Labels

Thursday 20 October 2011

Dua Kisah Sedih

Cerpen: Wayan Sunarta


            Ia, lelaki yang sejak pertemuan pertama telah menggetarkan hatiku karena rayuan-rayuannya yang romantis, entah mengapa menjelma sosok mengerikan melebihi monster yang pernah kami tonton saat pacaran dulu.
Ia memanggilku Oni. Panggilan mesra, kata ia. Aku baru mengenalnya lima bulan ketika memutuskan menerima lamarannya. Saat itu usiaku dua puluh dua. Tergolong masih bau kencur bagi perempuan jaman sekarang untuk meniti jenjang pernikahan. Lelaki itu tiga tahun lebih tua dariku. Bulan-bulan pertama pernikahan, kami diselimuti kebahagiaan dan kemesraan. Maklum, pengantin baru! Namun, bulan lama segera sirna berganti bulan baru, seiring pudarnya masa-masa indah perkawinan. Perlahan, suamiku menjelma sosok mengerikan. Keromantisan dan kehangatannya tiba-tiba saja punah.
Kami sering bertengkar karena berbagai persoalan. Mulai dari hal sepele sampai yang mengancam kenyamanan hubungan kami. Bahkan pertengkaran bisa terjadi hanya gara-gara aku menegurnya karena sering lupa gosok gigi menjelang tidur. Tidak jarang ia menamparku, lebih sering lagi memakiku dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hati.
Dalam setiap pertengkaran, biasanya selalu aku yang dipojokkan dan disalahkan. Misalnya, kalau aku terlambat pulang dari kerja, ia menuduhku macam-macam. Pikirannya selalu dibayangi kecemasan berlebihan kalau aku akan bermain cinta dengan lelaki lain di belakang tengkuknya. Padahal sungguh mati, mana sempat aku berniat sejauh itu. Pikiranku terlalu letih dijejali kesibukan pekerjaan sebagai staf administrasi di sebuah kantor.
Mungkin karena terkena tamparan PHK dari kantornya yang bangkrut menyebabkan suamiku jadi beringas seperti itu. Ia tidak punya kesibukan setelah berhenti bekerja. Sering ia tampak uring-uringan, ngluyur malam-malam dan kadang mabuk-mabukan bersama teman-temannya. Aku berusaha menasehatinya. Namun nasehatku berbuah pertengkaran. Bahkan ketika aku hamil pun ia masih bisa mengajak aku bertengkar dan merasa puas setelah mendaratkan tamparan di wajahku. Aku mencoba tabah dan berusaha bertahan dalam kondisi seperti itu. Sebutlah aku perempuan bodoh atau dungu, aku tidak akan apa-apa. Aku hanya mencoba menjadi istri yang baik bagi suamiku.
Namun, kesabaran ada takarannya. Bisa kau bayangkan, ketika usia perkawinan kami menjelang tahun kedua, ketika bayi dalam kandunganku hampir nongol, ia menghianatiku persis di depan mataku sendiri. Ketika itu aku baru saja pulang dari kantor dan hampir mencapai rumah saat kulihat ia membonceng perempuan lain keluar dari rumah kami. Aku terkejut. Aku meyakinkan mataku agar tidak salah lihat. Malah ia yang pura-pura tidak melihatku. Aku berusaha menenangkan diri, takut kandunganku keguguran. Sampai di rumah, aku masuk kamar dan terkesiap menyaksikan sprei kasur kami basah oleh keringat dan beberapa helai rambut perempuan masih tercecer di situ. Aku menghela nafas kecewa. Tak kusangka suamiku bisa berbuat sekejam itu, justru ketika aku akan memberikannya seorang anak.
Menjelang tengah malam suamiku pulang. Mulutnya beraroma alkohol. Aku berusaha memapahnya ke ranjang yang telah bau keringat perempuan lain. Tapi ia menepis tanganku dengan kasar sehingga aku terhuyung dan hampir terjatuh. Aku memegangi perutku yang bagai gunung api siap meletus. Ia malah menghardikku dengan umpatannya yang menyakitkan: “Dasar sundal!”  Apa salahku sampai dimaki sekeji itu?
Aku tidak tahan lagi. Dengan sekuat tenaga aku tampar mulutnya sambil berteriak: “Dasar gigolo murahan! Bajingan tengik! Berani-beraninya kau ngajak perempuan lain ke rumah!” Ia terkesima. Badannya sempoyongan karena mabuk dan tamparanku. Tanganku masih gemetar menahan amarah yang meluap ganas. Aku hendak menamparnya sekali lagi ketika kepalan tangannya terlebih dulu meninju mulutku. Aku jatuh terjerembab di ranjang. Beberapa saat kemudian aku merasakan cairan dingin meleleh di pangkal pahaku. Kepala bayiku muncul, tangisnya menyeruak kesepian malam.
Ia, lelaki yang pernah kucintai habis-habisan itu, bukannya membantuku melakukan persalinan darurat atau meminta bantuan pada tetangga. Ia malah pergi meninggalkan aku sendirian dalam kondisi kesakitan karena pukulannya dan persalinan. Syukur, bayi mungilku menolongku dengan tangisnya yang melengking sehingga membangunkan beberapa tetangga sebelah rumah.
Hampir seminggu aku diopname di rumah sakit karena guncangan jiwa dan pendarahan. Kau tahu, suamiku tidak pernah menjengukku, untuk sekadar mengelus kepalaku, menyatakan penyesalan dan minta maaf. Malah dari cerita adikku yang pernah memergokinya, aku tahu ia masih menjalin hubungan dengan perempuan idamannya itu.
Cerai? Ya, akhirnya aku mengambil keputusan menceraikannya. Keluargaku dan kawan-kawan dekat mendukung. Tidak ada jalan lain kecuali menceraikannya. Tapi kau tahu, betapa sakit hatiku ketika di pengadilan hakim memutuskan bahwa yang berhak mengasuh anakku adalah ayahnya, lelaki kasar tak bertanggung jawab yang telah membuatku menderita. Aku menangis di pengadilan memohon pada hakim agar diijinkan mengasuh dan membesarkan anakku sendiri. Tapi tangis dan kepiluanku hanya membentur ruang bisu pengadilan. Sepintas kulirik lelaki monster itu tersenyum sinis penuh kemenangan. Harapanku membangun rumah tangga harmonis dan bahagia telah kandas. Dan, anak yang kukandung penuh cinta dan derita telah pula dirampas. Kau tahu, betapa sakit hatiku.

