Labels

Friday 21 October 2011

Puisi-puisi 2004

                Sajak-Sajak Wayan Sunarta

Bukit Venus


aku tiba pada hamparan bukit venus
milikmu yang penuh pesona
pada tebing merah muda
di antara rerimbun pinus
sebuah pancuran di atas goa
mengalir air ibu bumi

seperti pertapa tua letih
mencari sumber air suci
aku berjalan tertatih
terseok keluar-masuk
menyibak lebat semak
goa gelap di tebing bukit

cahaya dari hutan pinus
seperti sorot mata ular di taman firdaus
aroma tanah sehabis gerimis

embun menghias pepucuk pinus
merembesi goa tapaku
kurasakan nikmat tertinggi
kidung persembahan ibu bumi


2004

                
                 Sarang Capung


kau memasuki sarang capung
peliharaan peri hutan
lebat tetumbuhan pakis
dan percik air terjun bagai butiran tepung
batu-batu di sepanjang sungai bernyanyi
lumut-lumut menguapkan harum tanah

aku terkurung dalam sarang capung
kembali bocah itu menawariku kalung
untaian butir-butir kerang
yang dipungutnya di pasir sungai

letih telah membawaku menjauh dari waktu
tak mampu lagi kugurat kata
pada batu-batu sungai
kata-kata yang akan mengabarkan kisahku
sejauh waktu menenun sarang laba-laba air

peri-peri hutan
mengantar ruhku ke tengah sungai
dari mana perjalanan baru kumulai
kudengar merdu nyanyi serangga hutan
kulihat bocah itu melambai
:selamat tinggal bumi!


2004

  
Ambang Petang


ketika hari pergi
dengan secercah cahaya senja
usiamu mengikuti terbang burung
pulang ke sarang waktu
kau, aku, kita
terhimpun dalam pusaran itu
terkutuk takdir sendiri

tak pernah kita sesali kelahiran
tapi kita coba buru bahagia
hingga ambang petang
tubuh mengukur umur
jiwa menakar karma
seuntai puisi telah kuzikirkan
untuk namamu
hingga waktu perlahan memecah
jadi beribu keping keheningan


2004


                Di Canggu Aku Menunggumu
       

di pantai canggu
aku menunggu senja menjelma
pada kepak sayap camar
pada sirip lumba-lumba
pada desau bunga pandan
namun, mungkin hanya pada laut kelabu
aku mengadu rinduku padamu
pun sepiku yang hina

di tengah badai hari ini
aku limbung
hilang arah
dengan apa mesti kau mengampuniku?

seperti Rama yang menguji Sita
dalam kobaran api cemburu dan putus asa
aku hilang akal
kau tahu, Dasamuka akan kembali bertiwikrama
dan berkeliaran di sekitar kita
ia ingin merebutmu
menghancurkan hidupku
kekasih, kau terlalu lemah dan lugu
memahami hasrat jiwa sendiri

jiwamu yang hijau adalah hutan Dandaka
yang mengurungku dalam prasangka tak terperikan
kau tahu, bahkan dengan Laksamana pun aku curiga
luka masa lalu telah membuat aku alpa
                   memahami rasa setia bunga seroja
sesal dan malu kukubur di gua Kiskenda
di mana kera-kera juga menjaganya dengan curiga

bagaimana pun juga
para pendeta istana telah mengujimu
aku tahu, lidah api yang ganas
tak mampu menjilat
mulus tubuhmu

dari bumi kau bermula
ke pangkuan bumi kau kembali
kau suci, kau abadi
aku nista, aku fana


2004


Malam Pantai Canggu
              -buat: p.d.-

                                                   
di pucuk meru pura
bayangmu menjelma bunga angsana
senja ungu
aroma garam
berbaur wangi dupa
kerang mengerang saat pasang
aku terkenang duri-duri pandan
yang menyusup di kulit tangan

kau bersimpuh
sujud di muka altar batu
adakah puisi mencurahkan cahaya semesta
                                               pada jiwamu?

aku fana di limbung gelombang
hanya pasir bergetar di pucuk layar
mari cintaku, pranitaku,
bisikkan lembut lenguh ombak di jiwaku
agar tenteram aku berbaring di pesisir

aku tahu lampu-lampu itu
hanya memeram warna senja
                    yang tiba tertatih
apa kau percaya kata mereka
tentang kita yang dikutuk masa lalu?

