Labels

Thursday 20 October 2011

Puisi-puisi 1997

                Sajak-sajak Wayan Sunarta


Situs Candi Gunung Kawi


Bayangan candi:
wujud masa silam yang meleleh
ke dalam genang kenangan seorang bocah gembala
Penggalan kepala patung terjatuh
Menilik senja
Menebar pesona wangi yang aneh
Menjalar dalam alir nadiku
Sungguh terasa sunyi
Menelusuri jalan setapak berliku,
setapak masa silam
yang meranggaskan aku ke bumi
               beribu ribu kali
Seperti penggalan kepala patung itu,
menjelma Brahmana, Ksatria, Waisya,
Sudra, bahkan Paria. Kulakoni semua itu
Hingga tiba pada sebuah telaga,
aliran tiga mata air dewa
ke situ Kau tuntun aku
bagai keledai dungu
Membasuh wajah, tangan, kaki. Melebur jiwa
dalam wangi bunga, harum dupa, hening tirta
Hingga mite Mayadenawa, dewa dewi, bianglala
menguap bersama gemerincing uang kepeng dan
taburan dolar para peziarah
Sungguh terasa sunyi
Sendiri menciumi wangi tubuhmu, Batu Padas
Pahatan purba yang bangkitkan sayup sayup kenangan
Nelangsa doa:
aku asing di mataMu
Kau asing di mataku
Namun selalu kita saling belit
Serupa sepasang Naga kasmaran
Tunggal
Hening

Di antara gurat dan retak candi
Bayang bayang tubuhMu meleleh
Di sebuah jalan setapak
Menjelma embun
Memisahkan dunia gaib kita
Satu hal yang mutlak:
Aku terperangkap dalam ruang dalam waktu
karena karma
karena punarbhawa
Tak paham kapan awal kapan akhir letih ini
Tapi yakin,
kerinduan kepada Ibu,
mula denyut waktu
Lebih suci dari beribu sajen beribu upacara
yang menuntaskan wujudmu,
O, candi candi tua
Arca arca dewa
Semua meleleh bagai cairan darah tabuh rah
Meleleh ke palung paling kasih
dari hidupku.


1997


 Pelabuhan Buleleng


saat mengulum pasir
laut tertegun di bibirmu

muncul jenuh yang indah
membenamkan diri
menghayati
matahari yang memerah
di belahan bukit mungilmu
hingga ombak pasang surut
dalam diri

pada batas tatap mata
tak pernah kita pahami
sampai di mana jiwa letih ini
memeram doa
menuntun mata hati

tubuh kita menyala
terbasuh warna keemasan senja
ombak memerciki wajah
sekali waktu kita
seperti tak terpahami

tengadah ke langit silam
mata pucat menganga
sepasang burung laut
telah menemukan
malam pengantinnya
namun sayap sayap itu
menjadi letih
dalam sangkar keramat
sang waktu

nelayan mengemas jala
perahu perahu mengandaskan diri
aku ombak kau laut
kita terhempas dari pelabuhan
ke pelabuhan
setandas tandas waktu.


1997

 
Gerimis di Jl. Wahidin, Denpasar
         - untuk phala -

lama kita mengembara
jadi cahaya tanpa sayap

gerimis masih ranum
seperti dulu juga
hanya sarang kita
telah lapuk
sarang yang pernah
memeram kita
dalam kehangatan
kopi susu
dan doa doa puisi

cahaya tanpa sayap kita
selalu di atas malam terjaga
ingin kuceritakan pada kau
perihal kesunyian itu

segala luka
di tanganmu
menjelma bunga
dan sarang kita
yang lapuk. dan
kenangan itu juga
dan gerimis itu juga

maka jadilah kita cahaya
tanpa sayap mengembara


1997



Pura Luhur Uluwatu


beratus ratus tahun
ketika sunyi kali pertama
tersentuh tangan sang kawi
suara tekukur di bukit kekeran
masih saja karib dengan tangga
tangga batu berlumut
dengan kera kera penjaga
kawasan dewataku

sayup sayup laut melantunkan
mantram gayatri
bunga bunga kamboja suci
aroma lumut tangga batu
dan debur ombak
mengantar kembara doaku
hingga ke tebing karang
hingga ke kerang semadi

lewat sudah ratusan tahun
bunga bunga pudak masih saja
wangi dalam kakawin sang kawi
Nirartha semadi dalam kerang mutiara
dari pantai ke pantai menetaskan sunyi
di pesanggrahan dewata
tempat kesuir angin menemu ibu


