Labels

Thursday 20 October 2011

Laut Kelabu


cerpen : Wayan Sunarta


            Laut itu masih selalu kelabu, sejak berabad-abad lalu. Warna langit yang biru dan sedikit kelam terpantul di lautan kelabu. Pasir yang menghampar hitam seperti tersepuh warna muram. Angin menyisir pohon-pohon nyiur. Jiwaku berdesir…
            Entah apa yang memedihkan hatiku ketika menatap lautan kelabu itu? Selalu saja kakiku ingin melangkah ke situ, duduk di sebuah warung kopi sederhana, dan seakan tak jenuh menatap lautan yang tenang, meskipun kelabu.
            Secangkir kopi hangat dengan uap air mengepul terhidang di meja. Aku mengambil rokok, menyalakan dan menghisapnya perlahan. Senja akan segera berakhir. Namun aku belum juga mampu merumuskan tujuanku, selain hanya ingin menatap, dan terus menatap lautan kelabu yang menghampar di hadapanku, seperti jubah tua masa silam. Aku merasa jiwaku ingin berkisah, entah apa.
            Sejak kanak aku telah menyukai alam pantai. Ayah sering mengajakku memancing atau menangkap ikan menggunakan jaring kecil. Jika laut surut, ikan-ikan kecil akan terjebak di kubangan-kubangan atau ceruk-ceruk dekat pantai. Mungkin ikan-ikan malang itu terlambat menyelamatkan diri dari air laut yang surut, atau terlalu asyik mencari makanan berupa lumut dan plankton.
Dengan girang aku menangkapi ikan-ikan malang itu dan menaruhnya dalam ember kecil. Sekali waktu terdengar teriakan Ayah diantara desah angin pantai, mengingatiku akan bahaya bulu-bulu babi, ubur-ubur, atau ular laut berbisa yang suka sembunyi di ceruk-ceruk karang. Namun, aku tidak peduli. Aku terlalu asyik dengan ikan-ikan kecil yang malang itu. Hingga suatu waktu tiba-tiba saja telapak kakiku yang tidak beralas seperti disengat sesuatu. Aku berteriak kesakitan dan menangis sejadi-jadinya. Ayah panik dan buru-buru membopongku ke pasir pantai.
Dua duri bulu babi telah bersarang dengan nyaman dalam daging telapak kakiku. Tubuhku seketika menggigil dan demam, racun bulu babi menjalar memenuhi buluh-buluh darahku. Ayah membuka kolornya dan buru-buru mengencingi telapak kakiku. Di tengah rasa sakit yang menyengat, aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku melihat air kuning hangat milik Ayah meluncur ke telapak kakiku. Ayah menjelaskan, air kencing konon ampuh melawan racun bulu babi.
Hampir setiap senja aku bermain-main di pantai bersama kawan-kawan sebaya. Aku suka berenang-renang dan sekali waktu membuat bukit-bukit pasir. Ketika pulang, tak lupa aku membawa kerang-kerang beraneka warna. Kupajang kerang-kerang itu di meja belajarku. Dan setiap memandanginya aku selalu rindu untuk datang ke pantai. Seakan antara diriku dan pantai ada suatu tali halus yang mempertautkan.
Ketika Nenek yang menyayangiku meninggal dan mayatnya dikremasi, abu Nenek juga dilarung di laut yang sering kukunjungi itu. Aku tidak begitu sedih saat Nenek meninggal. Aku mulai belajar maklum, usia tua adalah gerbang menuju kematian. Saat itu aku masih merasa ditemani Nenek. Masih ada jasadnya yang bisa kupandangi dengan perasaan kasih. Namun ketika Nenek dikremasi dan abunya ditabur ke laut, aku benar-benar merasa kehilangan orang yang sangat kusayangi dan juga menyayangiku. Di pantai aku menangis terisak-isak. Pandanganku hampa menatap laut yang berwarna kelabu.  Waktu itu usiaku 14 tahun.
Namun, bukan karena itu aku selalu terkenang akan laut yang berwarna kelabu. Ada sesuatu, entah apa, yang selalu membuat aku tertarik untuk datang ke tempat ini. Duduk berlama-lama di warung kopi dan menatap laut dengan jiwa yang nglangut. Sepertinya ada segumpal kenangan pedih yang masih terus memanggil-manggil dari kesuraman bawah laut...

