Denpasar
denpasar, kota yang lahir
dari belukar
adalah akar
yang menjalar
di urat-urat nadimu
tertatih menahan perih
usia yang hijau
kau memburu bayang ibu
yang raib di ufuk barat
di senja penghabisan kata
saat bocah, jernih matamu
tak habis mereguk
cahya purnama
membayangkan sosok ibu
merenda kebaya di situ
namun, kau selalu
berseteru dengan waktu
sayup-sayup tangis ibu
menggema dalam darahmu
kini, waktu menjelma ibu
kau menjadi sekutu
hari-harimu yang ragu
denpasar, kota yang menyusu
pada perempuan-perempuan jelata,
ibu-ibu penjaja sayur di pasar
nanar menatap kepergianmu
tanpa pamit pada leluhur...
PRAHA
-
untuk: m.n. -
di praha, katamu, cuaca seperti
senyum sesosok ibu di tepi mimpi
yang berbagi dengan pagi
dan seremah roti tak beragi
kota bermantel bulu
ketika tiba musim salju
orang-orang mengenakan sweter
bermain gitar di muka tungku
di sudut apartemen sederhana
sekarung gandum mesti siaga
setermos susu panas di meja makan
dan cawan-cawan anggur berdentingan
ketika malam kian menggigilkan
tiang-tiang telepon
dan lampu-lampu kota
di jalan-jalan yang mengigau
gelandangan seperti burung gereja tua
yang patah
sayap
salju selembut kapas
tiba-tiba bisa jadi bringas
melumat sumsum hingga tandas
namun, praha adalah praha
di mana waktu yang kelu
alpa akan janji setia
lubang kunci berkarat
pagi mendadak sekarat
dan kau tak mesti kembali
pada mimpi...
(Januari 2010)
Semarapura
semarapura, kota yang hampir paripurna
dalam serbuk mesiu
kota yang diberkati taman kertaghosa
di mana raja suka cengkerama
dengan bunga padma di telaga
membayangkan wajah langit
yang makin tua
berhias lukisan-lukisan karma
hari-hari lindap senja
sejauh teduh pohon kenanga
saat kau tiba membawa jiwa separah luka
mengusik ketenteraman istana
kau temukan hanya igau
para pinisepuh
yang sia-sia merunut silsilah
dan sejarah
kelahiranmu...
namun, semarapura
sejatinya bapa
darimana kau bermula
(27 Januari 2010)
Barongsai
- untuk: gus dur -
di nisanmu
yang masih basah airmata
kuhaturkan kue-kue siu-tho, siu-ku
yang diolah oleh tangan ibuku
sebagai terima kasih
dan salam takzim
dari darah tionghoa
kunyalakan hio harum untuk ruhmu
telah kau lepaskan barongsai itu
meliuk-liuk dan melenggang
di remang petang
ketika petasan dan kembang api
memberi warna-warni pada langit
berpuluh-puluh tahun serasa kelu
barongsai itu terbelenggu
tak mampu berontak
apalagi menari atau berlagu
untuk diri sendiri
menjadi yatim piatu
dalam kesepian maha panjang
hingga kau datang
serupa tangan kasih Dewi Koan Im
di malam sing
chi san
shio kerbau
barongsai itu menarikan duka
burung-burung bangau terharu
mengantar ruhmu
ke alam nirwana...
(Karangasem, Bali, Januari 2010)
Puisi
dan Pagi
berapa inci
jarak puisi dan pagi?
kau berdebar
mengukur
dan menakar
waktu yang nglindur
di trotoar
kota kita
yang makin fana
tak ada makna
apalagi sabda
segala kata
telah membuka mata
berapa inci
jarak pagi dan mati?
(Karangasem, Bali, Februari 2010)
Demi
Bayangmu
demi bayangmu yang begitu lekat
entah puisi apa mampu kugurat
saat senja tiba tertatih di berandamu
iringi langkah-langkah letihku
ceritakan apa yang jadi galaumu
ingin raih aksara demi aksara
tepi-tepi mimpi kelabumu
risau serupa halimun di danau
anginkah yang menerka segala peristiwa?
nujuman apa merasuki langkahmu
ingin jadi penyair ketika segala aksara
raib di hingar bingar mayapada
malam begitu terburu kelam
aku pun sirna di jelita matamu
lalu ‘kan tiba matahari baru
angankan puisi sejatimu
(Karangasem, Bali, Februari 2010)
Anjing
Jalanan
-untuk:
saut situmorang-
anjing jalanan kurus kurapan itu, saut
setia menjaga tanah dewata
dari mimpi nglindur penyair urban
yang rabun
membaca tanda jaman
anjing kurap kudisan itu,
yang tertatih-tatih meniti puisimu
mungkin jelmaan dewa dharma
yang menuntun yudistira
ke gapura nirwana
saut, rambut kusutmu nyangkut
di rimbun jembut malam
saat kau mabuk bir
di ujung-ujung gang
pesing kota denpasar
sekali waktu
di tepi pantai sanur
kau ngoceh tentang rembulan
yang berpendaran di meja restauran
kau gumamkan balada kaum jelata
seraya tanganmu tersengal-sengal
melucuti kain yang membalut
tubuh molek drupadi
saut, dari mana
dan ke mana
darah membuncah
saat luka tertoreh
di jiwa kita
di sukma kata...
