Labels

Thursday 20 October 2011

Puisi-puisi 1995

                Sajak-sajak Wayan Sunarta        
      

Kusamba


deru laut luruh
memucat batinku

pesisir hanya angin
gerai rambutmu bergulung biru
jukung kecilku berkayuh di situ
           ada yang sirna
jerit anak camar gemetar menunjuk kelam
           melempar sunyiku ke gubug garam

dalam dadamu muara lenyap
kau pasir yang lupa tanah
ombak merangkak
memulung sisa kenangan
yang membuih di licin tubuhmu

sia
sia

nafasku sesak dicumbu waktu
duka mengental
melukis langit wajahmu

senja surut
tubuhmu
tubuhku
menguap
jadi garam


1995


 Kesiman


malam. burung kenangan
      sayap sayap pilu
termangu di sudut jalan
      di muram cuaca
      menyulam bayang
masa silamku
kelembutan tangan mawar

di banjar tohpati
bulan dengan rambut tergerai
       menunggu
lelaki pengembara
yang berumah dalam kata
       akankah tiba
malam dalam genggaman mawar
burung kenangan. simpanan sunyi
fajar matahari


1995




Puisi dari Sungai


pada bening sungai
berkali kali kuterka wajahmu
ada yang berubah selalu

dari kehijauan hati
kekasih tiba
kenangan berkilau
pada mahkotanya

pada bebatuan dan gemercik air
sepasang ikan memeram harum lumut

o, jiwa yang biru
patahan kayu yang dituntun sungai
dari mana aku bermula ?

segalanya akan tua
namun aku ingin seperti ikan
bercinta di teduh sungai
tak peduli sang pengail selalu mengintai

bila saatnya tiba
aku pun patahan kayu
yang dituntun sungai
menuju muaramu


1995

                Taman Bunga


aku lahir
sebagai serbuk sari
angin menuntunku
menuju kepala putik

sudah nujuman
aku mesti mengigau
sendiri melintasi sunyi
nyanyi serangga

tiba pada mimpi kepala putik
siul angin meresap ke dalam dahan
pohon bunga
menjadi apa aku dalam taman ini

kami damai dalam satu taman
tapi mengapa angin
mematahkan kepala putik

pemilik taman
memanen air matanya

sebagai serbuk sari
aku hanya bisa berduka
sendiri melintasi sunyi
nyanyi serangga


1995


               Toyabungkah
      - buat s.t.a. -

dari jantung malam
lirih angin menyeru angan
      penari berbibir embun
membujukmu memasuki
                   lorong hening

o, kabut yang mengurai rambut
                         di lembah batur
berapa sudah bibir embun
          sesat dalam mulut malam?

peluh tubuh penari letih
menguap bersama lapar dan
                   lelah pendakian

kabut mencumbu danau
penari merintih
                perih
mengekalkan malam
      di jiwamu lebam


1995



                Denpasar



toko toko tua anyaman pengembara
jalan gajah mada menggeliat
di lekuk lekuk tubuh
betinaku yang gairah

menyusuri embun dinihari
kita nikmati malam percintaan
dalam adonan kasih soto babat
yang melabuhkan resah lapar penyair

di bawah jembatan cinta
terbayang wajah kota yang renta
melulur tubuh kenangan betinaku


1995

                 Muara Waktu


dari darah dan air mata,
aku susuri jalan yang kau buka
dengan perih. di lengan malam
kau panjatkan diam
     aku tengadah kaku:
bintang meluncur menuju
muara waktu. dari mana aku
mau ke mana aku

kau menyembul dari rekah tanah
menjelma kematian dalam kematian
dan tangis bayi di mulut malam yang lapar
melebur haruku pada arus terakhir nafasmu

       siapa akan meruwat
       jagat yang sekarat?

biarkan aku mengigau
sampai jauh memburu jejak kasihmu
hingga batas penghabisan hayatku
biarlah bintang yang jadi isyarat perjalananmu
                              lebur dalam kering nadiku

dari darah dan air mata
aku berkayuh menuju muara waktu


1995



Dermaga Kayu


dermaga kayu di dasar sukma
menerima kandasan usia
yang lelah mengelana

gua-gua tebing karang
sarang sekaligus kuburan
bagi si elang laut
aku ingin suntuk mengigau
dalam nafas sunyimu

cahaya mercusuar letih
menuntun laju perahu
sebab nakhoda selalu ragu
menentu arah tuju
yang makin tak menentu


1995


                 Kata Telah Patah
   

kata telah patah
pada dingin senja
kau makin jauh
di udara
burung burung
bersiul murung

yang tak pernah kau pahami
mulut embun yang membuka
rahasia bunga

kata telah patah
kau sujud pada tanah
menadah keluh
air mata dan darah


1995

                
                 Kau Kutuk Sunyi Jadi Batu                   


telah kususuri
setapak sajak
yang dulu kau lalui
sambil sesekali mereguk arak
atau mengulum kuntum
bunga rumput

di batas cemas
aku terjaga
dan bergegas

tiba di gubugmu
terpukau aku
kembang lalang
mekar sempurna
kesuir angin
dan jejak basah hujan
candi tua
dan matamu
yang pucat senja
menunggu waktu
yang luruh
dalam tubuh

o, jiwa berlumut
kau kutuk sunyi
menjadi batu
bekal pendakianku
menuju puncak
paling nikmat
paling laknat


