Labels

Thursday 20 October 2011

Jimat Tikus

cerpen : Wayan Sunarta


            Walau agak ragu, namun akan saya kisahkan pada Anda, sepenggal pengalaman saya menjadi tikus cerurut. Sejenis tikus yang tampangnya paling tidak menarik, tidak lucu atau imut seperti tikus rumah atau tikus sawah, tidak bersih dan putih seperti tikus percobaan di laboratorium, apalagi menawan dan memesona seperti tikus kantor. Saya hanyalah tikus yang sangat menjijikkan, yang hidup dan mencari sisa-sisa makanan di comberan berbau busuk. Namun siapa yang menyangka, kalau saya adalah pemegang rahasia rencana-rencana busuk dari sejumlah tikus…
           Sampai saat ini pun saya masih diliputi kebingungan. Apa yang harus saya lakukan dengan rahasia yang saya dapat dari hasil menguping percakapan tikus-tikus itu. Saya terancam dan diliputi berbagai kecemasan karena rahasia yang saya pegang. Cepat atau lambat, saya akan menjadi cerurut yang dikejar-kejar oleh tikus yang lebih besar dan berkuasa.
Baiklah, saya akan segera membuka cerita saya.
Sebelum saya berubah menjadi cerurut, saya hanyalah seorang waker di sebuah perusahaan milik negara, yang demi sopan santun dan terlebih lagi keselamatan nyawaku sendiri, saya tidak akan menyebut nama perusahaan itu. Tapi suatu saat nanti, kalau masih ada kesempatan, terutama ketika saya tidak kuat lagi diteror oleh rahasia yang saya simpan serapi mungkin dalam lipatan hatiku yang paling dalam, maka dengan terpaksa saya akan bongkar semua yang menjadi rahasia saya di hadapan khalayak semua.
          Anda sekalian pasti ingin tahu nama saya. Baiklah. Untuk hal yang satu ini tidak ada rahasia-rahasiaan. Nama saya sederhana saja, sesederhana penampilan saya sehari-hari. Maklum, saya bukanlah bos yang bisa tampil perlente setiap hari. Saya hanyalah seorang waker.
         Nama saya, Cilik. Memang, saya berasal dari trah wong cilik. Namun bukan karena itu saya dinamai Cilik. Postur tubuh saya kecil dan ceking. Karena postur tubuhku itulah saya sering dipanggil Cilik oleh kawan-kawan saya di kampung. Bahkan di KTP pun saya memakai nama Cilik.
        Saya sendiri sudah lupa siapa sebenarnya nama lengkap yang diberikan orang tua kepadaku—mereka mati karena wabah diare ketika saya berumur 7 tahun; aneh, saya sendiri selamat dari wabah itu. Dan sejak itu, saya pergi dari kampung kelahiranku untuk menyabung untung di kota. Nama lengkap bagi saya tidaklah terlalu penting. Sebagai salah satu penghuni kota dari kelas urban ini, yang terpenting adalah asal bisa makan dan melanjutkan hidup, itu sudah cukup, syukur-syukur kalau bisa melanjutkan keturunan.
           Saya mengidap penyakit susah tidur yang parah. Daripada terjebak melakukan pekerjaan yang tidak-tidak, saya memberanikan diri melamar menjadi waker di kantor tempatku bekerja sekarang ini. Waktu itu umur saya baru 17 tahun. Mungkin karena karunia tuhan atau anugrah leluhur, saya akhirnya diterima menjadi waker. Meski gaji pas-pasan, bersyukur juga saya tidak punya banyak mimpi untuk beli ini-itu.
          Sekarang sudah hampir sepuluh tahun saya mengabdi sebagai waker di kantor, yang demi sopan santun dan rasa terima kasihku, tidak mau saya sebut namanya itu. Namun begitu, toh jabatan saya tidak pernah naik, saya masih tetap sebagai waker, meski negeri ini telah lima kali mengganti presidennya. Tapi, jabatan bagi saya tidak terlalu penting. Asal bisa hidup saja, itu sudah cukup. Bahkan setahun lalu, saya berani melamar Iyem, pembantu bosku, sebagai istri saya.
