Labels

Thursday 20 October 2011

Puisi-puisi 1999

                Sajak-sajak Wayan Sunarta
                      Lorosae

namun senja
seakan enggan
menghapus air mata
               pada cuaca

kudengar lengking camar kehilangan ibu
buih mengeluh
                garis pantai cemas
seorang bocah berlari ke arah malam
menyongsong bintang biduk
               yang hendak lapuk

(seperti aku mengenal wajahnya yang fana
menyembul dari gundukan candi candi pasir
seakan ingin berucap: jangan biarkan langit kembali merah!)

angin timur mengalir dari pantai
pasir pasir buyar
            bau anyir
pembantaian di musim semi
kerang kerang mendadak kering
terbuka dengan daging yang meleleh
dan lokan buta menangis
                      udara amis

senyummu, maria, seperti bunga bungur
kuntum yang dipatahkan paksa

prahara akan kembali tiba
segera bergegas. berlindung
ke dalam mercusuar di ujung tanjung
di situ mungkin masih tersisa
                        penawar duka

jerit anak camar
menggigil
melihat kabut pecah
jadi buih darah
pada rongga mata
seorang serdadu tua

dalam udara amis
langit menangis
kata kata kusam
lumer dari grafiti
yang ditera dengan darah
di tembok mercusuar

kau tak akan pernah tahu
di lorosae
waktu yang setia itu
adalah seteru
`           yang diam diam menyusun
rencana
penghianatan
untukmu

cahaya cinta dari hatimu, maria
telah jadi ragi
hancur seperti remah roti
dan anggur yang dulu kau peras
dari tetes air matamu
telah memabukkan mereka


1999


 Lanskap Laut


mereguk asin laut
terkenang
bulu bulu halus kudukmu,
kepak camar dan
pelaut muda yang mabuk
di geladak

ombak betina tiba
pesona menatap senja
kugenggam geliat laut
kau membuih
di gurat tangan

bulu bulu camar gugur
senja samar
lenganku lunglai
merengkuh
waktu yang karam

bayangmu bergetar
menahan getir

denyut pada nadi
suatu saat
dapat jadi laknat
lalu berkhianat

pada pasir membekas jejak
mungkin jejakmu
            

1999


 
Notasi Pantai


seekor camar buta
gemetar di pucuk tiang perahu
laut melulu biru
dan matamu, kekasih
seperti batu pualam
suram dan muram
langit gugup. angin mengerang
di ruang hening cangkang kerang

kau melirik ke arah senja
masa silam hanya untaian rantai
kalung yang melingkari lehermu
          o, gelinjang panjang
aku meradang pada ranjang lengang
perlahan meredakan gemuruh batin
dalam zikir yang meremukkan
                              seluruh rusuk

waktu seperti terlontar
dari cekung mataku
pasir pasir tertebar
membentuk ornamen
sebuah peta terbuka
kubaca lagi tubuhmu

seekor camar buta
penyap pada samar senja


1999


 Laut Bali


sisa cahaya. arus waktu
larut dalam kadar darahmu

dalam kadar darahmu
laut tak jemu mengigau
pilu
seperti sedu
peri peri penipu

kau hitung jejak, kelahiran itu, pada pasir
             sisa cahaya merembes dari pusar
kawanan bocah muncul dari rekah karang
menawarimu kalung kalung kulit kerang
             pada matanya
kau lihat pesisir bali menangis
       bukit bukit kapur terkikis
                         pantai pantai tereklamasi

perahu bercadik melaju
seperti masa lalu
seorang tua menegurmu:

"kembalilah ke laut, cucuku
laut adalah ibu,
awal dan akhir waktumu
seperti nadimu"

kau masih tafakur
tubuh pelaut tua itu
perlahan larut dalam air garam

dalam kalbu laut
kau berpusar mengikuti arus waktu
sisa sisa cahaya merintih:

"ucapkan mantram leluhur pelaut
agar angin jinak, ombak jinak, ikan jinak
dan turunanmu jadi bijak!"


1999



Potret Diri


lebih sepi kau kini
sehelai puisi tak selesai
puntung rokok dan kerak kopi
makin kusam dalam gelas malam
waktu seperti risau
menunggu di ujung  gang itu

seperti apa paras bulan
saat langit muram
puisi tak selesai
hidup merambat lambat
racun tembakau dan mariyuana
telah sampai pada pusaran nadi

lalu kau temukan diri
dengan sepotong pena rombeng
dan seberkas mimpi usang


1999



Sebelum Waktu Jadi Abu


kami lahir dari puing-puing
reruntuhan tahun-tahun duka
bersama pekik serak gagak
kami merangkak ke balik malam
kami ungsikan air mata
sejauh jalan sejarah
waktu terus bergerak
kami terus berbiak
melahirkan turunan kami
di atas tumpukan arang
reruntuhan peradaban

jangan tanya apa makna
apa warna air mata kami
berhentilah membasuh bumi
dengan darah
saatnya pedang dan bedil
biarkan berkarat, teronggok penuh debu
lalu kita susuri setapak jalan kasih
pasrahkan jiwa pada alam
gapai keheningan bulan
yang melambai pada kelopak seroja
belajar memelihara nyawa
seraya terus membaca
perangai cuaca dalam diri

sebelum waktu jadi abu
mari kembali ke bahasa purba
berbagi cerita pada pepohonan tua
pada batu-batu dan bunga-bunga
melebur dendam pada mata air
agar air mata tak tumpah sia-sia


