Labels

Thursday 20 October 2011

Puncak Ketujuh


cerpen : Wayan Sunarta


            Kami mendaki. Masih terus mendaki. Puncak ketujuh, yang kami rindukan selama hidup kami, belum juga terlihat. Kakiku terasa gemetar. Tubuhku menggigil menahan dingin yang dihembus angin kabut. Aku baru tiba di lambung gunung. Puncak ketujuh masih jauh, teramat jauh, seakan tak mampu kami jangkau. Namun, kami terus mendaki.
            Saudara seperjalananku yang berjumlah lima orang tampak tertinggal di belakangku. Mereka seakan tidak mampu mengikuti jejak dan jalan setapak yang telah kurintis. Tenaga mereka seperti terkuras dalam pendakian yang menjenuhkan. Pada setiap langkah yang kami tempuh, sering kami berpikir, apa yang ingin kami capai dalam pendakian ini? Ketenaran? Cita-cita? Atau, tidak untuk apa-apa?
            Kembali aku terkenang saat kami meninggalkan desa kelahiran, lima hari silam. Di halaman balai desa, tetua adat, orang-orang tua kami dan warga desa melepas kepergian kami dengan mata berkaca-kaca. Kami saling berpelukan, mengucapkan selamat tinggal. Kami menatap mereka satu per satu dengan mata penuh keyakinan, mohon restu agar perjalanan mulus dan tiba di puncak dengan selamat. Kami adalah orang-orang yang dipilih dan dilatih untuk membuktikan bahwa puncak ketujuh, puncak tertinggi sejagat, bisa digapai manusia.
            Kami telah melewati masa-masa latihan yang sulit. Kami digembleng sejumlah pelatih yang telah terkenal kehebatannya di seluruh negeri. Kami dilatih olah raga dan jiwa agar kekuatan tenaga selama pendakian terjaga. Kami dilatih keterampilan dan ketangkasan menghadapi keadaan darurat. Kami dilatih menghayati alam di sepanjang perjalanan. Dan, beberapa orang bijak didatangkan khusus untuk menggembleng kami tentang kebijaksanaan hidup, sikap rendah hati, dan menghargai sesama. Ya, kami telah dipilih dan dilatih untuk sebuah misi yang kami sendiri tidak tahu tingkat keberhasilannya.
            “Tunggu!” teriak Mabi, saudaraku yang berhasil menyusulku, nafasnya terengah-engah, meski ia memiliki tenaga sekuat kuda. “Dipadru jauh tertinggal di belakang kita.”
            Kami menunggu Dipadru di bawah rindang pohon pinus. Puncak yang bercahaya putih gemerlap diliputi salju abadi samar-samar tampak, begitu menggoda kami yang kelelahan. Angin berdesir, memberi kesejukan pada tubuh kami.
Setengah jam berlalu. Arju muncul dari jalan setapak yang membelah hutan pinus. Di belakangnya, Dipadru dipapah oleh Lakuna dan Saha. Wajah Dipadru begitu pucat menahan lelah, haus dan lapar. Tubuhnya menggigil. Demam menyerangnya sejak kemarin. Memang secara fisik Dipadru yang paling lemah diantara kami.
            Cahaya senja menerobos daun-daun pinus yang lancip. Kami memutuskan untuk menunda perjalanan dan berkemah di tempat itu. Demam yang menyerang Dipadru tidak kunjung turun, meski kami telah mengobatinya semampu kami. Dalam kecemasan, kami berharap besok pagi Dipadru mampu melanjutkan pendakian.
            Kokok ayam hutan melengking nyaring. Aku terbangun. Fajar merekah sangat indah. Aku memeriksa keadaan Dipadru yang tidur di sebelahku. Tubuhnya sedingin es. Aku kaget dan segera membangunkan saudaraku yang lain. Kami mengelilingi Dipadru yang telah tidak bernyawa. Kami tak mampu mengucapkan apa-apa. Kami terdiam dalam kesedihan mendalam. Inilah kematian pertama yang kami temui dalam perjalanan, dan kami tidak akan pernah tahu siapa yang akan menyusul kemudian. Kami memutuskan melanjutkan pendakian dan meninggalkan mayat Dipadru yang telah kami tutupi dengan kain dan dedaunan. Kelak, mayat Dipadru akan menjadi makanan tanaman bunga-bunga perdu berwarna ungu di sekitarnya.
            Matahari telah berada di atas kepala ketika kami sampai pada puncak ketiga. Puncak ketujuh yang merupakan puncak tertinggi yang ingin kami gapai seakan hilang dari pandangan. Kami istirahat untuk makan siang. Kami buka perbekalan dengan diliputi kesedihan dan kenangan akan Dipadru. Namun, akhirnya kami sadar tidak ada gunanya larut dalam kesedihan. Sekian hari lalu kami telah memutuskan untuk melakukan pendakian, dan itu harus terus dilanjutkan. Apa pun yang akan terjadi nanti, tidak ada alasan untuk berhenti.
            Kami melanjutkan perjalanan mencapai puncak keempat. Hari sudah hampir senja. Suara-suara hewan hutan terasa senyap. Mendadak dua saudara kami, Lakuna dan Saha, mengeluh kram kaki. Aku tahu mereka begitu kelelahan. Sebentar kemudian mereka kejang-kejang. Mabi dan Arju panik. Aku berusaha tenang.
            “Bertindaklah sesuatu. Kau yang paling pandai dan ahli diantara kami,” ujar Mabi kepadaku.
            Aku mengeluarkan ramuan obat-obatan dari kantong perbekalan. Namun agaknya dengan ramuan obat itu Lakuna dan Saha tetap saja tidak tertolong. Mereka meregang nyawa di pangkuan Mabi dan Arju yang kemudian menangis meratapi saudaranya itu. Dalam sekejap, tiga saudara terkasih kami telah direnggut maut dalam perjalanan ini.
            “Sudah. Tidak ada gunanya air mata tumpah di sini. Besok pagi kita akan lanjutkan pendakian.,” bujukku pada Mabi dan Arju yang masih terus meratapi mayat Lakuna dan Saha.
            “Dharma, kenapa kau begitu tega?!” teriak Mabi diantara isak tangisnya. “Kemarin kita telah meninggalkan mayat Dipadru. Sekarang apakah kau benar-benar tega meninggalkan mereka dimakan binatang buas di sini?”
            Mabi benar-benar tidak mampu mengendalikan emosinya. Aku tahu betul wataknya yang keras dan seringkali grasa-grusu. Namun sesungguhnya Mabi memiliki rasa setia kawan yang tinggi.
            “Kita tidak mungkin menggotong mayat mereka sampai ke puncak,” ujarku lembut.
            “Kalau tidak mungkin ke puncak, kita bawa turun saja. Kita batalkan pendakian gila ini. Terlalu banyak hal telah kita korbankan untuk perjalanan yang kita sendiri tidak akan pernah tahu entah sampai di mana. Kita pulang sekarang!”
            “Mabi, tenangkan dirimu. Kau masih ingat, sebelum memulai pendakian ini kita telah bersumpah di hadapan tetua adat dan warga desa, bahkan di depan para orang tua kita yang matanya berkaca-kaca melepas kepergian kita. Kita telah bersumpah, kita harus bisa mencapai puncak ketujuh, meski nyawa taruhannya. Kita telah dilatih untuk dewasa dalam perjalanan. Tiga saudara kita telah jadi tumbal dalam perjalanan ini, lalu apakah kau akan berhenti sampai di sini? Tidakkah kau menghormati pengorbanan mereka?”
            Mabi menunduk, mungkin teringat pada sumpah kami. Arju menatap mataku dengan berani.
            “Kita lanjutkan pendakian besok,” ujar Arju mantap.
            Kami kembali berkemah. Telah lima hari kami mendaki. Puncak ketujuh belum juga terlihat jelas. Besok kami akan lanjutkan pendakian menuju puncak kelima. Kami merasa mampu mencapai puncak ketujuh. Aku tahu Mabi dan Arju termasuk lelaki tangguh di desa kami. Aku percaya mereka bisa meneruskan pendakian.
            Jalan mencapai puncak kelima termasuk sulit. Menurut warga desa di bawah gunung, jarang ada pendaki yang mampu melewati puncak kelima dengan selamat. Jalan setapak yang menghubungkan puncak keempat dengan kelima sangat terjal dengan mulut jurang yang menganga di kanan-kirinya, siap menyantap tubuh para pendaki yang lelah dan lengah. Angin yang tadinya diam dan tenang bisa tiba-tiba berubah menjadi badai ganas yang diliputi kabut tebal.
            Kini, kami hanya bertiga. Kami menyusuri setapak dengan sangat hati-hati, bagai siput yang merayap di bebatuan licin. Beberapa kali Mabi yang berbadan besar hampir terpeleset. Malah Arju yang terlihat masih mampu menjaga keseimbangan badannya yang ramping. Kami menempuh jalan setapak itu selama sehari penuh, berjuang melawan badai kabut.
            Akhirnya, kami mampu mengatasi saat-saat rawan itu, dan tiba di puncak kelima dengan selamat, meski kami merasa kesulitan bernafas. Udara semakin tipis. Hanya ada pepohonan pinus dengan warna daunnya yang hijau pucat. Kami dikelilingi kabut tebal, seperti berada dalam alam khayal. Kami memutuskan untuk berkemah di tempat itu.
Pada tengah malam, Arju meracau dalam tidurnya. Badannya menggigil menahan demam. Beberapa kali ia terbatuk-batuk. Udara begitu tipis pada puncak malam. Mabi berusaha menghangatkan badan Arju dengan badannya yang besar. Namun, usahanya itu tetap tidak berarti apa-apa. Arju telah sekarat. Sebelum meregang nyawa, ia sempat mengucapkan permohonan maaf karena tidak bisa menemani kami sampai puncak ketujuh. Aku terdiam. Dadaku terasa sesak. Mabi juga terdiam. Suasana diliputi keheningan yang mencekam. Nampak sekali kesedihan dan kemuakan membias pada wajah Mabi yang keras dan kelam.
            “Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Kita tinggal berdua saja. Bila aku pun tewas, kau tidak akan punya siapa-siapa lagi dalam perjalanan ini? Apakah kau masih kukuh ingin melanjutkan pendakian?”
            “Aku tidak punya pilihan lain lagi, Mabi. Pada akhirnya kehidupan ini harus dijalani seorang diri. Kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Masing-masing manusia memiliki keterbatasannya.”
            Mabi terdiam dalam rasa putus asa yang mencekam.. Api unggun meredup dan hampir padam. Terdengar suara gemeretak kayu pinus terbakar, hampir mengakhiri puncak malam.
            Pagi-pagi sekali kami melanjutkan pendakian menuju puncak keenam yang akan memakan waktu dua hari. Perbekalan kami sudah hampir menipis. Namun tidak saatnya untuk cengeng dalam perjalanan yang hampir selesai ini.
            Menjelang puncak keenam udara terasa semakin tipis, menyesakkan paru-paru. Kami harus melewati hamparan salju yang menyilaukan mata. Beberapa kali Mabi terhalusinasi melihat rumah dan ranjang yang hangat. Sepanjang perjalanan ia terbatuk-batuk. Namun, anehnya, aku sendiri merasa sehat-sehat saja. Entah kekuatan atau mukjizat macam apa yang semayam dalam jiwaku, aku mampu melewati hamparan salju tanpa suatu masalah berarti pada tubuhku.
            Tiba-tiba Mabi roboh di hamparan salju. Tubuhnya menggigil. Nafasnya satu-satu. Aku membantunya berdiri dan mencoba memapah badannya yang lebih besar dibanding badanku.
            “Dharma, lebih baik kau tinggalkan aku di sini. Aku sudah tidak kuat lagi melanjutkan pendakian. Tenagaku telah tersedot habis…” wajah Mabi pucat bagai mayat beku.
            “Bertahanlah, Mabi. Sebentar lagi kita akan sampai di puncak keenam,” aku menghibur.
            Sejenak kami beristirahat di hamparan salju yang dingin menggigit tulang. Kami mendirikan tenda kecil untuk menahan serangan angin salju. Aku rebahkan tubuh Mabi dalam tenda. Mabi terus meracau. Tiba-tiba saja ia ingin mencicipi secawan anggur, ingin menyantap sepotong paha rusa panggang yang hangat mengepul. Aku mencoba menghiburnya. Aku mengatakan di puncak ketujuh dia akan menemui makanan kesukaannya itu.
            Besok paginya Mabi kelihatan lebih segar dan siap melanjutkan perjalanan menuju puncak keenam. Namun aku sendiri ragu akan kemampuannya. Kulihat dia berjalan tertatih-tatih. Dia seperti terpaksa menyeret kakinya yang terlihat gemetar. Dan, seperti telah kuduga, sampai di puncak keenam Mabi roboh. Aku menyandarkan kepalanya di pangkuanku. Nafasnya terengah-engah.
            “Hai, Dharma, ilmu apa yang kau miliki hingga kau begitu kuat bertahan,” Mabi berusaha mengatur nafasnya, meski terasa sia-sia. “Aku sudah tidak kuat lagi. Biarkan aku mati di sini.”
            Puncak keenam diselimuti hamparan salju. Langit keunguan. Namun anehnya aku tidak melihat puncak lagi. Di mana puncak ketujuh? Aku menyampaikan keherananku sekaligus kegembiraanku pada Mabi yang sedang sekarat.
            “Mabi, kita telah menginjak puncak terakhir!”
            Mata Mabi yang sedari tadi terkatup, perlahan membuka. Ia berusaha memandang ke sekeliling. Hanya hamparan putih salju yang di beberapa bagian telah mengeras menjadi es. Langit berwana ungu.
            “Tidak, Dharma. Masih ada puncak ketujuh yang harus kau capai,” ujarnya tersendat, seirama nafasnya yang hampir padam. “Gapailah puncak itu demi saudara-saudaramu yang telah mati, dan juga aku...”
            Mabi semakin susah menghirup udara yang tipis. Dan, akhirnya tubuhnya lemas tak bernafas.
            Di puncak keenam aku tegak berdiri. Menatap dengan pandangan hampa ke hamparan salju. Sunyi sekali di sini. Aku tidak menemukan puncak ketujuh seperti yang ditulis dalam kitab-kitab warisan leluhur kami, seperti yang sering dikisahkan dengan agung oleh para orang tua bijak.
Kembali aku terkenang petuah tetua desa yang bijak saat mengiringi kepergian kami beberapa hari silam. “Puncak ketujuh adalah puncak kebahagiaan,” kata tetua desa yang kami hormati itu.
            Tetapi, apakah artinya puncak ketujuh bila harus digapai dengan kematian lima saudaraku? Sunyi meliputi diriku, membungkusku dalam selubung rahasia. Aku tafakur. Dalam keheningan semadi, aku menggapai puncak ketujuh, yang samar-samar menjulang dalam jiwaku.***
           


Denpasar, 2004

(Nominasi Anugerah Sastra Majalah Horison 2004)

             
           

No comments:

Post a Comment