Labels

Thursday 20 October 2011

Penjaga Kamar Mayat


Cerpen: Wayan Sunarta


Sudah lebih dua puluh lima tahun Pak Tabah bekerja sebagai penjaga kamar mayat. Rentang waktu yang lumayan panjang itu, dia lewati dengan penuh ketekunan, kegembiraan serta rasa tanggung jawab sebagai penjaga kamar mayat. Ia pun telah menerima penghargaan atas pengabdiannya yang lama dari rumah sakit tempatnya bekerja. Penjaga-penjaga kamar mayat yang junior bangga dan hormat kepadanya. Mereka telah menganggap Pak Tabah sebagai bapak mereka sendiri.
Namun, akhir-akhir ini, Pak Tabah berubah menjadi pemurung. Seakan-akan hari-hari terasa berat dalam kepalanya yang tua. Hari-hari terasa kelabu dalam hatinya yang resah. Hari-hari terasa begitu menekan pundaknya, begitu menyiksa.
Pak Tabah yang dikenal tabah dan ceria tiba-tiba menjadi orang tua yang muram. Bukan karena urusan dengan mayat ia menjadi begitu pemurung. Bukan pula karena tugas-tugas rumah sakit yang tidak becus dia kerjakan. Bukan. Bukan karena pekerjaannya. Tapi kemurungannya telah membuat sistem di kamar mayat jadi sedikit kacau.
Bayangkan, sudah lebih dua puluh lima tahun ia mengurusi segala persoalan dan keperluan mayat-mayat yang masuk ke kantornya. Setiap mayat yang masuk dan yang keluar ia data dengan telaten. Dia tidak bersikap diskriminatif pada mayat-mayat itu. Semua jenis mayat, baik mayat korban kecelakaan lalu-lintas, korban pembunuhan, korban perkosaan, korban narkoba, semuanya diurus dengan baik. Bahkan mayat yang sudah membusuk atau yang tinggal rangka saja juga diurus dengan sangat baik dan telaten. Semuanya dicatat dalam buku yang mirip buku tamu. ''Semuanya ini untuk memudahkan petugas visum dan keluarga si mayat,'' ujarnya suatu kali dengan nada datar.
Namun, kali ini, Pak Tabah benar-benar nampak tidak begitu bersemangat mengurus mayat yang masuk maupun yang keluar. Wajahnya yang tua masih nampak murung. Pak Tabah melewatkan waktunya dengan melamun di meja kantornya. Matanya yang letih memandang kosong ke tumpukan peti-peti mati.
Kembali ia terkenang pada istri tercintanya. Kembali ia teringat pada putra semata wayang yang juga dicintainya. Dua orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya dalam kesepian dan kepedihan yang meletihkan. Istrinya telah lama pergi ke alam baka. Sedangkan anaknya entah pergi ke mana setelah peristiwa seminggu yang lalu.
''Bos Tua, ada mayat baru lagi. Masih segar dan hangat,'' goda Badil, petugas junior di kamar mayat. Pak Tabah hanya tersenyum hambar menanggapi lelucon juniornya itu. Tidak ada gairah bercanda pada wajahnya. Hanya bola matanya yang sudah rabun masih terus menerawang kosong pada tumpukan peti-peti mati di ruangan itu.
Badil mencoba mendekati Pak Tabah, mencoba mencari sebab kenapa seniornya menjadi begitu murung. Sudah dua tahun Badil bekerja di rumah sakit itu sebagai penjaga kamar mayat. Badil sudah merasa akrab dengan Pak Tabah, seniornya. Seperti kebanyakan petugas di rumah sakit itu, Badil mengenal Pak Tabah sebagai orang tua yang tabah dan periang. Itulah sebabnya Badil merasa aneh dengan kondisi Pak Tabah sekarang. Seniornya banyak mengajarinya bagaimana memegang mayat agar tidak takut atau jijik. Bagaimana memandikan mayat korban AIDS agar tidak tertular. Bagaimana membungkus mayat dengan rapi. Dan masih banyak hal lain yang diwariskan seniornya kepadanya.
Dulu sebelum Pak Tabah menjadi begitu murung, Badil suka sekali mengajak Pak Tabah bermain catur. Begitulah, kalau kebetulan mereka dapat tugas malam mereka selalu melewati malam dengan bermain catur. Walaupun Badil pernah menjadi juara catur di kotanya, namun ia tidak berdaya menghadapi serangan-serangan Pak Tabah yang alot dan mematikan. Seniornya selalu bisa menyudahi perlawanannya dengan beberapa langkah saja.
Tapi hari-hari belakangan ini tidak ada lagi permainan catur. Pak Tabah yang biasanya periang kini lebih suka memandang kosong ke peti-peti mati yang bersusun di ruangan itu.
''Aku tidak menduga, putraku yang semata wayang, yang sangat kucintai dan kubanggakan itu, kini begitu menyakitkan hatiku,'' Pak Tabah mulai membuka mulut. Badil yang dari tadi menemaninya hanya diam mendengarkan ia berkeluh kesah. ''Hampir semua barang-barang berharga di rumah dijualnya tanpa sepengetahuanku. Televisi, tape, sepeda motor, sampai kalung dan cincin mendiang ibunya, semua ludes dijualnya. Uang hasil penjualan barang-barang tersebut dihabiskannya, entah untuk apa. Dan, hampir setiap hari dia minta uang, entah untuk keperluan apa. Aku pun merasa bodoh tidak menanyakan untuk keperluan apa uang itu.''
Mata Pak Tabah yang tua masih terus menerawang. Badil masih berdiam diri.
''Aku sangat mencintainya melebihi cintaku kepada diriku sendiri. Tapi kini dia benar-benar menyakiti hatiku. Dia yang dulunya penurut mulai berani melawanku. Mulai berani kurang ajar pada ayahnya.''
Badil masih terus dengan posisi diamnya, namun mencoba menerka ke mana arah keluh kesah Pak Tua itu.
''Seminggu lalu dia minggat dari rumah dan mengancam tidak akan pulang untuk selamanya jika aku tidak bisa menyediakan uang satu juta untuknya.''
''Bapak sudah mendapatkan uang sebanyak itu?'' tanya Badil sedikit kaget.
''Dari mana aku mesti mendapatkan uang sebanyak itu. Bahkan gajiku pun tidak cukup untuk menuruti permintaannya.'' Orang tua itu mendesah, seakan ingin menghembuskan semua beban berat yang menghuni relung jiwanya.
''Nanti juga putra Bapak kembali,'' Badil mencoba menghibur kegundahan
seniornya. Tapi Pak Tabah sudah seperti kehilangan ketabahannya. Semangat kerjanya juga sudah menurun sejak kepergian putranya itu.
''Aku sangat hafal tabiat anak itu. Dia begitu keras kepala dengan sikapnya. Sangat tipis kemungkinan dia kembali ke rumah. Itulah sebabnya kenapa aku menjadi gundah begini.''
''Bapak sudah lapor polisi?''
''Sudah, tapi belum ada jawaban.''
''Apa yang bisa saya bantu, Pak?'' Badil mencoba berbasa-basi menawarkan tenaga untuk mencari putra Pak Tabah. Tapi dalam hati kecilnya ia sendiri tidak merasa yakin bisa membantu Pak Tabah.
''Terima kasih, Dik Badil. Saya akan terus menungggu sampai dia kembali. Saya juga ingin tahu sampai sejauh mana dia tega menyakiti hati ayahnya.''
Hari-hari terus berjalan. Minggu-minggu terus merangkak. Pak Tabah dan Badil bekerja sebagaimana biasanya. Mengurusi segala persoalan dan keperluan mayat-mayat yang keluar-masuk ke kantornya. Hanya saja Pak Tabah masih tetap dengan wajahnya yang tua dan murung. Kondisi tubuhnya juga semakin menurun. Ia jadi sering sakit. Putranya belum juga kembali. Sudah hampir tiga minggu anak semata wayangnya minggat dari rumahnya. Berbagai jenis mayat setiap hari berdatangan diantar petugas rumah sakit atau pihak kepolisian. Pak Tabah dan Badil, seperti biasa, sibuk dengan tugas-tugasnya mengurusi mayat-mayat itu. Memandikan, mencatat dan mengemasnya dalam peti mati. Hingga akhirnya Pak Tabah benar-benar jatuh sakit.
Suatu senja, ketika Badil sedang enak-enaknya istirahat, datang mayat baru diantar petugas rumah sakit dan beberapa polisi. Menurut petugas yang mengantar, mayat tersebut ditemukan di sebuah kamar kos di tepi kota. Mayat berjenis kelamin laki-laki itu tidak berindentitas. Dari perawakannya diperkirakan mayat tersebut berusia kurang-lebih 20 tahun. Dari mulut mayat keluar buih. Dokter yang melakukan visum memperkirakan mayat tersebut sebagai korban over dosis heroin atau sejenisnya.
Badil dan petugas rumah sakit mengantar mayat yang akan digelari Mr. X tersebut ke ''kamar kos''-nya yang baru. Kalau tidak ada keluarga yang mengakui mayat itu, sudah dapat dipastikan si mayat akan berjasa besar dalam ilmu anatomi yang dipelajari oleh para mahasiswa fakultas kedokteran.
Setelah mengemasi mayat dalam peti es, Badil termenung sendiri di kamar mayat itu. Pikirannya melayang menjelajahi sosok mayat Mr.X yang telah dikemasnya itu. Mayat korban over dosis narkoba baginya sudah biasa di kota ini. Tapi mayat yang satu ini mengganggu pikirannya. Ia teringat cerita Pak Tabah tentang anaknya yang minggat. Ia terkenang wajah tua yang selalu murung sejak kepergian anak yang sangat dicintainya.
Badil masih termenung. Kini wajahnya tambah murung.
''Mudah-mudahan besok Pak Tabah sudah bisa bekerja kembali. Aku akan memperkenalkannya dengan Mr.X,” gumam Badil.
Tapi, Pak Tabah telah jatuh sakit. Sejak mengurus sekian banyak mayat yang datang beruntun, kondisi tubuhnya mulai menurun. Kini ia hanya bisa terbaring di kamarnya ditemani keponakannya. Pak Tabah masih setia menunggu putra yang sangat dicintainya itu kembali ke rumah. Ia hanya bisa menunggu.
Tiga hari kemudian, Pak Tabah sudah bisa masuk kantor lagi. Meski kondisi tubuhnya belum sepenuhnya sehat, namun dia merasa tidak enak membiarkan Badil bekerja sendirian. Tiba di kantor, Badil menyambutnya dengan suka cita. Setelah menanyakan kondisi kesehatan Pak Tabah, Badil mengajak seniornya itu menjenguk Mr.X yang selama ini mengusik pikirannya. Mr.X yang berumur 20 tahun itu telah membeku dalam peti es.
Badil membuka peti. Kemudian, perlahan tangannya menyingkap plastik yang membungkus mayat itu. “Ini, Pak, mayat korban over dosis itu. Mayat ini belum ada yang mengakui. Apa Bapak kenal dengan mayat ini?”
 Pak Tabah terkesiap. Wajahnya yang pucat karena sakit, kini semakin pucat saja. Matanya yang tua meneliti dengan seksama raut wajah mayat yang telah kisut itu. “Aku kenal mayat ini! Ya, aku pernah mengenalnya. Dia beberapa kali pernah main ke rumah. Dia salah satu kawan anakku!”
Tubuh Pak Tabah gemetar. Badil membantunya duduk di kursi rotan. Wajah tuanya semakin pucat. “Anakku…anakku…di mana kamu, Nak?!” gumamnya. Badan Pak Tabah kembali demam. Badil menatap wajah seniornya dengan sedih. Dia mencoba menghibur Pak Tabah, meski dia tahu kata-kata hiburan yang menguatkan hati itu tidak akan berguna lagi. Maka, dibiarkannya Pak Tabah tertidur di kursi. Mungkin kesehatannya belum pulih, pikir Badil.
Menjelang sore, petugas rumah sakit kembali disibukkan dengan mayat yang sudah membiru dan bengkak, diantar mobil ambulance dan polisi. Mayat itu ditemukan di sebuah rumah kosong di tepian kota, tidak jauh dari penemuan mayat Mr.X  tempo hari.
Badil membangunkan Pak Tabah agar bisa segera mengurus mayat setengah busuk itu. Dengan tubuh masih lemas, Pak Tabah meneliti mayat itu, dan tiba-tiba saja dia meraung, kemudian menangis histeris. “Ini anakku…! Ini anakku…!!”
Pak Tabah rebah. Badil berusaha menahan tubuh Pak Tabah dan membaringkannya di lantai. Beberapa saat, Badil dan petugas rumah sakit panik. Mereka tambah panik ketika mengetahui denyut nadi dan detak jantung Pak Tabah telah berhenti. Bapak dan anak bertemu di kamar mayat. Keduanya telah menjadi mayat.***

Denpasar, 2001

(Bali Post, 4 Mei 2003)

No comments:

Post a Comment