Labels

Tuesday 18 October 2011

Serenade Jakarta

cerpen: Wayan Sunarta


Pagi belum sempurna. Aku masih betah membungkus tubuh dalam selimut. Hangat tubuhmu menjalari tubuhku. Kau menggeliat, aku mempererat dekapan. Kau melenguh. Pagi akan segera merekah, mekar seperti bunga.
Tapi ini Jakarta, bisikmu, tidak ada pagi yang mekar seperti bunga. Pagi selalu layu diinjak orang-orang yang bergegas berangkat kerja, seakan ngeri ditinggalkan waktu. Ya, ini Jakarta, gumamku, orang-orang tidak lagi mampu menikmati pagi tanpa merasa was-was ketinggalan bus, atau ditinggal hari yang melaju tergesa.
Dan, tentu hari ini bukan Minggu, segenggam waktu yang luang untuk bersantai dan melenggang. Ini Senin, Sayang. Tapi meski Senin, kita masih betah berdekapan di bawah selimut hangat kamar apartemenmu yang berpendingin. Kita saling berbagi hangat dan hasrat, seperti muara yang bertemu lautan biru.
            Sehabis menikmati cinta yang tidak terlalu tergesa-gesa di pagi hari, kau  bergegas ke kamar mandi: pipis, membilas bagian tubuh yang masih hangat dan rawan, mencuci wajah, dan tak lupa gosok gigi. Sambil sedikit mengeluh ditinggalkan pagi, kau melangkah ke dapur kecil di sudut ruang apartemen. Dapur mungil bercat biru yang kau suka. Di situ kau menemukan sedikit hiburan sebagai perempuan. Kau nyalakan kompor gas yang memancarkan api yang juga biru, seperti api cinta kita yang baru menyala. Kau menjerang air dalam ketel. Beberapa menit kemudian aroma wangi kopi memenuhi ruangan. Wangi kopi itu yang selalu mempertautkan aku dengan tanah kelahiran.
            Aku hampir lupa, aku pernah berkisah padamu. Aku lahir di suatu desa yang memiliki kebun kopi yang luas dan rimbun dan hijau. Pada malam hari musang-musang suka berkeliaran di kebun, mencuri buah kopi matang,  meninggalkan remah-remah dan kotorannya yang bercampur biji kopi. Ketika masih kanak aku suka diajak Ibu mengorek-orek kotoran musang dan memunguti biji-biji kopi yang disisakannya. Kopi dari kotoran musang itu enak dan gurih rasanya. Orang desaku mengenalnya dengan kopi loak. Agaknya kopi yang kau seduh itu termasuk jenis kopi yang masih membekas dalam kenanganku. Kopi yang membuatku kecanduan. Bahkan sampai saat aku terdampar di kotamu ini aku masih suka melacak jejak wangi kopi pada warung-warung pinggir jalan atau kafe-kafe tempat aku biasa nongkrong. Namun tak pernah kutemukan kopi segurih dan senikmat kopi loak di tanah kelahiranku.
            Aku masih bermalas-malasan di atas kasur empuk apartemenmu. Di luar tentu udara mulai panas dan gerah. Di kamar ini tubuhku lebih merasa nyaman dan adem. Harus kuakui kau pintar memilih apartemen di kota yang sumpek dan semrawut ini. Tidak banyak perempuan yang seberuntung kau. Keluargamu kaya dan kau benar-benar menikmati hidup di kota metropolitan. Yang aku banggakan dari kau, meski kau dari keluarga berada, tapi kau lebih memilih hidup sendiri dan mandiri. Atau kau ingin mencecap kebebasan sesuka hatimu?
Dengan senyum merekah bagai bunga matahari, kau muncul dari dapur membawa nampan berisi dua cangkir kopi dan sejumlah keping biskuit. Kau nampak lebih cantik dengan rambut masih awut-awutan belum tersentuh sisir. Darahku kembali berdesir. Gaun tidur yang masih melekat pada tubuhmu tak kuasa menyembunyikan sepasang benjolan sebesar buah kelapa gading muda pada hamparan dadamu yang bagai pualam putih. Pucuk benjolan itu mencoba berontak pada kain tipis lembut yang melindungi kulitmu. Darahku kembali berdesir, padahal baru saja kita selesai bergumul dalam kehangatan selimut.
            Kau menaruh kopi di atas meja, lalu melangkah menuju pinggir ranjang. Aku pura-pura masih tidur. Dengan mesra kau kecup keningku. Aku pura-pura menggeliat. Kau berbisik di kupingku: “Hari sudah siang, sayang, ayo bangun!” Aku membuka mata dan senyum seperti bocah tanpa dosa (meski kita telah berkali-kali bikin dosa). Tanpa kau duga, aku menyergap tubuhmu, membantingnya di kasur dan kemudian menindihnya. Kau meronta, menjerit-jerit manja. Seperti seekor ular liar kupagut bibirmu yang ranum. Tapi ajaib, kau malah melumat pagutanku tanpa ampun. Pagi menjelang siang. Kita kembali bergumul seperti dua singa buas yang asyik berkasih-kasihan di Kebun Binatang Ragunan yang pernah kita kunjungi.
