Labels

Friday 21 October 2011

Puisi-puisi 2008

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Sarkopagus Alasangker, Buleleng


mesti dengan apa lagi kukisahkan padamu
nubuat yang kubuat bagi keturunanmu
                             telah sempurna terbuka
namun kau lebih suka merayu waktu
tanpa mau menjenguk kawasanku
         masa lalu telah menyerpih
                            dan jadi abu dalam diriku
tertimbun dalam periuk tanah liat,
bersama kalung manik-manik, gelang perunggu,
                      tombak usang dan kenangan lapuk

mengapa kau tiada mampu membaca nujuman itu
aku telah guratkan segala tanda di dinding tebing
                    aku telah tatah di setiap jiwa manusia

kerajaanku akan bangkit
sebab kau memaksaku tiba pada kerinduan purba
        apa yang tiada luput dari kabut
yang menyisir perkampungan dan hutan keramat
              yang dihuni para danyang dan memedi

beri aku bunga embun
agar waktu kembali mencair
                   dari ruhku yang kelam,
sekelam kutukan batu-batu di hunian ini
          kau tak paham makna pertemuan
apa yang bisa diimpikan sepasang kijang
yang terpanah di tengah hutan gersang
          saat asmara mencapai ubun-ubun

kedalaman tanah moyangku  
daerah istirah yang selalu membayang
       kepayang pada pepucuk pohon lontar
                                yang kau sadap jadi tuak
dan kau guratkan aksara purba di bumbungnya
       tapi kau tak pernah usai
                                mengurai nujuman itu
senja akan musnah
dan mata tiada jenuh bergelut
                     dengan kemesraan maut

peramal tua itu telah tiba
dari jalan hidupmu yang hampa kata-kata
mengapa kau tiada ikuti kemauan jiwa
ketika hari makin genap dalam perjamuan cinta

pada akhirnya kita hanya
tumpukan kerangka tiada guna
namun aku telah menyibakkan jalan
bagi segala kenangan
               yang melintasi aliran nadimu

Alasangker menyungkupi kebisuanku
                               beribu-ribu tahun
cuaca telah membaca nubuat yang kugurat
              pada pohon-pohon dan batu-batu  
maka begitu pula aku membacamu
                           dari tidur abadiku


(Bali, 2008)


Singaraja


kota telah menemukan namamu
tertoreh di batang-batang pohon asam
saat aku meruwat sejumput hasrat
yang digali dari batu-batu
                             sejauh alur waktu
kita tidak akan tersesat lagi dalam labirin itu
sebab cahaya yang merumuskan kabut
telah mencatat setiap jejak hujan
              dan juga kenangan
maka biarkan bibirmu membasuh bibirku
                                   dengan segala rindu
sebelum kasih tertimbun
            puing-puing reruntuhan puri
kelak seorang pengembara akan mencatat jejak kita
            dan juga tapak-tapak kata di jalan-jalan setapak
serupa tilas-tilas yang cacat dan terkelupas
dan tangan mungilmu akan membilasnya
dengan air mata para janda yang ditinggalkan
            yang meratapi sepi bernyanyi di ujung ranjang

dari reruntuhan puri
          akan lahir dan bangkit singa bersayap api
terbang membawa sisa-sisa kelam dari dukana,
serta serpih cinta yang disembunyikan para durjana
          dan segala tarian akan kembali digelar
demi menggenapkan hausmu pada perjalanan
           demi melunaskan rinduku pada kelahiran

laut akan merestui selembar daun waru
                           yang perlahan luruh di tengah gerimis
laut yang selalu menanti abuku
            laut yang menderu setiap waktu
                                    dalam paru-paruku yang kelabu
namun biar saja pasir masih basah
            agar jejakmu tetap merekah
            agar bisa kukenang bila kau lekang
dan jangan percaya pada cahaya pelita di tengah laut
sebab ia akan menipumu dengan keindahan yang samar
          dengan nyanyian yang melenakan jiwa