1997

                
                 Malam Pengantin Pesisir  Serangan


setapak jalan bakau
kubangan lumpur setinggi betismu
        kususuri
tiba di matamu teduh,
pantai biru dan hutan bakau
melantunkan jerit manis
        malam pengantin

pagi beranjak siang dan
akhirnya berangkat senja

pun laut pasang surut
dalam kuluman kuluman lembut
yang mencandu kesadaranku
lalu jenjang lehermu
lalu bulan semu itu

dalam nikmat sunyi
puisiku lahir
namun liang liang kepiting
penyu penyu hijau
telah tergusur
bentangan hijau lapangan golf

genangan payau,
bau amis ikan ikan keracunan
kubangan lumpur. endapan
segala kotoran. semua itu
mengganggu malam pengantinku
          di pesisir serangan


1997



Puisi XXII

telah kau masuki jalan hayatku
       jalan mawar
yang selalu menawarkan wangi
       bagi taman taman puisi

pada matamu purnama
kutemukan kenyataan
              paling sunyata
merangkum duka dunia
jadi mawar sekuntum
sejak kelahiran membuka ilham
cahaya kenangan dan harapan

lewat beribu musim
lewat beribu kelahiran
dosa musnahlah
lebur segala karma
jadikan suci purnama
rangkuman suka duka
susuran jalan cahaya
mengalirlah
antarkan beribu wangi mawar
ke dalam samadiku


1997


 Hutan Cemara


hanya ular di rerimbun
daun cemara. mendesis
pun kabut di hati kita. mendesis

"tuangkan desis itu lekas
ke dalam hausku!"
                            rintihmu

kita peluk kabut
cemara menggumam: khuldi! khuldi!
kau lelap. tidurmu masih
memeram gelora gairah
yang kuhembus dari rusukku

bila kau cemara dari beribu cemara
       akulah pokok purba
yang membawamu sampai puncak

pendakian nyaris sempurna
selebihnya: malam yang cemas
       kabut yang sesat


1997


Lelaki Sunyi
     -ww-

gigilmu itu bukan karena hujan
bukan dingin
      namun lebih urai kenangan

sesungguhnya siapakah kau
lelaki berpayung daun pisang
yang sendiri
di bawah derai
gerimis

sekuntum bianglala rekah
terhimpit di celah indah
payudara yang pasrah

lalu rinai luruh
tumbuh jadi puisi
pulihkan letihmu

di basah aspal jalan
kau kacakan wajah
segurat kenangan
sekelumit kisah
perawan awan

kau ilusi
yang dibuai puisi

pelita jalan. pelita jalan
peluklah. pukaulah
lelaki sunyi
yang tak habis habis mengurai
nujuman tua itu


1997



Buyan


kabut:
           jiwa nelangsa yang perlahan turun
menyungkupi sepasang bukit mungil dan
dua ekor walet yang menari di udara
menghayati getar dingin
                                dan getir pertemuan

puncak keindahan:
                       kematian kecil
yang merayap di celah rumpun perdu
mengintip senja penyap di bibir mawar
lalu malam muncul dari pejam matamu
membuka kanal yang membuih dalam diri

 malam di perkemahan
 si terkutuk mengendap di rerumputan
 meliuk ke dalam liang tikus hutan
 yang mendadak basah seperti embun
            pada kelopak perawan

o, kemurnian hari
kembali mengingat wajah sendiri
        penuh luka
dan pada terang unggunan api
pagi tiba membawa sampan sampan
yang senantiasa menanti kenangan
                               kembali menepi


1997



 Di Tepi Danaumu


secercah gincu merah
memukau awan kelabu
ada bayangan danau biru
apitan bukit sejuk lembah
dan pohonan pinus merambah
rumah-rumah burung hantu

sambil ngunyah buah apel
di tepi danaumu
kunikmati rupawan wajahku
tak tahu ulat dalam apel
apel busuk pelukan hawa
pegunungan kabut
kau isyaratkan aku
menyelam ke lubuk danaumu
bermanja dengan ikan-ikan lucu
bermata lumut

o, nikmatnya malam laknat
berdiang di tungku perapian
saling merapatkan tubuh
matamu yang kabut
mengenang mula kutukan itu


