Sarkopagus Alasangker, Buleleng
mesti dengan apa lagi kukisahkan padamu
nubuat yang kubuat bagi keturunanmu
telah sempurna
terbuka
namun kau lebih suka merayu waktu
tanpa mau menjenguk kawasanku
masa lalu telah menyerpih
dan jadi abu dalam
diriku
tertimbun dalam periuk tanah liat,
bersama kalung manik-manik, gelang perunggu,
tombak usang dan kenangan
lapuk
mengapa kau tiada mampu membaca nujuman itu
aku telah guratkan segala tanda di dinding
tebing
aku telah tatah di setiap
jiwa manusia
kerajaanku akan bangkit
sebab kau memaksaku tiba pada kerinduan purba
apa
yang tiada luput dari kabut
yang menyisir perkampungan dan hutan keramat
yang dihuni para danyang dan
memedi
beri aku bunga embun
agar waktu kembali mencair
dari ruhku yang kelam,
sekelam kutukan batu-batu di hunian ini
kau tak paham makna pertemuan
apa yang bisa diimpikan sepasang kijang
yang terpanah di tengah hutan gersang
saat asmara mencapai ubun-ubun
kedalaman tanah moyangku
daerah istirah yang selalu membayang
kepayang
pada pepucuk pohon lontar
yang kau sadap jadi
tuak
dan kau guratkan aksara purba di bumbungnya
tapi
kau tak pernah usai
mengurai nujuman itu
senja akan musnah
dan mata tiada jenuh bergelut
dengan kemesraan maut
peramal tua itu telah tiba
dari jalan hidupmu yang hampa kata-kata
mengapa kau tiada ikuti kemauan jiwa
ketika hari makin genap dalam perjamuan cinta
pada akhirnya kita hanya
tumpukan kerangka tiada guna
namun aku telah menyibakkan jalan
bagi segala kenangan
yang melintasi aliran nadimu
Alasangker menyungkupi kebisuanku
beribu-ribu tahun
cuaca telah membaca nubuat yang kugurat
pada pohon-pohon dan batu-batu
maka begitu pula aku membacamu
dari tidur abadiku
Singaraja
kota telah menemukan namamu
tertoreh di batang-batang pohon asam
saat aku meruwat sejumput hasrat
yang digali dari batu-batu
sejauh alur waktu
kita tidak akan tersesat lagi dalam labirin
itu
sebab cahaya yang merumuskan kabut
telah mencatat setiap jejak hujan
dan juga kenangan
maka biarkan bibirmu membasuh bibirku
dengan segala rindu
sebelum kasih tertimbun
puing-puing reruntuhan puri
kelak seorang pengembara akan mencatat jejak kita
dan juga tapak-tapak kata di jalan-jalan setapak
serupa tilas-tilas yang cacat dan terkelupas
dan tangan mungilmu akan membilasnya
dengan air mata para janda yang ditinggalkan
yang meratapi sepi bernyanyi di ujung ranjang
dari reruntuhan puri
akan lahir dan bangkit singa bersayap api
terbang membawa sisa-sisa kelam dari dukana,
serta serpih cinta yang disembunyikan para
durjana
dan segala tarian akan kembali digelar
demi menggenapkan hausmu pada perjalanan
demi melunaskan rinduku pada kelahiran
laut akan merestui selembar daun waru
yang perlahan luruh
di tengah gerimis
laut yang selalu menanti abuku
laut yang menderu setiap waktu
dalam
paru-paruku yang kelabu
namun biar saja pasir masih basah
agar jejakmu tetap merekah
agar bisa kukenang bila kau lekang
dan jangan percaya pada cahaya pelita di
tengah laut
sebab ia akan menipumu dengan keindahan yang
samar
dengan nyanyian yang melenakan jiwa
aku akan tatah celotehmu di tembok-tembok puri
agar kau sedikit lega
dan potret usang itu biar saja tetap di situ
tak perlu nyalakan dupa wangi
sebab jiwamu yang telah harum pandan
akan membuat mereka meratap
serupa lumut-lumut yang menjalar dan mengukir
kaligrafi
bagi cinta yang kandas bersama
tongkang-tongkang asing
yang
terjerat hak tawan karang
kota akan mencatat namamu yang pucat
di setiap tugu-tugu jalan
dan gubug-gubug kaum
jelata
dari sana kau bisa meratapi senja
yang paripurna pada hamparan jiwaku
perahu kelabu akan tiba menjemputmu
dan saat itu pula aku pamit dan tamat
(Bali, 2008)
Tulamben
-untuk: riki dhamparan
putra-
kini aku mengerti,
saudaraku
mengapa begitu damai
di sini
barisan pohon lontar itu
hening merenungi cahya
senja
pasrah menerima segala
titah
penghabisan
di antara batu-batu
lahar itu
aku lihat bayangmu membisu
seperti karang kering
yang gagu
tak ada kaktus yang
mampu menepis
sisa usia di setapak jalan
menuju ladang-ladang
garam
ilalang telah melepas
kembang
putih kemilau
serupa wajah jelita
cinta
entah kemana angin
membawanya
kini aku mengerti,
saudaraku
mengapa laut timur
begitu bisu
seperti pertapa yang
memburu wahyu
aku telah paham
kedalaman jiwanya
lebih dari yang kau rasa
surga memang bukan
untuk orang miskin, saudaraku
namun petani tak
pernah lelah membajak sawah
nelayan selalu berlagu menuju laut
jauh
peladang garam masih
setia menyaring keringat
menampungnya di bilah-bilah kayu
sagu
dan penyair tertatih sendiri
menyisiri tepi-tepi
hari
dengan arah yang tak pasti
Di Tepi Jambi
di tepi jambi aku
luruh
ke dalam genang
kenanganmu
perahu telah melabuh
dan langkah mulai
merasuki hutan keramatmu
hingga tiba aku di
ketiadaan tubuh
pada akhirnya waktu akan menjelma abu
sriti di udara
mengitari musim
sarang terlalu jauh
dilamun
mengapa kau masih di
teratak meratapi hari
yang pergi gontai
di tepi jambi
cuaca akan memberi
isyarat kepulangan
ricik air mewarnai pelayaran
tapi mengapa kau tiada
melepasku dengan senyum ranum
apakah waktu telah tua dengan
sendirinya
hingga kau merasa
keriput oleh senja
yang angslup di
kelopak matamu
di tepi jambi
aku menagih janji
pada jiwamu sejati
di tepi jambi
aku bermimpi
hari-hari pergi
dan kau tiba lagi
(2008)
Lelaki
Berkalung Tulang Duyung
lelaki berkalung tulang duyung itu
datang padamu membawa serpih-serpih mimpinya
malam berjubah biru menyeret lelah langkahnya
tiba di ambang pintumu
kau menerimanya sebagai kekasih
entah yang ke berapa
lelaki berkalung tulang duyung
mencium keningmu
merenungi harum rambutmu
terbata kau berkata:
aku lahir
sebagai titisan peri sungai musi
di kota
kembang aku meradang
tak satu
pun lelaki mau mengakuiku
mereka
hanya ingin menggauliku
menyerap
panas tubuh
dan
mencecap asin keringatku
lelaki berkalung tulang duyung
tercenung di ranjang
tubuhku
hanya dermaga
bagi
lelaki yang letih setelah pelayaran jauh
mereka
hanya ingin singgah
sejenak
melepas lelah
mungkin
kau salah satunya
lelaki berkalung tulang duyung
menerawang ke jejaring matamu
ada duka maha kelam
terperangkap bertahun-tahun di situ
aku
hanya inginkan cinta
namun
tiada jua kutemui
di tanah
dewata pun tiada
semua
cinta telah lesap
ke dalam
airmata
lelaki berkalung tulang duyung
termangu, meraba arah kata
yang menjalar dari bibirmu
kita
hanya dipertemukan sepi
sepimu
dan sepiku
kita
hanya kangen melengkapkan perjamuan
dan hasrat
purba yang meletup dalam jiwa
tapi tak
akan pernah ada
kepastian,
tiada jua kemungkinan
lelaki berkalung tulang duyung
meraba bibirmu yang gemetar
menahan deras kata-kata berlumur duka
aku
ingin sembunyi di dalam gua paling gelap
atau
mengubur diri dalam tanah paling kelam
hingga
cahaya tak menyentuh mataku lagi
lelaki berkalung tulang duyung
terperangah
kemudian diam
tak mampu berkata-kata
malam menelan
kesepian mereka
(Karangasem, Bali, 11 Juli 2008)
Magelang
- untuk pelukis deddy paw-
bau tembakau di akhir agustus
merambah kotamu
serupa aroma pagi yang jernih
udara bagai hembusan nafas bayi
di warung nasi senerek bu atmo
jamuanmu
mewarnai sedulur
lembah tidar, pakuning tanah jawi
dalam gelinjang wayang lukisan kaca ardhi
gunawan
aku menemukan pijakan pengembaraan masa silam
malam-malam nyanyian serangga, lampu sentir,
kelir kain kasa,
kresna dari daun jepun dan arjuna dari daun
nangka
timbul tenggelam dari kubang kenangan masa
kanak
pagi menepi ditemani lagu-lagu lawas leo
kristi
melewati alun-alun magelang, mesjid kauman,
klenteng tua pacinan, gereja di sudut jalan,
bayangan candi,
tombak laskar tionghoa yang ditinggalkan, makam
kyai sepanjang,
serdadu, perwira, berpadu teriakan berani mati
aku melihat ribuan khuldi emas mengambang di
telaga seroja
di tengah-tengahnya buddha semadi, menggapai
nirwana
“cinta dan kasih dimulai dari sebiji khuldi,” ujarmu
cemara bukit tidar
lagu angin dalam genggaman,
gesekan biola
tarian atau dansa penghabisan
hijau, hijau, hijau
bagai jelita dara perawan
lima gunung melingkar benteng terakhir kota
andong, merapi, merbabu, sumbing, sindoro
senja tiba membawa kata-kata tak tuntas
membekas pada hamparan kanvasmu
serupa tilas-tilas cinta di bening mata
perempuan
yang menatapmu dalam hening kelambu peraduan
mulus tubuhnya, berkas-berkas yang tersusun
dari
kedalaman jiwa
tak sepenuhnya mampu kita baca
malam, kawan setia pejalan itu
sekian bulan mati kita tiba
menjelma kelelawar kelabu
darimana datangnya suara seruling
yang merintih perih itu
begitu rupa menyayat sukma
hingga kita jadi
terbiasa
ditikam kepiluan petani-petani tembakau
magelang jelang larut malam
lentera-lentera jalanan muram
tembang macopatan melantun
merambat di tembok-tembok tua kota
mengiringi sesuap demi sesuap nasi
di warung pojok jalan jenderal sudirman
sulur-sulur sinar fajar
seperti bilur-bilur fana pada jiwaku
kembara dari kota ke kota
dari desa ke desa
menyelami semesta raya puisi
dalam semesta diriku
(Magelang, Agustus 2008)
Tiga Puluh Tiga Dupa Menyala
usia bercahaya dari lembah
subuh
mengulum kenang demi
kenang
dan kini aku kembali
lahir
dari abuku sendiri
musim mulai birahi
ranjang penuh gelinjang
dan aroma tubuhmu
kau yang tiba
membawa dadumu sendiri
ini bukan perjamuan
terakhir
tiga puluh tiga dupa
menyala
dari lubuk kalbuku
wanginya memabukkan
malam
sepi dan birahi mengalir
lincah
seperti anggur dalam
darah
tiada dangau nyaman
mampu membuatku
berhenti
sekadar istirah
menisik tilas-tilas
waktu
di kening dan tapak
