Labels

Thursday 20 October 2011

Puisi-puisi 1998

                Sajak-sajak Wayan Sunarta

BirahiBiru


                   malam tiba
purnama mengurai rambut di jendela
      aku susuri pesona suara serangga
sayap sayap malaikat bergetar
perjalanan kau guratkan
             pada tapak tanganku

         aku rindu kau
         aku jauhi kau

                       kupahami ngilu
memusar dalam darah adamku

             purnama jatuh
separuh digigit kelelawar buah
separuh hanyut membawa hayatku
 aku termangu
menghitung rindu yang tak henti gugur
sejauh perjalanan memburumu

kelelawar memuntahkan remah purnama
serbuk sari telah terbenam di kepala putik
    perkawinan?
kau tak jenuh meneliti gurat keningku
                 di situkah muara rahasiaku
belum seluruh lekukmu kupahami
              aku rebah pada altar suci

apa lagi yang rahasia
o, birahi biru. altar suci
aku terkapar dalam nikmat
                        dalam sakit
                   gerigi waktu beradu
kau seperti ada. aku seperti tiada

mawar mekar
kau hablur
aku lebur


1998




Malam Purnama


dari dahan kamboja
kau julurkan tangan
ingin raih bulan

bunga seroja di telaga
melempar lengking tangis bayi ke udara
malam mengambang pada mata perempuan
aku terkenang mata seekor kucing hitam
seorang pemabuk membual di tepi telaga
mengutuki bulan. merayu malam
dan akhirnya memaki diri sendiri
tapi kita juga pemabuk
sebuah sandiwara selesai menjelang senja
aku terkenang kekasih
yang menguap jadi udara

tapi kita juga pemabuk
menenggak apa saja
memuntahkan apa saja
mulut malam yang manis
melempar kata kata umpatan
bulan resah. perempuan melenguh
udara pucat
gemetar mendengar igaumu

sungai mengalir tenang di kaki seorang ibu
aku ingat perjalanan dari kota ke kota
di kotamu aku pernah bahagia
di bawah siraman cahaya neon kita makin fana

pemakaman ditutup dengan khotbah
dan sedikit aroma arak
aku terperangkap dalam doa doa
yang meluruhkan seluruh rusuk

kau mau raih bulan itu?
lenguh perempuan di belukar mengusikku
pohon kamboja yang bercahaya keperakan
menawarimu bunga
sebagai bekal perjalanan
dari kota ke kota
dari kelahiran ke kelahiran


1998



Taman Seroja


sejauh itu kau tabur
beribu cahaya
yang bagai kunangkunang
menyeret diri selarut malam
saat kami menuju kedamaianmu

jangan lontarkan kata
apa makna kami bersama
selalu membujuk tanya untuk
jawab yang jenuh kami jebak

kami jadi bagian dari malam
sebab kami lahir dari pagi
harum embun
yang memeram melodi sendiri
seperti kau peram sunyimu sendiri

jangan luncurkan jerit
yang seperti siluet burung malam
ke tengah raut demi raut wajah
yang penyap sebelum kami ada

pada paras malam bergerimis
bulan seperti menangis
sebentuk tangan mungil terulur
ke dalam miris udara
ingin raih wajah kami
yang telah kabut

kami bebaskan diri
dari riuh hidup sehari hari
masuk ke celah kelopak seroja

kamilah malam
kamilah kalam
kebebasan kami
seribu seroja
di telaga


1998




Penjaga Cahaya


yang luput dari diriku
adalah cahaya
saat sampai di tepi

berwaktu waktu aku lemparkan kail
ke samudera yang sembunyikan ibu
rindu jadi api
membakar permukaan laut

cahaya mengalir
matahari memeram cahaya
duka jadi mata kaki
bagi pejalan letih

o, beribu mimpi yang merubung hidupku
jadilah nyata. jadilah nyata


1998



Bangau Kertas


tanganku gemetar
membentuk garis pada kertas
                        melipat tangis
            jadi sayap yang cemas

