Labels

Tuesday 25 October 2011

Puisi-puisi 2010

Sajak-sajak Wayan Sunarta

Denpasar


denpasar, kota yang lahir
                     dari belukar
adalah akar
                 yang menjalar
di urat-urat nadimu

tertatih menahan perih
             usia yang hijau
kau memburu bayang ibu
       yang raib di ufuk barat
di senja penghabisan kata

saat bocah, jernih matamu
tak habis mereguk
                cahya purnama
membayangkan sosok ibu
          merenda kebaya di situ

namun, kau selalu
        berseteru dengan waktu
sayup-sayup tangis ibu
       menggema dalam darahmu

kini, waktu menjelma ibu
        kau menjadi sekutu
hari-harimu yang ragu

denpasar, kota yang menyusu
pada perempuan-perempuan jelata,
      ibu-ibu penjaja sayur di pasar
nanar menatap kepergianmu
      tanpa pamit pada leluhur...


 (Denpasar, Januari 2010)


PRAHA
 - untuk: m.n. -

di praha, katamu, cuaca seperti
senyum sesosok ibu di tepi mimpi
            yang berbagi dengan pagi
dan seremah roti tak beragi

kota bermantel bulu
          ketika tiba musim salju
orang-orang mengenakan sweter
         bermain gitar di muka tungku

di sudut apartemen sederhana
          sekarung gandum mesti siaga
setermos susu panas di meja makan
dan cawan-cawan anggur berdentingan
          ketika malam kian menggigilkan
tiang-tiang telepon
                         dan lampu-lampu kota

di jalan-jalan yang mengigau
gelandangan seperti burung gereja tua
                                  yang patah sayap
salju selembut kapas
                   tiba-tiba bisa jadi bringas
melumat sumsum hingga tandas

namun, praha adalah praha
di mana waktu yang kelu
          alpa akan janji setia
lubang kunci berkarat
          pagi mendadak sekarat
dan kau tak mesti kembali
                     pada mimpi...

  
(Januari 2010)


 Semarapura


semarapura, kota yang hampir paripurna
                                dalam serbuk mesiu
kota yang diberkati taman kertaghosa
       di mana raja suka cengkerama
dengan bunga padma di telaga
       membayangkan wajah langit
                                 yang makin tua
berhias lukisan-lukisan karma

hari-hari lindap senja
sejauh teduh pohon kenanga
saat kau tiba membawa jiwa separah luka
                  mengusik ketenteraman istana

kau temukan hanya igau
para pinisepuh
yang sia-sia merunut silsilah
dan sejarah
                kelahiranmu...

namun, semarapura
sejatinya bapa
darimana kau bermula


(27 Januari 2010)


Barongsai
  - untuk: gus dur -

di nisanmu
yang masih basah airmata
kuhaturkan kue-kue siu-tho, siu-ku
        yang diolah oleh tangan ibuku
sebagai terima kasih
                     dan salam takzim
       dari darah tionghoa

kunyalakan hio harum untuk ruhmu
      telah kau lepaskan barongsai itu
meliuk-liuk dan melenggang
                            di remang petang
ketika petasan dan kembang api
memberi warna-warni pada langit

berpuluh-puluh tahun serasa kelu
             barongsai itu terbelenggu
tak mampu berontak
apalagi menari atau berlagu
                         untuk diri sendiri
menjadi yatim piatu
dalam kesepian maha panjang
        hingga kau datang
serupa tangan kasih Dewi Koan Im

di malam sing chi san
                          shio kerbau
barongsai itu menarikan duka
       burung-burung bangau terharu
mengantar ruhmu
                     ke alam nirwana...


(Karangasem, Bali, Januari 2010)



Puisi dan Pagi

berapa inci
jarak puisi dan pagi?

kau berdebar
mengukur
dan menakar
waktu yang nglindur
di trotoar
kota kita
yang makin fana

tak ada makna
apalagi sabda
segala kata
telah membuka mata

berapa inci
jarak pagi dan mati?