****

Sejak pertama berjumpa dengan perempuan itu, hatiku kedap-kedip kesetrum parasnya yang polos. Setelah gagal menjalin asmara dengan beberapa perempuan, aku yakin dialah perempuan yang kutunggu-tunggu sepanjang perjalanan hidupku.
 Dia pegawai baru di kantor dan kebetulan pula satu divisi denganku. Aku banyak mengajarinya sistem kerja dalam divisiku karena kebetulan aku cukup lama bekerja di situ. Pada saat-saat jam mengaso aku suka mengajaknya makan siang bersama di kantin dekat kantor. Anehnya dia mau saja. Bahkan ketika aku menawarkan diri mengantarnya pulang, dia juga tidak menolak. Tentu saja aku girang luar biasa. Aku telah tersihir parasnya yang polos.
Akhirnya, di suatu malam minggu di sebuah kafe romantis pinggiran pantai, aku memberanikan diri menyatakan perasaanku padanya. Dia hanya diam dan senyum manis mendengar rayuanku. Irama ombak bergetar, mengalun memenuhi dadaku yang berdegup kencang, menanti-nanti jawaban dari bibir mungilnya. Kuyakinkan dia bahwa aku akan menjadi yang terbaik buatnya. Kukerahkan seluruh perbendaharaan kata-kata romantis yang kudapat sejak rajin membaca buku-buku Kahlil Gibran. Namun, dia tetap diam dan menunduk malu. Beberapa saat kemudian dia berkata: “Aku takut kau akan mengecewakan aku nantinya. Bukankah lelaki pintar melancarkan rayuan-rayuan gombalnya? Kenapa mesti aku? Bukankah masih banyak perempuan yang lebih cantik dibanding aku?”
Giliranku yang terdiam, terpesona pada kata-katanya yang tajam menusuk jiwa lelakiku. Malam itu dengan kecewa aku antar dia pulang. Sepanjang jalan kami hanya mampu berdiam diri, bergulat dengan pikiran masing-masing. Sungguh tak nyaman rasanya. Apalagi lagu-lagu melankolis yang memenuhi mobilku seakan menyindir kekecewaanku. Sampai di depan rumahnya, dia memegang tanganku dan berkata: “Sejak pertama kali mengenalmu, aku yakin kaulah lelaki pilihanku. Aku siap mendampingimu. Mohon jangan kecewakan aku.”
Seketika itu juga bunga-bunga dalam jiwaku yang semula layu serentak bermekaran kembali. Akhirnya, aku berhasil mendapatkan cintanya, dan sejak itu resmi menjadi kekasihnya. Bisa kau bayangkan, betapa hari-hari kami penuh diliputi wangi cinta.
Hubungan kami telah berjalan hampir dua tahun ketika dia mulai bertingkah. Dia sering marah-marah tanpa aku tahu duduk persoalannya. Bahkan hal sepele bisa menjadi pertengkaran yang hebat sampai mengungkit masa lalu segala. Pada saat seperti itu, parasnya yang polos dan menyejukkan seakan sirna, berganti menjadi wajah Dewi Durga yang menyeramkan. Aneh, ke mana larinya paras polos nan lembut itu?
Pada mulanya aku berusaha bersabar. Aku berusaha menghibur diri dengan guyonan bahwa pada dasarnya perempuan memang cerewet karena memiliki dua bibir. Tapi, aku mulai tidak tahan ketika dia menuduhku yang bukan-bukan. Aku dicurigai selingkuh dengan teman satu kantor. Entah dari mana dia dapatkan gosip murahan itu? Dalam suatu pertengkaran yang panas, dia mengungkapkan bahwa temannya pernah melihat aku satu mobil dengan perempuan sekantor yang dicurigai sebagai selingkuhanku.
“Duh, demi Tuhan, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan perempuan itu. Kebetulan saja tugas kantor mengharuskan aku satu mobil dengannya. Kalau tidak percaya tanyakan saja sopir kantor nanti!” jelasku dengan hati panas.