          Asal tahu saja, saya telah mengenal dengan baik seluk beluk kantor tempatku bekerja. Paling tidak saya tahu di mana meja bos, di mana toilet, di mana brankas penyimpanan surat-surat penting, di mana pintu belakang tempat bos sekali waktu memasukkan selingkuhannya, dan sebagainya.
         Selama sepuluh tahun mengabdi, baru beberapa bulan terakhir ini saya merasa tidak nyaman. Pekerjaan saya menjadi bertambah. Dari hanya menjadi penjaga malam, mendapat kerja tambahan mengusir tikus. Sudah berbagai macam obat dan racun tikus saya sebar, namun satu pun tak mempan. Bahkan berbagai jenis perangkap sudah pula saya pasang di berbagai sudut kantor. Tapi tikus-tikus itu seperti sudah mengenal dengan baik seluk beluk kantor. Mereka semakin merajalela. Mereka menggerogoti arsip-arsip penting, disket, kabel komputer, buku-buku utang-piutang, buku pajak, buku kas, bahkan tissu WC yang sering nangkring di atas meja juga digerogoti. Sialan, dari mana datangnya tikus-tikus itu.
         Saya sering berkeluh kesah perihal kelakuan tikus-tikus itu pada Karto, satpam kantor sebelah, yang hampir setiap malam saya ajak bermain catur di kantor tempatku bekerja. Suatu kali, di sela-sela keasyikan bermain catur, Karto menyuruh saya memasang perangkap. Padahal itu sudah pernah saya lakukan.
           “Pasang perangkap saja!” ujar Karto.
      “Tidak mempan. Sudah pernah kucoba. Tikus-tikus itu agaknya punya naluri tajam untuk menghindari perangkap,” jawab saya jengkel.
          Sejenak Karto terdiam, kemudian berkata lagi. “Sudah coba pakai racun tikus? Pasang di setiap sudut kantor. Kalau perlu juga pasang di setiap laci-laci meja.”
         Saya tambah jengkel. “Sama saja. Aku sudah coba. Namun tetap tidak mempan juga. Banyak arsip dan buku-buku penting kantor juga digerogoti tikus-tikus keparat itu.”
“Apa bos-mu sudah tahu?” Wajah Karto nampak cemas.
“Belum sih,” jawab saya singkat.
         Tiba-tiba saja Karto ketawa, mungkin dia lucu melihat tampang saya yang kusut. “Kalau begitu kau tenang saja dulu. Perutku lapar nih, makan bakmi dulu, yuk! Perut harus diisi dulu, baru kita bisa berpikir dengan jernih. Tenang saja, aku punya saran bagus untukmu!”
Sialan. Masalah tikus belum selesai, Karto malah mengajak saya makan bakmi. Tetapi, perut saya juga lapar, dari siang belum makan. Maka saya pun setuju ajakan Karto. Kami memanggil tukang bakmi yang kebetulan lewat di depan kantor.
Sambil menunggu bakmi, Karto nyerocos lagi. “Janganlah kau terlalu bersedih, kawan. Aku tahu cara memberantas tikus-tikus itu”.
Saya tidak sabaran. “Gimana caranya?” 
“Makan dulu bakmimu. Setelah itu, kau bayarin juga bakmiku ya..” ujar Karto kalem.
“Sialan, dasar pemeras!” umpat saya.
          “Lho, Kawan, kau tahu ‘kan? Sekarang ini jaman informasi. Kau tahu ‘kan, informasi itu mahal. Informasiku ini termasuk paling murah karena hanya kau tukar dengan semangkuk bakmi…” Karto membela diri.
Saya mulai kesal lagi. “Ya..sudah, jangan berkhotbah. Cepat katakan apa saranmu itu? Aku sudah pusing ngurusin tikus-tikus sialan itu…”
“Sabar, bung! Sabar! Yaah…ini hanya saran saja. Kau suka nonton TV ‘kan? Di sana banyak ditayangkan kisah-kisah misteri dan berbagai penampakan…”
“Lalu, apa hubungannya dengan tikus?”
“Nanti dulu. Sabar. Aku belum selesai bicara,” Karto senyum-senyum.