(Karangasem, Bali, Februari 2010)


Demi Bayangmu

demi bayangmu yang begitu lekat
         entah puisi apa mampu kugurat
saat senja tiba tertatih di berandamu
         iringi langkah-langkah letihku

ceritakan apa yang jadi galaumu
                ingin raih aksara demi aksara
tepi-tepi mimpi kelabumu
       risau serupa halimun di danau
anginkah yang menerka segala peristiwa?

nujuman apa merasuki langkahmu
ingin jadi penyair ketika segala aksara
          raib di hingar bingar mayapada
malam begitu terburu kelam
          aku pun sirna di jelita matamu
lalu ‘kan tiba matahari baru
                    angankan puisi sejatimu


(Karangasem, Bali, Februari 2010)


Anjing Jalanan
 -untuk: saut situmorang-

anjing jalanan kurus kurapan itu, saut
            setia menjaga tanah dewata
dari mimpi nglindur penyair urban
yang rabun
            membaca tanda jaman

anjing kurap kudisan itu,
yang tertatih-tatih meniti puisimu
mungkin jelmaan dewa dharma
yang menuntun yudistira
                   ke gapura nirwana

saut, rambut kusutmu nyangkut
                di rimbun jembut malam
saat kau mabuk bir
       di ujung-ujung gang
                      pesing kota denpasar

sekali waktu
di tepi pantai sanur
          kau ngoceh tentang rembulan
yang berpendaran di meja restauran
kau gumamkan balada kaum jelata
       seraya tanganmu tersengal-sengal
              melucuti kain yang membalut
                         tubuh molek drupadi

saut, dari mana
dan ke mana
darah membuncah
saat luka tertoreh
di jiwa kita
di sukma kata...


(Karangasem, Bali, Februari 2010)


  
Sebutir Telur Matang


malam itu,
bulan yang jelita
bercermin
di hamparan kubangan
lumpur lapindo

tak terasa airmatanya
menitik tiba-tiba
menyaksikan sebutir telur
perlahan matang
di bekas atap rumah kami
yang kini jadi hamparan lumpur...



Rahasia Perjalanan
-untuk: pelukis Gede Gunada-


tiba juga kau di situ
         di kawasan rawan
yang diliputi halimun

hamparan gambarmu dipenuhi
bunga impian, doa-doa yang rekah
             warna-warni yang sumringah
garis-garis di tapak tanganmu
berkelindan hingga
      ke batas-batas paling rahasia
                   dari tilas-tilas perjalanan

aku masih di sini,
di dangau yang tak tersentuh cahaya
         setia mengasah kata demi kata
membaca tanda di langit malam
         mengukur umur di ufuk fajar        
mendedah makna
                  bagi perburuanku

suatu waktu
semesta ‘kan merestui
pendakian kita
menggapai puncak
paling kemilau
dari karma...


(Karangasem, Bali, 21 Maret 2010)


Malam-malam Pelayaranku

desau igaumu mengiringi malam-malam pelayaranku
             isyarat yang pucat, gurat-gurat yang layu
angan yang liar, ingin yang kuyu
             namun semua bermula dari kata demi kata

cuaca penuh rahasia
       umpama lautan tak terbaca
nahkoda di geladak perahu
oleng, mabuk kepayang pelayaran
      nujuman peri-peri penipu
                    gagu meraba arah kata

pada akhirnya kau melampaui
rahasia yang diperam angin garam
       arah makin samar, peta buram
                 memudar serupa buih lautan
entah pelabuhan mana mesti disinggahi
silau cahya senja telah menyepuh buritan
       walau masih mampu kuterka
angan yang mengantarmu,
              riuh camar yang sekejap sirna
iringi pelayaranku, malam-malam penuh igau


(Karangasem, Bali, 31 Maret 2010)


Puisi untuk N.

 nelangsa apa yang kau rasa
        inginkan seteguk puisi dari semesta
nujuman yang samar, menuntun jiwamu
                           iringi setapak langkahku
namun kau gagu di simpang jalanmu

wilayah yang rawan kau susuri
         igau demi igau mengganggu tidurmu
jangan pernah tanya, apa makna kita bersama
        angan dan ingin telah membuka rahasia
yang ribuan waktu terkunci dalam gua diri
        akankah kau senantiasa mesra
nujuman pertapa tua dan genta suci
             terasa gemanya merasuki sanubari
hablur perlahan dari mantra ke mantra
          igau dan ilusi pun tandas, paripurna....