dukaku terbang
dukaku terbang

senyap. tanganku pucat
meraba cahaya bulan sabit
di jendela kamar rumah sakit
bangau bangau kertas mengurung
                               ruang remang
kau telentang
                              jadi pecundang

waktu sinis
di dinding bangsal
                dentang lonceng
                                      dan kelam
memburuku
                        seperti mimpi buruk

kau mengerang
ruang penuh bayang masa kanak
terkenang saat mengejar layang layang
                                     yang putus tali
kini nyawamu tergantung
                        pada seutas slang infus
                        
kulipat lagi kertas
kugurat lagi getir. kulipat lagi tangis
seribu bangau kertas mengusir si laknat
                               waktu yang khianat

namun hanya bangau bangau kertas
menari riang di udara bau formalin
menggurat bayang pada dinding

kau terbang. kau terbang
menyisakan jejak duka
pada remang ruang


1998



Taman Tak Berbulan


bangun dari tidur bertahun
       jiwa adalah angin
mengurai hening buluh angan

di taman tak berbulan
mimpi mawar mekar
hari hari meluruh
jadi benih benih sunyi
yang tak jenuh kau semai

         kenangan
burung malam berbulu kelam
        di taman tak berbulan
suatu waktu jejakmu kikuk
diseret angin sesat
                    larut dalam kabut

malam rinai
mimpi abadi
di pintu puri


1998


 Gerimis Kotamu


aku lihat ketawamu merambat
pada wajah lusuh penjual sayur dan kuli pasar
menubruk merdu tawar menawar
dan makian gadis belia
yang pinggulnya dicubit lelaki kasar

kita makin jauh
dan kau masih suka aneh

gerimis kotamu begitu biru
kau tahu deretan pohon asam itu
sering bikin penyair mabuk cinta
saat gemerincing dokar meregang sekarat
menyeru namanya

perempuan perempuan pasar sejauh malam
tak pernah jenuh menjunjung rinduku padamu
:bau amis ikan, gurih nasi jinggo, tadahan tangan
pengemis buta, dan belahan payudara penjual sayur
makin menjadi racikan hangat dalam gelas kopiku

kau manis jika lagi merengut
perempuan perempuan di tikungan jalan
suatu waktu akan menjual tubuhnya
lantaran perut tergigit lapar
dan wajah minta dipoles kosmetika
harga-harga terus membubung ke langit
dan raja tua yang tak tahu malu itu
masih terus berkuasa
janji-janji konyol semakin memenuhi ruang udara

gerimis kotamu mendadak kelabu
si terkutuk sibuk menyusun siasat-siasat licik
yang akan menghancurkan dirinya sendiri

gerimis kotamu makin kelabu, manisku.


1998



Jonggrang


seribu arca pahatan paruh malamku
telah kau sempurnakan
pada pucuk candi
pada puncak keinginan

impianku luruh
bersama pekik serak seribu gagak
tak ada lagi perhitungan
atau percintaan
dalam remang kelambu
pagi jelang
kokok ayam datang
seribu sengat kelabang
memburumu sarat kutukan

seribu dendam seribu rindu runtuh
lebam jiwamu yang telah batu
masih memeram gairah malamku
yang hijau yang haru
            terkenang ibu

jonggrang,
kau telah jadi penunggu
cintaku yang dungu


1998

  
Parangkusumo


tapak kaki kuda, pasir-pasir, bunga pandan
dan sampailah pada hamparan biru
yang berwaktu-waktu kuburu

ibu parangtritis, bapa merapi, putera keraton
satu garis sunyi menggebu dalam seru angin
pada pagi pada malam pada jam-jam siangku
membawa birahi dari kucuran peluh, terik doa
                                          dan tandas air mata
mengharap kau tiba dengan kereta kencana
            menapak udara
campuran pasir yang menggejolakkan laut dalam diri
simpang siur wajahmu, sayup-sayup rambutmu
seribu kuda putih meringkiki detik-detik sunyiku

waktu waktu kuburu pencarianku kuburu
sampaikan ruhku menemumu


1998

  