***

 Laut Kelabu, 1880

 
            Cahaya memantul dari mata pedang dan tombak. Lelaki dan perempuan muda yang tangan dan kakinya terikat itu masih sempat merasakan senja akan angslup. Angin menyisir nyiur-nyiur. Jiwa mereka berdesir…
            Bentakan dan teriakan laskar seperti sengatan duri-duri bulu babi.
            “Ayo, cepat naik ke tongkang!”
            “Cepat! Dasar penghianat!”
“Tidak tahu membalas budi!”
            Mereka digiring paksa ke atas tongkang yang sebentar lagi melaju ke arah laut dalam. Angin pantai masih terasa segar. Angin beraroma garam dan ganggang membelai lembut kulit kuning langsat perempuan itu. Juga kulit sawomuda dada lelaki yang ditumbuhi bulu-bulu cukup lebat. Mereka sekilas bersitatap. Dua pasang mata yang diliputi kesedihan sekaligus kebahagiaan, saling beradu, mencoba menyelami kedalaman jiwa masing-masing.
            Dua sejoli itu kembali terbayang amarah dan titah raja.
“Kalian telah mempermalukan kerajaan. Kalian telah menjadi aib di negeri ini. Kalian layak dihukum mati!”
            Lelaki muda itu hanyalah seorang abdi istana. Seorang abdi kesayangan raja, bahkan telah dianggap sebagai anak sendiri. Lelaki itu dipungut oleh raja ketika ia masih bayi merah yang menangis menjerit-jerit di sebuah gubug ketika peperangan sedang berlangsung. Raja meminta seorang dayang untuk memeliharanya, dan juga menyusuinya. Bayi itu kemudian tumbuh besar menjadi lelaki yang bersih dan tampan. Banyak dayang-dayang muda istana jatuh hati pada lelaki itu.
Suatu kali, selir raja yang masih muda dan jelita berjalan-jalan di taman istana ditemani para dayang. Secara kebetulan selir raja berpapasan dengan lelaki itu. Jiwa mereka berdesir...
Lelaki itu tidak pernah tahu perempuan jelita yang membuat jiwanya berdesir adalah selir raja. Ia terlanjur mabuk kepayang ditikam panah asmara Dewa Kamajaya. Begitu pula perempuan jelita itu lupa pada posisinya sebagai selir raja. Perempuan itu telah digoda oleh Dewi Ratih.
Namun, sesungguhnya perempuan itu telah dipaksa dan terpaksa menjadi selir raja tua. Keluarga perempuan itu sangat miskin dan banyak berutang pada raja. Demi menyelamatkan keluarga dari jeratan utang, perempuan itu bersedia (meski nelangsa) dijadikan selir raja.
Sebelum bertemu di taman istana, perempuan itu telah pernah berjumpa dengan abdi raja itu, pada sebuah keramaian pasar. Saling melirik, dan tertarik, meski diam-diam. Dan, pada waktu yang telah ditentukan Sang Hidup, mereka kembali bertemu di istana dengan posisi yang jauh berbeda, lelaki abdi dan perempuan selir.
Dua sejoli itu tidak mampu lagi menahan gairah untuk bersatu. Diam-diam mereka sering mengadakan pertemuan. Mulanya hanya bersitatap malu-malu, bercengkerama ragu-ragu, tapi akhirnya berani berkasih-kasihan, meski tidak terang-terangan.
Lambat laun raja mencium bau busuk dalam istananya. Permainan mereka, sumber bau busuk itu, terbongkar. Raja murka. Dan, seperti apa yang telah digariskan dalam hukum kerajaan, lelaki yang berani menyelingkuhi selir raja dianggap melawan kekuasaan dan mencemari kerajaan. Hukuman bagi pasangan selingkuh itu adalah maselong, ditenggelamkan ke laut dengan kaki dan tangan terikat.
  Laut kelabu. Ombak dan gelombang seperti saling berbagi duka bagi dua sejoli itu. Meski mereka saling mencintai, namun titah adalah titah. Mereka harus dilarung ke dalam laut kelabu.
Sejenak, sebelum perintah, dua sejoli itu saling tatap, dan seperti membisikkan suatu janji...
“Larung! Tenggelamkan!” perintah komandan laskar.
Dua sejoli yang tangan dan kakinya terikat itu dengan kasar diceburkan ke dalam laut kelabu. Percik-percik air menimpa lambung tongkang yang melaju kencang dan menciprati muka-muka masam para laskar kerajaan. Tubuh dua sejoli itu seketika ditelan gelombang, dan bersiap menghuni kerajaan bawah laut, menjadi raja dan ratu terkutuk.

