Labels

Thursday 20 October 2011

Pondok Bambu

cerpen : Wayan Sunarta


Di bawah pondokku ada sebuah kali mati, setengah mengelilingi pondok, seperti membentuk huruf “U”. Pinggiran kali mati itu dipenuhi semak belukar, dan sepertinya diliputi berbagai kegaiban. Setiap kali mengenang pondok itu, terbayang kembali peristiwa setahun lalu. Aku pernah hampir terlempar dari atap pondok.
           Ketika itu musim hujan dan atap bocor. Saat aku akan naik ke atap, hujan sudah lama reda dan angin sangat tenang. Mengira cuaca cukup bersahabat, aku pun segera naik membetulkan atap dan sejenak terpukau dengan pemandangan yang menghampar di hadapanku. Lautan biru berpadu dengan bentangan hijau persawahan. Sementara itu, di halaman pondok hamparan bunga-bunga lalang putih keperakan tertiup angin, bagai awan di langit siang.
         “Hati-hati, Mas! Di atas angin kencang!” teriak Lia memperingatiku. Namun terlambat. Saat sedang asyik membetulkan atap sembari menikmati pesona alam yang begitu memukau, mendadak angin kencang datang dari arah pantai, menerbangkan sebagian atap jerami, dan membuat tubuhku oleng. Lia menjerit ngeri. Aku berjuang menjaga keseimbangan dan berusaha berpegangan pada bambu-bambu kerangka atap. Beberapa detik kemudian angin kembali tenang, namun jantungku seakan berhenti berdegup. Aku bergegas turun, cemas terjadi malapetaka susulan.
          “Sudah kubilang hati-hati, masih juga bandel!” gerutu Lia. Aku hanya bisa cengar-cengir bagai bocah nakal yang dimarahi ibunya. Pekerjaan membetulkan atap terpaksa kutunda sampai cuaca benar-benar tenang.
          Pondok itu dibangun di tanah bekas sawah kakekku. Karena sekian tahun tidak mendapat jatah air, tanah yang lumayan luas itu akhirnya tidak terawat, penuh semak belukar dan padang alang-alang yang sangat memesona ketika musim berbunga. Sungai mati yang mengelilingi tanah itu juga banyak ditumbuhi pohon pisang, belukar dan alang-alang.
         Setiap malam tiba, dari arah kali mati yang konon angker itu, bermunculan suara-suara serangga, burung malam, kodok, desis ular, peri-peri kali dengan nyanyian yang samar, dan suara-suara aneh lainnya. Dan, biasanya, ketika kami menginap di pondok, Lia akan mendekapku erat-erat. Wajahnya yang lembut disembunyikannya di antara lengan dan dadaku. Dia begitu ngeri dan ketakutan mendengar suara-suara aneh yang berhembus dari kali mati.
         Pondok itu bergaya rumah panggung. Ada tangga bambu yang menghubungkan lantai dasar yang diplester semen ala kadarnya dengan lantai atas yang disusun dari bilah-bilah bambu sangat rapat. Lantai atas yang terdiri dari dua bilik, kamar tidur dan beranda, kulapisi dengan karpet tebal agar nyaman.
         Kamar tidur? Bagiku, kamar itu jauh dari layak kalau disebut kamar tidur. Setiap malam ketika hujan lebat mendadak menyerang, aku harus susah payah berjuang menampung air hujan yang tidak tahu diri menerobos atap jerami dan membasahi kasurku. Memahami keterbatasan pondokku, aku memutuskan tidak sepenuhnya menetap di pondok sambil berladang, seperti yang pernah kucita-citakan. Aku hanya menggunakan pondok sebagai tempat singgah atau berlibur ketika sumpek di rumah. Ya, semacam villa sangat-sangat sederhana, tempat berproses kreatif sembari melepas penat.
       Maka, kamar tidurku di pondok hanya berisi hal-hal yang aku anggap perlu saja, seperti: buku-buku yang akan kubaca; mesin tik dan kertas-kertas, sebagian berisi puisi-puisi dan cerita-cerita yang belum tuntas; kanvas dan cat-cat akrilik yang akan kuterjang kalau gila melukisku kumat; sebuah radio transistor yang suka melantunkan lagu-lagu melankolis; lampu senter besar dan lampu badai, sebab tak ada listrik di pondokku; lima air mineral dalam botol plastik besar dan beberapa bungkus roti lapis selai nenas, sebab aku malas masak meski ada kompor dan peralatan masak lainnya; kopi, gula, teh, kadang-kadang juga arak Bali dan air panas dalam termos; kasur, bantal, guling, sarung pantai dan selimut; sarung pengaman bila Lia merayu dengan tubuhnya yang bagai gading; dan tak lupa klewang, senapan angin lengkap dengan mimisnya, sabit dan pipa besi untuk berjaga-jaga dan membela diri bila terjadi sesuatu yang membahayakan kami. 