aku akan tatah celotehmu di tembok-tembok puri
              agar kau sedikit lega
dan potret usang itu biar saja tetap di situ
            tak perlu nyalakan dupa wangi
sebab jiwamu yang telah harum pandan
            akan membuat mereka meratap
serupa lumut-lumut yang menjalar dan mengukir kaligrafi
bagi cinta yang kandas bersama tongkang-tongkang asing
                                               yang terjerat hak tawan karang

kota akan mencatat namamu yang pucat
            di setiap tugu-tugu jalan
                          dan gubug-gubug kaum jelata
dari sana kau bisa meratapi senja
yang paripurna pada hamparan jiwaku
           
perahu kelabu akan tiba menjemputmu
dan saat itu pula aku pamit dan tamat


(Bali, 2008)


Tulamben
-untuk: riki dhamparan putra-


kini aku mengerti, saudaraku
mengapa begitu damai di sini
         barisan pohon lontar itu
hening merenungi cahya senja
pasrah menerima segala titah
                        penghabisan

di antara batu-batu lahar itu
aku lihat bayangmu membisu
seperti karang kering yang gagu

tak ada kaktus yang mampu menepis
                sisa usia di setapak jalan
menuju ladang-ladang garam

ilalang telah melepas kembang
           putih kemilau
serupa wajah jelita cinta
entah kemana angin membawanya

kini aku mengerti, saudaraku
mengapa laut timur begitu bisu
seperti pertapa yang memburu wahyu
aku telah paham kedalaman jiwanya
                lebih dari yang kau rasa

surga memang bukan untuk orang miskin, saudaraku
namun petani tak pernah lelah membajak sawah
           nelayan selalu berlagu menuju laut jauh
peladang garam masih setia menyaring keringat
           menampungnya di bilah-bilah kayu sagu

dan penyair tertatih sendiri
menyisiri tepi-tepi hari
dengan arah yang tak pasti


(Tulamben, Karangasem, Bali, September 2008)


Di Tepi Jambi


di tepi jambi aku luruh
ke dalam genang kenanganmu
perahu telah melabuh dan langkah mulai
         merasuki hutan keramatmu
hingga tiba aku di ketiadaan tubuh
        pada akhirnya waktu akan menjelma abu

sriti di udara mengitari musim
                        sarang terlalu jauh dilamun
mengapa kau masih di teratak meratapi hari
                              yang pergi gontai

di tepi jambi
cuaca akan memberi isyarat kepulangan
            ricik air mewarnai pelayaran
tapi mengapa kau tiada melepasku dengan senyum ranum
            apakah waktu telah tua dengan sendirinya
hingga kau merasa keriput oleh senja
                                yang angslup di kelopak matamu

di tepi jambi
aku menagih janji
pada jiwamu sejati

di tepi jambi
aku bermimpi
hari-hari pergi
dan kau tiba lagi


(2008)


Lelaki Berkalung Tulang Duyung


lelaki berkalung tulang duyung itu
datang padamu membawa serpih-serpih mimpinya
malam berjubah biru menyeret lelah langkahnya

tiba di ambang pintumu
kau menerimanya sebagai kekasih
entah yang ke berapa

lelaki berkalung tulang duyung
mencium keningmu
merenungi harum rambutmu

terbata kau berkata:

aku lahir sebagai titisan peri sungai musi
di kota kembang aku meradang
tak satu pun lelaki mau mengakuiku
mereka hanya ingin menggauliku
menyerap panas tubuh
dan mencecap asin keringatku

lelaki berkalung tulang duyung
tercenung di ranjang

tubuhku hanya dermaga
bagi lelaki yang letih setelah pelayaran jauh
mereka hanya ingin singgah
sejenak melepas lelah
mungkin kau salah satunya

lelaki berkalung tulang duyung
menerawang ke jejaring matamu
ada duka maha kelam
terperangkap bertahun-tahun di situ

aku hanya inginkan cinta
namun tiada jua kutemui
di tanah dewata pun tiada
semua cinta telah lesap
ke dalam airmata

lelaki berkalung tulang duyung
termangu, meraba arah kata
yang menjalar dari bibirmu