(Amlapura, April-Mei 2010)


Jalan Derita, Seteguk Doa, Sekelumit Harapan...
               -untuk: Radhar Panca Dahana-

risau itu telah lesap dalam
       aliran darahmu, menyatu
dalam keikhlasan, menerima segala batu takdir
             hingga menjadi pasti apa yang mesti dinanti
apalah kita, selain hanya debu yang ragu, atau
         risalah yang tak habis ditulis, tak puas terbaca

pelitakah yang menuntunmu bertahan dalam kelam
          atau secercah cahaya dari semesta?
nafiri telah ditabuh di kejauhan
         celah indah kegaiban melingkupimu
antara ada dan tiada dalam kesunyataan

deritamu seperti paripurna, serupa sisypus
angin pun tak mampu meniup kabut di puncak bukit
          hanya embun yang coba bertahan di kelopak bunga
apalah kita, yang selalu berupaya sekemilau kata puisi
          namun, telah kau temukan kesejatian
antara jalan derita, seteguk doa, sekelumit harapan...


(Karangasem, Bali, 5 April 2010)


Cahaya Sabitah

ibarat langit malam, kau secercah cahaya sabitah
           namamu dan namaku tergurat di hampar semesta
                    darimana kita bermula, dan kembali tiba
angin yang berdesir di rimbun mawar
        hanya samaran rahasia yang sampai padamu

serupa apa kau tatah aku, menjadi arca dewa di jiwamu
entah berapa musim mengarungi sunyata
            paripurna dalam keheningan semadi
teratai di telaga mekar di malam suci
ilahi menyemai cahaya cinta di hati kita
            akankah perjamuan itu jadi nyata?
nujuman demi nujuman telah kita susuri
     ibarat irama yang tiba menyusun nada

sesaji telah dipersembahkan di malam purnama
             angin membisikkan suatu janji
nada di nadiku bergetar membayangkanmu tiba
         terasa hari-hari dihiasi beribu bianglala
ombak demi ombak kebahagiaan membuncah dalam jiwaku
siapa mampu menduga, rahasia yang dibawa semesta
        oleh-oleh kelahiran lampau, ‘kan sampai pada kita


Karangasem, Bali, 18 Mei 2010



SITUS BATU BEDIL

di Tanggamus, aku menemukanmu
                        o, saudara masa lalu
 yang lahir kembali
                      di kebun-kebun kopi
siapa menujum ruhmu
berserakan jadi bongkah-bongkah batu
tumbuh di ladang-ladang hijau kaum tani

jangan tanya aku dari mana
aku hanya pasasir
           yang mampir
setelah beratus-ratus tahun terlunta
di setapak jalan yang tak kupahami

kini, aku menemukanmu
meski yang menyapaku
hanya tumpukan batu
dolmen, monolit, menhir,
lumpang, lesung dan beliung

aku merindukanmu,
       wahai bayang yang hilang
adakah kau sembunyi di kebun-kebun kopi
atau merasuk ke lembah-lembah keramat
                yang dihuni danyang dan memedi?

kupungut sebutir batu
sekilas ingatan menyelami masa silam
           o, beliung itu masih tersimpan rapi
dalam sarkopagus, bersama manik-manik,
serpih-serpih tembikar, jimat dan mantra
menemani belulangku yang kian rapuh

berapa darah hewan buruan tumpah di situ
berapa umbi lumat dan tandas
           o, beliung yang begitu memukau,
                       perkakas terakhirku yang setia
warna-warni bianglala
membias di dingin tubuhnya
        dan melintas jua parasmu, Ibu

gajah dan kerbau dari batu
                    yang kutatah untukmu
menggigil dalam cuaca dinihari
        halimun menyungkupi sukmaku
kenangan demi kenangan membuncah
aksara-aksara menjelma di bongkah batu :
                  namo bhagawate...


