Labels

Thursday 20 October 2011

Birgit


cerpen : Wayan Sunarta


          Pantai Kuta. Malam Minggu. Hampir jam delapan. Beberapa pasangan kekasih asyik bercumbu. Pasir masih menyisakan hangat matahari senja.
          “Dika, tolong antar aku ke Legian, ya.”
        Dengan perasaan berdebar lelaki gondrong itu menatap mata biru Birgit yang bagai lautan musim panas. Dalam mata itu, terbayang kamar hotel yang sederhana, namun hangat. Birgit mengambil bir dari kulkas. Minum bersama sambil bercengkerama sampai sedikit mabuk. Kemudian, dengan kepala agak berdenyut, wanita putih berusia 23 tahun itu melepas gaun. Mata biru yang sayu dan penuh gairah itu menghunjam bola matanya yang tiba-tiba saja mau meloncat dari cangkangnya. Lalu wanita yang dikarunia pinggul bagus itu melorotkan celana. Lalu menerkam dengan buas. Berguling-gulingan di kasur empuk. Saling pagut dalam aroma alkohol. Lalu terjadilah apa yang seharusnya terjadi! Bukankah malam ini adalah malam perpisahan? Besok siang, sesuai agenda, Birgit sudah harus terbang ke Jerman.
            “Tadi aku terima SMS dari kawan lamaku. Orang Jerman juga. Ia lagi liburan di Kuta, dan malam ini ingin bertemu denganku di sebuah club di Legian,” jelas Birgit, seakan paham alur pikiran Si Gondrong. Dika menyedot dalam-dalam rokok kreteknya. Ia malu pada dirinya sendiri. Tanpa berkata-kata, ia menggandeng Birgit menuju parkiran, dan kemudian memacu motor bututnya menuju Legian.
            “Sorry, Dika! Apa aku telah menyinggung perasaanmu?”
            “Tidak. No problem, Birgit. Aku tidak apa-apa!”
            Dalam hati, Dika sebenarnya kecewa karena khayalannya berantakan. Ia pun tidak berani bertanya apakah kawan lama yang akan ditemui Birgit itu seorang lelaki? Selama ini Si Gondrong yang mudah jatuh cinta itu memang belum pernah menanyakan sesuatu yang sangat pribadi pada Birgit. Tapi ia merasa Birgit telah memberikan beberapa sinyal yang mengarahkan khalayannya menjadi kenyataan.
Sambil menunggang motor bututnya, kepala Dika dipenuhi kenangan demi kenangan bersama Birgit. Ia terkenang pertemuan pertamanya seminggu lalu ketika ia harus menguras tenaga menyusuri beberapa ruas jalan di Kuta, mencari alamat hotel tempat Birgit menginap. Alamat yang diberikan Birgit lewat SMS itu tidak begitu jelas. Sedangkan nama jalan lokasi hotel itu juga tidak begitu dikenal oleh Dika. Lelaki yang selalu mengenakan jaket kulit lusuh dan mengendarai motor butut itu, memang tidak begitu akrab dengan nama jalan-jalan di Kuta. Baginya, Kuta terlalu sumpek, ruwet, macet dan tidak lapang lagi.
Setelah beberapa kali kontak lewat ponsel, akhirnya Dika berhasil menemui alamat yang dicari. Dengan sabar, dan tentu saja sambil mengepulkan asap rokok kreteknya, Si Gondrong menunggu di lobbi hotel kelas melati itu. Beberapa menit kemudian, seorang wanita pirang diantar staf hotel, menghampirinya. Dika buru-buru berdiri dan merapikan rambutnya yang agak awut-awutan.
            “Apakah Anda Birgit yang dari Jerman?” Dika berusaha membetulkan posisi lidahnya agar Bahasa Inggris yang keluar tidak belepotan.
            “Ya. Saya Birgit. Apakah Anda yang bernama Dika, kawan Anggi?” Di luar dugaan, wanita anggun itu menjawab dan balik bertanya dengan Bahasa Indonesia yang lumayan lancar. Si Gondrong merasa malu sendiri setelah menyadari bahwa bule yang dihadapinya bukan wanita sembarangan.
