Labels

Thursday 20 October 2011

Menunggu


cerpen : Wayan Sunarta


Lelaki itu duduk bertopang dagu di bangku kayu di sebuah taman rumah sakit. Di langit barat, senja baru saja selesai menarik kuas terakhirnya, membubuhkan warna merah keemasan. Dan seperti biasa, burung-burung yang letih pulang ke pembaringannya, di pucuk-pucuk pohon yang berderet di jalan menuju taman rumah sakit itu.
            Aku baru saja selesai mandi dan mencuci rambut yang lebih dari tiga hari tak terurus. Aku terpaksa melakukan pekerjaan yang menjemukan itu di kamar mandi rumah sakit. Kalau aku pulang ke rumah, siapa yang harus menunggui istriku? Di dunia ini secara sah aku hanya memiliki istriku saja.
Mertuaku kemungkinan besok sore baru tiba di Bali. Mereka aku telepon kemarin malam, mengabari bahwa istriku akan segera melahirkan cucu pertamanya.  Mudah-mudahan cucu yang sehat, cantik seperti ibunya atau ganteng seperti ayahnya. Yeah, aku perlu menghibur diri untuk menghadapi fenomena alam yang baru kali ini menghampiri hidupku. Sesungguhnya aku ngeri membayangkan, apalagi melihat perempuan melahirkan. Bau amis darah dan jerit kesakitan sudah cukup membuatku bergidik.
Aku pernah mendengar peristiwa melahirkan terkadang memakan korban. Setelah si bayi lahir dengan selamat, ibunya malah meregang nyawa, menunggu saat tangan lembut maut meraih ujung rambutnya. Aku teringat kawan baikku yang kini menjadi pemabuk. Dia frustasi. Maut telah merampok istrinya saat menunaikan tugas mulianya sebagai perempuan: melahirkan titipan Sang Pencipta.
            “Tuhan memang brengsek. Jahaman besar!” umpatnya suatu kali di meja bar, tempat kami biasa nongkrong melepas kepergian malam menuju pagi.
            “Apakah Tuhan mempunyai hati nurani seperti manusia?” tanyanya pada udara hampa. Lima botol bir habis  ditenggaknya.
            “Kalau Tuhan Maha Baik, kenapa Dia merampok istriku dari diriku dan anakku?!”
            Begitulah, malam tuntas dilumatnya, dicampurnya dengan cairan arak dan bir. Dan wajah Tuhan pun habis diludahinya dengan umpatan dan cacian. Aku terkadang kasihan padanya. Terkadang juga kesal dan kecewa melihat tinggkahnya, walau aku berusaha paham kesedihannya  sangat mendalam. Aku tahu betul, kawanku itu dulunya sangat rajin sembahyang, memanjatkan pujian-pujian untuk Tuhan. Bahkan ia cenderung fanatik membela Tuhan kalau kebetulan kami berdebat tentang agama. Kini, terjadilah apa yang telah digariskan: istri kawanku mati saat melahirkan anak pertamanya. Dan dia mulai membenci Tuhan.
            Malam mulai membuka matanya dan akan segera berjalan-jalan menyapa pepohonan, menyapa orang-orang yang bersahabat dengannya, menyapa embun, menyapa bulan, menyapa apa saja yang dihampiri atau menghampirinya. Itulah hakikat malam yang sopan dan santun pada mahluk di bumi.
            Lelaki yang bertopang dagu itu masih saja duduk di bangku kayu taman rumah sakit. Malam pun menyapanya dengan ramah, namun ia seakan tak peduli dengan sapaaan malam yang ramah itu. Malah dia membentak malam dengan kejam.
            “Mengapa kau harus selalu datang, hai malam jahanam!”
            Lelaki aneh, pikirku. Sebenarnya aku berniat juga untuk menyapanya, seperti malam menyapanya. Tapi aku keder juga bila mulutnya menyemprotkan kata-kata kasar ke arahku. Aku lelaki perasa yang gampang tersinggung bila ada sesuatu yang menyinggung perasaanku. Sesuatu itu bisa saja umpatan atau makian.
            Nah, benarkan apa kataku? Malam menangis. Air matanya menjadi gerimis. Ternyata malam perasa juga seperti aku. Wahai, malam, kita ternyata punya perasaan yang tidak berbeda. Tapi apakah malam juga akan menangis bila istrinya mati saat melahirkan anak pertamanya yang bernama fajar itu? Untuk yang satu itu, ah, malam tidak akan menangis karena anak-anaknya akan selalu lahir dari istri-istrinya yang lain.