(2010)



Berkas-berkas Tak Tuntas
-kado ke-35 untuk diriku-

malam getas
berkas-berkas tak tuntas
begitu saja tertulis

gerimis
menyisakan tilas
yang miris
di kaca jendela

di keheningan rahim
kau menggeliat
kau hampir ranum

semesta merayakan kelahiranmu
dari waktu ke waktu memberimu
berkah demi berkah
namun, tanpa kau sadari
selalu ada yang hilang dari dirimu
diam-diam
kembali ke mula asal

tak ada yang paham
kawasan rawan
di sebalik gugusan jiwamu
yang retak

terlalu lama kau menunggu
nujuman yang tak tentu
hanya sabda
letih menyusun makna

sebaiknya lupakan saja
bayangan yang menggoda
malam-malammu

sehampar samudera
membentang di dalam jiwamu
penuh pusaran tak terduga
menyesatkan perahu-perahu yang ragu
sebab arah pelayaran tak terbaca

tak perlu disesali
waktu akan selalu tahu
kemana pun kau pergi

mungkin puisi masih setia
menemani langkahmu
menyusuri lorong-lorong terkelam
dari perjalanan hidupmu

kilau cahaya tertegun
menyapamu di ujung kata
yang kau guratkan
di kertas terakhirmu

derita akan selalu tiba
membawa hikmahnya

mungkin, belum cukup sempurna
kau ditempa
untuk memahami cinta
yang menghampiri jiwamu

sudahkah kau berdamai dengan dirimu?
masihkah kau buncah-buncahkan nestapa
ke jalan-jalan jelata kota
hingga igau demi igaumu melata
bersama remuknya impian
yang menguap dalam aroma arak api

mungkin tak ada lagi yang peduli
kau telah ditakdirkan menggumuli sepi
bahkan mawar-mawar di belukar
tak lagi menoleh ke arahmu
meski wanginya masih melekati jiwamu

apa lagi yang kau banggakan
selain kata-kata usang
yang mengering
di kertas-kertas kusammu

seorang tua menembang
pupuh asmarandana
membawamu ke awang-awang
kenang demi kenang
membujukmu kembali datang
menjadi petualang
sekaligus pecundang

ah, kau, si pelamun dungu
pecandu laknat kata-kata
pengigau perayu malam

apa lagi impianmu?
istana yang anggun?
permaisuri yang setia?
permainan cinta memabukkan?
keriangan semu beraroma arak api?
keheningan purbani?
meditasi di dalam puisi?
atau, apa?

mereka berceloteh tentang dirimu
mereka menyeru namamu
mereka memberimu petuah-petuah
yang tak pernah kau tadah

kau yang diberkati
sekaligus dikutuk oleh kedunguanmu
kau yang ditinggalkan bayanganmu sendiri
kau yang dihantui darah-dagingmu sendiri
kau yang melaknati dirimu
bersekutu dengan kegaiban batu-batu
berseteru dengan cahaya ilahi

detik demi detik menakikmu
menit demi menit menyayatmu
jam demi jam merajammu
hari demi hari mengulitimu
minggu demi minggu menumbukmu
bulan demi bulan menelanmu
tahun demi tahun menimbunmu

beratus-ratus tahun
dari kelahiran ke kelahiran
doa dan dosa saling terkam
dalam sukmamu

peri-peri kecil tersedu
menyaksikanmu terlunta
di belantara asing
malaikat buta
mengulurkan tangan ke arahmu
tapi kau lebih suka
berkawan dengan danyang dan memedi

