Labels

Thursday 20 October 2011

Tajen


cerpen : Wayan Sunarta



            Debu-debu dari kibasan sayap ayam yang beradu menerpa wajah-wajah tegang para bebotoh. Wajah-wajah itu penuh dialiri keringat masam bercampur debu. Arena tajen minggu itu begitu ramai dan sumpek, penuh riuh-rendah para bebotoh yang sedang bertaruh.
            “Mana Tangeb?” seorang lelaki kekar dengan tatto di kedua lengannya berteriak lantang ke tengah arena. “Hari ini aku harus bikin perhitungan dengannya. Sudah banyak uangku masuk kantongnya!”
            Lelaki kekar bertatto itu sangat disegani para bebotoh. Karena jambangnya yang lebat, ia sering dipanggil Brengos. Ia terkenal sebagai bebotoh kawakan. Harta warisan leluhurnya melimpah. Namun karena kebiasaannya yang suka judi, lama-lama harta warisan leluhurnya terkuras habis.
            Lelaki yang dipanggil Tangeb menyeruak dari kerumuna para bebotoh. Berjalan dengan santai menjinjing kisa menghampiri Brengos yang bermuka masam.
            “Sudah punya jago baru, ya? Lagi berapa hektar tanah nenek moyangmu kau jual?” ejek Tangeb.
            “Jangan banyak mulut kau. Ayo, sekarang kita buktikan apakah si Biing atau si Ijo yang terkapar duluan tertusuk taji!”
            Tangeb adalah orang baru dalam dunia pertajenan. Baru beberapa hari ia terlibat dalam tajen yang sering digelar di bawah pohon beringin di tepi desa itu. Para bebotoh satu pun tidak ada yang kenal atau tahu dari mana lelaki itu berasal. Namun yang jelas ayam aduannya selalu menang dalam pertandingan. Banyak ayam-ayam lawan dibuatnya terkapar akibat terjangan taji Si Ijo yang ganas. Inilah yang membuat para bebotoh kesal dan iri menyaksikan kehebatan ayam aduannya, tak terkecuali Brengos, bebotoh kawakan itu.
            “Ayo, kita mulai!” teriak Brengos dari seberang arena dengan Biing yang siap menyerang. Arena tajen seketika riuh dengan suara-suara para bebotoh yang bertaruh.           Si ijo mulai dilepas dan menerjang dengan ganasnya. Suasana penuh ketegangan. Para bebotoh menahan nafas melihat kedua jago yang sedang berlaga itu saling terjang. Tapi belum ada tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Permainan judi bola adil, dadu, ceki, tak terkecuali pedagang nasi, rokok, dan orang-orang di sekitar arena menghentikan kegiatannya hanya untuk menyaksikan pertarungan seru itu.
            Menit-menit terakhir mulai kelihatan si Biing terdesak. Para bebotoh semakin tak sabar ingin melihat siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Brengos tambah masam saja mukanya. Sesekali ia memandang penuh kebencian pada Tangeb yang santai mengisap kreteknya.
            Braakkk! Biing terkapar berlumuran darah. Para bebotoh yang menang bertaruh melonjak girang. Namun sebagian besar yang kalah hanya mampu ngomel-ngomel dan mencaci maki tak karuan. Si Ijo berkukuruyuk tiga kali seakan mengejek Brengos yang masih saja tertegun tidak percaya memandang Biing yang telah berlumuran darah itu. Nafasnya turun naik. Giginya gemeretak. Kebenciannya semakin menggila pada Tangeb.