            Memang, sebelumnya Dika tidak pernah bertemu muka dengan Birgit. Informasi tentang wanita bule sintal itu hanya didapatnya via email dari Anggi, kawannya yang sedang menempuh studi di Jerman. Anggi adalah sahabat akrab Birgit di Jerman. Dan karena Birgit mengunjungi Bali untuk keperluan penelitian sastra yang berkaitan dengan disertasinya, maka Anggi merekomendasikan Dika sebagai guide yang bisa dipercaya.
Begitulah. Setelah menyepakati beberapa agenda perjalanan, keesokan harinya, dengan motor butut, Si Gondrong mengantar dan memandu Birgit ke beberapa tempat yang harus dikunjunginya, terutama menemui seorang novelis perempuan terkenal untuk keperluan wawancara. Selama menjadi pemandu, Dika banyak bicara tentang sastra dan dunia kesusastraan di Bali. Dan tentu saja informasi seperti itulah yang disukai Birgit karena berkaitan dengan objek penelitiannya. Apalagi setelah mengetahui bahwa Si Gondrong juga seorang penyair berpengaruh di Bali.
            Di sela-sela kesibukan melakukan wawancara, Dika juga menemani Birgit jalan-jalan, terutama ke Pantai Sanur dan Ubud. Tapi lebih sering mereka nongkrong-nongkrong di Pantai Kuta, makan jagung bakar sambil meratapi matahari terbenam. Birgit sangat menyukai pantai. Dia suka berenang-renang, bermain pasir, membuat candi-candian seperti anak kecil. Si Gondrong pun dengan setia menemaninya, karena ia juga menyukai pantai. Kalau tidak ke pantai, mereka biasanya menghabiskan waktu luang dengan nongkrong di Lapangan Renon, tentu sambil ngunyah jagung bakar. Dan kesukaan Birgit makan jagung bakar itulah yang semakin meyakinkan Si Gondrong bahwa wanita yang cukup cerdas itu sangat bersahaja.
            Beberapa hari bersama-sama telah memunculkan perasaan aneh yang melingkupi hati Si Gondrong. Semacam perasaan takut berpisah, semacam perasaan ingin melindungi, dan sebagainya Diam-diam Birgit pun mengalami perasaan yang serupa. Kemesraan mereka semakin mempertegas bahwa pada hamparan hati mereka telah bersemi benih-benih cinta, atau semacamnya. Meski tidak ada kata-kata cinta yang meluncur dari salah satu bibir yang memeram beribu hasrat itu.
            “Cari jagung bakar yuk” ajak Birgit.
            “Di lapangan Renon lagi?”
            “Ya. Sambil tidur-tiduran di rumput memandang bintang.”
            “Ayo. Let’s go!”                
            Mereka pun menunggang motor butut menuju Lapangan Renon. Seperti biasa, sambil ngunyah jagung bakar, mereka ngobrol tentang kesusastraan. Tidak ada kata-kata cinta, rayuan gombal, atau sejenisnya. Si Gondrong berusaha menjaga reputasinya sebagai guide, meski guide dadakan, kalau tidak boleh disebut liar. Sementara itu, saat hari-hari terakhirnya di Bali, Birgit memang ingin mengetahui lebih banyak lagi dunia kesusastraan di Bali. Dan, Dika pun dengan lagak seorang profesor kesusastraan sangat antusias meladeni berbagai pertanyaan Birgit.                     
Di Lapangan Renon, malam itu, beberapa pasangan asyik masyuk memadu kasih di tempat-tempat yang agak gelap. Birgit tersenyum kecil memperhatikan pasangan-pasangan muda itu. Dia teringat anak-anak muda di negaranya yang juga suka berpacaran di tempat-tempat gelap. Kemudian agak malu-malu dia lebih merapatkan duduknya pada Si Gondrong, yang segera setelah itu memeluk Birgit dengan perasaan berdebar-debar.
           