(Karangasem, Bali, Februari 2010)
Sebutir Telur Matang
malam itu,
bulan yang jelita
bercermin
di hamparan kubangan
lumpur lapindo
tak terasa airmatanya
menitik tiba-tiba
menyaksikan sebutir telur
perlahan matang
di bekas atap rumah kami
yang kini jadi hamparan lumpur...
-untuk: pelukis Gede Gunada-
tiba juga kau di situ
di kawasan rawan
yang diliputi halimun
hamparan gambarmu dipenuhi
bunga impian, doa-doa yang rekah
warna-warni yang sumringah
garis-garis di tapak tanganmu
berkelindan hingga
ke
batas-batas paling rahasia
dari tilas-tilas perjalanan
aku masih di sini,
di dangau yang tak tersentuh cahaya
setia mengasah kata demi kata
membaca tanda di langit malam
mengukur umur di ufuk fajar
mendedah makna
bagi perburuanku
suatu waktu
semesta ‘kan merestui
pendakian kita
menggapai puncak
paling kemilau
dari karma...
(Karangasem, Bali, 21 Maret 2010)
Malam-malam
Pelayaranku
desau igaumu mengiringi malam-malam
pelayaranku
isyarat yang pucat, gurat-gurat yang layu
angan yang liar, ingin yang kuyu
namun semua bermula dari kata demi kata
cuaca penuh rahasia
umpama lautan tak terbaca
nahkoda di geladak perahu
oleng, mabuk kepayang pelayaran
nujuman peri-peri penipu
gagu meraba arah kata
pada akhirnya kau melampaui
rahasia yang diperam angin garam
arah makin samar, peta buram
memudar serupa buih lautan
entah pelabuhan mana mesti disinggahi
silau cahya senja telah menyepuh buritan
walau masih mampu kuterka
angan yang mengantarmu,
riuh camar yang sekejap sirna
iringi pelayaranku, malam-malam penuh igau
(Karangasem, Bali, 31 Maret 2010)
Puisi untuk N.
nelangsa apa yang kau rasa
inginkan seteguk puisi dari semesta
nujuman yang samar, menuntun jiwamu
iringi setapak
langkahku
namun kau gagu di simpang jalanmu
wilayah yang rawan kau susuri
igau demi igau mengganggu tidurmu
jangan pernah tanya, apa makna kita bersama
angan dan ingin telah membuka rahasia
yang ribuan waktu terkunci dalam gua diri
akankah kau senantiasa mesra
nujuman pertapa tua dan genta suci
terasa gemanya merasuki sanubari
hablur perlahan dari mantra ke mantra
igau dan ilusi pun tandas, paripurna....
(Amlapura, April-Mei 2010)
Jalan Derita, Seteguk Doa, Sekelumit Harapan...
-untuk: Radhar Panca Dahana-
risau itu telah lesap dalam
aliran darahmu, menyatu
dalam keikhlasan, menerima segala batu takdir
hingga menjadi pasti apa yang mesti dinanti
apalah kita, selain hanya debu yang ragu, atau
risalah yang tak habis ditulis, tak puas terbaca
pelitakah yang menuntunmu bertahan dalam kelam
atau secercah cahaya dari semesta?
nafiri telah ditabuh di kejauhan
celah indah kegaiban melingkupimu
antara ada dan tiada dalam kesunyataan
deritamu seperti paripurna, serupa sisypus
angin pun tak mampu meniup kabut di puncak
bukit
hanya embun yang coba bertahan di kelopak bunga
apalah kita, yang selalu berupaya sekemilau
kata puisi
namun, telah kau temukan kesejatian
antara jalan derita, seteguk doa, sekelumit
harapan...