Oedipus


mataku meleleh
tahun-tahun yang gamang
menuntun jiwa buta
menyusuri gua demi gua pengasingan

masa lampau
: kembali hadir di altarmu
membawa kicau rindu
ke dalam sangkar malaikat
tak bermata itu

angin pagi terusir pergi
di sebuah petilasan tua,
di sumber mata air suci itu
matahari tua yang luka
minum dan membasuh wajah
seteguk doa lagi
dan hanguslah harapan

lelehan perih si raja buta
menjelma gerimis biru
bulan biru yang raib
di kaki langit
di tepi gua pengasingan

kembali
kembali jiwa terkutuk ini
mengurai nujuman si matahari tua
: o, seru sekalian alam
terima kasih atas derita laknat
yang nikmat ini


1998



Suatu Waktu


suara serangga menuntun perjalananmu
                                     menggapai senja
perempuan itu menunggu di ambang pintu
dari waktu ke waktu burung-burung di udara
              meluruhkan bulu-bulunya
sehelai hinggap pada kenangan
dan senja tertatih menapaki letih

aku dengar jeritmu
ketika malam penuh lolong serigala
ketika negeri ini diserbu petaka tak berkesudahan
kembali burung-burung kecil itu memekikkan tanya
pada garuda tua yang hampir rontok seluruh bulunya

menjadi fana dalam kepedihan
perempuan itu menjelma senja
selalu jingga. selalu tak terduga
            tanya terurai:
mengapa jiwa belum juga terbuka
pada petaka negeri ini


1998


 Geruh


tarian sunyi hari yang renta
membawa sendiri perjalanan waktu
ke ruang suci rahasia

pada dirimu
masa silam terperam
dalam tiram mutiara
kau samadi:
    
tarian angin tarian air tarian tanah
tarian angkasa tarian cahaya
menggumpal dalam jiwamu
mengeras jadi batu intan sempurna
hingga dewa pun tak kuasa
menujum gerak tarian jiwamu
kuntum seroja kuntum kamboja
menyerah dalam keheningan gambuh

sampai kau berdiri ringkih di perbatasan
tubuh kurusmu dililit akar pohon banyan
senja telah menidurkan sebuah gubug reyot
yang berdiri kukuh menahan hempasan angin barat
kembali. kembali kau ke pangkuan ibu
ke muara abadi tarian semesta


1998


 Kuil Mei


matahari telah lama mati
dalam nikmat sunyi
hanya kuil kosong
yang memerangkap aku dalam lorong
yang bermuara pada ceruk matamu

kabarkan pada jiwamu sendiri
perihal kata yang hangus kita bakar
tentang kesetiaan puisi
yang kita musnahkan
masihkah bibirmu sepanas dahulu

aku rindu menjarah gairahmu
nyalakan lagi api itu
kita bakar saja puisi-puisi cinta
yang tak bosan tercipta
kita musnahkan kuil kencana itu


1998


 Usai Alunan Lagu Sendu


usai alunan sebait lagu sendu
begitu lembut wajahmu mengalunkan keheranan
pada seekor kucing putih jantan
yang saban pagi memakan bunga-bunga
di halaman rumahmu
mata kucing itu menyihir hari-harimu
menjadi bongkahan-bongkahan rindu
rambatan cahaya pada permukaan senja

kita ke pantai saja
di gunung hanya ada
danau yang dingin
dan putus harapan

pantai di sini belum direklamasi
sebuah nama telah terhapus dari ingatan ombak
namun namamu masih menyisakan birunya
bagi warna air yang miskin kata-kata pujian
bagi jiwa yang merecau sendiri

ah, mata kucing itu masih saja
menyihir hari-harimu
sebentuk bayang melintasi dingin senja
begitu rupa tiada