1999



Jejak Kata


waktu membungkus sunyi
dalam temaram cahaya matamu

pengembara dari lembah musim semi
tiada henti meredam dendam hari
saat kau cari jejak sebuah kata
yang penyap pada bentangan pelangi

dan pada hamparan jiwamu, kau temukan dirimu
sebagai pecundang yang menatap hampa ke cakrawala
membayangkan jejak kata
pelangi melebur warnanya dalam gerimis
kutemukan keindahan dan kepiluan
larut jadi satu

maka betah-betahkan diri jadi pejalan sunyi
yang suntuk menyusuri setapak jejak waktu
bila kau letih sandarlah pada sepoi angin
berteduhlah di bawah pohon-pohon cemara
yang tiada henti mengigaukan kenanganmu


1999


 Taman yang Kau Impikan


rahasia yang semayam
dalam taman
beri aku seteguk waktu
untuk memahami adamu
saat cahaya bulan
mendedah tubuhku

letih aku menggapaimu
hari-hari berlari
seperti amis darah sendiri

pada punggung bebukitan
rambut legam menjuntai
dan matamu adalah sumber air
rasa haru pada wajah langit
kau adalah rahasia
dari sekelumit perjalanan
di akhir waktu

pengembara akan mati dalam kesepiannya
sebab ragu pada rumah
atau mencerca tanya pada persinggahan
aku memilih celah paling kelam dari malam
duduk mengenang hari-hari lalu
atau tawar menawar dengan sisa-sisa waktu
untuk sebuah kemungkinan makna

kau adalah keutuhan bagi rusukku
mengalir menjadi darah dalam nadi
menangislah selalu
di taman yang kau impikan


1999


 Notasi Maut


tak mampu lagi kuigaukan kata puisi
cahaya menyamarkan tanah pijakku
kemana lagi kujelajah jejakmu

wajahku semakin jauh dari cahaya
semakin pucat dan fana
deru angin menggigilkan waktu
mengingatkan tubuh yang pedih
perjalanan itu o, maut
merambat pada lumut-lumut tubuhku

(lenyapkan. lenyapkan igaumu….)

kabut menyeret bayangku
gemerincing kereta makin nyaring
kuulurkan tangan pada siul angin
yang memberi kabar
burung-burung telah pulang dari rantau

kutemukan diriku di situ
menggigil mengundi jiwamu
siapakah yang lebih tulus merindu
o, maut
saudara seperjalananku


1999


 Menyusuri Jl. Thamrin, Denpasar


kau simpan kenangan
pada saku baju yang lusuh
kau membelok ke sebentuk tikungan

"di sinilah dulu sarang burung malam itu
aku pernah mengenyam nyamannya,"
                            gumammu pada malam

kau seret jiwamu letih
kota ini telah terkepung bentuk
bentuk yang tak lagi akrab bagimu
sepuluh tahun lalu kau dan keheningan
suntuk menjalani sisa waktu

sebuah jagad kecil menjelma dalam diri
sebuah sapaan yang mesra
kini diri seperti sampah saja
di sekeliling gedung-gedung angkuh

kota adalah langit senja
yang sebentar lagi akan malam
lalu di manakah tempat bagi kaum urban

di sepanjang jalan thamrin
sejauh gerimis
mengejar perjumpaan dengan malam
kau memasukkan kenangan
demi kenangan baru
ke dalam saku bajumu
yang lusuh


1999


 Melankoli


melankoli, pergilah jauh dari diriku
karena aku hanya tangan yang terulur
aku coba raih cahaya di rerimbun belukar
dan bulan semu berkaca pada dataran
rasa rapuh pada dadaku
kembali mengungkit remah sejarah

jika aku debu
sungai akan menjadikan aku lumpur
aku menyerah pada arusmu

pada sebelok tikungan
kucium amis angin
dan cuaca malam
yang berpusar pada perutku

melankoli, pergilah dari diriku
sekian jenuh telah kurambah
nanah mengalir dari dedahan waktu

jika kukulum kau tiba-tiba
itu hanya karena rasa resah
karena puisi tak jadi
melankoli, pergi
pergi jauhlah dari diriku


1999


 Angin Garam


angin garam itu bernama duka
saat aku datang lalu pergi
meninggalkan kotamu

bagaimana mungkin aku
menjadikan diriku pengembara
bila pada sunyi diri saja
aku tak mampu mengadu
kau selalu berada pada kemurnian hari
yang menggelantung  seperti embun

saat aku singgah pada kota tua
bangunan bangunan belanda atau juga pacinan
di sanalah aku tersungkur kalah oleh keindahan purbamu
penyair yang merasa paling berhasil mengungkapkan
makna keindahan kalah oleh keindahan kotamu

angin garam itu bernama sunyi
dan kau adalah keabadian
yang melindapkan batu-batu

jika jiwamu seperti air
maka air itulah yang melarutkan
aku pada lautmu
aku sudahi kembara
dan kembali pulang
ke haribaan ibu


1999



 Notasi Kenangan


bila nanti kau temukan jiwaku lebam
terkubur di reruntuhan puri bulan
baris-baris puisi telah mengepung malam
igauan-igauan terbelenggu
di lorong-lorong kampung

pohon ara di depan gapura
melindungi bayangmu
pada terik hari
serumpun rahasia lindap
di muka pintu
mawar putih membuka senja

musim laron
malam berhujan
ke mana kutuntun pedih pengungsian
rumah ruhku telah hangus
terbakar api saktimu

aku abu
dalam persajianmu
kau api dalam ruhku


1999



No comments:

Post a Comment