            Kau tahu, aku pernah juga menjumpai seekor gagak yang menangis serak. Tapi bukan karena istrinya mati melahirkan. Gagak bukan jenis hewan yang melahirkan anaknya. Tapi gagak itu menangis karena tidak tega memakan bangkai orok yang dibuang  dengan sengaja oleh ibunya di tegalan belakang sebuah kampus di kotaku. Aku menyaksikan sendiri bagaimana gagak itu menangis serak sambil meratapi bangkai orok yang entah apa jenis kelaminnya. Mungkin si ibu orok itu sekarang lagi berdandan di depan cermin besar di meja riasnya untuk menghadiri sebuah pesta muda-mudi. Mungkin si ibu yang habis membuang hasil karyanya itu pergi ke sebuah diskotik dekat pantai  dan berjingkrak-jingkrak sampai pagi, seirama musik yang memekakkan kuping. Mungkin dia menyesal, dan melupakannya dengan hura-hura. Kenapa dia tidak mati saja sekalian dengan oroknya agar musnah segala yang bernama duka dunia?
            Aku kembali teringat  pada kawanku yang frustasi itu. Tentu dia kini ada di sebuah bar yang sering kami singgahi dulu. Tentu dia minum lima botol bir dengan nikmat sambil memaki Tuhan dan melupakan penderitaan hidup sebagai manusia.
            “Kawan, jangan kau sampai punya istri,” katanya suatu kali padaku, kali itu ia tidak dalam keadaan mabuk.
Aku agak kaget mendengar sarannya yang ganjil itu. Sesungguhnya manusia dilahirkan ke dunia membawa misi untuk mengembakbiakan keturunan Adam dan Hawa. Ya, dengan cara beristri itu, dengan menikah itu. Aneh-aneh saja usul kawanku itu.
            “Kenapa aku tidak boleh menikah?”
            “Agar kau tidak seperti aku.”
            “Tapi jalan hidup kita berbeda, Bung.”
            “Ya, memang jalan hidup kita berbeda. Tapi aku sarankan, janganlah kau menikah. Kau akan menderita seperti aku ini.”
            “Tapi aku juga ingin menikmati manis madunya perkawinan.”
“Tapi kau  akan menikmati pahit getirnya juga.”
            Aku terdiam. Benar juga kata kawanku itu. Sebuah pernikahan tidak hanya untuk menikmati manis madunya saja, tetapi juga pahit getirnya. Saat kawanku berkata begitu sesungguhnya aku sedang mempersiapkan rencana pernikahanku, dan rencana itu sudah kubicarakan dengan pacarku. Apakah aku harus membatalkan pernikahan itu hanya karena ketakutan menghadapi pahit getirnya pernikahan.
            Sesungguhnyalah aku sangat takut kehilangan, terutama kehilangan orang yang aku cintai. Pernah suatu kali aku begitu uring-uringan karena pacarku pulang ke Jawa sampai sebulan lamanya. Aku cemas. Sesungguhnya yang aku cemaskan adalah kalau terjadi sesuatu dengannya saat dia pulang atau balik ke Bali.
Aku pernah membayangkan peristiwa mengerikan terjadi pada pacarku. Aku bayangkan dia tewas dengan sangat mengenaskan karena bus yang ditumpanginya disruduk truk tronton. Aku bayangkan dia duduk paling belakang. O, betapa mayatnya hancur, dan apakah aku akan mencaci-maki Tuhan dalam menghadapi kenyataan itu.
Lain waktu, aku membayangkan kapal ferri yang ditumpanginya terhantam badai malam hari karena gelombang besar. Kapal oleng dan karam dengan tandas. Semua penumpang mati karam, pacarku salah satunya. Tragisnya, mayat pacarku tidak ditemukan. Mungkin saja terbawa arus atau nyangkut di kapal yang karam atau dimakan hiu. Selalu saja, bila pacarku jauh dariku, aku cemas. Namun aku tidak pernah tahu, apakah pacarku merasakan perasaan yang sama dengan perasaanku? Atau jangan-jangan dia tidak pernah peduli denganku?
            Aku pikir nasehat kawanku yang pemabuk itu ada benarnya juga. Setelah melewati berbagai pertimbangan, karena semacam perasaan ragu-ragu yang kuat dalam diriku, aku pun memutuskan untuk menikah dengan pacarku. Pada saat acara pernikahan, kawanku datang dan mengucapkan selamat karena aku telah berani mengambil sebuah keputusan yang sungguh luar biasa, bahkan cenderung nekat. Menurutnya,  aku harus bersiap-siap merasakan pahit getirnya sebuah pernikahan.
            Di sudut taman rumah sakit aku termangu. Lelaki yang duduk bertopang dagu tadi berjalan ke arahku. Aku pura-pura tidak melihat. Aku cemas, jangan-jangan kehadiranku telah mengusik ketentramannya.