Tapi dia tidak percaya begitu saja. Agaknya dia lebih percaya kabar angin yang dihembuskan temannya itu. Yang membuat hatiku tambah panas, selain tuduhan yang tidak beralasan, dia menudingku sebagai lelaki tidak setia, sering buat kecewa dia, dan suka memainkan perasaan perempuan. Duh, aku mesti jawab apa? Demi Tuhan, aku hanya ingin memberikan yang terbaik buat dia. Jangankan untuk selingkuh yang akan menimbulkan perasaan bersalah pada diriku, pekerjaanku yang bertumpuk di kantor saja telah membuat kepalaku puyeng.
“Buat apa aku cari perempuan lagi? Aku sudah sangat puas denganmu, dan kau pun bisa memuaskan aku sebagai lelaki. Percayalah, kau yang terbaik buatku!” jelasku meyakinkannya. Memang, dalam waktu dekat aku berniat melamarnya. Dia merengut. “Dasar gombal!” ujarnya manja. Kemudian dia memelukku dan minta maaf telah menuduhku yang bukan-bukan.
Seringkali pertengkaran kami akan segera tuntas dengan pergumulan seru di atas springbed. Ketika dia hampir mencapai puncak pergulatan, pujian dan permohonan memelas akan segera terlontar dari mulutnya yang mendesah-desah dan megap-megap. “Kau hebat! Aku mencintaimu! Aku takut kehilanganmu! Jangan tinggalkan aku…uhhh...!”
Baru belakangan kusadari kalau semua itu hanya gombalannya dalam bercinta. Betapa dungunya aku? Dia, perempuan berparas polos seakan tanpa dosa itu, tak kusangka telah berani bermain api di belakang punggungku. Ternyata selama ini tuduhan-tuduhan dan berbagai kecurigaan yang dihamtamkannya kepadaku hanya untuk menutup-nutupi kebusukannya sendiri. Bau busuk itu baru tercium ketika pada suatu malam aku mampir mendadak ke rumah kontrakannya. Aku melihat bayangan lelaki sedang memasuki kamarnya. Amarahku memuncak dan hampir meluap kalau tidak segera kukendalikan.
Dengan mengendap-endap aku tiba di jendela kamarnya. Dan dengan menahan nafas, aku mengintip dua bayangan itu dari korden jendela yang sedikit tersingkap. Mereka tentu tidak melihatku karena di luar gelap gulita, sedangkan aku samar-samar melihat dua insan berbeda kelamin itu saling belit di ranjang. Mengintip adegan memalukan itu, mendadak amarahku telah mengalahkan pikiran warasku. Aku masuk ke dalam rumah dan sekuat tenaga mendobrak pintu kamarnya. Dia, perempuan berparas polos itu, gelagapan. Tubuhnya mulus bugil segera ditutupinya dengan selimut. Si lelaki hanya mengenakan cawat saja. Aku kaget. Lelaki itu juga terkesiap dan mukanya tiba-tiba pucat. Belum sempat lelaki itu membuka mulut, kepalan tinjuku telah menyumpal mulutnya yang membuatnya terjengkang. Ketika ia mencoba bangkit, kutendang perutnya hingga ia tak berkutik lagi.
Dia, perempuan gombal itu, gemetar ketakutan di sudut ranjang. Aku hampiri dia. Tinju kukepalkan kuat-kuat. Dia berteriak histeris memohon ampun seraya memeluk kakiku. Kuludahi paras polos yang seakan tanpa dosa itu, yang telah menyihirku begitu rupa. “Dasar sundal!” teriakku.
Dengan membawa sakit hati yang tiada terkira, kutinggalkan dia yang menangis sesenggukan seakan menyesali perbuatan binatangnya. Panggil aku lelaki dungu, aku tidak akan apa-apa, sebab aku memang telah dibuat dungu oleh perempuan yang mati-matian kucintai itu. Kau tahu siapa yang diajaknya berselingkuh? Teman sekantorku!

