Labels

Thursday 20 October 2011

Lembah Batur

 cerpen : Wayan Sunarta


            Langit senja dihiasi kabut tipis putih keabuan dan rapuh. Udara dingin menyusup ke dalam pori-pori tubuh. Kami bertiga saja, tiba di Lembah Batur tepat sebelum senja berangkat petang. Rencana pendakian besok pagi telah kami susun sedemikian rupa. Gunung Batur memang terlihat gampang didaki. Tapi tetap saja kami perlu mempersiapkan segala sesuatunya. Kami menginap di sebuah losmen murah yang memang diperuntukkan bagi para pendaki dan pelancong yang kemalaman.
            Tidak jauh dari losmen ada sejumlah warung kopi yang buka sampai jam sepuluh malam. Juga beberapa kafe yang disediakan bagi pelancong berduit. Karena kami termasuk golongan kantong tipis, kami memilih sebuah warung kopi yang terletak agak menyendiri di Lembah Batur.
            Warung itu dijaga seorang gadis desa. Menilik dari wajahnya aku menduga dia berusia kira-kira 17 tahun. Cukup cantik dengan wajah bulat telur dan kulit kuning langsat. Agaknya hawa pegunungan membuat kulit gadis-gadis di sini enak dipandang. Dinginnya udara senja semakin menusuk kulit dan bikin ngilu persendian. Kami memesan kopi. Dua kawanku mulai kasak-kusuk dengan obrolan-obrolan miring.
“Pak, ini kopi dan kuenya,” gadis itu menyodorkan nampan. Ia mengatur gelas kopi dan kue di atas meja kayu. “Silakan, Pak.”
Kami mengucapkan terima kasih. Aku menyalakan sebatang rokok kretek, begitu pula dengan dua kawanku. Di dalam udara dingin tubuh akan sedikit lebih hangat dengan secangkir kopi panas dan rokok.
“Kira-kira berapa jam harus kami tempuh untuk mencapai puncak Batur?” tanyaku basa-basi.
            Gadis itu rupanya dengan senang hati menemani kami minum kopi, setelah benar-benar memastikan bahwa tidak ada pengunjung lain.
“Kira-kira kalau berjalan santai dua sampai tiga jam Bapak akan sampai di puncak.”
            Aku jadi tidak enak dipanggil “Bapak”. Tapi pasti panggilan itu untuk menghormati tamu. “Tolong, Dik, eh… siapa namanya? Tolong jangan panggil saya “Bapak.” Kami masih muda, belum menikah,” ujarku bergurau. Gadis itu mengumbar senyum malu-malu yang sungguh menggoda.
            Kami pun berkenalan. Dia menyebut namanya “Sari”.
            Dua kawanku senyum-senyum dan cengar-cengir. Mereka menggodaku karena cepat akrab dengan Sari. “Wah, boleh juga buat selimut malam,” bisik Adol, kawanku yang paling bengal.
            Aku senyum kecil saja. Kulirik wajah Sari merah padam. Ia malu atau mungkin marah. Wanita terlalu perasa. Mudah-mudahan ia tidak mendengar apa yang dibisikkan Adol.
            “Sari, penginapan itu kok sepi, ya? Aneh sekali. Padahal tidak sedikit pendaki yang berkeliaran di sini,” ujarku mengalihkan gurauan ngawur dua kawanku.
            Mata Sari yang lembut menatap kejauhan senja.
            “Memang beginilah keadaan di sini. Para pendaki lebih banyak buat tenda dan bermalam di hutan,” jawab Sari. Matanya makin menerawang kejauhan senja yang mulai samar diselubungi kabut. Perasaanku mengatakan ia berbohong. Pasti ada sesuatu yang disembunyikannya.
            “Siapa pemilik penginapan yang kami sewa itu?” tanyaku. Aku mulai penasaran dan ingin lebih banyak tahu tentang Lembah Batur. Sudah dua kali aku mendaki Gunung Batur. Pertama ketika SMA dan yang kedua sekarang. Dua kawanku malah baru kali ini mengadakan pendakian ke Batur. Jadi aku merangkap juga sebagai pemandunya.
            “Losmen tempat kalian menginap itu milik ibu saya. Tapi sebulan belakangan ini baru kalian yang menginap di situ,” jawab Sari. Sorot matanya semakin memancarkan suatu keanehan.
            Aku agak kaget. Namun segera aku bisa mengendalikan perasaanku. Di Lembah Batur ini banyak penginapan, tentu persaingan mendapatkan pelanggan sangat ketat.
            “Kenapa bisa begitu, ya?” tanya kawanku. Rupanya dia sedikit penasaran dengan keadaan di penginapan itu.
            Si gadis pelayan yang ternyata anak pemilik penginapan menjadi agak gelagapan begitu mendapat pertanyaan seperti itu. Namun ia pun juga telah terlatih menguasai diri. “Mas lihat sendiri, di sini banyak penginapan. Kami harus bersaing mencari tamu dengan harga dan servis yang juga memuaskan. Bahkan beberapa penginapan di sini menyediakan kawan kencan untuk para tamunya.”
            Mendengar penjelasannya, darahku mendadak berdesir. Malam makin menanjak. Kulihat arloji. Baru jam sepuluh malam. Dingin sekali. Kopi dalam gelas kami sudah hampir habis. Cukup lama juga kami ngobrol. Sari ternyata betah menemani kami. Mungkin ini bagian dari servis itu. Darahku mengalir lebih kencang ketika kusadari Sari menatapku dengan mata elang yang hendak menerkam mangsanya.
            “Eee...tolong buatkan kami mie rebus tiga mangkok. Besok pagi-pagi buta kami mesti bersiap-siap mendaki,” ujarku mencoba menghentikan kegalauan perasaanku. Tentu juga karena perut mulai terasa lapar.
             “Kalian perlu pemandu? Saya siap memandu kalian besok pagi,” tawar Sari tanpa kami duga.
            Dua kawanku kembali ribut-ribut kecil agar menyetujui tawarannya. “Bila tidak merepotkan, kami sangat senang bila Sari bisa ikut bersama kami,” jawabku yang diiringi anggukan dua kawanku.
            Mie dalam mangkok telah terkuras habis. Ternyata kami benar-benar kelaparan. Sari semakin aneh menatap kami, seperti hendak menguliti kami. Aroma vodka merebak dari mulut kami. Sejak senja tadi sebotol vodka telah kami habiskan bertiga. Memang sangat mengasyikkan malam-malam dingin begini kerongkongan ditaburi alkohol. Tiga botol vodka masih kusimpan dalam ransel untuk perjalanan besok pagi.
            “Mas kuat sekali minum!” mata Sari lekat menatapku.
            “Ah, hanya sekadar untuk mengusir udara dingin,” jawabku agak malu.
            “Tapi kalau naik gunung jangan minum terlalu banyak. Berbahaya!”
            “Tidak usah khawatir. Kami akan baik-baik saja.”
            Malam makin dingin. Jam dua belas. Kami heran mengapa Sari betah sekali menemani kami. Apa dia tidak dimarahi ibunya nanti? Mengapa warungnya belum juga ditutup? Apa dia merasa sungkan mengatakan akan tutup warung?
“Mengapa belum tutup, Sari?” tanyaku iseng.
“Masih ada tamu, kenapa mesti tutup,” jawabnya sambil mengumbar senyum.
Dua kawanku sudah setengah teler. Lampu-lampu penduduk berkerlap-kerlip jauh di Lembah Batur. Sari masih menatapku dengan pandangan aneh dan semakin susah kumengerti. Dalam kepalaku mulai muncul pikiran-pikiran kotor. Darahku terasa mengalir deras. Ini mungkin pengaruh alkohol yang telah mengacaukan kesadaranku.
            “Sebaiknya Mas tidur saja agar besok pagi bisa melanjutkan perjalanan.”
            Entah mengapa kami manut saja ketika Sari mengantar kami ke sebuah bilik sederhana di Lembah Batur. Kamar itu begitu wangi, samar-samar mengingatkan aku pada bau menyan atau bau setanggi…setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