kita hanya dipertemukan sepi
sepimu dan sepiku
kita hanya kangen melengkapkan perjamuan
dan hasrat purba yang meletup dalam jiwa
tapi tak akan pernah ada
kepastian, tiada jua kemungkinan

lelaki berkalung tulang duyung
meraba bibirmu yang gemetar
menahan deras kata-kata berlumur duka

aku ingin sembunyi di dalam gua paling gelap
atau mengubur diri dalam tanah paling kelam
hingga cahaya tak menyentuh mataku lagi

lelaki berkalung tulang duyung
terperangah
kemudian diam
tak mampu berkata-kata

malam menelan
kesepian mereka


(Karangasem, Bali, 11 Juli 2008)


Magelang
- untuk pelukis deddy paw-


bau tembakau di akhir agustus
              merambah kotamu
serupa aroma pagi yang jernih
udara bagai hembusan nafas bayi

di warung nasi senerek bu atmo
        jamuanmu mewarnai sedulur
lembah tidar, pakuning tanah jawi

dalam gelinjang wayang lukisan kaca ardhi gunawan
aku menemukan pijakan pengembaraan masa silam
malam-malam nyanyian serangga, lampu sentir, kelir kain kasa,
kresna dari daun jepun dan arjuna dari daun nangka
timbul tenggelam dari kubang kenangan masa kanak

pagi menepi ditemani lagu-lagu lawas leo kristi
melewati alun-alun magelang, mesjid kauman,
klenteng tua pacinan, gereja di sudut jalan, bayangan candi,
tombak laskar tionghoa yang ditinggalkan, makam kyai sepanjang,
serdadu, perwira, berpadu teriakan berani mati

aku melihat ribuan khuldi emas mengambang di telaga seroja
di tengah-tengahnya buddha semadi, menggapai nirwana
              “cinta dan kasih dimulai dari sebiji khuldi,” ujarmu

cemara bukit tidar
lagu angin dalam genggaman,
gesekan biola
tarian atau dansa penghabisan
hijau, hijau, hijau
bagai jelita dara perawan
lima gunung melingkar benteng terakhir kota
andong, merapi, merbabu, sumbing, sindoro

senja tiba membawa kata-kata tak tuntas
membekas pada hamparan kanvasmu
serupa tilas-tilas cinta di bening mata perempuan
yang menatapmu dalam hening kelambu peraduan
mulus tubuhnya, berkas-berkas yang tersusun
                                          dari kedalaman jiwa
tak sepenuhnya mampu kita baca

malam, kawan setia pejalan itu
sekian bulan mati kita tiba
menjelma kelelawar kelabu

darimana datangnya suara seruling
               yang merintih perih itu
begitu rupa menyayat sukma
                          hingga kita jadi terbiasa
ditikam kepiluan petani-petani tembakau

magelang jelang larut malam
lentera-lentera jalanan muram
tembang macopatan melantun
merambat di tembok-tembok tua kota
mengiringi sesuap demi sesuap nasi
di warung pojok jalan jenderal sudirman

sulur-sulur sinar fajar
seperti bilur-bilur fana pada jiwaku
kembara dari kota ke kota
              dari desa ke desa
menyelami semesta raya puisi
                     dalam semesta diriku


(Magelang, Agustus 2008)


Tiga Puluh Tiga Dupa Menyala


usia bercahaya dari lembah subuh
mengulum kenang demi kenang
dan kini aku kembali lahir
                     dari abuku sendiri

musim mulai birahi
ranjang penuh gelinjang
             dan aroma tubuhmu

kau yang tiba
membawa dadumu sendiri

ini bukan perjamuan terakhir
tiga puluh tiga dupa menyala
       dari lubuk kalbuku
wanginya memabukkan malam

sepi dan birahi mengalir lincah
seperti anggur dalam darah

tiada dangau nyaman
mampu membuatku berhenti
        sekadar istirah
menisik tilas-tilas waktu
di kening dan tapak tanganku

aku hanya rindu berjalan
        suatu waktu
akan tiba pada hamparan jiwamu

saat itulah kukisahkan
segala yang pernah tetirah
di dalam kenangan


(Karangasem, Bali, 22 Juni 2008)