jangan kawini laut
aku cemas kau makin asing
              di gigir gelombang
cumbu aku
hingga kau mampu
memahami peta perjalanan
yang berliku menuju puncak sajak

kau memintaku pulang
sebab kelam malam telah mengepung pesisir
kenapa mesti cemas pada malam?
malam adalah kawan setia pejalan

aku bisa berkemah di mana saja
kunyalakan unggunan api di hampar pasir
serigala akan mendekat dan menjilati kakiku
seperti bocah yang minta dibelai ibu
dengan puisi kuhangatkan tubuh dan jiwa luka
yang diderita para pengembara


maka cobalah berbaring di pasir
dengarkan laut berkisah
perihal perjalanan  patahan kayu menuju muara
tentang biduk-biduk lapuk yang bertahan di tengah topan
atau perihal peri-peri laut yang suka menggoda nahkoda

buka mata, cobalah tatap langit malam
kau akan saksikan rasi mithuna dan kataka
saling bercumbu
betapa mesra, kekasihku
bahkan baruna, si dewa laut, pun
cemburu menatapnya

api unggun masih menyala
jangan pernah padami
biarlah baranya yang biru
menjaga dan menentramkan jiwa kita
hingga usia bumi makin renta


Canggu, Bali, 10 Juli 2004

  
Kampung Terakhir


pungguk itu tunduk di dahan waru
ada seberkas cahya purnama
                              memintas batas
sepi tiba-tiba
ada nyanyi dari buluh seruling
mungkin seorang pengembara
terkenang kampung halaman

di dalam bilik gubuk
hanya kita, mungkin juga cicak,
berbagi desah, resah,
dan juga lenguh
yang coba membunuh
sosok waktu yang ngalir
di kanal nadimu

aku terkenang sebatang kayu mahoni
yang terlunta dihanyutkan sungai
hingga lelaki tua yang bungkuk itu memungutnya
                                                            penuh iba
di halaman gubuk
lelaki tua menatah kayu menjadi arca dewa

arca dewa yang tua
tanpa janggut, tanpa mahkota
lebih menyerupai patung yang murung
namun pada tapak tangannya tergurat aksara

aksara pada jiwa
mendedah sembilan dewa
yang terusir dari lingkaran mandala

di dalam bilik gubuk
di tengah remang cahya pelita
kita mencipta dewa
                  bagi semesta jiwa

pungguk itu terkantuk
            di dahan waru
alun seruling menjauh
aku tiba di kampung
                     terakhir


2004


Aku Rindu Mariyuana


malam ini aku rindu mariyuana
namun hanya suara serak radio menjalar
seperti keluh nenek renta yang pikun

mata tak pejam
desir angin dan bisik dedaun
bikin aku makin asing
                        dari kenangan

hanya buku-buku tua
                        pada rak berdebu
mungkin di antaranya terselip surat cinta
atau bon-bon yang lama
                               tak terbayar

mata belum pejam
suara radio makin serak
serupa gerutu gagak
di pucuk pohon palam

pada cermin retak
aku cermati wajah
“keningmu makin penuh kerut
                              o, penyair !”

kulipat surat cinta kertas kusam
                          jadi burung bangau
hanya mengambang dan gemetar saja
terayun-ayun di lelangit kamar bercat biru

o, aku rindu mariyuana
puisi-puisimu begitu cerewet
dan membosankan
              bakar! bakar saja!

malam ini, kau tahu,
aku hanya rindu mariyuana
menghisapnya perlahan
seraya melamunkan kekasih
di bawah purnama


2004



Pada Lingkar Putingmu


pada lingkar putingmu
pada lingkaran tahun batang cendana
jiwaku berputar-putar di situ
tak juga kutemukan jalan keluar

bertahun-tahun aku terjebak
belantara sabana di pangkal pahamu
apakah telah kutemukan sumber air
di antara kelopak seroja merah muda?

aku si pertapa bisu tak lagi letih
merambah bukit venus
meraba dengan tongkat kayu tua

dan kau yang selalu kehilangan siang
hanya terlentang saja di ranjang
pupur telah lama luntur
dan wangi tubuhmu masih mengambang
di kamar beraroma damar

tapi kita telah dikalahkan hari
tak mampu lagi menyepi
atau menari
dengan lagu sendiri

pada lingkar putingmu
aku mengukur umur
pertemuan kita


2004



Jangan Usik Sunyi


jangan kau usik sunyi
dengan kata-kata puisimu
sunyi milik abadi waktu
kau hanya segurat cahaya pada air

aku telah jelajahi hutan perawanmu
tanpa menemukan apa-apa di situ
            selain rasa hampa
liang lengang mengakhiri petualang
                dari kembara tak berujung


2004














No comments:

Post a Comment