Pagi-pagi kudengar suara kokok ayam hutan nyaring sekali di kupingku. Aku terperanjat kaget dan segera membangunkan dua kawanku yang tertidur pulas sekali. Udara begitu dingin dan kepalaku masih pening. “Hei, bangun! Sudah pagi! Ayo, bergegas!”
            Kedua kawanku seperti tersentak dari mimpinya. Mereka gelagapan sambil mengucek-ucek matanya.
            “Kita ada di mana nih!?” seru Adol heran. Dia memandang sekeliling.
            Aku kaget sekali. “Astaga, kenapa kita berada di dalam hutan!?”
            Kami benar-benar tidak mengerti. Di sekeliling kami hanya hutan lebat menghampar. Aku menenangkan perasaan, mencoba mengingat-ingat kejadian demi kejadian yang kami alami sejak sore kemarin. Bulu kudukku mendadak berdiri. Jadi penginapan itu, kopi itu, mie rebus itu…
            Perutku mendadak mual mengingat semua kejadian itu. Tubuhku lemas. Seorang peladang menemui kami yang duduk lemas bersandar pada sebatang pohon pinus. Peladang itu kaget melihat kami dalam keadaan acak-acakan seperti itu. Pakaian kami penuh lendir, entah lendir bekas muntahan atau lendir apa, kami tidak ingat lagi peristiwa apa yang menimpa kami semalam.
Kepada peladang itu, kami menceritakan kejadian demi kejadian yang mampu kami ingat. Peladang yang rambutnya sudah ubanan itu geleng-geleng kepala dan mulutnya nampak komat-kamit mengucapkan sesuatu.
            “Syukurlah kalian tidak dicelakai oleh lelembut itu. Dia pada bulan-bulan ini sangat suka mencari tumbal,” ujar peladang yang heran melihat kami bisa selamat.
            Kami masih belum sepenuhnya paham kejadian yang menimpa kami. Kami hanya bisa melongo seperti orang bego. 
            “Ya. Lelembut itu penghuni Lembah Batur. Beberapa penduduk sering melihatnya gentayangan pada bulan-bulan ini,” jelas peladang itu lagi.
            “Gadis penjaga warung itu jelmaan lelembut?!” seru kami hampir bersamaan. Kami sadar wajah kami sangat pucat saat itu. Pucat karena habis mabuk bercampur pucat diliputi kengerian.
            Seketika itu juga kami membatalkan pendakian dan bergegas pulang. Kabut abu-abu turun melingkupi Lembah Batur. ***


Kintamani-Denpasar, 1996    

No comments:

Post a Comment