Labels

Thursday 20 October 2011

Puisi-puisi 2002

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Pijar Duka


pada matamu muram
waktu tiba-tiba padam

parasmu. parasmu
di biru laut. di biru langit
di biru jiwaku
tuntas sudah abu

bulan terpukau
pada suara duka
yang meracau
di telaga matamu

kerling
hening

parasmu. parasmu
usia yang harum bunga pandan
larik-larik sajakku luruh
dari kelam merajam subuh

pijar duka
bertahanlah dalam bara
karena  kau hanya
unggunan api yang fana


2002

  
Burung Usiran


seperti burung usiran
aku hinggap di ranting pohon
               di halaman purimu

beribu musim dari negeri-negeri jauh
kembali ke dalam diriku
apakah angin yang memeram nafasku
                                hingga bergaram

beribu pohon yang meranggas kuhinggapi
demi kecintaan pada tanah kelahiran

pohon di halaman purimu begitu teduh
ijinkan aku menganyam sarang
dengan keluh dan resah perjalanan
hingga aku merasa nyaman
mengeram masa silam


2002

                 Ibu Bali


rambutmu menguapkan wangi dupa
beribu-ribu upacara lahir dari jemarimu
yang letih dan kisut
kau pelihara leluhur dan dewa-dewa
dengan kesabaran tak terperikan

tuhan mencintaimu
melebihi cintanya pada lelaki

pada letih wajahmu
o, ibu bali
rahasia nirwana terbuka
dan tak seorang pun
mampu membacanya
kecuali kesabaranmu
memelihara kehidupan
di telapak kakimu


2002

  
Matahari Kita Sama


matahari itu bukan milik siapa-siapa
cahayanya senantiasa menerangi jiwa siapa saja
tak peduli kau brahmana, ksatria, waisya, sudra
bahkan paria sekalipun
matahari itu menerangi jiwa semua kasta

jangan pernah merasa sakti
karena kau kasta tinggi
aku kasta rendah
saat upacara ngaben tiba
tubuh kita sama-sama luruh
tinggal abu

dan ruh
akan menuju matahari yang sama
yang ribuan tahun
telah dipuja para pengembara


2002


 Hanya Bayang Usang


hanya bayang usang
yang limbung
pada setapak jalan
menuju ceruk biru matamu

aku seperti menemu suatu rupa
mungkin saudara kembar
yang kembali bermuka-muka
pada bayang reranting kersen di air

kembalilah duka
kembalilah duka
kucuplah luka
yang nganga
pada jiwa kita


2002


 Cahaya Senja


percayakah kau pada cahaya senja
yang perlahan lindap jadi muram 
lunglai dalam sepi yang kelam

mimpi adalah jeruji waktu
yang mengurung kita pada fana

kembang lalang perlahan kering
pada kerling matamu
cahaya senja menjalar dari tepi ke tepi
sunyimu dan sunyiku


2002


 Malam Karam


di mana kau simpan mata air itu
yang mengalir dari arus waktu
malam telah karam
dalam panas tubuhmu
aku tidak pernah paham kata kasih
karena maut berkali-kali menghianatiku

                 o, langit tak berbulan
                 masihkah puisi dipercaya
sebagai jalan menuju nabi

aku akan berlabuh
perahu terlalu letih
mengubur tubuhku
di pasir hitam pantai itu


2002

  
Pesisir Buleleng


beribu helai puisi
telah dilipat anak-anak pantai
menjadi perahu kertas
yang penuh damai melayari lautmu

di dermaga tua yang setia
kau kandaskan tongkang-tongkang asing
dalam hak tawan karang
mekar kembali mimpi-mimpi nelayan
yang berjuang dengan jukung
berpasrah di tengah angin puting-beliung
                         di pesisir buleleng

namun mengapa laut menolak tubuhmu
seperti kuburan menolak mayatku
justru di tanah kelahiran sendiri
apakah kita pembawa petaka
atau pemberontak yang harus disiksa
karena melanggar titah bedebah

leluhur kembali menggelar
upacara kawin laut
agar tubuh nirmala
dan ruh kembali hening
seperti kidung
dari buluh seruling