            Kopi di meja menjadi dingin. Aku bangkit dari ranjang. Kau lemas tak berdaya. Aku melangkah menuju jendela, menikmati suasana kota dari ketinggian. Dari lantai sepuluh apartemenmu aku menatap hamparan kota Jakarta. Gedung-gedung kelabu bagai raksasa-raksasa rakus yang siap menghancurkan apa saja. Tugu Monas tegak menjulang bagai lingga Siwa. Itukah simbol kejantanan Jakarta?
            Aku melongok ke bawah. Jalan-jalan padat dipenuhi berbagai jenis kendaraan. Bajaj bertarung dengan bus-bus kota. Deru bercampur asap knalpot. Para pejalan kaki bersliweran mencari tujuan masing-masing. Warung kakilima berderet-deret di pinggiran jalan. Kuli-kuli galian kabel sibuk membongkar aspal. Beberapa pencopet mengawasi keadaan, mencari-cari kesempatan. Sedangkan di kamar apartemenmu, aku telah sukses mencopet cintamu, atau setidaknya hasrat purbamu.
            Dari jendela aku melangkah ke kursi kayu, duduk menghadap meja. Aku belum mandi, meski hari sudah merangkak siang. Kopi di meja kuraih agar tidak semakin dingin. Kau juga duduk di depanku, menatapku mesra, seakan puas dengan pelayananku, sejak kita bersama. Aku meraih tanganmu, merabanya lembut, lalu mendekatkannya ke bibirku. Kukecup telapak tanganmu penuh rasa hormat dan cinta yang tak mampu kuukur berapa dalamnya.
            Aku kembali ke arah jendela, menatap hamparan Jakarta yang semakin kelabu diliputi asap kendaraan dan pabrik. Monas menjulang dengan anggun sekaligus angkuh. Api emasnya menyala kuning berkilau-kilau diterpa cahaya matahari. Api yang tak kunjung padam itu seperti api dalam jiwa kita yang selalu merindukan cinta murni, mungkin seperti emas pada puncak Monas. Entah apa yang dipikirkan Soekarno saat mendirikan tugu itu di tengah kemelaratan rakyatnya.          
Kau melangkah ke dapur, menyiapkan makan siang. Aku mengenang pertemuan denganmu. Oh, kenapa kita tidak juga mampu terbebas dari kenangan? Mengapa kenangan selalu suka menguntit perjalanan kita? Tapi bagaimana pun juga aku berhak memiliki kenangan dan mengenangmu. Begitu juga kau. Ah, mungkin ini agak terlalu sentimentil untuk kau yang sudah terbiasa dengan kehidupan bebas di kotamu. Tapi tak apalah.
            Masih ingatkah kau, pertemuan pertama kita di sebuah kafe di TIM? Ketika itu aku lagi asyik bercengkerama dengan para seniman yang biasa kongkow minum kopi sambil sesekali menikmati pinggul mahasiswi tari yang melintas di depan kafe. Sempat juga aku berpikir mengapa para seniman itu suka bermalas-malasan? Mengapa tidak bertapa saja di dalam kamar dan berkarya sebanyak-banyaknya? Tapi aku pikir diriku juga salah satu di antara seniman yang malas itu.
Aku seorang pelukis yang sesekali juga suka menulis puisi. Lukisanku jarang laku meski sudah lebih dari sepuluh tahun aku melukis. Sempat juga beberapa kali pameran bersama sejumlah pelukis muda di beberapa tempat. Kalaupun ada sebuah lukisanku yang laku dengan harga lumayan, uangnya pasti akan segera habis untuk keperluan melukis dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sesekali juga mentraktir kawan-kawan senimanku yang malas-malas itu, minum bir di kafe.
            Saat kami asyik ngobrol ngarol-ngidul, tiba-tiba kau menghentikan detak jantungku dengan aroma parfummu yang mendebarkan. Kau melintas di depan kami. Diam-diam aku melirik lembut wajahmu, tepat saat kau pun melirik ke arahku. Beberapa detik mata kita beradu. Tanpa kuduga kau mengambil kursi dan ikut bergabung bersama kami. Seorang kawan penari mengenalkan kau kepadaku. Ternyata kau sudah akrab dengan para seniman yang sering kuajak nongkrong itu.
