Labels

Monday 10 October 2011

Upaya Memetakan Ulang



Oleh: Wayan Sunarta*

(karya I Ketut Muja)
Pelabelan ataupun pengatagorian seni sejak lama dilakukan oleh Barat untuk kepentingan-kepentingan praktis, yang berkaitan dengan penilaian dan kekuasaan. Sehingga muncul istilah seni tradisional, seni modern, beserta sejarah dan cirinya masing-masing. Timur pun cenderung mengikuti tradisi pelabelan itu dalam formula wacana yang tak terbantahkan. Akibat dari pelabelan itu, banyak karya seniman dari Timur, termasuk Indonesia, dikelompokkan sebagai karya seni yang etnografis atau antropologis. 

Perdebatan perihal pelabelan, ataupun pertarungan “tradisional vs modern” menjadi medan yang menyedot energi yang campur aduk dengan banyak kepentingan. Istilah kontemporer muncul membuka ruang terbuka bagi seni-seni yang menolak untuk dilabelkan. Seni yang melampaui batas-batas atau ciri-ciri tradisional maupun modern. Seni yang tak terkotakkan. Seni yang menggebrak sesuai semangat jamannya. 

Pameran bertajuk  “Local Knowledge, Reposisi Bahasa Rupa Tradisi Bali # 2” yang diadakan di Bentara Budaya Bali, sejak  25 September hingga 4 Oktober 2011, merupakan salah satu bentuk kegelisahan menghadapi pelabelan dan pengkotakan yang diwarisi dari Barat. Pameran yang dikurasi Wayan Seriyoga Parta ini menampilkan karya-karya I Made Sukanta Wahyu, I Made Sama, I Ketut Muja, Ida Bagus Alit, I Nyoman Mandra, Dewa Putu Kantor, Ida Bagus Putu Gede Sutama, I Ketut Santosa, I Wayan Sadha, Dewa Ngurah. Pameran ini merupakan upaya pembacaan ulang terhadap karya-karya mereka. Apakah karya-karya mereka masih layak diberi label seni rupa tradisional ataukah telah bermetamorfosis sesuai semangat jamannya?

Para perupa yang tampil ini adalah perupa otodidak. Tidak pernah mengenyam pendidikan seni rupa di bangku akademis. Sejak masa kanak, mereka belajar dengan sistem nyantrik pada perupa-perupa yang lebih senior, terutama perihal seni rupa tradisional Bali. Kemudian mereka mengembangkan sendiri ilmu dan pelajaran yang didapat sesuai kemampuan masing-masing. Mereka terus berkreasi dan menggali kemungkinan-kemungkinan baru dalam ranah estetika. Mungkin, karena pernah berkarya di ranah seni rupa tradisional, mereka sering dilabelkan sebagai “perupa tradisional”. 

Berpijak pada kekuatan pengetahuan lokal yang berkaitan dengan proses kreatif masing-masing perupanya, pameran ini berupaya memetakan kembali perupa yang cenderung dilabelkan “tradisional” itu. Pemetaan itu mengacu pada kenyataan bahwa masing-masing perupa yang tampil sejak lama telah melahirkan karya-karya yang tidak bisa lagi dikotakkan ke dalam “seni rupa tradisional”.

Misalnya, karya-karya patung Ketut Muja, Made Sama, Sukanta Wahyu, secara visual sangatlah kontemporer. Dengan kejelian menggali estetika, mereka mengolah bongkah-bongkah kayu menjadi karya rupa yang multitafsir dan mampu membuka ruang imajinasi pemirsanya. Sangat sulit dilacak jejak-jejak tradisi Bali pada karya-karya mutakhir mereka. Ketradisian hanya sebatas spirit, sesuatu yang begitu subjektif. Misalnya, Sukanta Wahyu meyakini bahwa setiap bongkah kayu mengandung roh yang bisa diajak berkomunikasi. Bukankah Barat juga meyakini roh itu dengan sebutan energi?

Lalu, apakah masih bisa dilabelkan “tradisional” lukisan kaca karya Ketut Santosa, atau karikatur karya Wayan Sadha? Meski menggunakan teknik tradisi lukisan kaca, namun objek lukisan dan wacana yang menyertainya sesuai dengan semangat jaman kini. Bahkan figur wayang yang sesekali nongol dalam karyanya juga dideformasi sesuai konteks kekinian, yakni mengenakan kemeja dan celana panjang. Begitu pula halnya dengan karya-karya Wayan Sadha yang sarat muatan kritik sosial diramu guyonan ala Bali. Secara visual, karya-karya Sadha sangat khas, merakyat dan kontekstual. Sebelumnya, karya karikatur semacam ini tidak ditemukan dalam ranah seni rupa di Bali.

Dengan bekal pengetahuan dan praktek seni rupa tradisi, Nyoman Mandra dan Dewa Ngurah  mengeksplorasi kekuatan seni tradisi menjadi sesuatu yang berbeda. Misalnya, seni lukis wayang Kamasan yang telah mentradisi, secara sadar dieksplorasi oleh Mandra dengan sentuhan pribadi, sehingga melahirkan karakter wayang Kamasan yang khas Mandra. Begitu pula halnya dengan Dewa Ngurah yang telaten memberi sentuhan pribadi, terutama dalam hal komposisi, pada seni lukis prasi (melukis di lontar), sehingga berbeda dengan seni prasi sebelumnya. Dalam hal ini, baik Mandra maupun Dewa Ngurah, menggunakan kekuatan tradisi untuk memaknai jaman kekinian.

Begitu pula halnya dengan Dewa Putu Kantor, Ida Bagus Alit, Ida Bagus Sutama, yang terus menerus membaca ulang seni rupa tradisi, kemudian meramunya sesuai konteks kekinian. Ida Bagus Alit, misalnya, mengolah karakter wayang yang dicampurbaurkan dengan grafis, sehingga melahirkan karya dekoratif yang penuh warna. Atau pada karya Dewa Putu Kantor yang merepresentasikan pustaka Kamasutra dikaitkan dengan situasi sosial mutakhir.

Pameran ini membuktikan, meski para perupa ini pernah bergelut dalam ranah seni rupa tradisional, namun mereka tetap berproses mengikuti selera jaman, dengan keyakinan pada kearifan lokal dan mengembangkan diri sesuai kemampuannya. Mereka terus menerus mengolah kemampuan teknis dan pencapaian estetika, sehingga melahirkan karya-karya yang sesuai semangat jaman kekinian. Namun, mereka tetap berpegang pada filosofi leluhur Bali: de ngaden awak bisa, depang anake ngadanin (jangan menganggap diri pintar, biarkan orang lain yang menilai).


*penulis adalah lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Rupa di ISI Denpasar.


 -pernah dimuat di Kompas, 9 Oktober 2011-


No comments:

Post a Comment