Labels

Friday 21 October 2011

Puisi 2007 - Tilas-tilas Kecil

Sajak Wayan Sunarta


Tilas-tilas Kecil


/1/
fajar gemetar di ufuk dini
mengantar pilu lengking tangis
   mantra pertama yang digumamkan
rasa tak rela berpisah dengan ari-ari,
                       saudara setia di gua garba
      tahi lalat di pangkal paha kiri
oleh-oleh dari negeri seberang,
                dari bapa tua penunggu waktu
      sebagai bekal kali pertama  
                mengakrabi kilau matahari
merasakan hangatnya
                    sehangat dada ibuku

/2/
tanganku menggapai-gapai udara
sendiri di kasur tua
            ibu, di mana kau?
aku dahaga, aku rindu susumu, ibu…

/3/
kera siluman bergelayut
di dahan jambu di depan pintu kayu
mulutnya nyengir menertawaiku
yang telanjang tanpa selimut
      kera yang lucu
penghibur setia malam-malamku
      tapi nenek tampak sibuk
menyiapkan sesajen
nenek merafal mantra-mantra penolak bala
      mengusir si siluman

/4/
malam-malamku jadi sepi sejak si kera pergi
aku bergumam dengan cahaya pelita di meja
sesekali cicak menyanyi menghiburku
      ibu tidak ada, entah ke mana pergi
aku menyusu pada nenek
                hingga lelap tidurku

/5/
kupungut helai-helai daun nangka dan jepun
       dalam remang cahya pelita
mereka menjelma bayang-bayang
        aku bersorak girang
seorang diri di remang ruang

/6/
wangi malam mulai menggodaku
mata burung hantu di dahan randu
tajam mengawasi pintu yang kuketuk
       jendela terbuka
aku melongok ke dalam ruang
yang tidak menyisakan bayangmu
      ini kali pertama aku dicintai sepi

/7/
halimun yang jauh
seperti rindu yang terasing
di pucuk-pucuk malam
hening suara seruling
adalah getaran gaib
gumam-gumam sunyiku
yang purbani

/8/
tiada yang mampu meredakan amuk jiwaku
            bahkan ibu semakin menjauh
ketika aku memasuki hutan,
                         menyusuri sungai
yang membawaku entah ke mana
    belum jua puisi menghampiri diriku
aku berkawan dengan batu-batu akik,
kayu-kayu bertuah, lontar-lontar lapuk
dan hari-hari yang selalu senja di mataku

/9/
sebuah istana berkilau indah di tepi sungai
sebentang tangan berbulu merah
                            menjulur menyambutku
aku diangkat anak oleh pohon randu
bermain dan berpesta di rumah memedi
             orang-orang panik mencariku
mereka menabuh tambur, kentongan dan panci
         aku menyembul dari rimbun bambu
dengan wajah letih dan penuh jelaga

/10/
seperti apa pusar sungai
          ketika aku menceburkan diri?
ular-ular air membelit kakiku
dan akar-akar serabut pohon masa lalu
                                  menjerat tubuh kecilku
peri jelita penunggu sungai
mengangkatku dari kedalaman air
aku mengambang dalam rasa hampa
hingga kicau burung menyadarkan aku
               betapa hidup penuh kemungkinan

/11/
pohon jepun di halaman rumah
adalah guru yang setia bagiku
sungai masih mengalirkan masa lalu
                               dalam jalur-jalur nadiku
aku mengakrabi setiap dahan jepun
                         yang mengerak dan bergetah
bagai ibu atau nenekku sendiri
       kutatah nama kecilku di situ
hingga angin mengeringkan setiap luka
                                          dan juga kenangan

/12/
pada akhirnya kita akan berakhir
serupa pijar cahaya yang nanar

/13/
perpisahan adalah pertemuan tiada terduga
          di hamparan taman raya
di mana bayang-bayang mengendap dalam halimun
                                      ketika kau berlari-lari kecil
serupa kekupu warna-warni yang terbang riang
                              di antara bunga dan sari-sari hari
tapi kita senantiasa lupa pada arti wangi
                      yang dibawa angin senja ke dalam diri


/14/
aku selalu haru pada waktu yang gagu
apa yang mampu kucatat dan kubaca
hanya serpih-serpih cinta belia
yang rapuh seperti sarang laba-laba
yang membujuk dan menjebakku
untuk mencintai luka

/15/
telah kau baca air mataku
di telaga bening matamu

/16/
aku sampai di puncak malam
pendakian sungguh meletihkan jiwa
         demi larik-larik puisi
yang tak akan pernah selesai
         tapi kau masih setia menunggu
di pintu lorong waktu
                  yang kuketuk dengan ragu

/17/
usia adalah halimun yang akan usai
                  di penghabisan matahari
tapi bunga-bunga mungil itu
masih menawarkan diri dengan senyum manisnya
            tak satu pun mampu kupetik
sebab duri yang senantiasa membayangi diri
maka kubiarkan saja sungai itu
                                    mengaliri nadiku
hingga tiba di samudra
           dengan rasa hampa
yang sesungguhnya telah kupahami

/18/
pesisir pantai masih seperti sediakala
menyisakan buih, lokan dan pasir yang gemetar
ketika kau tiba dengan ragu
                yang dulu-dulu juga
bahkan pekik camar pun tak sanggup
           menaksir hari yang biru
oleh kilasan lampu mercusuar
hutan bakau masih merendam perih
sampah-sampah dari masa lalu
        jukung-jukung terlunta
sendiri dengan dayung hampir patah

/19/
kau gagu di ujung dermaga
cemas menunggu jukung
yang akan menjemputmu
senja lemas di garis cakrawala
apa yang sisa dari perjalanan?
hanya kenangan tercecer
       yang mengikutimu
serupa bayang-bayang kematian

/20/
serupa apa warna pagi
ketika hari-hari pergi
dari lamunanmu yang ngungun
pada batu-batu
         dan jalan yang hanya mimpi
berkelindan menyerupai belukar waktu
apakah akan sampai aku padamu?
          segalanya akan kembali
meresap ke dalam pusar pasir
dan berkubang dalam genangan takdir

/21/
berikan tanganmu
sebelum angin garam
menghapus nama kita
yang kutatah dengan air mata
di bilah-bilah kayu dermaga

perahu hanya satu
yang tiba tertatih
dari amuk kenangan
sejauh pelayaran

tapi kita selalu memiliki mercusuar
                                  dalam jiwa,
kesepian yang bercahaya
         dari kegelapan purba
yang senantiasa kau rindukan
ketika senja perlahan berpendaran
pada kilau matamu yang mutiara

/22/
akhirnya hanya tilas lokan
di sisa basah pasir
membekas pada hari yang pudar
ketika kau sepenuhnya paripurna
dan purnama kehilangan laut
yang dulu selalu bergelora
dalam jiwamu
          dalam jiwaku…

/23/
hari-hari pergi
membawa sepinya sendiri
rumput jawawut seperti mengerti
tangis bayi dalam kuburanku
dan kau tak perlu dungu
menujum dimana mesti
           kita bermuara..


(Karangasem, Bali, 2007)








No comments:

Post a Comment