1998



Sajak Tungku


berparuh-paruh waktu tungku itu tidak kau nyalakan
kayu bakar yang bertahun-tahun kau kumpulkan
dari hutan jiwamu telah habis mengabu

hutan-hutan tandus menjerit, jiwamu menjerit
memanggil-manggil mata air, kubangan kata-kata
                                              yang melulu air mata
aku tahu kau kini seonggok tanah tua
yang ditinggalkan para peladang
tanganku gemetar membuka lembaran-lembaran buku
sejarah yang sedang rindu menulis namamu

seperti arwah nenek moyang
aku melihatmu terperangkap
dalam sejarah berjuta-juta tahun
aku pun terjerat dalam lubang
sejarah yang kau ciptakan

tungku itu rindu kau nyalakan
bakar saja seikat puisi, dirimu yang sisa
agar jiwa tak sia memfosil
kayu bakar telah menjadi arang
kita perlu kehangatan, kekasihku
hidup adalah kehangatan
yang tak semua orang mampu merasakannya

saatnya, aku rindu mendengar lenguh angin perawan
ketika rerimbun hutan hijau terusik
namun gema kematian mengambang dalam tungku
yang tak kau nyalakan itu
karena lapar karena dahaga
tangan-tangan menjulur dari dalam tungku
mencekik akar-akar nafasmu
menghisap, menjilat bukit-bukit mungilmu
yang bertahun-tahun tandus
kehilangan air mata cintanya


1998



Kau pun Sampai


kau pun sampai di tangga ke seribu
awan lembut membasuh kakimu
peri-peri menari dalam lingkaran sunyi

di tepian sungai di tengah hutan
bunga gugur kembali mekar
burung-burung yang patah sayap
kembali terbang
peri-peri air bermain kabut

bayangmu menyelinap
meniru gerak angin
kutitip duka dalam helai-helai daun
rindu yang hanyut
padamu menjelma kabut

seribu tangga kau tempuh
hingga sampai pada tepi
igauku luluh dalam cicit kelelawar
di gua cadas
tanya terpekik di jeram deras
air yang tiba kemana akan tertuju?

wangi lehermu harum bunga kopi
seribu tangga menjuntai di awan
peri-peri memainkan melodi
mengiringimu sampai pada tepi


1998


 Notasi Diri


di tengah deras hujan
batukku menguap dalam udara dingin

puntung rokok terjatuh
dari tanganku gemetar
meja reot lusuh letih
pena meleleh pada kertasmu
menyusun kata membentuk alenia
angin seperti burung gagak serak
menyerbu ke tingkap gubug
ruh para penyair yang mati putus asa
menilikmu menulis sajak

sajakmu lumer seperti selokan mampet
yang meluapkan derita ke jalan-jalan
batuk menahun mengental dalam udara

o, kekasih
jalan puisi letih
jalan berliku
yang menuntunmu
masuk ke lipatan waktu

derita yang kau genggam bertahun
saatnya menemukan pelepasan


1998

                 
                  Satu Perahu


biarkan perahu kita mengalir
menurut kehendak air
kayuh perlahan saja menuju hilir
kita nikmati anggrek bulan mekar
ikan-ikan riang menari di air bening

kau mesti mengerti bahasa sungai
agar jiwamu terbuka akan segala yang abadi
pegang tanganku agar kau lebih merasakan
rahasia puisi yang merambati
embun di daun-daun pinggir sungai

kau lihat dua ikan yang berenang riang itu
mungkin mereka sepasang kekasih
aku ingin seperti ikan
hidup di bawah teduh sungai
bersama dalam damai

genggam tanganku lebih erat
biarkan perahu kita hanyut
menurut kehendak air


1998

  
Di Kusamba Aku Terkenang Sejarah


di kusamba
aku terkenang sebuah sejarah
aksara-aksara jiwa yang melabuhkan
keheningan masa lampau
hingga kemaksiatan masa kini
pada lembaran-lembaran pantai bergaram
olahan keringat hingga campuran darah
para laskar yang pralaya
meruwat bumi bali

jerit sakit dan pekik sekarat mengabut di udara
cakrawala warna jingga
kematian menari di ujung mata tombak
meniti keris atau meluncur bersama pelor
menguak pintu gerbang langit
setelah sejenak memandang tanah hijau
tanah bali yang basah oleh darah
hingga kini kemaksiatan semakin menghama

di kusamba aku terkenang pagar tombak
yang di ujungnya seorang perempuan perkasa
menari anggun menantang angin barat


1998


















1 comment: