Labels

Wednesday 19 October 2011

Boneka Monyet


Cerpen : Wayan Sunarta


            Hampir dua jam aku menunggu di terminal ini. Namun, bus yang penuh gelisah kutunggu itu, belum juga tampak memasuki terminal. Lewat SMS yang kuterima sebelum baterai ponselku mati, istriku memang sempat mengabarkan bahwa sekitar pukul tujuh malam bus yang ditumpanginya sudah akan tiba di terminal. Aku masih berusaha bersabar, meski pikiran-pikiran ngawur dan kisah-kisah letih masalalu kembali berkelebat dan tumpang tindih, menyiksa benakku. Di terminal ini, dulu, aku melepas kepergian Nita, pulang ke kampung halamannya.
 “Selama aku di kampung, jagalah boneka monyetku baik-baik!” Mata Nita yang bening itu berkilau. Ada genangan airmata yang menari-nari, bagai bijih mutiara diterpa cahaya senja. Aku menatap lekat telaga kembar yang mengandung haru itu. “Rawatlah ia. Peluklah ia ketika kamu tidur.”
Kemudian, Nita mengulurkan boneka monyet yang didekapnya erat-erat. Jujur, aku tak kuasa kabur dari keharuan perasaanku. Aku meraih boneka monyet itu dan mendekapnya di dadaku. Kami masih bertatapan. Seakan sedang menghadapi sebuah perpisahan yang abadi. Padahal aku tahu, dia hanya ingin pulang kampung, setelah letih berkubang dan jenuh mengadu untung di kota yang semakin hari semakin menyesakkan.
            “Aku akan segera kembali. Mungkin seminggu aku di kampung. Jaga dirimu, kekasihku!”
Nita meraih tanganku, menciumnya penuh perasaan. Terasa hangat airmatanya melekat di punggung tanganku. Kemudian, dengan pandangan sayu dia menatap boneka monyet lekat-lekat, bagai seorang ibu muda yang tersiksa berpisah dengan bayi yang sangat dicintainya. Dia mencium kening boneka itu sambil berucap lirih, “Selama tidak bersamaku, kamu jangan nakal, ya! Entar kalo nakal, kamu bisa dijewer! Jangan rewel ya, Sayang!”
Sembari menahan airmata agar tidak tumpah, karena tabu bagi seorang lelaki menangis—meski menghadapi perpisahan dengan orang yang sangat dikasihi—aku terkenang dongeng Nenek ketika aku masih bocah. Ketika hari-hari yang menyedihkan kuarungi, hanya bersama Nenek.
“Akhirnya, waktu perpisahan tiba juga,” tutur Nenek perlahan, pada suatu malam, sambil mengunyah sirih. “Pada senja yang temaram itu, bibir mungil Durma1 masih melekat di puting susu ibunya, seakan enggan melepas kenikmatan air kehidupan itu. Sang ibu, Ken Sulasih2, sesungguhnya merasa sangat berat berpisah dengan anak yang sangat dicintainya itu. Namun waktu adalah ratu yang tidak boleh dibantah. Hari yang dijanjikan telah tiba…”
Biasanya, sebelum melanjutkan dongengnya, pada bagian ini Nenek akan menembang pupuh Sinom yang menyayat hati. Dan, tanpa terasa mataku akan mulai berat oleh airmata yang menggenang-genang. Tapi diam-diam aku segera mengusapnya, malu diketahui Nenek, sebab di sela-sela dongeng sedihnya beliau selalu berpesan: “Lelaki pantang menangis. Lelaki harus tegar seperti batu karang di lautan!”
Usai melantunkan tembang yang menyayat perasaan itu, Nenek kemudian melanjutkan dongengnya. “Setelah mencium lembut kening Durma, dengan perasaan luluh sekaligus bahagia, sang ibu—bidadari dari Kahyangan itu—terbang ke langit, meninggalkan Durma yang menangis menjerit-jerit…”
“Berarti, ibu Durma sama jahatnya dong dengan ibu saya, Nek!?” aku menyela. Dalam benakku yang masih bau kencur itu, belum mampu kupahami mengapa Ibu, terlebih lagi mahkluk yang bernama perempuan (kecuali Nenek), seringkali tega meninggalkan lelaki dalam kepedihan.
“Ibu Durma dan ibumu tidak jahat! Ibumu perempuan penuh kasih yang hampir menyamai bidadari. Dia hanya pulang kampung beberapa minggu. Besok juga balik!” 
Tapi, mengapa aku tidak diajak!? Pertanyaanku hanya mampu meluncur sampai di tenggorokan. Dalam remang bilik gubug yang hanya diterangi lentera minyak jarak, aku merasa mata tua Nenek berlinang-linang. Seperti biasa, Nenek menangis dalam diam. Sedangkan aku, karena lelaki, pantang menangis!
Maka, hitungan minggu terasa sangat panjang dan meletihkan. Aku selalu menunggu hari yang bernama “besok”. Namun, di depan pintu gubug, aku selalu gagal menjumpai wajah Ibu, yang hanya samar-samar kuingat.
Meski demikian, sejak bocah aku telah dididik Nenek menjadi batu karang dan mercusuar yang sambil merasakan arti kepedihan, ia tegakkan kesepiannya3. Ya. Kepedihan. Karena Ibu telah pergi dari sisiku untuk selamanya, justru ketika aku masih belum mampu melepas kelembutan dan kenikmatan puting susunya. Ya. Kesepian. Karena aku selalu gagal memahami keinginan mahkluk aneh bernama perempuan.
Namun begitu, Nenek selalu rajin mengingatkan aku: “Kalau kau besar nanti, hati-hatilah memilih pasangan hidupmu! Kalau bisa, kau harus mendapatkan perempuan yang memiliki sifat-sifat bidadari.”
Sampai Nenek meninggal ketika aku berumur 23 tahun, belum juga kupahami petuah dan keinginan Nenek. Terutama perihal mencari perempuan yang memiliki sifat-sifat bidadari, seperti sosok dalam dongeng yang seringkali dituturkan Nenek.
Akhirnya aku mendapatkan Nita. Bagi mata dan perasaanku yang mungkin saja rabun, perempuan yang kupacari itu setidaknya hampir mendekati harapan Nenek. Dia jelita, anggun, penuh daya haru, lembut, perasa. Singkatnya memesona mata dan jiwa setiap lelaki.
Namun, seperti dongeng Nenek tentang bidadari, Nita pun terbang. Bukan, bukan terbang! Tapi pergi dengan bus, pulang kampung untuk beberapa minggu.   
Senja itu, seperti biasanya, terminal sangat ramai dan sibuk. Orang-orang datang entah dari mana. Orang-orang pergi entah ke mana. Sebagian berkerumun menunggu, sebagian hilir mudik dengan berbagai keperluan.
Pedagang asongan, pedagang kacamata, penjaja koran, kondektur dan sopir yang letih, calo-calo tiket, pencopet yang sibuk membaca situasi, preman-preman yang petantang-petenteng, sepasang kekasih yang berpelukan di bangku tunggu, ibu dengan anak-anaknya yang bandel dan rewel, remaja yang cemas menunggu sang pacar, deru bus yang akan berangkat, suara pengumuman anak hilang, tawa cekikikan perempuan genit, pekik lagu Don’t Cry 4 dari tape sebuah bus, jerit tangis anak yang dijewer ibunya, dan… 
“Cuitt….cuittt…! Terminal milik berdua nih yee!”
“Kita hanya numpang lewat…hi..hi..hi..”
Beberapa pasang mata diam-diam mencuri pandang ketika Nita mencium kening boneka monyet dalam dekapanku. Beberapa gadis cekikikan. Aku merasa sindiran itu ditujukan kepada kami. Dasar gadis kampungan, bentakku, hanya dalam hati. Tiba-tiba saja aku merasa malu. Tiba-tiba saja aku seperti berada di sebuah panggung yang aneh di mana semua mata tertuju hanya kepadaku.
Bisa jadi baru kali ini mereka menyaksikan sebuah peristiwa perpisahan yang menggelikan sekaligus dramatis, dengan ritual serah terima boneka monyet. Bisa jadi mereka geli melihatku, lelaki gondrong bercelana jeans belel, jaket kulit lusuh, tampang mirip preman, namun mendekap boneka monyet di dadanya yang kerempeng.
Namun, peristiwa mengharukan apa yang tidak pernah terjadi dalam sebuah tempat bernama terminal? Sebuah keluarga melepas kepergian putranya merantau entah ke mana. Remaja yang merasa sangat bahagia menyambut kedatangan kekasih yang sangat dicintainya—barangkali telah berbulan-bulan mereka berpisah. Linangan airmata seorang istri mengantar suaminya menjadi kuli di negara tetangga. Atau mungkin ini, seorang penyair tua yang mengajak kawannya menunggu bus jurusan sebuah kota berjam-jam, hanya lantaran ingin mengenang gadis masalalu, yang pernah memberinya kebahagiaan dalam bus itu. Ah, terminal memang mengharukan di mana sebagian orang ingin menghentikan putaran roda waktu, sebagian lagi ingin mempercepat gerak waktu, dengan berbagai alasan dan keperluan.
 “Jangan lupa menyiram bunga mawar cinta kita, ya!” pesan Nita sebelum naik ke dalam bus yang akan membawanya ke kampung halaman. Mata yang berkilau-kilau itu menatap mataku lekat-lekat, seakan ingin meyakinkan aku bahwa dia sungguh setia.  Beberapa detik kemudian, dia menghambur ke dalam dekapanku, menangis. Persis adegan dalam sinetron-sinetron murahan yang suka ditontonnya berjam-jam.
 Bunga mawar cinta? Ah, itu hanya sebutan sayang bagi sepasang mawar yang kami tanam dalam pot di depan beranda. Sepasang mawar itu kuhadiahkan untuk Nita ketika dia merayakan ulang tahunnya yang ke duapuluh. Mawar merah muda itu kubeli dari penjaja bunga keliling seharga tiga ribu rupiah per batang. Dan, Nita sangat rajin menyiram bunga yang suka kami lambangkan sebagai cinta kasih kami yang mekar berseri. Sedangkan boneka monyet yang menempel dalam dekapanku adalah boneka kesayangan Nita, hadiah dari ibunya ketika dia berusia 15 tahun. Bisa jadi karena Nita ber-shio monyet, dia lebih menyukai boneka monyet ketimbang boneka lain. Boneka itu diberinya nama Nyetnyet. Yang mengharukan lagi, Nita mencintai bonekanya seperti bidadari mencintai sayapnya. Seakan dengan boneka itu dia mampu terbang mengarungi khayal demi khayal. Aku tidak pernah menanyakan, apa masa kecilnya kurang bahagia?
Seperti monyet umumnya, tampang Nyetnyet juga lucu dan menggemaskan. Matanya bulat kecil seukuran kancing baju, hitam berkilau. Sering aku merasa mata Nyetnyet seakan berjiwa. Bulu boneka berukuran 30 cm itu coklat suram dan hampir luntur. Mungkin karena usia atau terlalu sering dipakai mainan oleh Nita. Aku tidak tahu apa jenis kelaminnya. Mungkin tidak berjenis kelamin, namanya juga boneka. Tapi, aku yakin Nyetnyet berkelamin laki-laki. Itu kuketahui dari matanya yang hitam berkilau seperti memancarkan hawa cemburu yang ganas dan liar terhadapku. Mungkin saja Nyetnyet tidak rela cinta tuannya terbagi dua.
Memang, hubungan Nita dengan boneka monyetnya sangat erat dan hangat. Ketika sedang dilanda kesusahan, Nyetnyet seringkali menjadi kawan yang dianggap mengerti dan siap setiap waktu menadah keluh dan sedihnya. Wajar saja kalau boneka itu merasa cemburu kepadaku, karena aku dianggap telah merebut tuannya.
Namun, sesungguhnya aku juga cemburu terhadap boneka monyet itu. Bayangkan saja, Nita lebih mencintai bonekanya ketimbang aku. Dia lebih banyak bercerita atau berkeluh kesah justru dengan Nyetnyet ketimbang kekasihnya. Maka, aku pun berusaha keras memeras otak agar perhatian Nita lebih tertuju kepadaku.
Maka, suatu hari aku menghadiahi Nita dua boneka monyet kecil, berukuran sekitar 15 cm, berwarna coklat tua dan coklat muda. Tujuanku tentu saja agar Nyetnyet memiliki teman sehingga kami bisa bercengkerama dengan bebas tanpa mesti ada yang cemburu. Nita sangat senang dan terharu menerima hadiah itu. Bahkan, dia mengusulkan nama yang lucu untuk dua boneka barunya: Ciput dan Cupit.
 “Nyetnyet, sekarang kamu udah punya kawan baru, Ciput dan Cupit. Kamu jangan nakal lagi, ya! Jaga adik-adikmu!” ujarnya kepada boneka yang lebih besar, persis seorang Ibu menasehati anak sulungnya. Aku jadi geli melihat tingkah Nita yang kekanak-kanakan itu.
Tetapi celakanya, dengan kehadiran dua boneka itu, perhatian Nita malah tambah berkurang kepadaku. Dia malah lebih senang bermain dan bercengkerama dengan monyet-monyetnya. Sialan, umpatku, hanya dalam hati.
Lambat laun kesabaranku pun mulai luntur. Aku tidak tahan lagi dengan sikap Nita yang acuh tak acuh terhadapku. Bagaimanapun juga, sebagai kekasih aku berhak mendapat jatah perhatiannya. Kini jatahku telah direbut oleh monyet-monyet itu. Aku tidak mampu lagi menahan kesal yang resah untuk membuncah. Dan, akhirnya aku pun ngomel-ngomel tidak karuan.
“Kau  anggap aku ini apa, heh!? Pacar atau boneka raksasa yang tidak kau suka?! Aku hanya ingin kau bisa mengatur waktumu, antara aku dan monyet-monyetmu itu!” protesku dengan nada suara yang tak mampu kukendalikan lagi.
Nita menatapku takjub. Terperanjat. Sebentar kemudian tubuhnya mengkerut, seakan baru saja berhadapan dengan monster yang mengerikan. Dia tidak menyangka mendapat dampratan penuh emosi seperti itu. Sebagai perempuan, Nita terlalu lembut dan perasa, seakan bidadari yang tidak boleh disentuh dengan tubuh berdosa5.
Namun, semuanya telah terlambat.
“Kau jahat! Kau kasar! Kau tidak sayang aku lagi!” teriak Nita. Dia memeluk boneka-boneka monyetnya erat-erat, seperti induk ayam melindungi anak-anaknya dari sergapan musang. Dia menangis. Mogok bicara. Sedangkan aku, hanya bisa mengutuki diri sendiri. Jujur, aku terlalu mencintainya. Jujur, sebenarnya aku tidak bermaksud memarahinya. Aku hanya ingin melontarkan sedikit protes. Sebab aku merasa tidak mendapat perhatian darinya. Dia terlalu sibuk dengan boneka-boneka monyet sialan itu. Aku heran, mengapa perempuan selalu menjawab dengan air mata? Aku selalu kesulitan bila terjebak dalam kondisi seperti itu.
Puji Tuhan, beberapa hari kemudian Nita mencabut mogok bicaranya. Sekali lagi, Puji Tuhan, kisah kasih kami pun kembali berjalan lancar. Meski dalam hatiku masih terasa ganjalan yang disebabkan boneka monyet itu. Aku tak tahan menatap matanya yang hitam berkilau, yang memancarkan teluh cemburu yang ganas, yang seakan hendak memusnahkan aku tanpa sisa. Sungguh, aku tak tahan dengan berbagai pikiran buruk yang meneror isi kepalaku.

***

Di terminal ini. Ya. Di terminal ini, dulu aku melepas kepergian Nita pulang ke kampung halamannya.
“Mas! Mau ke mana, Mas?” seorang calo bertubuh jangkung mencolek lenganku sambil tergesa-gesa menyodorkan tiket bus entah jurusan mana. “Mau ke Yogya ya, Mas? Nih, tiketnya tinggal lagi dua!”
Dasar calo! Ia terus mendesak dan merayuku agar membeli tiketnya. Kini berani-beraninya ia duduk di sampingku dan bertingkah sok akrab. Merasa kenyamananku terancam, akhirnya aku berkata ketus, “Tidak! Aku lagi menunggu istriku!”
Melihat tampangku yang tidak bersahabat, tanpa diusir calo itu ngloyor pergi sambil terus menggerutu.
Jam dinding di ruang tunggu terminal telah mengarah pada pukul setengah delapan malam. Mengapa bus itu belum juga tiba? Sesuai jadwal, mestinya bus itu sudah memasuki terminal. Mudah-mudahan saja anak perempuanku yang berumur tiga tahun tidak rewel dengan pembantuku di rumah. Bisa jadi dia sekarang sedang asyik bermain-main dengan boneka monyet yang warna bulunya telah luntur dimakan usia itu. Aku tidak habis pikir, mengapa putriku juga sangat menyukai boneka yang pernah habis-habisan kubenci itu.
Bus datang dan pergi, seperti kelahiran dan kematian! Berulang-ulang aku menunggu di terminal ini, berulang-ulang pula aku harus menghadapi kecemasan yang sama. Semestinya aku tidak perlu mengikuti anjuran Nenek. Semestinya aku tidak terlalu menganggap perempuan itu seperti bidadari yang turun dari Kahyangan, kalau pada akhirnya dia harus pergi sekehendak hatinya, meninggalkan lelaki dalam kepedihan dan kesepian.
Jarum jam kini telah menuju pukul sembilan. Duh…bisa jadi benar kecemasanku selama ini: istriku seperti Nita, tidak akan balik lagi dari kampung halamannya.***

Denpasar, 2003



1 Durma adalah anak hasil kawin kontrak antara bidadari Ken Sulasih dengan Rajapala. Dalam folklore Jawa, dongeng ini juga dikenal dengan tajuk “Joko Tarub”.

2 Akhirnya Ken Sulasih kembali ke Kahyangan, sesuai perjanjiannya dengan Rajapala. Karena tidak kuat menahan sedih, Rajapala pergi masuk hutan dan menjadi pertapa.

3 dari  puisi “Mercusuar” karya penyair Jepang Yamamoto Taro.

4Lagu dari kelompok Gun N Roses.

5 dimodifikasi dari sebaris puisi “Nawangwulan” karya Subagio Sastrowardoyo yang berbunyi: “jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa, aku dari sorga”.



Dimuat di Suara Pembaruan, 18 April 2004

No comments:

Post a Comment