         Dengan semua peralatan dan ransum yang aku anggap perlu itu, aku merasa pondokku menjelma istana yang indah dan lengkap dengan benteng-bentengnya yang kokoh, meski sesekali aku diganggu air hujan yang menerobos atap. 
          Dan, ehm, sebuah beranda! Dari beranda aku bisa menatap laut di pagi hari, di siang hari, di senja hari, atau kapan saja aku mau. Beranda yang romantis itu akan semakin berkilau kalau Lia ada di sisiku. Bersama menikmati pukau laut sambil sesekali saling belit dan berpagutan, seperti sepasang ular di rimbun semak. Aku suka menikmati laut yang begitu sempurna dan penuh pesona menelanjangi dirinya, bagai Lia yang perlahan melucuti busananya, penuh ritual tak terlupakan.
         Dari beranda aku suka menikmati angin pantai yang mengantar aroma garam yang menyelimuti pondok, bercampur-baur dengan parfum mawar kesukaan Lia yang seringkali menggetarkan naluri purbaku. Biasanya malam yang ranum akan tiba dari arah laut. Bulan yang penuh senyum akan melirik malu-malu ke arah kami, yang bergulat dan bergulingan di atas karpet bagai bocah bandel. Hanya angin sepoi membungkus tubuh kami yang polos. Dan hamparan bunga lalang diam-diam saling berbisik, seakan takut mengganggu sepasang kekasih yang tertatih menggapai puncak penuh nikmat.
        Meski sering mengeluh tidak enak badan, namun Lia rajin mampir ke pondok. Namun, kalau datang ngambeknya, aku harus berjuang mati-matian, merayunya agar sudi menikmati aroma laut dan cahaya bulan di malam-malam hangat, tentu dari beranda pondok yang romantis itu.
       Biasanya ketika mampir ke pondok, setiap senja Lia memiliki keasyikan yang tidak boleh diganggu. Menyirami tanaman jambu dan mangga yang baru beberapa bulan kutanam. Memeriksa bunga-bunga mawar di depan pondok, memangkas daun yang tua, mencukur tangkai yang terlalu tinggi, memberi minum bunga-bunga merah merekah itu. Atau seringkali hanya menatap sendu kepada bunga-bunga itu, seakan mengajaknya bercakap-cakap.
         Ada sebuah sumur dekat dapur yang dibuat bersamaan dengan pembangunan pondok. Dan setiap sore, aku menimba air sembari fitness gratis. Mengangkat ember besar yang penuh berisi air dan menaruhnya di samping kaki Lia yang segera menciduk air dalam ember, memberi minum bunga-bunga mawar kesayangannya yang nampak begitu kehausan. Sungguh ritual yang membahagiakan bagi sepasang kekasih seperti kami.
          Seringkali ketika kawan-kawanku latihan teater di pondok, Lia dengan sabar memasak air panas, menanak nasi, atau merebus ketela, singkong, jagung yang dipetik dari halaman pondok. Tak lupa juga dia mengolah daun ubi menjadi sayur urap yang sungguh lezat, apalagi kalau dimakan sehabis latihan teater. Biasanya, setelah semuanya siap santap, Lia memberi aba-aba pada kami yang sedang asyik latihan gerak tubuh. Persis seperti ibu yang sabar memanggil anak-anaknya dari keasyikan bermain-main di halaman. Seketika itu juga dengan tubuh masih berkeringat, tanpa cuci tangan kami berebutan menyantap hidangan sederhana tersebut. Kami hanya tersenyum bandel atau melontarkan gurauan ketika Lia memelototi tangan kami.
         Ya. Pondok bambu itu telah menjelma pondok kenangan. Di pondok itu, cinta kami yang putih keperakan merekah seperti bunga-bunga lalang. Di pondok itu deru laut dan desau angin sawah menyemai mimpi-mimpi kami. Hingga tiba angin badai sekejam takdir, menghempaskan, memporakporandakan dan menghancurkan mimpi-mimpi itu.