1997

 Melintas Gerimis


sunyi, tepikan dukaku
pada gerai rambutmu, gerimis
semalam kita reguk air mata
sedalam tikaman bertubi untuk diri
untuk kau, untuk aku
tak habis-habis

jalanan muram
igau dalam igau
belukar mawar
sisa-sisa malam

kita terjerat bayang hitam
bayang masa silam
mawar selalu senyum
menawarkan duri-duri bagi jiwa

basah jalanan
motor tuaku tertatih
sarat beban pikiranku
lalu mawar lalu
harum tubuhmu

mawar menguncup kelopak
kelopak suci bulu lentik
seperti gerimis
seperti air mata


1997


Di Jimbaran Aku Mengenangmu


mengenangmu
laut hasrat akan paras bulan
namun hanya pendaran
lampu lampu restoran
merambati mimpi nelayan

kureguk nafas laut
yang dulu memberimu gairah
yang ngingatkan aku legam rambutmu
                 aroma harum bunga pandan

mengenangmu, pasir putih
jukung-jukung membusuk
di bawah temaram cahaya bulan
ombak membuih di gurat tangan nelayan
yang melepuh melabuhkan subuh
                 pada mata bocah bocah pantai

sungguh sunyi seperti ubur-ubur
menyengatku dengan racun laknatnya
tertatih menyusuri pasir putihmu
beribu camar jenuh menabur doa
di gua-gua rahasia di tepi pantaimu


1997


Sajak Penghabisan


tak ada lagi yang sisa
panggung telah dikemas
sandiwara telah kutuntaskan
dengan sekecup cium sujud

kursi-kursi tua di aula tua
menatap bisu padaku
adakah lakon lain
yang mesti dimainkan?

untuk hidup yang indah
mari tuang sedikit arak
pelepas letih yang nikmat
setelah semalaman suntuk
menjulurkan tangan pada gerimis
pada bulan pucat tanpa kata
pada parau burung hantu

sekecup cium lagi, manis
tuntaskan letihku
menggapaimu


1997

 Candi Kuning Bedugul


pada ikal rambutku
kau sesatkan diri kau
o, penjaja bunga
bermantel kabut

kau penari mawar?

di ketinggian ini
apalah arti secangkir kopi
selahap mengunyah ketan bakar
jagung muda itu menawarkan diri
ingin kulahap di dingin pegunungan

lewat pukau matamu
aku menguak pesona masa lampau
mengorek hati mulia
lumut-lumut bukit
pakis-pakis kebun raya
selintas jiwa para penjaja bunga

kelebat bayang tubuhmu
jadi batas gelap antara
unggunan api di rimba jiwa
di ketinggian ini memukat ilham
menyadap cercah kabut

penari mawar
penjaja bunga
membakar diri
di unggunan api


1997


 Perempuan dan Kupu-kupu


perempuan tua itu menjelma kupu-kupu
lalu membelit menjadi ular. lalu
menguap jadi embun. lalu
tumbuh menjelma bunga. lalu…

gadis mungil memetik bunga
dulu ia seorang nenek renta

dari tepi sungai kulihat perempuan muda
mencuci kenangan. membelai ranum payudara
dan samun turun membungkus tubuhnya

hanya puisi di sini. hanya
samun. perempuan tua itu
bicara padaku perihal kupu-kupu
yang tumbuh menjelma bunga


1997

 Gerimis Belum Usai


gerimis belum juga usai

kota yang jelata. kota yang lara
hanya malam. hanya malam
yang paham kepedihannya

ia usap air matanya
malam membuka pintu bagi dirinya
ia pun masuk ke dalam kelam

gerimis belum juga usai


1997

 Pengembara Cahaya


dari satu mawar ke lain mawar
             aku bertengger
dari satu cahaya ke lain cahaya
             aku mengembara
dengan sayap emas
kuburu keheningan pada segala
                              warna bunga

aku hanya getaran samar cahaya
seperti kesucian bunga
yang membagi hidupnya bagi serangga
            aku dilingkupi keheningan
matahari dan bulan menyatu
            dalam cahaya mataku