            Tetapi memang ia harus mengakui keunggulan Si Ijo. Ini untuk kesekian kali jago-jagonya mati di terjang Si Ijo. Ia sangat jengah, sakit hati. Telah banyak harta warisan leluhurnya terjual. Sawah, ladang, kebun, perabotan kuno, semuanya ludes terjual demi memenuhi kesenangannya pada tajen. Istrinya sudah habis kesabarannya. Betapa tidak, sudah sering istrinya jadi korban kekerasan Brengos. Istrinya sering ditampari, dipukuli gara-gara menasehati suaminya agar berhenti matajen. Malah sekarang istrinya jarang di rumah.
            “Sudahlah. Ayammu sudah mampus. Tak perlu kau ratapi berlama-lama. Sekarang lebih baik kau pulang saja!” ejek Tangeb.
            “Diam kau bangsat! Kubunuh kau!” marah Brengos meledak mendengar ejekan seperti itu. Ia mengacungkan tinjunya hendak menerjang Tangeb yang berdiri kalem, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Para bebotoh segera melerai mereka.
            “Lepaskan aku…lepaskan aku…akan kubunuh bangsat itu!” Brengos meronta. Para bebotoh sekuat tenaga mencekal lengannya.
            “Sudahlah. Sabar..sabar..!” para bebotoh lain berusaha menenangkannya. Sejak kejadian itu Tangeb tak kelihatan lagi di arena tajen. Sejenak para bebotoh kehilangan saingan beratnya.
            Sakit hati dan kebencian Brengos semakin menjadi-jadi ketika seorang kawannya mengabarkan melihat istrinya berboncengan dengan Tangeb menuju kantor balai desa.
            “Bangsat! Kubunuh kau Tangeb!” pekiknya sambil menggebrak meja. Kawannya menahan nafas. Ia tahu betul, Brengos jarang bercanda dengan ancamannya, apalagi mendengar kabar yang lebih menyakitkan ini.
            Lagi dua hari tajen akan kembali digelar di desa itu. Para bebotoh dari berbagai pelosok akan berdatangan untuk mengadu ketangguhan ayam masing-masing. Ini tajen terbesar yang pernah digelar di desa itu. Konon, yang mendanai tajen kali ini seorang pengusaha sukses dari kota.
            Brengos segera menyiapkan diri. Ia memilih ayam jago terbarunya yang tegap jantan, si Bangkok. Kemudian ia mengambil keris leluhurnya. Ia bayangkan Tangeb terkapar bermandikan darah di tengah arena tajen. Sesekali ia perhatikan mata keris itu berkilat haus darah. Ia sendiri bergidik memandang pamor keris leluhurnya. Konon keris itu pernah dipakai kakeknya bertempur melawan leak.
            Seperti biasanya, arena tajen penuh sesak dengan para bebotoh, pedagang, pemain judi bola adil dan dadu. Begitu meriah tawa canda dan obrolan khas para bebotoh. Sebelum tajen dimulai mereka biasanya makan nasi lawar di warung Bu Nyungkring. Atau memesan kopi campur telur ayam di warung Luh Sari.
            Brengos menunggu di bawah pohon beringin. Matanya jelalatan seperti mencari-cari seseorang. Ia nampak gelisah. Si Bangkok dalam kisa ia taruh di bawah pohon beringin. Kemudian ia mengisap dalam-dalam rokoknya dan menghembuskannya seperti hendak menghembuskan tubuh Tangeb ke dalam kawah neraka.
            “Kau lihat Tangeb, tidak?” tanya Brengos pada seorang bebotoh.
            “Tidak, Bli! Saya baru datang,” jawab seorang lelaki ceking gelagapan. Mungkin ia sudah mencium bau maut dalam tubuh Brengos.
            Lelaki itu menjauhi Brengos dengan  perasaan ngeri. Melihat hal itu Brengos tidak dapat menahan ketawanya. Tawa yang penuh keangkuhan seorang bebotoh.
            Babak pertama telah dimulai. Para bebotoh mulai riuh menjagokan ayam masing-masing. Namun Tangeb masih juga tidak kelihatan di antara kerumunan para bebotoh itu. Brengos semakin penasaran.
            “Sialan! Ke mana bangsat itu pergi? Apa ia tahu kalau aku sedang mencari dan akan bikin perhitungan dengannya?” gerutu Brengos.