            “Apa Saudara sedang menunggu kerabat yang sakit?” Ia bertanya dengan sangat formal sambil menawarkan rokok kretek. Aku menolak dengan halus, padahal aku ingin sekali merokok dan kebetulan pula rokokku habis. Tapi setelah ia setengah memaksa, aku ambil saja sebatang kreteknya dan meminjam apinya dan menyedotnya dalam-dalam. Ah, nikmatnya sebatang rokok dan malam tanpa awan.
            “Saya menunggu istri  melahirkan anak pertama kami.”
            Lelaki itu menatapku dengan  aneh.
            “Kenapa Bapak menatap saya seperti itu?”
            Lelaki itu tidak menjawab. Tapi matanya nampak berkaca-kaca. Lelaki itu menangis. Yeah, ternyata ia perasa juga. Ternyata tak beda dengan diriku yang gampang menitikkan air mata.
            “Kenapa Bapak menangis. Apa atau siapa yang Bapak tangisi?” Wajarkah aku bertanya seperti itu pada lelaki yang sedang menangis ini? Aku jadi ragu, jangan-jangan pertanyaanku yang jujur ini malah tambah menyinggung perasaannya.
            “Istriku mati kemarin malam, saat melahirkan anak pertama kami.”
            Lelaki itu terisak-isak. Malam beringsut menyingkir. Ternyata malam suka nguping percakapan orang. Jangan-jangan malam ditugasi Tuhan sebagai intel, memata-matai setiap gerak-gerik manusia yang hendak melakukan kudeta terhadap diri-Nya.
            “Malam jahaman, pergi kau jauh-jauh, jangan tampakkan dirimu di depanku!” bentak lelaki yang menangis itu. Malam dengan langkah gemetar pergi ke sudut taman yang gelap dan menangis di situ. Air matanya menjadi awam, turun menjelma hujan.
            “Jangan begitu, Pak. Malam sahabat kita juga.” ujarku hati-hati.
            “Justru malam adalah musuhku. Dialah yang merenggut nyawa istriku kemarin. Malam membuka pintu bagi Sang Maut yang merampok nyawa istriku.” 
Aku tidak tega melihat lelaki itu meratap dan mengumpat. Aku biarkan ia menumpahkan kekesalannya pada malam.
            “Saudara, hati-hatilah, mungkin istri saudara juga akan mengalami nasib yang sama dengan istri saya.”
            “Jangan membuat saya cemas, Pak. Istri saya sehat-sehat saja. Selama hamil saya sangat telaten menjaga makanannya agar cukup gizi, agar anak kami lahir sehat, cantik seperti ibunya, atau ganteng seperti saya.” ujarku membesarkan hati.
Namun, sesuatu rasa yang asing tapi akrab menjalar perlahan dalam diriku.
            “Ha..ha..ha...takdir tidak bisa diajak bercanda, Saudara. Ya, semoga saja tidak terjadi sesuatu yang merisaukan pada istri Saudara. Saya permisi dulu!  Terkutuk kau, malam. Kenapa kau renggut nyawa istriku, heh?”
Lelaki itu berdiri dan pergi sambil tertawa-tawa dan mengutuki malam. Ia menghilang di sudut taman yang kelam. Apakah lelaki itu Sang Maut yang menyamar dan ingin mengabarkan sesuatu pada diriku? Kini aku seorang diri di taman yang bisu dan sunyi ini.
            Aku melangkahkan kaki ke ruang bersalin tempat istriku terbaring pasrah. Menurut perkiraanku, tengah malam nanti anak kami yang pertama akan lahir.  Semoga lahir selamat dan sehat. Cantik seperti ibunya, atau ganteng seperti aku. Akan kuberi nama: Hening Malam.
Namun langkahku terasa berat. Kepalaku juga terasa berat. Langit terasa berat. Malam terasa berat. Perlahan hidup memberat di pundakku. Di depan lorong menuju ruang bersalin, seorang bidan menyapaku dengan gusar: “Saudara kemana saja? Saya kebingungan mencari Saudara.  Istri melahirkan kok tidak ditunggui. Tega sekali Saudara ini! Ayo cepat temui istri Saudara!”
Bidan itu nampak tergesa-gesa. Amis darah sangat tajam tercium dari tangannya yang putih bersih itu. Aku ingin bertanya sesuatu. Tapi mulutku seakan terkunci. Tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku hanya bisa melongo seperti orang bego.
            Aku bergegas. Kakiku kembali melangkah menuju taman rumah sakit. Di bangku kayu yang bisu aku duduk termangu, menopang dagu, dan menunggu. Aku takut. Aku cemas. Aku belum siap menghadapi hukum alam yang akan jatuh di atas kepala istriku. Juga diatas kepalaku.***


Denpasar, 2001

(sepuluh cerpen terbaik Bali Post 2001)

No comments:

Post a Comment