Saya melahap bakmi yang sudah terhidang di depan mataku yang lapar.
“Begini. Ada baiknya kau tanyakan perihal tikus-tikus itu ke dukun. Siapa tahu dari sana kau mendapatkan saran dan ramuan mujarab untuk memberantas tikus-tikus yang meresahkan kantormu itu. Aku punya alamat dukun yang bisa kau hubungi. Gimana?”
        Saya kaget mendengar saran Karto. “Gila kau. Masak masalah tikus saja perlu ditanyakan ke dukun. Mending kalau masalah bos yang kena santet, atau anak sakit, atau istri kena guna-guna, atau mohon jimat agar disayang bos. Tapi ini ‘kan masalah sepele…”
        “Sepele gundulmu! Masalah tikus yang menyerang seperti wabah itu, bukan masalah sepele, tapi masalah serius. Lebih serius dari pemilihan presiden. Tikus-tikus itu harus diberantas, dibumihanguskan, bagaimana pun caranya, termasuk memasukkan pengaduan ke dukun.”
Tapi akhirnya saya mencoba mengikuti saran Karto.“Yahh, baiklah, kalau saranmu itu memang manjur, besok siang aku akan menghubungi dukun itu.”

***

Saya mendatangi alamat dukun yang diberikan Karto. Setelah melewati jalan-jalan kampung yang becek karena musim hujan berkepanjangan, saya tiba di depan gubug yang cukup menyeramkan. Menurut beberapa orang kampung yang saya tanya, memang benar itulah rumah dukun yang konon sakti itu, yang dalam sekejap mampu mengusir tikus yang menyerang tanaman padi dan palawija para petani di kampung itu.
Saya berdiri di pintu gubug. Mengetuk pintu.
“Permisi, Mbah!”
Tidak ada yang menyahut. Saya memanggil lagi.
Setelah sapaan yang kedua kalinya baru pintu gubug terbuka. Muncul sosok lelaki tua berambut panjang ubanan. Pakaiannya hitam dan kumal. Kakinya yang tampak selalu gemetaran disangga oleh tongkat berkepala ular.
 “Hehh… rupanya ada tamu. Silakan masuk, Nak. Maaf ruangannya berantakan. Belum sempat dibersihkan. Silakan duduk.”
Dengan ragu-ragu saya duduk di atas tikar lusuh dan bolong di sana-sini. Jangan-jangan karena digerogoti tikus. Ruang praktek dukun itu sungguh menyeramkan. Di berbagai sudut penuh dengan pernak-pernik perdukunan, seperti tengkorak manusia yang entah dari mana didapat, tempat hio yang terus mengepulkan asap, jambangan berisi air suci, keris-keris kuno, batu-batu akik, akar-akar kayu…
 Saya asyik mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Mbah dukun berdehem. Saya sedikit kaget, lalu buru-buru mengutarakan maksud kedatangan saya.
“Eee…begini, Mbah…emm….maksud kedatangan saya…”
Mbah Dukun manggut-manggut.
“Tidak perlu dijelaskan. Mbah sudah tahu maksud kedatanganmu. Anak ingin mencari jimat tikus yang mujarab ‘kan?”
Saya heran dengan tebakan dukun itu. Saya bukan mencari jimat, tetapi mencari ramuan pemberantas tikus.
 “Dari mana Mbah tahu?”
Mbah Dukun tertawa terkekeh-kekeh.
“Mbah ‘kan dukun…Tetapi, itu tidak penting. Banyak orang kampung, dan bahkan lebih banyak lagi orang kota perlente, yang datang kemari untuk membeli jimat tikus. Agar orang itu bisa menjelma tikus pada saat-saat yang diinginkannya. Dengan cara berubah wujud itu, mereka akan leluasa  menggerogoti apa saja, merusak apa saja, tanpa orang lain tahu kelakuannya.”
        “Tapi, Mbah, saya ke sini bukan untuk memohon jimat yang bisa menyulap tubuh saya menjadi seekor tikus. Tapi, saya justru memohon dan minta saran, bagaimana caranya memberantas tikus-tikus yang menyerang kantor tempat saya bekerja. Saya ini hanyalah seorang waker, Mbah. Setiap malam kerja saya ya…menjaga kantor agar aman dan tenteram, termasuk dari gangguan tikus, Mbah.”
 “Oo…Mbah keliru. Maafkan Mbah ya…Mbah salah duga. Kadang-kadang dukun juga bisa keliru merumuskan tujuan kedatangan para pasiennya he…he…he…”
“Tidak apa-apa, Mbah.”
Setelah terdiam sejenak, dukun itu kembali bicara. “Ooo…jadi Anak ingin mencari ramuan pembasmi tikus, ya? Bukan jimat tikus toh. Ehmm…Anak tidak tertarik mencoba jimat tikus Mbah?”
          “Tidak, Mbah. Saya hanya memohon ramuan pembasmi tikus yang paling mujarab sejagat.”
Mbah Dukun termenung agak lama. Ia nampak menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin saja penuh kutu dan ketombe. Tiba-tiba dukun itu seperti tersengat kalajengking.
“Waduh, Nak! Mbah lupa, di mana ya…Mbah simpan ramuan pembasmi tikus itu. Soalnya sudah lama Mbah lupakan ramuan itu. Akhir-akhir ini tidak ada lagi orang yang mencari ramuan seperti itu. Kalau pun ada yang memerlukan, paling-paling cuma orang kampung, untuk mengusir tikus sawah, bukan tikus kantor he…he…he..Yang masih Mbah simpan malah jimat berbagai jenis dan ukuran. Jimat macam ini yang paling sering dicari oleh orang-orang kota dan paling laris. Kalau Anak mau, boleh dicoba kok, gratis he…he…he…”
Dasar dukun sableng! Saya datang jauh-jauh bukan ingin mengubah wujud menjadi tikus, melainkan membasmi tikus…
 “Jangan bilang Mbah sableng. Jelek-jelek begini Mbah masih diperlukan oleh orang kampung di sini…dan juga orang kota he..he..he..”
Rupa-rupanya dukun ini bisa membaca isi hatiku. Saya buru-buru minta maaf, sebelum dikutuk jadi kodok. “Maafkan saya Mbah. Maksud saya, orang-orang yang membeli jimat yang mampu mengubah diri menjadi tikus itu memang sableng.”
     Dukun itu mendekatkan kepalanya ke wajah saya. Saya ngeri melihat wajahnya yang menyeramkan. Ia berkata, “Nak, perlu kamu ketahui, Eyang Ronggowarsito pernah bilang bahwa sekarang ini jaman edan. Kalau tidak ikut edan, maka akan cepat ketinggalan jaman. Lebih baik kamu coba saja jimat tikus Mbah. Sekali-kali cobalah rasakan bagaimana enaknya menjadi tikus. Gimana?”
Sialan betul Karto! Dia telah mempermainkan saya. Masak saya ditunjukkan dukun konyol kayak begini! Awas nanti kalau saya balik ke kantor. Tapi, boleh juga saran dukun ini kucoba…
Mbah Dukun melihat saya ngomel-ngomel sendiri. Saya buru-buru menerima sarannya. “Baiklah, Mbah, saya akan coba jimat Mbah. Siapa tahu dengan menjadi tikus saya bisa melihat tikus-tikus di kantor itu, apa benar-benar tikus atau tikus jadi-jadian..”
Dukun itu terkekeh-kekeh, keras sekali. “Lha…justru itu yang Mbah maksudkan. Percuma kamu memakai ramuan pembasmi tikus, sehebat apa pun ramuan itu. Kamu harus menyamar jadi tikus untuk melihat tikus lainnya dan mencari rahasia memberantas mereka. Paham?”
       Mbah Dukun kemudian memberi saya bungkusan kecil berwarna putih yang entah apa isinya. Saya ingin buru-buru pulang, dengan agak ragu saya kemudian pamitan. “Baiklah, Mbah. Saya akan mematuhi nasehat Mbah. Saya mohon pamit, Mbah.”
      Saya sudah hampir keluar dari gubug ketika dukun itu berkata dengan sedikit keras, “Eee...nanti dulu. Ingat, kalau kamu memakai jimat itu, kamu hanya bisa menjadi tikus cerurut. Kodratmu memang hanya sampai di situ. Kamu tidak akan mungkin bisa mengubah diri menjadi tikus kantor…”
Saya terkesiap dan sedikit merasa terhina. Tapi tak apalah, yang penting bisa mengubah diri jadi tikus…
“Tidak apa-apa, Mbah. Saya terima dengan ikhlas. Saya pamit, Mbah.”

***

Saya pulang membawa jimat tikus yang dihadiahkan dukun itu. Jimat itu hanya berupa buntelan kecil berwarna putih yang entah apa isinya. Dukun melarang saya membukanya. Kalau saya ingin menjadi tikus, saya harus mengalungkan buntelan itu dileherku dengan mengucapkan beberapa baris mantra yang juga telah diberikan Mbah Dukun.
Ehmm…apa salahnya saya mencoba menjadi tikus? Siapa tahu dengan cara ini saya malah mendapat banyak informasi yang berkaitan dengan wabah tikus di kantor tempatku bekerja.
Jam sepuluh malam saya berangkat ke kantor. Saya memang bekerja dari jam sepuluh hingga jam enam pagi. Saya mengantongi jimat yang diberikan dukun itu. Saya penasaran ingin mencobanya.
Seperti biasa, setelah berkeliling memeriksa keamanaan kantor, saya akan rebahan di kursi kayu depan kantor, atau main catur dengan Karto. Tetapi, ketika saya memeriksa ruang kerja para pegawai, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja tikus-tikus itu sudah memenuhi meja, menaiki komputer, menyelinap ke dalam laci, menggerogoti kabel, buku-buku dan berbagai peralatan penting kantor. Ini benar-benar pesta tikus. Tikus-tikus itu berpesta pora sepuas-puasnya. Ada yang bercicit seperti melantunkan nyanyian, ada yang minum dari sisa kopi pada cangkir yang lupa dibersihkan oleh pelayan kantor, ada yang berjingkrak.
Perlahan saya mengambil sapu ijuk. Kemudian saya mengejar dan memukul tikus-tikus yang berlarian pontang-panting itu. Tikus-tikus itu sekejap ketakutan, tapi sebentar kemudian muncul lagi mengajak beberapa kawan baru. Waduh…tikus-tikus itu makin banyak saja, mereka ada hampir di setiap ruang kantor, hampir di setiap meja dan laci…
Saya teringat jimat yang diberikan Mbah Dukun. Saya mencari tempat aman dan merafalkan mantra sambil mengenakan jimat itu dileherku.
Astaga…! Benar kata dukun itu. Saya melihat perut saya penuh ditumbuhi bulu kelabu. Pantat saya keluar ekor yang menjijikkan seperti ekor cerurut. Saya buru-buru mencari cermin. Ya, Tuhan, mulut saya telah tidak ada, digantikan moncong lancip yang juga sangat menjijikkan. Oh…ada kumis yang jarang dan kaku diantara moncong saya. Mata saya yang cekung kini malah melotot dan hitam mengkilat seperti kancing baju. Ya, Tuhan, saya telah berubah menjadi seekor cerurut!
Beberapa menit kemudian saya mulai bisa menguasai diri. Tiba-tiba di depan saya lewat dua ekor tikus gemuk dan berperut buncit. Tikus-tikus itu agaknya tidak memperhatikan saya. Sebagai tikus asing, saya buru-buru sembunyi di kolong almari yang ada di ruang bosku. Tapi betapa kagetnya saya, dua tikus gendut itu malah masuk ke ruangan bosku. Saya tidak terima, saya ingin segera mengusir mereka. Tapi, menyadari keadaan saya yang telah berubah wujud, saya urungkan niat saya untuk mengusir mereka.
Aneh, saya mengerti percakapan tikus-tikus itu. Kenapa saya bisa mengerti bahasa tikus? Apa karena saya telah berubah menjadi tikus? Ya, Tuhan, tikus-tikus itu agaknya membicarakan suatu masalah yang gawat. Saya menguping pembicaraan mereka.
Tikus yang paling gendut berkata, agak cemas, “Wakermu itu perlu diwaspadai. Dia agaknya sudah mencium gelagat dan kebusukan kantor ini. Hampir setiap malam dia mengejar-ngejar kita dengan sapu ijuk. Tadi, hampir saja aku tewas  dikemplang sapu ijuknya, syukur aku bisa berkelit...”
      “Tenang saja. Rencana kita tidak akan diketahui oleh waker tolol itu. Kita baru merampungkan separuh pekerjaan kita. Ini masih setengah jalan, Kawan.”
Saya terkesiap. Ya, Tuhan, ampunilah hambamu yang berdosa ini. Itu ‘kan suara…suara Pak Yusuf, kawan baik bosku, yang sekali waktu juga suka memberi saya uang rokok kalau kebetulan dia berkunjung ke kantor ini. O, jadi dia yang hampir kena kemplang sapu ijuk saya tadi? Dan, yang diajak bicara itu persis suara bosku, Pak Tan.
Saya mencoba mengintip, dan benar saja itu bosku sendiri. Waduh, kok bisa jadi begini? Mereka lagi merapatkan saya, apa mereka ingin menyingkirkan saya? Oh...lebih baik saya cepat-cepat minta maaf sebelum saya dipecat dari kantor yang kucintai ini. Kalau saya dipecat, ke mana lagi saya harus mencari kerja? Semua penganggur juga tahu, sekarang ini susah mencari kerja. Saya sudah sepuluh tahun mengadi sebagai waker di kantor ini. Bos juga sering baik pada saya. Tapi, kenapa mereka semua jadi tikus, ya? Saya kembali nguping pembicaraan mereka.
Tikus yang paling gendut dan buncit kembali berkata. Dia rupanya sangat marah dengan saya. “Tapi kau perlu hati-hati dengan waker itu. Aku tidak ingin rencana kita gagal gara-gara waker ceking itu. Kalau gara-gara dia posisi kita terancam, sebaiknya kau pecat dia, bila perlu basmi saja.”
        “Ya, aku akan mempertimbangkan saranmu. Tapi malam ini lupakan waker goblok yang kusayangi itu. Dia tidak akan membahayakan kita, aku juga sering menyogoknya dengan rokok, kadang-kadang juga duit. O, ya, bagaimana rencana kita selanjutnya mengenai proyek yang hampir gol ini?”
            “Itu soal mudah, asal kau secepatnya mengeluarkan ijin proyek tersebut.”
 “Jatahku berapa persen?” ujar bosku yang telah berubah jadi tikus kantor.
 “Itu gampanglah. Ijinnya dulu dong!”
      “Ya, tapi aku harus hati-hati. Ini proyek rawan masalah. Apalagi menyangkut penggusuran Kampung Modar. Kalau salah melangkah kita bisa didemo rakyat kecil yang suka berkolaborasi dengan mahasiswa untuk menyingkirkan penguasa macam kita ini. Kau ‘kan tahu sendiri, kawan seperjuangan kita, si Bibie, lengser gara-gara sering didemo mahasiswa.”
       “Bibie memang tolol dan grasa-grusu! Lain kali kita tidak usah pakai dia lagi. Begini saja, gimana kalau persenanmu kunaikkan, dengan syarat ijin harus segera keluar? Kau pakailah kekuasaanmu di kantor ini! Masak hal sepele begini kau persulit sendiri. Pakai akal sedikit dong!”
      “Okelah…asal jatahku bisa menghidupi tujuh turunanku lagi. Dan, yang terpenting bisa beli mobil mercy terbaru. Aku akan segera keluarkan ijin proyek tersebut. Gimana?”
      “Kau itu memang tikus botak berkulit belut. Licin dan culas ha…ha…ha..! Aku akan penuhi permintaanmu. Tenang aja!”
        “Hei, Kawan, sesama tikus jangan saling menghina! Justru kita harus merapatkan barisan dan bahu membahu agar kerajaan kita makin jaya dan tidak cepat mampus dikemplang sapu ijuk waker tolol itu.”
Kedua tikus itu tertawa terkekeh-kekeh.
Kurang ajar! Bosku, Pak Tan, ternyata bangsat! Jadi kebaikannya selama ini rupanya memiliki maksud tertentu. Jadi selama ini saya telah disogoknya. Dan, Kampung Modar, itu ‘kan kampung tempat tinggal saya. Mereka rupanya berencana menggusur kampung saya. Oh, teganya…teganya bosku itu.
Lalu apa yang mesti saya lakukan? Apa perlu saya keluar dan membunuh tikus-tikus itu? Atau saya akan membocorkan rahasia mereka pada orang Kampung Modar, agar hati-hati, karena akan segera terjadi penggusuran? Saya bingung…Mereka kembali ngobrol. Saya kembali menguping.
 “Ngomong-ngomong, kau sudah dengar, kawan kita Si Tomi, ditangkap baru-baru ini?”
 “Lho, kenapa dia? Dia ‘kan tikus yang paling ditakuti di kerajaan tikus? Siapa yang berani menangkap dia?!”
        “Ya...begitulah kalau terlalu percaya diri. Selicik-liciknya tikus, sekali waktu akan kena jerat juga. Tapi aku tidak yakin para pemburu tikus itu berani melenyapkan Tomi. Dia salah satu tikus yang memiliki jimat sakti, bisa menghilang pula. Dia punya dukun spesial. Kalau jimat kita ‘kan hanya jimat bikinan dukun kampung yang tidak seberapa ampuh.”
       “Tapi, kau jangan terlalu meremehkan jimat pemberian dukun kampung itu. Buktinya sampai saat ini kita masih aman dari para pemburu tikus yang sok moralis dan idealis itu. Para pemburu tikus itu tidak sadar kalau buyut dan nenek moyangnya juga kebanyakan tikus.”
      “Sudah, tidak usah diperdebatkan. Sebentar lagi wakermu itu muncul bawa sapu ijuk, kau bisa mampus di kursimu sendiri. Sekarang sudah hampir jam 4 pagi, ayo kita bubar. Jangan terlalu sering begadang, tidak baik untuk kesehatan kita yang sudah berperut buncit ini. Besok kau harus kelihatan cerah dan segar di depan para pegawaimu.”
     “Kalau pulang, hati-hati dengan perangkap dan jebakan. Wakerku suka memasangnya hampir di setiap sudut kantor.”
Dua tikus buncit itu kemudian pergi. Perlahan saya menyembulkan moncong saya dari kolong meja bos. Syukur mereka tidak melihat saya. Oh…betapa kejam mereka. Rupanya mereka telah memakai jimat tikus yang didapat dari dukun itu. Pantas saja tikus-tikus di kantor ini seperti wabah. Lalu apa yang harus saya lakukan setelah mengetahui segalanya? Saya hanya tikus cerurut yang menjijikkan yang tempatnya cuma di comberan.  Tidak mungkin saya bisa menjadi tikus kantor seperti bos dan kawan bosku itu. Tapi, apa mungkin dukun itu masih memiliki cadangan jimat yang bisa menyulap saya menjadi tikus kantor atau tikus berdasi yang terhormat itu. Tapi, dia bilang kodrat saya hanya bisa menjadi tikus cerurut.
Besok siang saya harus ke rumah dukun itu. Saya akan mengembalikan jimat tikusnya dan memaksa dukun itu membuatkan ramuan pembasmi tikus yang paling tokcer. Bagaimana pun juga saya harus membasmi tikus-tikus yang telah banyak menyengsarakan rakyat cilik seperti saya ini. Saya harus berperang melawan wabah tikus di negeri ini, bagaimana pun caranya.
Karena sudah hampir pagi, saya pulang ke rumah, ke Kampung Modar, yang suatu saat nanti akan digusur oleh bosku sendiri. Karena lelah, saya tidur-tiduran di bale-bale bambu yang beralaskan kasur tipis. Istri saya menggeliat ketika saya sentuh tubuhnya.
Namun, belum lama saya memejamkan mata, istri saya menjerit-jerit ketakutan sambil menuding-nuding saya. Dia panik dan berteriak histeris. “Tolong…tolong…ada tikuuss…ada…tikuuusssss…!”***


Denpasar, 2004

No comments:

Post a Comment