2002

  
Requiem 


mengapa harus ruhku
menuju ruhmu

kau ternganga di tepi cadas
memandang cemas
                        pada burung burung
yang mematahkan sayapnya di udara

pada pusaran warna
adakah kau temukan keabadian

         maut lekat
         pada mata
         pisau palet

                   teriaklah lantang
pilu melolong
seperti anjing
tersihir bulan telanjang

kutemukan kau
            pada tekstur cadas
menceburkan diri
                         dari jeram

                   kau meresap ke rekah batu
               tidur seperti batu
bercinta dengan batu
                 mati dalam batu

mengapa harus ruhku
menuju ruhmu

kembali pada diri
aku hablur dirajam mimpi
mengutuki diri
                mensyukuri diri


2002

Artupudnis


sepasang kijang hilang
di lengang ilalang

gerimis tandas
jadi kata kata
mengalir deras
pada puisi terakhirmu

diam diam
kau menjelma bunga
dikawinkan lebah madu
saat kau meneliti jejak
yang mengerak
di kulit kayu
pohon pohon bakau
yang ranggas dedaunnya

sanur adalah palung masa lalu
bagi si penyu hijau
              dan hiu bermata biru

aku terkenang pengembara
yang suka menyapa tukang jukung
dengan sajak anak anak ombak

kau pun kabur
alur alur puisimu
tak selesai kau tabur
waktu yang uzur
mendekam di situ


2002



      Di Tepi Tamblingan
      

setelah halimun
parasmu pupus
di pias danau

bara pada unggun kayu
masih sisakan birahi semalam
namun canda perkemahan
nyurutkan darah
yang ngalir deras ke urat malu

di pias danau
apa yang gagu
selain waktu
yang nunggu
kepulanganmu

pagi itu, embun di pucuk pakis, benalu,
anggrek bulan, cemara dan danau
menduga telah terjadi sekutu
antara kau dan aku

lalu dari bongkah kerak kayu
kau ulurkan kenangan layu

"kayu itu suatu waktu
akan jadi perahu
yang mengantar ruhmu
ke tengah danau,"
                                          bisik nelayan tua itu

namun parasmu
telah pupus
sebelum mengaduh danau
setelah halimun
bergulung turun

pengayuh perahu tiba
menjenguk cemas kita
tanpa suara
ia menuntunmu
ke atas perahu
lalu mengayuhnya
makin jauh
                        makin jauh…
entah tiba
di mana

2002


Taman Laut 


kita tak pernah mampu
menduga kalbu laut

pada warna biru itu
kita mengaca
adakah sesuatu
tersembunyi
di situ

laut adalah ibu
tempat kita sekali waktu mengadu
pada kelembutannya
ada sesuatu yang menghunjam kalbu

aku tak pernah tahu
mengapa bayangmu selalu
muncul di situ
mungkin, kau lebih fasih
menggurat aksara di pasir
menggambar wajah kita
yang tidak saling mengerti

menduga yang tak terduga
adalah riskan

pada parasmu
aku seperti menemu
masa lalu yang kembali menjelma

tapi tak mampu aku
mengabarkan itu pada angin
yang memainkan pasir pasir

aku hanya tahu
ada saat surut menjauh
seperti ucapmu


2002


Larik Ombak


selarik ombak
tertulis di anjungan
mengabarkan wajahmu
                    yang hijau
          digerus air garam

beribu tahun lampau
mungkin kau putri duyung
atau peri air penipu
                  yang suka menjebak
                          dan membujuk
pelaut pelaut muda yang mabuk
      wangi mawar laut di geladak

pelaut muda itu mungkin aku
yang tiba di anjungan dengan perahu
dan layar robek
                                tercabik angin garam
yang berseru pada senja dan cuaca kelabu:
                                       daratan! daratan!
                
aku merasakan daratan. melihat kerajaan
dan kau putri duyung yang menunggu
di atas singgasana mutiara
                    pada ranum bibirmu,
        tiram tiram mengulum kelam
hiu hiu bermata biru saling terkam
                 ikan ikan cahaya padam

menggigil dan gemetar
aku menunggu titah
penghabisan
di kerajaan bawah laut
                
kini di anjungan
selarik ombak tertulis
bau amis
dan air garam
menggerus biru
tubuhmu

                
2002


No comments:

Post a Comment