungkin lelaki ini salah satu kawan Ayah yang suka minum kopi sambil ngobrol berlama-lama di rumah kami dulu.
“Pak, saya ke sini mencari kuburan ayah saya. Apa Bapak tahu di mana ayah saya dibunuh dan dikubur saat gestok dulu?” Aku langsung menyasar pada pokok permasalahan yang memang khusus kubawa dari Jakarta. Lelaki tua itu nampak tenang mendengar pertanyaanku, meski sesekali ia melirik kiri-kanan. Setelah menarik nafas, ia mulai berkisah tentang Ayah dan hari-hari akhir kepergian Ayah.
 “Ibumu memang menyuruhku menemuimu untuk membuka rahasia yang bertahun-tahun kami simpan dengan penuh luka. Memang, aku berkawan akrab dengan ayahmu. Kami satu regu saat gerilya melawan Nica dulu. Kami sama-sama mengagumi Bung Karno. Ayahmu orang yang cerdas dan berpikiran luas, terlebih lagi ia sangat menyukai kesenian,” lelaki tua itu terdiam sejenak seperti berusaha mengumpulkan ingatannya. Kemudian…
 “Saat itu, ayahmu jadi ketua kelompok janger di desa ini. Kami biasa kumpul-kumpul di rumahmu membicarakan pementasan yang akan digelar. Dan pada malam naas itu kami dikepung, dan ayahmu diberangus…,” tutur lelaki tua itu dengan nada diliputi kesedihan yang dalam.
Aku mendengarkan dengan seksama. Sebelumnya aku sudah cukup banyak mendengar kisah korban tragedi ’65 yang serupa ini.  “Bapak tahu di mana kuburan Ayah?” tanyaku tidak sabar.
Lelaki tua itu mengangguk pelan. Jantungku berdebar seperti sedang menanti vonis hakim. “Di mana kuburan Ayah?!” desakku.
“Di pelaba pura, tidak jauh dari beringin yang tumbang itu. Mereka ditumpuk dalam satu lubang!”
            Aku merasakan langit malam penuh awan tebal runtuh menerpaku. Aku tidak kuasa menyembunyikan kekagetan. Jadi, Ayah dan kawan-kawannya yang dituduh komunis dibantai dan dikubur di tanah pelaba pura!? Berarti dulu selama aku bermain di situ, aku sangat dekat dengan Ayah. Mengapa Ibu bilang Ayah pergi ke bulan?
Aku berusaha menenangkan diri. Ayah tiriku kembali berkisah. Ia mengaku satu-satunya korban yang berhasil selamat dari tragedi itu. Berlindung di balik kegelapan malam, ia berhasil kabur ketika rumah dikepung pemuda tameng. Ia juga tahu siapa yang memenggal kepala ayahku.
Algojo itu kini menjadi pemangku yang sering memimpin ritual di pura itu. Mungkin dengan cara itu sang algojo ingin membasuh dosa-dosa masa lalunya. Aku berusaha untuk tidak dendam padanya, sebab ia juga korban keadaan saat itu. Aku sudah cukup merasa lega berhasil menemukan keberadaan Ayah yang bertahun-tahun kucari. Ternyata, Ayah tidak pergi ke bulan, ia masih meringkuk sebagai kerangka di dalam tanah pelaba pura.
Besok siang aku mesti kembali ke Jakarta, mengabarkan berita ini pada kawan-kawan aktivis dan menyusun rencana penggalian kuburan massal itu. Suara gamelan mengalun sayup-sayup dari dalam pura. Kutatap langit malam, purnama masih bersinggasana di atas pura. Tapi, bidadari kecil yang suka bermain ayunan itu telah tidak ada. Dari kejauhan aku menatap pelaba pura yang kini diramaikan pedagang kakilima. “Ayah, tunggu aku di situ. Aku akan segera menjemputmu!”***


Denpasar, 2005



Keterangan:
- Meru             :  Salah satu bentuk bangunan yang biasanya ada di dalam pura.
- Memedi         : Sejenis mahluk halus yang menghuni pinggiran sungai atau
                          pohon-pohon yang dianggap angker.
- Pelaba pura   : Tanah milik pura yang biasanya berlokasi tidak jauh dari areal pura.
- Pemangku     : Orang yang dipilih melalui suatu proses ritual untuk menjadi pemimpin di suatu pura dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan   segala jenis upacara/ritual dalam pura tersebut. 
- Odalan          : Upacara besar di suatu pura, biasanya setiap 6 bulan sekali.
- Janger            : Suatu jenis tarian dan nyanyian muda-mudi yang populer di Bali,
                          sering dipakai untuk sarana kampanye dengan pesan-pesan tertentu.
- Tajen             : Permainan judi sabungan ayam gaya Bali.    
- Wantilan       : Bangunan serba guna yang merupakan bagian dari kompleks pura.

2 comments:

  1. sangat mengahrukan, di tunggu updatenya gan

    ReplyDelete
  2. Sangat berkesan bagi individu2 yg mengalaminya, kekacauan periode tsb menyebabkan hilangnya beberapa anggota keluarga atau malahan lenyapnya suatu keluarga!

    ReplyDelete