di ujung malam
kau melolong seperti serigala
didera kepiluan demi kepiluan
tak ada yang tahu
lapisan terdalam tubuhmu
ditumbuhi berpuluh anak panah
tak ada yang peduli
hatimu dipatuki burung-burung gagak
dari lembah terkelam kematian

kau hanya bisa melolong
namun suaramu membentur dinding cadas
gemanya menerpa sukmamu

kau coba sembunyi
di ceruk tergelap dirimu
meringkuk seperti anjing luka
yang terusir

percayalah,
kau sedang melunasi
karma demi karmamu

karma yang tertatah
di bilah-bilah lontar
yang dituturkan leluhurmu

cakupkan tanganmu
pejamkan matamu
rasakan ubun-ubunmu menyala

seret langkahmu
sejauh kau mampu
suatu waktu
kau ‘kan tiba
di kerajaanKu


(Denpasar, 22 Juni – Amlapura, 27 September 2010)


Interlude Perjalanan


kita melaju
searah jalanan yang kian mendebarkan
gerimis tak lagi dingin
bara cinta masih menghangati jiwa
meski tak sepenuhnya kita pahami

Gunung Agung menerka setiap detak di nadi
mengurai detik demi detik yang telah lewat
dewa-dewi terlelap di lipatan selimut kabut
gemuruh laut Tulamben
seperti menggumamkan asmarandana

kita melaju
karang-karang lahar beku
dan pepohonan hijau
begitu sumringah
hari yang lelah
kini merekah

namun,
entah tiba dimana kita

kekasih, apa yang kau lamunkan?
mungkin, jalan yang kita tempuh
tak semudah waktu dulu
mungkin, jalanan ini
akan bermuara di hati yang kelu

ah, kau yang melamun,
uap garam membelai hitam rambutmu
pucuk-pucuk ilalang riang
menerbangkan bunga-bunga putihnya
namun, kau selalu merasa
kehilangan separuh hatimu

ada saat kita mesti rela
membuka jiwa
menerima rahasia semesta
ikhlas melepas
segala yang telah jadi tilas

sejauh perjalanan
mungkin tak terhitung
berapa tikungan telah kita lewati
berapa debar masih tersisa
berapa lubang telah buat kita oleng
berapa tanjakan bikin kita mengeluh
terkadang menjerit gemas
melepas hasrat yang mencemaskan
saat menuruni lembah curam
yang begitu rawan...begitu rawan...

ah, jalanan ini
telah menjebak kita
memeram kisah demi kisah
kenang sepanjang kenang


(Karangasem-Buleleng PP, 10 Oktober 2010)



Ubud, Gerimis Menyapa...

si pemabuk itu kembali
menyusuri jalan yang sama
kini gerimis menyapanya
lebih ramah
layaknya saudara
yang lama berpisah

mungkin, gerimis rindu padanya
rindu celoteh dan igau-igau
yang membungkam malam
sebelum dia sendiri tersungkur
dihajar oleh mimpu-mimpinya

pernah suatu waktu
sembari kencing di lorong-lorong Ubud
dia mengutuki tiang-tiang listrik
dan lampu-lampu kafe
yang mencibirnya sinis

“kembalikan cahaya kunang-kunang padaku!”
teriaknya pada cahaya lampu kafe,
yang makin malam makin genit menyapa turis

terhuyung dia melangkah
menyusuri jalan yang sama,
jalan yang pernah mencegatnya
dari cinta pertama
jalan yang dulu hanya pematang sawah
jalan yang kini disesaki reklame,
hotel, ruko, dan tentu saja kafe

seorang turis perlente iseng menyapanya:
“hello, apa kau masih punya tanah,
pratima, uang kepeng, atau benda antik lainnya?
saya mau membelinya!”

belum sempat menjawab
si pemabuk tersungkur
dalam comberan yang mampet
gerimis Ubud menyelimuti tubuhnya
dengan mesra


(Ubud, 9 Oktober 2010)





 


















No comments:

Post a Comment