Dadu


seandainya waktu kembali
             menuntun kita
pada putaran dadu
      maka aku ingin lagi
                mengenang jelitamu
dalam segala prasangka cuaca


(2008)


Kabar Terakhir


semenanjung dingin
kabar terakhir
dari perahu yang hilang
tiba lebih dini
aku menunggumu
di pucuk mercusuar
layar berhenti berkibar
tiada yang pasti pada hampar laut

angin mengusir camar-camar
          ke lingkup kabut
apa yang mesti dimengerti sepi
         hujan dini hari tadi
menghanyutkan waktu
ke dalam bejana mimpimu
         semua akan berakhir
                    seperti kendi pecah
menyerpih dalam udara malam

patahan sayap camar belia
       hinggap di jiwamu
setiap aksara yang tergurat
menjelma kisah hidupmu
        makin suram
dalam kerumunan halimun

kau yang terkalahkan
yang melolong sepi dari kobaran api
        yang menjelma abu
yang gemeretak saat laju perahu
semakin jauh dari jantungmu
       yang membusuk perlahan
terimalah kabar ombak
       terimalah takdir laut
seperti takdirmu sendiri
tiada yang bisa disembunyikan gelombang
                             dari jiwamu yang buta

tiada kisah akan tercipta di tepi pantaimu
yang melandai hingga ke ujung gaun putri jelita
                yang menanti di ujung tanjung itu
mungkin bunga-bunga gugur ke dalam hatinya
              dan kupu-kupu akan musnah
                            dalam genggaman tangannya
hanya hari yang mengerti
ke mana mesti menepi

aku telah buka rahasia sunyata
mengapa kau masih memeram hasrat
ingin tahu segala rahasia kematian
apakah tiada nyenyak lagi tidurmu
            dalam rimbunan bambu
yang gemerisik setiap malam itu

kematian serupa gelombang menyergapmu
ketika kau lengah berenang di pantai
         biarkan saja lemah tanganmu
menggapai matahari senja keemasan
        sebelum sempurna cahayanya
                        merambati jalinan nadimu
kau akan dengar gemericik
omang-omang dalam pasir,
        rintih buih, lagu ganggang,
                        dan doa syukur nelayan
        yang luput dari mulut ombak

hari akan kembali tiba
sebelum kau pergi
dengan tawamu yang bahagia
            dalam dekapan maut
yang begitu ngelangut
merindukan dirimu
di tepi pantai itu

barisan pohon waru menadahkan tangan
               agar kau mampu membelainya
demi salam selamat tinggal yang mengesankan
cumi-cumi menyemburkan tinta kelamnya
               demi menghangatkan tubuhmu
                             dalam selimut gelombang

pasrahkan dirimu
kita akan menjelma cahaya


(2008)


Malam yang Kugandrungi


inikah malam yang kugandrungi
malam yang hanya menyisakan jejak hujan
tanpa bunga melati bagi pemakamanku

orang-orang dungu itu
masih saja menunggu di tikungan
mereka berdoa untuk kelepak kelelawar
berharap bahunya ditumbuhi sepasang sayap
agar mampu menjelajahi malam-malam laknat
                                           yang aku ciptakan

tapi hujan masih bersijingkat di halaman
           aku tak akan paham
rahasia yang dititipkan langit dalam jiwaku

terlalu banyak yang akan kita bawa
                               ke dalam liang kubur
        sebab malam telah merestui
pernikahanku dengan kuntum melati


(Karangasem, Bali, 2008)