Rambutmu yang sebahu, tubuhmu yang memeram hasrat purba, gaya bicaramu yang santai sambil sesekali menghisap rokok putih, telah menarik perhatianku. Menatapmu, sempat menyisakan pikiran ngawur dalam benakku. Namun belakangan, setelah kita akrab, aku baru tahu bahwa kau sangat baik dan batinmu penuh luka masa lalu. Aku merasa malu dengan pikiran ngawur itu.
Ketika kukenalkan diriku dari Bali, kau semakin tertarik mengajakku ngobrol. Tapi aku yakin sebenarnya kau lebih tertarik pada Bali ketimbang aku. Kau banyak berkisah tentang masa-masa indahmu saat berkunjung ke Bali. Kau bercerita pernah belajar tari Bali pada seorang maestro tari dari sebuah desa di Ubud. Belakangan aku tahu kau adalah mahasiswi tari tingkat akhir. Aku hanya senyum menanggapi kenanganmu. Namun aku sendiri menjadi malu karena kita telah menjadi pusat perhatian dalam kafe.
            Sejak perkenalan itu beberapa kali kita sering bertemu di tempat yang sama, di kafe itu. Kadang kita juga suka membuat janji di sana. Hingga akhirnya kau berkenan mengundangku ke apartemenmu. Sebagai orang yang baru beberapa bulan menetap di Jakarta, aku merasa beruntung cepat akrab dengan seniman yang suka bohemian di TIM. Lebih beruntung lagi bisa akrab denganmu.
Beberapa kali kau mengajakku mengunjungi tempat-tempat yang kau anggap menarik di kotamu, terutama hiburan malam. Kita minum cocktail sambil menikmati tiupan saxophone di sebuah kafe. Pada waktu lain, kita berjingkrak-jingkrak dalam diskotik sambil mengisap mariyuana. Sesekali kau mengajakku mengunjungi Taman Impian Jaya Ancol, berwisata ke Kepulauan Seribu, melancong ke Pelabuhan Sunda Kelapa, mengunjungi beberapa museum (lewat foto lawas menikmati Batavia masa lalu), nonton Tarian Cokek, mendengar musik Gambang Kromong, dan banyak lagi. Ternyata kau begitu menyukai keindahan. Lebih-lebih lagi kau benar-benar menjadi pemandu yang baik bagiku. Aku menjadi tersihir dengan pesona kotamu.
 Kau tahu, aku mulai merasa memilikimu, meski kau susah dikekang. Meski aku telah beberapa kali menginap di apartemenmu, tapi kau merasa tidak bersalah mengundang lelaki lain juga menginap di apartemenmu. Sebagai lelaki normal tentu aku tersinggung. Aku dipanggang cemburu. Berkali-kali aku menuntut kesetiaanmu. Tapi dengan enteng kau bilang tidak ada kesetiaan di kota yang bernama Jakarta. Yang ada hanyalah kesenangan, sebelum pada akhirnya kembali berkubang dalam kemuakan kota. Mungkin aku lelaki yang terlalu melankolis. Meski aku pernah lama menetap di beberapa kota besar, tapi tetap saja aku merasa aneh menghadapi Jakarta, terutama memahami caramu menghargai cinta. Akhirnya dengan sedih kuputuskan untuk pergi dari sisimu. Kau tidak berusaha mencegahku. Hanya saja sekilas kubaca rasa kecewa yang mengambang pada indah matamu.
Aku pergi membawa luka, menggelandang di kotamu. Kembali aku bergaul dengan para seniman bohemian dan preman jalanan. Kembali aku menyusuri kehidupan malam di rel-rel kereta api. Aku merasa menjadi sampah di kotamu.
            Hingga suatu hari ponsel bututku berdering. Tanpa kuduga suaramu yang merdu mengundangku kembali ke apartemenmu. Kau merayu. Kau tahu, aku tak kuasa menghadapi rayuanmu. Akhirnya, dengan perasaan campur-aduk aku menuju apartemenmu. Kau menyambutku dengan pelukan dan tangisan. Setelah tenang kau berkisah tentang lelaki yang menipumu, yang menghancurkan hidupmu yang memang sudah hancur. Aku ikut berduka. Aku murka pada lelaki laknat itu, ingin kuhajar ia. Tapi hatiku kembali luruh saat bibirmu yang basah menyentuh bibirku. Tak tertahan lagi, kita pun bergumul di bawah selimut hangat.
               Siang telah menggelincir begitu cepat. Dari lantai sepuluh aku menatap hamparan Jakarta yang kini disepuh warna keemasan senja. Aku baru sadar sejak pagi tadi kita belum mandi. Kau tertawa renyah menyadari ketololan kita. Aku membopongmu ke kamar mandi. Air hangat mengalir dari kran memenuhi bathtub. Kita berendam dan berangkulan. Senja sempurna. Serenade Jakarta menggema dalam jiwa.***


Jakarta-Denpasar, 2004 


Dimuat di Suara Pembaruan, 3 Oktober 2004







No comments:

Post a Comment