            Arena tajen makin riuh dan tegang. Babak kedua antar si Sangkur melawan si Buik sedang berlangsung. Namun Tangeb belum juga muncul di arena tajen. Apa ia takut dengan ancaman Brengos? Brengos makin gelisah seperti macan kehilangan mangsanya. Ia memeriksa keris yang tersembunyi di balik jaket kulitnya.
            “Apa ia tidak tahu kalau sore ini ada tajen besar. Kalau ia muncul harus kuhabisi ia!” gumam Brengos.
            Arena tajen makin gaduh dan sumpek. Teriakan para bebotoh yang menang bertaruh maupun omelan yang kalah saling bersahutan. Babak ketiga dimulai. Suara-suara bebotoh tambah riuh bersahutan. Tangeb tidak juga muncul dalam arena tajen. Tiba-tiba…
            “Polisi! Ada polisi! Lari!” teriak seorang bebotoh mengomandoi kawan-kawannya yang lagi asyik bertaruh. Tiga mobil polisi dengan sirene meraung-raung menyeruak kegaduhan arena tajen itu. Para bebotoh lari tunggang langgang mencari aman. Brengos juga ikut-ikutan lari dan bersembunyi di balik pohon beringin besar dengan bebotoh lainnya.
            “Sialan! Siapa yang melapor polisi?” umpat Brengos.
“Kurang ajar!” gerutu bebotoh lainnya.
            Dari tempat persembunyian, mereka memperhatikan kawan-kawannya diangkut ke dalam mobil polisi. Ayam-ayam dan peralatan tajen yang tertinggal juga tidak luput diangkut sebagai barang bukti. Wajah Brengos merah padam menahan amarah. Ingin rasanya ia membabat polisi-polisi itu dengan kerisnya yang sudah haus darah.
“Angkat tangan! Jangan bergerak!” seorang polisi berpakaian preman yang dari tadi mengintai mereka, mengacungkan pistol.  Mereka terkejut bukan main ketika mengetahui siapa lelaki yang menodongkan pistol itu.
“Tangeb...!” seru Brengos tidak percaya pada penglihatannya.
            Tangeb ternyata intel yang menyamar sebagai bebotoh.
 “Istrimu telah menceritakan semuanya, Brengos!”
            “Jadi selama ini…”
            “Ya. Selama ini kami telah mengatur siasat untuk menangkapmu!”
            Amarah Brengos tidak dapat ditahan lagi. Ia menghambur ke arah Tangeb dengan keris terhunus. “Bangsat! Mati kau...!” pekiknya.
            Kelebatan keris haus darah itu dapat dihindari Tangeb. Namun Brengos tidak begitu saja melepaskan buruannya. Ia terus menerjang dan menyerang. Sampai akhirnya Tangeb kehabisan kesabaran. Ia melepaskan tembakan peringatan tiga kali. Namun bunyi letusan pistol tidak menciutkan nyali Brengos yang terbakar dendam.
            Doorr! Sebutir timah panas bersarang di paha kiri Brengos. Ia meringis menahan sakit dan ambruk, bagaikan Duryodana yang pahanya terkena hantaman gada Bima.
            “Aku salut dengan keberanianmu, Brengos. Kau kutahan. Istrimu yang baik hati itu menunggumu di kantor polisi.”
            Wajah Brengos merah padam menatap Tangeb. Dendamnya masih membara. Entah kapan akan dilampiaskannya.***


Denpasar, 1995


Keterangan:
- Bebotoh        : Sebutan penjudi untuk sabungan ayam.
- Bli                 : Kakak
- Kisa               : Tempat ayam aduan.
- Leak              : Setan, mahluk jadi-jadian.
- Lawar            : Makanan khas Bali.
- Tajen             : Judi sabungan ayam
                                                                                            

No comments:

Post a Comment