***

        Genap sembilan purnama. Aku menyadari bahwa kekasihku tidak lagi hidup di alam manusia. Kakek sering bercerita bahwa kali mati yang mengelilingi pondok sebenarnya sejak lama dikenal sebagai kerajaan mahluk halus. Cerita Kakek diperkuat lagi oleh obrolan ngarol-ngidul para penambang pasir yang tinggal berdekatan dengan pondok.
         Kakek beberapa kali mendapat laporan dari para penambang pasir kalau aku suka bicara sendiri sambil menatap kali mati. Ada-ada saja para penambang pasir itu! Padahal seingatku, di atas tebing kali mati itu memang aku pernah latihan vokal dan menghafal dialog naskah drama dengan berbisik sehingga dari kejauhan kelihatan seperti komat-kamit.
      “Jangan bercanda, Kek! Lia itu kekasihku, aku mengenalnya luar-dalam!” protesku pada Kakek yang percaya bahwa Lia adalah jelmaan mahluk halus.
      “Matamu telah dikelabuinya! Apa kau tidak memperhatikan, perempuan itu tidak memiliki cekungan di antara bibir dan hidungnya? Cekungan itulah yang membedakan manusia dengan mahluk halus!”
       Apa, iya? Selama ini aku memang tidak begitu memperhatikan cekungan seperti yang dimaksud Kakek. Bahkan ketika kami bercumbu pun aku tidak terlalu peduli dengan tanda yang membedakan manusia dengan mahluk halus itu. Tapi anehnya, selama Lia menjadi kekasihku, mengapa aku tidak berniat menanyai asal-usulnya?
      Ketika pondok itu dibangun, perempuan itu tiba-tiba saja datang entah dari mana, menyaksikan kami yang sedang asyik bekerja. Karena terpesona oleh parasnya yang anggun dengan rambut panjang terurai, aku pun tertarik mendekatinya. Dia kemudian memperkenalkan namanya: Lia. Bahkan, seingatku, tukang-tukang yang kuupah membangun pondok itu pun tidak begitu mempedulikan  kami yang asyik bercakap-cakap. Aneh, apa mata tukang-tukang itu sudah rabun sehingga tidak mampu memperhatikan perempuan anggun itu.
        “Kamu telah dipukau oleh sihirnya!” ujar Kakek.
“Aneh!”
       “Di dunia ini tidak ada yang aneh. Apa pun bisa terjadi! Saat bulan purnama nanti kau harus diruwat agar pengaruh sihir mahluk halus itu sirna…!”

***

       Aku terbangun. Keringat dingin membasahi dahi. Di dinding kamar masih tergantung potret Lia dengan latar bunga-bunga lalang yang merunduk ditiup angin. Lia nampak anggun dan begitu murni dengan rambutnya yang lepas terurai. Sungguh, waktu melaju begitu tergesa. Lia pergi. Pondok itu telah lama kami tinggalkan.
       Didesak keinginan meratapi kenangan, aku berkunjung ke pondok. Memang, tidak ada lagi sisa kemesraan, hanya onggokan kenangan membusuk di sana-sini. Belukar seakan berkuasa. Alang-alang tumbuh semakin ganas dan tinggi dan menjadi sarang yang nyaman untuk bercinta bagi pasangan ular. Sumur kotor dan berbau. Pohon jambu dan mangga yang susah payah kutanam kini tumbuh liar tidak terawat. Pun tanaman bunga mawar kesayangan Lia, begitu menderita dan merana, seakan merindukan belai lembut tangannya.
        Yang sangat menyedihkan hatiku: pondok itu telah ambruk. Rupanya pilar-pilar kayunya telah lama menjadi sarang kawanan rayap. Waktu yang kejam telah menggerogotinya perlahan-lahan. Aku hanya mampu termangu di hadapan pondok yang tak berbentuk lagi. Dengan perasaan remuk aku meratapi pondok yang pernah memeram hangat segala kenangan kami.
         Lia tidak lagi hidup di alam manusia. Dia meninggal sembilan bulan lalu karena kanker darah yang menggerogoti tubuhnya. Hanya tiga bulan kami merajut kenangan di pondok. Kini, hanya bunga-bunga lalang yang mampu memahami kepedihanku.
      Perlahan senja membuka jubah malam. Dari arah kali mati, samar-samar kudengar suara, memanggil-manggil namaku.***


Sanur, 2002


(Bali Post, 26 September 2004)

No comments:

Post a Comment