1995

Sepeda Tua


sepeda tua di sudut kelam
berapa kali musim rindu
mendera rentamu

pada putaran jeruji waktu
kaki mungil mengayuh angin
harapan menjadi kenangan
pada senja yang pikun

alangkah indah masa bocah
betapa ramah sepeda itu
menemani kenakalanmu
merambah halaman seputar rumah
hingga suatu waktu kakimu patah
jatuh dari sepeda tua itu

sungguh segar rasa sakit di akhir senja
tapi betapa perih tangis pertama
saat ibu tersenyum menyambutmu
kita terlalu dungu menyelami keberadaan
hingga tak tahu akan kemana setelah itu

di sudut kelam hanya sepeda tua
meringkuk dalam rindu yang berkarat
hanya kepadamu


1995

 Datang Dari Hening


datang dari hening
kau tersesat dalam
mainan mimpi

selalu takut
akan wajah
yang pecah
dikerumuni ulat

kau nujum diri kau
tanpa letih
menjadi apa kau
dalam taman yang dijanjikan itu
kenangan meringkusmu

dalam kedunguan
tak peduli kau
rintih bunga
yang remuk
jantungnya


1995


                Pada Sebuah Pantai 


aku dan kau
menjadi fana pada tatap mata

aku lebur dalam ombak
dalam keremangan laju
tangan cuaca menuntun perahumu
hendak berlabuh di mana kau
pesisir ini pernah kita singgahi
berkali-kali dalam perih kelahiran

terangkum dalam unggunan api malam
         kita berbagi hangat
serupa adam dan hawa di lingkar ular laut
                                          paling berbisa
lalu kita santap jagung bakar rasa cinta
        dalam alunan soneta garam

batinku gamang

ke biru laut aku menjenguk
namun kau telah menjadi batas pesisir
bagi gemuruh jiwaku
yang tak jenuh mengigaukan rindu


1995




Soliloqui XX


tahun-tahun merangkak dungu
seperti rindu yang digiring
               ke rumah penjagalan

dalam kabut matamu
sungai tersesat
laut menguning
meluncurkan kecemasan
merasuk ke dalam kepalamu
saling pagut
camar dan pantai
di pucuk ombak
memukat sunyi

seekor ular
dari masa silam
jatuh ke bumi
menjelma taman
menyesatkan kita
dalam ketololan cinta

o, daging derita
yang dirajam jarum waktu
terjepit antara rindu batu
merangkaklah ke dalam jiwaku
bersama tahun-tahun dan
masa lampaumu


1995


Pura Samuan Tiga


dari celah meru
purnama tiba
jatuh pada lumut
sunyi pura

mekar bunga
dikulum senyum mata bocah
hadirkan nyanyian angsa
sebagai rumah rindu

gerai rambutmu agar kutemui
keindahan kasih purbani
antara pura-purnama
hingga sungai itu
mengalirkan dahagaku
ke kembara jiwamu


1995


                Juli


yang paling pilu
cinta yang lena
terjerat getah pahit
mulut bulan juli

musnahlah gulita!

debu jalan membungkus bunga sajakku
dalam perut perempuan bunting
            cinta sekarat
kaukah yang mendongeng tentang rindu
dengan wajah dingin mengiris
                              sunyi pada jantungku?

malam lalu tanpa keluh
cinta telah tinggalkan tubuhmu
sebelum lahirkan kesejatian
dari rahim bulan yang biru
selalu aku berharap kau
adalah ibu, mula denyut waktu
yang penuh kasih menerima
                         benih matahari


1995




Jatiluwih, Tabanan


dari alam
kembali ke alam

dalam hutan abadi
kususuri gerak sunyi
yang menggesek cintaku
menjadi serbuk kayu
  
pegunungan kabut
liku-liku sungai
air mata haru
di sini aku
penyair pemuja keindahan
pelukis alam makna
aku setubuhi kau
harum hutan kata
hingga tercipta anak
sajakku kekal

dari alam
kembali ke alam


1995


Lintas Batas

di batas hayat
aku terjaga

telah kuarungi sunyi
yang dulu kubangun dari
kuntum-kuntum bunga karang
tiba di pintu ombakmu
tertegun aku dalam ketukan jiwa
sepucuk rindu hanyut

masih adakah bunga karang
                     yang mewangi?
desah ombak mengeja jejakmu basah
tiba di dermaga
kenanganku mengabur

dalam matamu desir senja suntuk
menghitung dingin yang ranggas
menimbun puing-puing silam
semakin mendendam rindu
akankah kau ikuti jejak sunyiku
menembang sajak-sajak bisu
                                tanpa keluh

dengan debur laut di jiwa
kita terima kesunyian
sebagai bunga karang
bekal pelayaran menuju arah
                  yang paling perih


1995

No comments:

Post a Comment