***
Sebetulnya Dika malas pergi ke Legian. Karena ia tahu akan berhadapan dengan kemacetan dan kebisingan yang meletihkan. Jangankan malam minggu, malam-malam biasa saja, Legian selalu dipenuhi berbagai pelancong dari berbagai jenis warna kulit yang haus hiburan malam. Apa sih menariknya Legian? Si Gondrong lebih suka seandainya Birgit langsung mengajaknya pulang ke hotel. Tentu saja untuk menikmati malam perpisahan, minum bir, bercengkerama, dan kalau berkenan: bercinta…!
            Seperti biasa, malam Minggu, Jalan Legian padat dengan para pelancong yang lalu lalang. Badan jalan yang tidak begitu lebar itu dipenuhi mobil dan motor yang bergerak merangkak. Macet sekali. Belum lagi mobil-mobil pribadi yang parkir sembarangan di kanan kiri jalan. O, Legian yang bising. Deru knalpot dan klakson kendaraan bercampur aduk dengan hentakan musik hingar bingar dari pub, club  dan diskotik yang berjejer di kanan kiri jalan.
Setelah memarkir motor di tempat yang aman, Si Gondrong menggandeng tangan Birgit berjalan menyusuri Legian, dari utara ke selatan. Meski mereka nampak seperti pengantin baru yang sedang berbulan madu, sesungguhnya Dika merasa tersiksa terjebak dalam suasana hingar bingar seperti itu. Tapi kali ini ia harus rela dan mengalah. Ia tidak ingin mengecewakan Birgit yang diam-diam dicintainya itu.
            Lelah menyusuri jalan, Birgit menghentikan langkahnya di depan sebuah club elit yang konon hanya boleh dikunjungi turis-turis asing saja.
            “Dika, aku harus menemui kawan lamaku di club ini. Kami janjian di sini.”
            “Aku boleh ikut masuk”
            “Why not? Tidak apa-apa kok. Ia hanya kawan biasa.”
            Mendengar pengakuan yang diharap-harapkannya itu, wajah Si Gondrong seketika sumringah. Itu artinya ia masih memiliki harapan untuk menyatakan perasaannya kepada Birgit. Perasaan yang selama sekian hari hanya mampu diperamnya dalam hati. Namun, sial, belum sempat melangkah lebih jauh, ia telah dicegat oleh dua security berbadan kekar.
            “Mas sebaiknya tunggu di luar saja! Club ini khusus untuk tamu asing,” ujar seorang yang badannya paling kekar.
            “Tapi saya harus menemaninya. Saya kawannya, bukan guide!”
            “Ya. Tapi aturan di sini memang begitu, Mas. Maaf, kami hanya menjalankan tugas.”
            Dengan perasaan kecewa dan terhina, Si Gondrong terpaksa mundur. Sekilas ia masih bisa melihat wajah Birgit yang keheranan dan tidak mengerti dengan perlakuan penjaga yang diskriminatif itu. Namun dia tidak bisa berbuat banyak, sebab dia harus segera menemui kawan lamanya dalam club.
            “I am Sorry, Dika,” ujar Birgit lirih. Nampak sekali kekecewaan pada wajahnya.
            “Tidak apa-apa, Birgit. Kalau urusanmu sudah selesai, tolong segera telpon aku agar bisa secepatnya menjemputmu. Aku mau nongkrong di pantai saja. Sumpek di sini!”
 “Thanks, Dika!”