(Karangasem, Bali, 5 April 2010)
Cahaya Sabitah
ibarat langit malam, kau secercah cahaya sabitah
namamu dan namaku tergurat di hampar semesta
darimana kita bermula, dan
kembali tiba
angin yang berdesir di rimbun mawar
hanya samaran rahasia yang sampai padamu
serupa apa kau tatah aku, menjadi arca dewa di
jiwamu
entah berapa musim mengarungi sunyata
paripurna dalam keheningan semadi
teratai di telaga mekar di malam suci
ilahi menyemai cahaya cinta di hati kita
akankah perjamuan itu jadi nyata?
nujuman demi nujuman telah kita susuri
ibarat
irama yang tiba menyusun nada
sesaji telah dipersembahkan di malam purnama
angin membisikkan suatu janji
nada di nadiku bergetar membayangkanmu tiba
terasa hari-hari dihiasi beribu bianglala
ombak demi ombak kebahagiaan membuncah dalam
jiwaku
siapa mampu menduga, rahasia yang dibawa
semesta
oleh-oleh kelahiran lampau, ‘kan sampai pada kita
Karangasem, Bali, 18 Mei 2010
SITUS
BATU BEDIL
di Tanggamus, aku menemukanmu
o, saudara masa lalu
yang
lahir kembali
di kebun-kebun kopi
siapa menujum ruhmu
berserakan jadi bongkah-bongkah batu
tumbuh di ladang-ladang hijau kaum tani
jangan tanya aku dari mana
aku hanya pasasir
yang mampir
setelah beratus-ratus tahun terlunta
di setapak jalan yang tak kupahami
kini, aku menemukanmu
meski yang menyapaku
hanya tumpukan batu
dolmen, monolit, menhir,
lumpang, lesung dan beliung
aku merindukanmu,
wahai bayang yang hilang
adakah kau sembunyi di kebun-kebun kopi
atau merasuk ke lembah-lembah keramat
yang dihuni danyang dan memedi?
kupungut sebutir batu
sekilas ingatan menyelami masa silam
o, beliung itu masih tersimpan rapi
dalam sarkopagus, bersama manik-manik,
serpih-serpih tembikar, jimat dan mantra
menemani belulangku yang kian rapuh
berapa darah hewan buruan tumpah di situ
berapa umbi lumat dan tandas
o, beliung yang begitu memukau,
perkakas terakhirku yang
setia
warna-warni bianglala
membias di dingin tubuhnya
dan melintas jua parasmu, Ibu
gajah dan kerbau dari batu
yang kutatah untukmu
menggigil dalam cuaca dinihari
halimun menyungkupi sukmaku
kenangan demi kenangan membuncah
aksara-aksara menjelma di bongkah batu :
namo bhagawate...
(2010)
-kado ke-35 untuk
diriku-
malam getas
berkas-berkas tak tuntas
begitu saja tertulis
gerimis
menyisakan tilas
yang miris
di kaca jendela
di keheningan rahim
kau menggeliat
kau hampir ranum
semesta merayakan kelahiranmu
dari waktu ke waktu memberimu
berkah demi berkah
namun, tanpa kau sadari
selalu ada yang hilang dari dirimu
diam-diam
kembali ke mula asal
tak ada yang paham
kawasan rawan
di sebalik gugusan jiwamu
yang retak
terlalu lama kau menunggu
nujuman yang tak tentu
hanya sabda
letih menyusun makna
sebaiknya lupakan saja
bayangan yang menggoda
malam-malammu
sehampar samudera
membentang di dalam jiwamu
penuh pusaran tak terduga
menyesatkan perahu-perahu yang ragu
sebab arah pelayaran tak terbaca
tak perlu disesali
waktu akan selalu tahu
kemana pun kau pergi
mungkin puisi masih setia
menemani langkahmu
menyusuri lorong-lorong terkelam
dari perjalanan hidupmu
kilau cahaya tertegun
menyapamu di ujung kata
yang kau guratkan
di kertas terakhirmu
derita akan selalu tiba
membawa hikmahnya
mungkin, belum cukup sempurna
kau ditempa
untuk memahami cinta
yang menghampiri jiwamu
sudahkah kau berdamai dengan dirimu?
masihkah kau buncah-buncahkan nestapa
ke jalan-jalan jelata kota
hingga igau demi igaumu melata
bersama remuknya impian
yang menguap dalam aroma arak api
mungkin tak ada lagi yang peduli
kau telah ditakdirkan menggumuli sepi
bahkan mawar-mawar di belukar
tak lagi menoleh ke arahmu
meski wanginya masih melekati jiwamu
apa lagi yang kau banggakan
selain kata-kata usang
yang mengering
di kertas-kertas kusammu
seorang tua menembang
pupuh asmarandana
membawamu ke awang-awang
kenang demi kenang
membujukmu kembali datang
menjadi petualang
sekaligus pecundang
ah, kau, si pelamun dungu
pecandu laknat kata-kata
pengigau perayu malam
apa lagi impianmu?
istana yang anggun?
permaisuri yang setia?
permainan cinta memabukkan?
keriangan semu beraroma arak api?
keheningan purbani?
meditasi di dalam puisi?
atau, apa?