1997

 Lelaki Tua


sorot mata lelaki tua itu
menikam mataku bertubi-tubi
bulan sabit  penuh bercak darah
pohon kamboja gugur bunganya
angin sekarat bersuir
pondok tuak retak

dekat candi tua
kusembunyikan mataku
dari sihir mata rabun
lelaki uban

aku ngeri tatapanmu!

dulu mungkin kau dan aku
lahir sebagai seteru
dari dua kerajaan 
yang berebut kekuasaan

baik. baiklah!
kita sudahi perseteruan ini
tak peduli kau penganut ilmu hitam
aku hadapi kau dengan segala pasrah


1997

 Segala Letih Kita


setelah kau rajah dada kiriku
dengan duri itu, jadilah kesunyianku
             gambar mawarku

apalah daya. segala letih kita
telah tercatat di setiap peristiwa
hingga sayatan demi sayatan luka
             mengembun

kita telah jenuh dengan segala kesabaran
mesti asah belati
tikamkan bertubi-tubi
pada setiap wajah
topeng-topeng yang datang
silih berganti mengantar nyawa kita
ke tubuh letih ini

rajahlah lagi sebelah dadaku
dengan duri mawar beracun itu
biarkan aku tandas


1997




Tukad Unda


air atau kabut yang melabuhkan
puisiku di sungai berbatu ini
hingga mawar yang dulu kau beri
di perkampungan bunga
menyala lebih silau dari matahari

mawar cahaya
tarianmu di arus kabut
batu kali, koral dan pasir
mengurai sisi rambutmu
simpanan sunyi bulan

di pojok batu, perdu-perdu termangu
pohon enau di ketinggian itu
harum tuak yang rekah
merendam pahit-manis puisiku

mawar cahayaku
suatu waktu wajahmu menunggu
di reruntuhan puri-bulan
mengikuti alur lahar gunung agung
aliri tukad unda
kau pun berpendar

wajahmu lebih puisi
dari sunyi sungai


1997


 Kintamani


uraikan sanggul kabutmu
         o, bukit kayuselem
jadikan beribu perawan
yang menjunjung sesajen
        sembahan dewi danu

dalam genggam tangan
mengepul asap dupa
gerimis
api
gerimis
bunga sesari bumi

bapa tua penunggu waktu
muncul dari sanggul kabutmu
bersampan di danau batur
menemukan dara perawan

mengalirlah bunga
mengalirlah bunga

ada di sini: gerimis, api,
bunga, kabut, sunyi

dara perawan
mengulum
senyum bulan


1997


Mengingat Rumah


kusembahkan malamku
bagi pagimu

letihmu sejauh malam lalu
menderas dalam tawar menawar
di pasar-pasar cintamu, ibu

namun jika esok pagi
aku tak pulang, ibu
jangan kunci pintu
biar saja jendela terbuka
agar ruh pagiku leluasa
menghirup hawa kasihmu

di halaman
bunga-bunga jambu
berguguran
aku memungutnya satu-satu
merangkainya jadi kasih puisi
coba mengobati letihmu, ibu

apalah aku
selain ruhmu juga


1997


Pantai Senggigi


lebih dari beribu puisi tak mampu
membekukan kenangan itu
camar-camar tak sampai
melabuhkan matahariku di pantaimu

ombak pun luluh jadi buih
kembali pulang ke sarang air
        biru.biru.biru
angin murah hati menjejakkan
bayangmu di hampar pasir

rambutmu makin biru
        gerai, gerailah
biarkan aku mabuk di situ
berkendi-kendi anggur keabadian,
sulingan perih air mata pantaimu
tandas kureguk. tandas !


1997


 Pantai Serangan


hanyutkan diri
ceburkan diri
di hening
bayang bulan
di air payau

selalu kau terkenang
akan sepotong waktu
yang berangkat petang

kita tahu lalu
air payau itu bergaram
yang ribuan tahun
menghidupi kaum peladang
tapi mengapa kau mimpikan
mengapa kau sulap jadi daratan

baiknya kecipakkan diri
di bakaubakau di pasirpasir
di payaupayau
jadikan batin sekutu sunyi

sebelum waktu dalam diri
lelap jadi debu jadi lumpur
baiknya buai sunyi itu
jadikan puisi