Padangbai Pagi Hari


perahu kembali tiba
dari jenuh pelayaran
anak-anak ombak
mengeja riak di tepian
dan terbaca lagi air matamu
           yang bagai kilau mutiara
dalam kandungan cangkang kerang
                  bertahun-tahun lampau

ufuk pagi menyala dari matamu
di mana tertambat segala lara
dan rindu akan kepulangan

kabut masih merambat di tiang-tiang layar
dan ikan layur masih pula setia
                menyusuri alurnya sendiri
melulur perjalanan dan kenangan tiada bertepi

perahu kembali berangkat
tergesa dalam pelayaran
        tanpa sempat pamit
pada air mata yang mengerak
       di sudut-sudut dermaga


(Karangasem, Bali, 2008)


Puisi untuk W

 walau cuaca gagu dan
        angin memeram benih malam
namun kau masih setia berjalan
        dari waktu ke waktu pertemuan
antara kenangan dan kerinduan

lebih puisi hari-harimu kini
endapan semerbak wangi rambutmu
         o, kilau cahaya yang ragu
pada batas kelam kelopak mata
         ombak merayap mencapai mulus betismu
letih telah paripurna di tepian senja
        dan camar yang mengembara sendiri
akan kembali pulang ke sarang jiwamu


(Karangasem, Bali, 27 Mei 2008)


Gasing


dindaku, Putri Cermin Cina,
cinta kita hanya fana
                hanya sekelumit tatap mata
ketika aku tiba di negerimu
ketika ayahandamu, Sutan Mambang Matahari, merestui kita
ketika Tuan Muda Selat ingin mengujiku
                 dalam permainan gasing kegemaran kami
aku tahu cinta kita akan sampai

dinda, abadi cinta kita
seperti putaran gasing
yang bukan petaka, melainkan tanda
ketika gasing itu membentur keningmu
maka keabadian perlahan terbuka
                           dan tergurat di jiwaku
aku menyusulmu
bukan ke pelaminan atau peraduan penuh tilam
dan selimut beludru bersulam benang emas
        aku menyusul hayatmu yang penyap
                       bagai asap di tungku perapian
berjalan bergandengan ke negeri akhirat,
                                 negeri abadi yang dijanjikan

bila kita ditakdirkan lagi berjumpa di bumi fana
maka dari seberang, dari Dusun Senaning
aku senantiasa merindukan bayang wajahmu
            jelita yang membias di tepi sungai,
kepedihan yang meruap ke langit Jambi
            sesekali kita bisa menjenguk ayahanda
yang semayam di Dusun Tengah Lubuk Ruso
atau bertandang ke Kampung Selat
            penuh harap menatap cakrawala

tiada lagi rasa bersalah, tiada lagi dosa
sebab semua telah dinujumkan
segalanya akan kembali berputar seperti gasing
kita tiada paham di mana putaran itu akan berakhir
kita tiada mampu meraba arah takdir
               semua penuh kemungkinan
sebab hidup seperti permainan gasing


(2008)


Rumah Arwah


rumah mewah:
ada beranda tempat cengkerama
dengan bunga-bunga persik di taman
ada tangga kayu dimana kau pernah terpeleset jatuh
ada atap bergaya istana kaisar yang kita impikan
loteng yang penuh kenang,
ranjang dengan kelambu sulam emas
kebun penuh buah cerry

rumah mewah, rumah arwah
semua itu hanya dari kertas
yang akan terbakar
dan mengabu

akhirnya tiba jua titah itu
perjalanan yang sepenuhnya baru
segera dimulai, ditapak dengan hati-hati
kau bekali aku dengan selembar peta buram
uang kertas kusam yang hanya berlaku di langit

di dingin pantai ini
aku hanya mampu menyentuh jiwamu
bau hio wangi meraba udara
entah tiba dimana doa-doamu
adakah doa itu untukku?

seberapa jauh jarak ke negeri akhirat?
sampan kayu tak cukup mampu membawaku
dewa angin mungkin membantu
tapi sampai dimana
perjalananku?


(Denpasar, Juni 2008)


Sajak


aku tahu kau akan tiba dengan kutukan baru
aku tahu kau akan tiba dengan jubah baru
aku tahu kau akan tiba dengan perahu baru
        maka begitu pula kau tahu
aku akan tiba dengan kematian baru


(2008)

No comments:

Post a Comment