***

Suara desah ombak bergema dalam telingaku. Angin bersuir seperti siul hantu-hantu laut.
“Nadha, di mana kamu?!”
Panggilan itu mengembalikan jiwaku dari bayang-bayang mengerikan. Bayang-bayang yang kerap menghantuiku, yang datang serupa mimpi buruk di siang bolong. Apa aku melamun? Kenapa aku berada di pinggir pantai? Tadi aku duduk merokok dan ngopi di warung langgananku. Apa gerangan yang menggerakkan aku  termenung di tepi pantai kelabu ini?
“Nadha, kamu di mana?!” suara itu kembali memanggil.
Kulihat sosok perempuan sebayaku seperti kebingungan mencari sesuatu. Ia memanggil-manggil, namun suaranya seperti dipermainkan angin. Perempuan itu adalah Nadhi,  saudara kembarku.
“Aku di sini, Nadhi!” aku melambaikan tangan, memanggil saudara kembarku. Ia berlari-lari kecil ke arahku. Sampai di depanku ia menjatuhkan dirinya di pasir dan berusaha mengatur nafasnya yang seperti desah lautan.
“Kenapa kau suka sekali bengong di tepi pantai ini? Ibu kebingungan mencarimu. Ayo, pulang!”
Rumah kami hanya berjarak satu kilometer dari pantai. Itulah sebabnya aku dengan leluasa bisa bermain-main di pantai ketika senja. Atau sekedar melamun, merenungi lautan yang nampak selalu kelabu. Atau duduk berlama-lama di warung kopi langgananku.
“Semestinya Ibu tahu kebiasaanku, bermain di pantai atau duduk-duduk di warung sederhana itu. Tapi kenapa Ibu kebingungan mencariku? Aku bukan anak kecil lagi, aku bisa menjaga diriku.”
“Sudah hampir petang. Dari siang kamu belum makan. Ibu selalu mencemaskan kamu dibanding aku,” Nadhi cemberut.
Aku suka sekali melihat wajah saudara kembarku ketika sedang cemberut. Manis dan menggemaskan. Selalu saja aku menemukan kebahagiaan yang ganjil bila berdekatan atau menatap matanya yang bening berkilau. Samar-samar bisa kurasakan, aku mencintainya tidak hanya sebagai saudara kembar, tetapi lebih dari itu.
Kami, aku dan Nadhi, ditakdirkan lahir sebagai kembar buncing, kembar laki dan perempuan. Menurut cerita Ibu, aku lahir lima menit lebih awal dari Nadhi. Suara tangisku lebih keras dan melengking, sedangkan Nadhi hampir tidak terdengar tangisnya. Saat itu, aku tidak tahu, apa tangisku yang keras itu menandakan aku menyesal atau bahagia lahir ke dunia yang diliputi penderitaan ini.
Bagi tradisi di desa kami yang masih kolot, kelahiran kembar seperti kami merupakan aib bagi desa. Dan, untuk menghindari malapetaka yang diyakini akan menimpa desa, warga mengungsikan kami dan orang tua kami ke pinggiran desa dekat kuburan selama tiga bulan.
Orang tua kami menjalani tradisi kuno itu dengan tabah dan doa. Selama masa pengungsian, kami sering menderita sakit. Meski masih berupa bayi merah, kami bisa merasakan penderitaan orang tua kami yang hidup antara bahagia dan ketakutan. Bahagia karena kelahiran kami. Ketakutan karena berbagai teror ilmu hitam yang disebar oleh warga yang tidak suka pada kami. Kami adalah aib bagi mereka.
Masa-masa rawan selama pengungsian berhasil kami lalui dengan lancar. Namun, gunjingan tentang kami terus saja menyebar dan membuat gerah warga desa. Sejumlah warga menganggap roh yang menitis ke tubuh kami adalah roh terkutuk. Mereka menduga, dalam kehidupan masa lalu, kami telah melakukan kesalahan yang sangat berat sehingga harus lahir kembar buncing. Mereka meyakini, roh yang menitis ke tubuh kami pada kelahiran di masa lalu adalah pasangan selingkuh, yang atas nama kehormatan dan harga diri, layak untuk dimusnahkan.
 Akhirnya, untuk menghindari cemooh dan kejadian yang tidak diharapkan, orang tua kami memilih tinggal di sebuah ladang yang dekat dengan  pantai. Di sana, kami dibesarkan dalam aroma garam dan ganggang. Masa-masa sulit itu telah lama lewat. Dua puluh tahun telah berlalu.
Senja mulai sirna dari hamparan pantai. Aku merangkul mesra pundak Nadhi. “Ibu mencintai kita berdua, kau dan aku,” bisikku menghiburnya.
Kami seperti dua sejoli yang begitu saja dijatuhkan ke dunia, serupa Adam dan Hawa. Kami kembali ke rumah. Ibu menunggu dengan cemas. Laut kelabu semakin pedih memeram gumpalan kenangan.***


Denpasar, 2004  

(Jurnal Cerpen Indonesia, Edisi 05/Desember 2004)

No comments:

Post a Comment