1997


Bermalam di Toyabungkah 


dan kita buka percakapan
dengan kopi hangat dan
kenangan pendakian

cemara bangkit menuju danau
namun aku lebih silau
pada bayang bulan
yang menenun tanya
pada matamu:
                  di mana batas pasti
          antara kabut dan malam?

jalan ini bermuara
di keheningan danau
sebagai bongkahan lahar beku
aku lebih memilih
menjerat dan melepas
bunga-bunga rumput
menjadi sayap
beribu sayap kabut

o, danau kelabu
telah lama kau jadi kopi hangat
dalam gelas para pendaki letih
sedang aku tetap lahar beku
dalam permainan lugu
bunga rumput


1997



Pedawa, Buleleng


dari jantungmu
cinta jatuh
kabut memungutnya
perlahan

aku ingin kau putih bunga kopi
atau penuh kasih serupa kabut
yang menghayati rindu
dari kejauhan

di relung batin kau
menyekap kemarau
keheningan macam inikah
yang kita kangeni

pepohonan melepas kering daunnya
kembali ke pembaringan waktu

ke asal diri
sunyi menjelma tetes air
julangan karang cadas
dalam jiwaku penuh lubang
air cinta siapa menggerusnya
hingga aku menjadi lumpur
hanyut ke muara yang jauh


1997


                Terminal Ubung


lebih dari separuh tanya terurai
di sini
selalu ada yang menyambut
derita kehadiran atau
melepas suka cita keberangkatan

seperti sopir letih itu
aku mengemudikan denyut nafas
selalu paham suka duka
saudara satu ibu
yang lahir dari peluh
perjalanan karma

aku cari hakikatmu sampai menemu
hingga tiba saat aku berangkat
mempecundang duka
mengundang cinta
hingga tiba pula saat aku menghadapmu
o, kepala terminal


1997


                Catatan Reklamasi Pantai Serangan


                 bagaimana aku jelaskan
rasa luka itu padamu
kau telah paham
lebih dari yang kurasa
warna-warni lampu proyek reklamasi
dari tempat kita duduk
begitu memesona
kau tentu tahu
begitu banyak korban di situ
dari mahkluk yang paling papa
hingga dewa-dewa jagat ini
tergerus kenyataan pahit
yang berwajah anggun pariwisata
kita hanya bisa saling pandang
dalam perih
yang senantiasa berulang
rapatkan tubuhmu
lebih hangat ke dadaku
aku ingin rasakan bagaimana kau
bernyanyi tentang jiwa yang letih
sebelum kita saling yakin
ada bagian dari hidup kita
yang senantiasa basah oleh luka
tentu kau pun tahu
adalah kenangan yang kembali
mempertemukan kita di pantai ini
merasakan pedih desah ombak
yang tak berdaya dengan diri sendiri
pun karang-karang kapur itu
hanya saja kita berusaha paham
ada ihwal yang pecah antara
jarak tatap mata kita
hingga kangen meluncur dari bibirmu
basah oleh kenangan
setandasnya kukucup
sebelum deru mesin
proyek reklamasi
melecut kesadaran kita
:pantai cinta ini telah memadat
jadi hamparan kapur


1997


Mawar Bulan


telah kau peram itu malam
berbenih-benih kenangan
yang akan mengalirkan
air mata kangen pada dua telaga angan
mawar bulan berkilau
lawatanmu jadi gairah pertemuan
yang memabukkan

sebab pukau mawar bulan itu
kau lalai akan waktu
menjadi sia-sia hayatmu
gumulan hidup matimu
mengelupas hari-hari rindumu
pukauan mawar bulan menujum
untung-malangmu
berayun pada dua telaga

jalan akhir yang berliku
membuka puncak paling rahasia
bagi pendakianmu, penyair!


1997

                Di Warung Wonocolo, Denpasar


risau itu juga
yang menempias rasa
saling diamkan jiwa
dalam aroma sop ikan
di hadapan kita

telah kita pahami
sahaja cahaya cinta
pun lampu jalan
yang begitu setia menjaga
setiap denyut kehidupan

lampu jalan yang sunyi
yang mirip hati kita
dari warung mungil ini
tetaplah heningkan jiwa
beri senyum bagi dinihari
yang mekar dalam sop ikan
di hadapan kita


1997




No comments:

Post a Comment