tanganku
aku hanya rindu
berjalan
suatu waktu
akan tiba pada
hamparan jiwamu
saat itulah kukisahkan
segala yang pernah
tetirah
di dalam kenangan
(Karangasem, Bali, 22
Juni 2008)
Dadu
seandainya waktu kembali
menuntun kita
pada putaran dadu
maka aku ingin lagi
mengenang jelitamu
dalam segala prasangka cuaca
(2008)
Kabar Terakhir
semenanjung dingin
kabar terakhir
dari perahu yang hilang
tiba lebih dini
aku menunggumu
di pucuk mercusuar
layar berhenti
berkibar
tiada yang pasti pada
hampar laut
angin mengusir camar-camar
ke lingkup kabut
apa yang mesti
dimengerti sepi
hujan dini hari tadi
menghanyutkan waktu
ke dalam bejana
mimpimu
semua akan berakhir
seperti kendi pecah
menyerpih dalam
udara malam
patahan sayap camar
belia
hinggap di jiwamu
setiap aksara yang
tergurat
menjelma kisah
hidupmu
makin suram
dalam kerumunan
halimun
kau yang
terkalahkan
yang melolong sepi dari
kobaran api
yang menjelma abu
yang gemeretak saat
laju perahu
semakin jauh dari
jantungmu
yang membusuk perlahan
terimalah kabar
ombak
terimalah takdir laut
seperti takdirmu
sendiri
tiada yang bisa
disembunyikan gelombang
dari jiwamu yang
buta
tiada kisah akan
tercipta di tepi pantaimu
yang melandai
hingga ke ujung gaun putri jelita
yang menanti di ujung tanjung
itu
mungkin bunga-bunga
gugur ke dalam hatinya
dan kupu-kupu akan musnah
dalam genggaman
tangannya
hanya hari yang
mengerti
ke mana mesti
menepi
aku telah buka rahasia
sunyata
mengapa kau masih memeram
hasrat
ingin tahu segala
rahasia kematian
apakah tiada
nyenyak lagi tidurmu
dalam rimbunan bambu
yang gemerisik
setiap malam itu
kematian serupa
gelombang menyergapmu
ketika kau lengah
berenang di pantai
biarkan saja lemah tanganmu
menggapai matahari
senja keemasan
sebelum sempurna cahayanya
merambati jalinan
nadimu
kau akan dengar
gemericik
omang-omang dalam
pasir,
rintih buih, lagu ganggang,
dan doa syukur nelayan
yang luput dari mulut ombak
hari akan kembali
tiba
sebelum kau pergi
dengan tawamu yang bahagia
dalam dekapan maut
yang begitu
ngelangut
merindukan dirimu
di tepi pantai itu
barisan pohon waru
menadahkan tangan
agar kau mampu membelainya
demi salam selamat
tinggal yang mengesankan
cumi-cumi menyemburkan
tinta kelamnya
demi menghangatkan tubuhmu
dalam selimut gelombang
pasrahkan dirimu
kita akan menjelma
cahaya
(2008)
Malam
yang Kugandrungi
inikah malam yang kugandrungi
malam yang hanya menyisakan jejak hujan
tanpa bunga melati bagi pemakamanku
orang-orang dungu itu
masih saja menunggu di tikungan
mereka berdoa untuk kelepak kelelawar
berharap bahunya ditumbuhi sepasang sayap
agar mampu menjelajahi malam-malam laknat
yang
aku ciptakan
tapi hujan masih bersijingkat di halaman
aku tak akan paham
rahasia yang dititipkan langit dalam jiwaku
terlalu banyak yang akan kita bawa
ke dalam liang
kubur
sebab
malam telah merestui
pernikahanku dengan kuntum melati
(Karangasem, Bali, 2008)
Padangbai
Pagi Hari
perahu kembali tiba
dari jenuh pelayaran
anak-anak ombak
mengeja riak di tepian
dan terbaca lagi air matamu
yang bagai kilau mutiara
dalam kandungan cangkang kerang
bertahun-tahun lampau
ufuk pagi menyala dari matamu
di mana tertambat segala lara