***
           
Sambil menikmati udara pantai, Si Gondrong menghisap kreteknya. Entah berapa batang kretek telah disedotnya sejak tadi. Ponsel di saku jaket lusuhnya belum juga berbunyi. Beberapa kali ia mencoba menelpon Birgit, namun ponselnya ternyata tidak diaktifkan. Dika mulai gelisah. Dari wajahnya kelihatan ia sibuk bergulat dengan pikirannya.
            Apa saja yang dikerjakan Birgit dengan kawannya itu? Lama betul dia di sana! Kenapa dia belum menelpon? Jangan-jangan dia mabuk, lalu berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik yang menghentak-hentak. Atau asyik bercumbuan sambil ketawa-ketawa di sudut club yang remang. Dasar wanita bule, semuanya sama saja! Dika sangat dongkol. Batinnya berkecamuk. Ia menyedot kreteknya dalam-dalam kemudian menghembuskan asapnya kuat-kuat.
            Debur ombak Pantai Kuta bersahut-sahutan dalam kelam malam. Sayup-sayup terdengar buih berbisik-bisik, seakan ingin menyampaikan sesuatu.
Si Gondrong tidak begitu mempedulikan panggilan debur ombak atau pun bisikan buih. Ia merasa sangat terhina. Ia masih tidak habis pikir mengapa club itu menolak tamu pribumi? Mengapa hanya orang asing yang boleh masuk? Apa anjing-anjing penjaga itu mengira pribumi tidak sanggup membayar? Ia sangat tersinggung dengan perlakuan diskriminatif yang diterimanya.
“Kalau aku bisa bikin bom, sudah kuledakkan club brengsek itu!” gerutu Si Gondrong dengan hati masih panas menyala. Namun gerutuannya hanya membentur debur ombak.
Dika memeriksa penunjuk waktu pada ponselnya. Sialan, lama sekali wanita itu! Sebenarnya ia tidak terlalu bermimpi nongkrong dalam club itu. Hanya saja ia harus menemani Birgit. Sebagai guide dadakan ia merasa bertanggung jawab kalau terjadi suatu hal yang menimpa tamu istimewa yang diam-diam dicintainya itu. Tapi agaknya bukan itu alasan utamanya. Ia merasa telah memiliki Birgit, dan tidak bisa berpisah dengannya, apalagi melepaskannya untuk bertemu dengan lelaki lain.
Ketika sedang hanyut dengan pikirannya,  tiba-tiba Si Gondrong dikejutkan suara gelegar guntur. Ia merasa pasir bergeser dan ombak membuncah-buncah seperti panik. Selang beberapa menit suara guntur itu kembali menggelegar dan membuat bumi bergetar hebat. Bukan, bukan guntur! Tapi suara ledakan gardu listrik! Tapi bukan…
Dika mencari arah sumber ledakan. Dan betapa kagetnya ia ketika menyaksikan langit di timur merah menyala disertai asap hitam tebal.
“Kebakaran!” teriaknya spontan.
Orang-orang yang ditemui Dika juga nampak kaget dan panik.
“Gardu listrik meledak!”
“Legian terbakar!”
“Bukan gardu listrik! Itu ledakan bom!”
“Bom!? Di Kuta ada bom!?”
“Sari Club meledak!”
Langit masih merah menyala. Beberapa dentuman kecil semakin membuat pucat pasi wajah Si Gondrong. Ia teringat Birgit. Secepat kilat ia melesat menyambar motor bututnya dan ngebut menuju Jalan Legian. Dalam hati, ia masih belum bisa percaya bom telah meledak di Kuta.
            Memasuki Jalan Legian yang macet dan dipenuhi orang-orang panik yang berlarian tak tentu arah dan berlomba menyelamatkan diri, Dika merasa melewati neraka jahanam. Mayat-mayat tak berbentuk bergelimpangan. Mayat gosong yang masih mengepulkan asap. Mayat tanpa kepala. Mayat dengan dada koyak, isi perut terburai. Mayat yang nyangkut di tiang listrik. Potongan tangan, kaki, kepala. Isi perut, isi dada, otak berceceran, darah dimana-mana. Mobil-mobil ringsek, terbakar, hangus. Para penumpang yang gosong bersama mobilnya. Sopir taxi dengan dada koyak. Jerit histeris pelacur jalanan yang menyaksikan kakinya tiba-tiba buntung, tangis ketakutan anak-anak gelandangan, jerit menyayat seorang lelaki mendekap mayat kekasihnya yang setengah hangus, teriak kesakitan pengendara motor yang matanya tertancap pecahan kaca, darah, darah, darah…Ya. Legian telah menjelma neraka pada malam paling jahanam sepanjang sejarah malam di Kuta.
Dika tidak sanggup lagi mengendarai motornya. Ia panik, ngeri, takut, cemas, marah, dendam, kesal, muak, murka. Pikirannya kacau balau seperti suasana Jalan Legian yang carut marut! Akhirnya, Si Gondrong jatuh tersungkur di tepi jalan yang dipenuhi ceceran darah, isi perut, lelehan otak, potongan dan serpihan bagian-bagian tubuh manusia.

***
             
Sementara itu, Bandara Ngurah Rai dipenuhi turis-turis panik yang bergegas ingin segera meninggalkan Bali. Birgit duduk lemas di lantai dan bersandar pada sebuah pilar, berkali-kali bibirnya gemetar menyebut nama Tuhan. Dia selamat dari malapetaka mengerikan itu karena kawan lamanya tiba-tiba membatalkan janji. Dan segera setelah itu dia kebingungan mencari Si Gondrong di Pantai Kuta yang luas itu.
Wajah Birgit yang putih-pucat semakin pucat. Dengan tangan masih gemetar dia berulang-ulang memencet-mencet ponselnya, berusaha keras menghubungi Si Gondrong yang terkapar pingsan di tepi Jalan Legian.***

 

Denpasar, 2003

 

(Bali Post, 9 November 2003)


No comments:

Post a Comment