****

“Sungguh tragis dan dramatis! Beruntung kau tidak menikahinya,” komentar Oni, usai aku menuturkan kisah cintaku yang paling sedih.
Angin pantai berhembus mengantar aroma garam. Lampu-lampu perahu nelayan berkedip-kedip bagai kunang-kunang di kekelaman malam. Ini pertemuanku yang ke lima sejak pertama berkenalan dengan Oni di sebuah kafe yang biasa kukunjungi ketika jiwaku gundah.
Biasanya kami hanya ngobrol di bawah temaram lampu kafe. Tapi pertemuan kali ini, aku mengajaknya nongkrong dan ngobrol di pinggiran pantai seraya menikmati gemerlap bintang di langit dan kerling lampu-lampu perahu. Kami saling berbagi kisah. Dengan cara itu kami merasa akrab. Ada perasaan hangat menjalari jiwa kami.
   “Ya, syukur aku tidak nikah dengan perempuan brengsek itu! Coba, apa jadinya kalau kami terlanjur membangun rumah tangga dan dia menghianatiku? Mungkin aku lebih beruntung dari kau. Tapi kisah cinta kita sama-sama perihnya, bukan!” ujarku.
 “Sejak pertama mengenal cinta, aku telah berkali-kali luka. Rupanya lelaki hanya perlu kehangatan tubuhku saja. Aku pernah memutuskan untuk selamanya tidak percaya sama laki-laki, tapi…”
“Sudahlah! Perempuan juga sama saja. Kau tahu, sebelum menjalin cinta dengan perempuan yang kuceritakan tadi, aku juga telah berkali-kali dikibuli perempuan. Tapi aku berusaha percaya bahwa tidak semua perempuan seperti itu. Nyatanya ketika kepercayaanku mulai tumbuh, malah kembali diinjak-injak oleh perempuan berparas polos tanpa dosa itu. Agaknya, kita ditakdirkan menderita karena cinta.”
“Tapi, aku percaya, Tuhan telah menuntunku menemukan lelaki yang kelak akan membahagiakan aku. Kau lelaki baik. Susah menemukan lelaki sepertimu.”
“Kau juga perempuan baik. Kau perempuan yang tabah menghadapi penderitaan. Memang, pengalaman pahit seringkali membuat kita lebih kuat,” sejenak aku terdiam merasakan lenguh ombak di kejauhan. “Oni, aku baru beberapa minggu mengenalmu, tapi rasanya kita telah kenal bertahun-tahun. Apa mungkin kita dipertemukan pengalaman pahit yang sama? Aku ingin membangun kepercayaanku lagi. Maukah kau jadi istriku?” Akhirnya, kuungkapkan juga perasaanku pada Oni.
“Jangan bercanda. Apa kau mau mengawini janda? Apa kata keluargamu nantinya?” Oni mencubit lenganku sambil tersipu malu.
“Hidupku adalah hidupku, bukan hidup keluargaku. Usiaku tiga lima, aku telah matang untuk menikah. Aku sudah letih berhubungan dengan perempuan munafik. Apa salahnya aku menikahi janda kalau mampu memberiku kebahagiaan?”
“Kenapa kau begitu yakin aku mampu memberimu kebahagiaan?”
“Kenapa kau tanyakan itu?”      
“Aku cemas, setelah denganmu, aku akan jadi janda lagi.”
“Tidak, Oni! Kita tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku mengasihimu…”
Perlahan kubelai rambutnya yang telah beraroma garam. Angin dari arah pantai berhembus lembut. Kukecup keningnya. Kucium mesra pucuk hidungnya. Gemuruh laut bergulung-gulung dalam jiwaku. Lampu-lampu perahu berkedip bagai kunang-kunang di kekelaman malam.***


Denpasar, 2005





                                                     

No comments:

Post a Comment