mereka berceloteh tentang dirimu
mereka menyeru namamu
mereka memberimu petuah-petuah
yang tak pernah kau tadah
kau yang diberkati
sekaligus dikutuk oleh kedunguanmu
kau yang ditinggalkan bayanganmu sendiri
kau yang dihantui darah-dagingmu sendiri
kau yang melaknati dirimu
bersekutu dengan kegaiban batu-batu
berseteru dengan cahaya ilahi
detik demi detik menakikmu
menit demi menit menyayatmu
jam demi jam merajammu
hari demi hari mengulitimu
minggu demi minggu menumbukmu
bulan demi bulan menelanmu
tahun demi tahun menimbunmu
beratus-ratus tahun
dari kelahiran ke kelahiran
doa dan dosa saling terkam
dalam sukmamu
peri-peri kecil tersedu
menyaksikanmu terlunta
di belantara asing
malaikat buta
mengulurkan tangan ke arahmu
tapi kau lebih suka
berkawan dengan danyang dan memedi
di ujung malam
kau melolong seperti serigala
didera kepiluan demi kepiluan
tak ada yang tahu
lapisan terdalam tubuhmu
ditumbuhi berpuluh anak panah
tak ada yang peduli
hatimu dipatuki burung-burung gagak
dari lembah terkelam kematian
kau hanya bisa melolong
namun suaramu membentur dinding cadas
gemanya menerpa sukmamu
kau coba sembunyi
di ceruk tergelap dirimu
meringkuk seperti anjing luka
yang terusir
percayalah,
kau sedang melunasi
karma demi karmamu
karma yang tertatah
di bilah-bilah lontar
yang dituturkan leluhurmu
cakupkan tanganmu
pejamkan matamu
rasakan ubun-ubunmu menyala
seret langkahmu
sejauh kau mampu
suatu waktu
kau ‘kan tiba
di kerajaanKu
(Denpasar,
22 Juni – Amlapura, 27 September 2010)
Interlude Perjalanan
kita melaju
searah jalanan yang kian mendebarkan
gerimis tak lagi dingin
bara cinta masih menghangati jiwa
meski tak sepenuhnya kita pahami
Gunung Agung menerka setiap detak di nadi
mengurai detik demi detik yang telah lewat
dewa-dewi terlelap di lipatan selimut kabut
gemuruh laut Tulamben
seperti menggumamkan asmarandana
kita melaju
karang-karang lahar beku
dan pepohonan hijau
begitu sumringah
hari yang lelah
kini merekah
namun,
entah tiba dimana kita
kekasih, apa yang kau lamunkan?
mungkin, jalan yang kita tempuh
tak semudah waktu dulu
mungkin, jalanan ini
akan bermuara di hati yang kelu
ah, kau yang melamun,
uap garam membelai hitam rambutmu
pucuk-pucuk ilalang riang
menerbangkan bunga-bunga putihnya
namun, kau selalu merasa
kehilangan separuh hatimu
ada saat kita mesti rela
membuka jiwa
menerima rahasia semesta
ikhlas melepas
segala yang telah jadi tilas
sejauh perjalanan
mungkin tak terhitung
berapa tikungan telah kita lewati
berapa debar masih tersisa
berapa lubang telah buat kita oleng
berapa tanjakan bikin kita mengeluh
terkadang menjerit gemas
melepas hasrat yang mencemaskan
saat menuruni lembah curam
yang begitu rawan...begitu rawan...
ah, jalanan ini
telah menjebak kita
memeram kisah demi kisah
kenang sepanjang kenang
(Karangasem-Buleleng PP, 10 Oktober 2010)
Ubud, Gerimis Menyapa...
si pemabuk itu kembali
menyusuri jalan yang sama
kini gerimis menyapanya
lebih ramah
layaknya saudara
yang lama berpisah
mungkin, gerimis rindu padanya
rindu celoteh dan igau-igau
yang membungkam malam
sebelum dia sendiri tersungkur
dihajar oleh mimpu-mimpinya
pernah suatu waktu
sembari kencing di lorong-lorong Ubud
dia mengutuki tiang-tiang listrik
dan lampu-lampu kafe
yang mencibirnya sinis
“kembalikan cahaya kunang-kunang padaku!”
teriaknya pada cahaya lampu kafe,
yang makin malam makin genit menyapa turis
terhuyung dia melangkah
menyusuri jalan yang sama,
jalan yang pernah mencegatnya
dari cinta pertama
jalan yang dulu hanya pematang sawah
jalan yang kini disesaki reklame,
hotel, ruko, dan tentu saja kafe
seorang turis perlente iseng menyapanya:
“hello, apa kau masih punya tanah,
pratima, uang kepeng, atau benda antik lainnya?
saya mau membelinya!”
belum sempat menjawab
si pemabuk tersungkur
dalam comberan yang mampet
gerimis Ubud menyelimuti tubuhnya
dengan mesra
(Ubud, 9 Oktober 2010)
No comments:
Post a Comment