dan rindu akan kepulangan
kabut masih merambat di tiang-tiang layar
dan ikan layur masih pula setia
menyusuri alurnya sendiri
melulur perjalanan dan kenangan tiada bertepi
perahu kembali berangkat
tergesa dalam pelayaran
tanpa
sempat pamit
pada air mata yang mengerak
di
sudut-sudut dermaga
(Karangasem, Bali, 2008)
Puisi untuk W
walau cuaca gagu dan
angin memeram benih malam
namun kau masih setia berjalan
dari waktu ke waktu pertemuan
antara kenangan dan kerinduan
lebih puisi hari-harimu kini
endapan semerbak wangi rambutmu
o, kilau cahaya yang ragu
pada batas kelam kelopak mata
ombak merayap mencapai mulus betismu
letih telah paripurna di tepian senja
dan camar yang mengembara sendiri
akan kembali pulang ke sarang jiwamu
Gasing
dindaku, Putri Cermin
Cina,
cinta kita hanya fana
hanya sekelumit tatap mata
ketika aku tiba di
negerimu
ketika ayahandamu,
Sutan Mambang Matahari, merestui kita
ketika Tuan Muda Selat
ingin mengujiku
dalam permainan gasing
kegemaran kami
aku tahu cinta kita
akan sampai
dinda, abadi cinta
kita
seperti putaran gasing
yang bukan petaka, melainkan
tanda
ketika gasing itu membentur
keningmu
maka keabadian
perlahan terbuka
dan tergurat di jiwaku
aku menyusulmu
bukan ke pelaminan
atau peraduan penuh tilam
dan selimut beludru
bersulam benang emas
aku menyusul hayatmu yang penyap
bagai asap di tungku
perapian
berjalan bergandengan
ke negeri akhirat,
negeri abadi yang dijanjikan
bila kita ditakdirkan
lagi berjumpa di bumi fana
maka dari seberang,
dari Dusun Senaning
aku senantiasa
merindukan bayang wajahmu
jelita yang membias di tepi sungai,
kepedihan yang meruap
ke langit Jambi
sesekali kita bisa menjenguk
ayahanda
yang semayam di Dusun
Tengah Lubuk Ruso
atau bertandang ke
Kampung Selat
penuh harap menatap cakrawala
tiada lagi rasa
bersalah, tiada lagi dosa
sebab semua telah
dinujumkan
segalanya akan kembali
berputar seperti gasing
kita tiada paham di mana
putaran itu akan berakhir
kita tiada mampu
meraba arah takdir
semua penuh kemungkinan
sebab hidup seperti
permainan gasing
(2008)
Rumah
Arwah
rumah mewah:
ada beranda tempat cengkerama
dengan bunga-bunga persik di taman
ada tangga kayu dimana kau pernah terpeleset
jatuh
ada atap bergaya istana kaisar yang kita
impikan
loteng yang penuh kenang,
ranjang dengan kelambu sulam emas
kebun penuh buah cerry
rumah mewah, rumah arwah
semua itu hanya dari kertas
yang akan terbakar
dan mengabu
akhirnya tiba jua titah itu
perjalanan yang sepenuhnya baru
segera dimulai, ditapak dengan hati-hati
kau bekali aku dengan selembar peta buram
uang kertas kusam yang hanya berlaku di langit
di dingin pantai ini
aku hanya mampu menyentuh jiwamu
bau hio wangi meraba udara
entah tiba dimana doa-doamu
adakah doa itu untukku?
seberapa jauh jarak ke negeri akhirat?
sampan kayu tak cukup mampu membawaku
dewa angin mungkin membantu
tapi sampai dimana
perjalananku?
(Denpasar, Juni 2008)
Sajak
aku tahu kau akan tiba dengan kutukan baru
aku tahu kau akan tiba dengan jubah baru
aku tahu kau akan tiba dengan perahu baru
maka begitu pula kau tahu
aku akan tiba dengan kematian baru
(2008)
No comments:
Post a Comment