Jimi
seekor anjing lucu, peliharaan keluargaku. Ia termasuk jenis anjing pendek berbulu
lebat dengan tampang sangat menggemaskan. Setahun lalu, Ibu membelinya dari
penjaja anjing yang sering lewat di depan rumah. Persis seperti memperlakukan
anak kecil, Jimi dirawat sangat telaten oleh Ibu dan adik bungsuku. Anjing lucu
itu biasa diberi makan teratur dalam sebuah piring khusus yang bersih, diberi
minum susu hampir setiap hari, diperiksa kesehatannya oleh dokter hewan kenalan
Ibu. Jimi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga kami.
Bahkan,
agar tidak mengganggu atau buang kotoran di rumah sebelah—rumah kakak
sepupuku—Jimi seringkali dirantai dan diawasi oleh Ibu. Sesekali Jimi dibiarkan
lepas bebas di sekitar halaman rumah. Kalau sudah menikmati kebebasan seperti
itu, Jimi pun asyik bermain-main dengan keponakan-keponakanku, berlarian tak
tentu arah. Sungguh, tampang Jimi selalu mengundang simpati dan gemas orang yang melihatnya.
Seperti
kebanyakan orang Bali, aku lahir dan hidup
dalam lingkungan keluarga besar. Keluarga besar kami, yang menempati sebidang
tanah seluas sekitar setengah lapangan sepakbola, terbagi menjadi lima keluarga kecil,
salah satunya adalah keluargaku. Kami dipersatukan oleh sebuah sanggah,
bangunan suci tempat roh-roh leluhur disembah dan dimuliakan.
Hidup
dalam keluarga besar tentu berbeda dengan hidup dalam keluarga kecil. Meski
kami disatukan oleh sanggah, namun itu tidak menjamin sebuah persatuan
yang kekal dalam keluarga besar. Seringkali meletup pertengkaran antar keluarga
yang dipicu oleh hal-hal sepele, seperti gosip miring, skandal diantara
menantu, iri hati, persaingan mempunyai sepeda motor baru, perselingkuhan,
sampai pada tuduh menuduh dan fitnah mempratekkan ilmu hitam.
Masih membekas dalam ingatanku bagaimana Ibu
pernah nyaris dibunuh oleh Kakek misanku. Saat itu anaknya sakit keras dan
nyaris lumpuh. Kakek memutuskan menanyakan perihal penyakit anaknya kepada balian
(dukun). Balian menuduh Ibu yang mengguna-gunai anak Kakek. Tanpa pikir
panjang dan bukti-bukti, sesampai di rumah, Kakek menyeret Ibu dan menjambak
rambutnya yang panjang. Kakek menyeret Ibu dari kamar ke halaman rumah. Ibu
yang tidak tahu duduk perkaranya, menjerit histeris dan melolong minta tolong.
Mulut
Kakek memuntahkan kata-kata tuduhan dan makian. Tangan kanannya memegang keris
terhunus. Aku yang saat itu masih berusia delapan tahun hanya bisa menangis dan
menjerit sejadi-jadinya sambil mulutku tak henti memanggil-manggil Ibu.
Keluarga besar bungkam. Saat itu, Ayah sedang tidak ada di rumah. Hanya
pamanku, adik bungsu Ayah, yang masih punya nyali merebut keris terhunus yang
dipegang Kakek, lalu membanting Kakek hingga terjerembab ke tanah. Agaknya,
sejak saat itulah dalam jiwaku menumpuk kebencian terhadap Kakek, terlebih
kepada orang-orang dalam keluarga besar yang selalu mencari gara-gara untuk
menyingkirkan keluargaku.
Kini,
bara perseteruan antar keluarga kembali meletup. Penyulutnya adalah Jimi. Sore
itu, Jimi yang baru saja dibebaskan dari rantainya sedang asyik bermain-main
dengan anak-anak kecil di keluarga besar kami. Entah karena sebab apa tiba-tiba
saja Jimi marah dan menggigit kaki salah satu anak kecil itu. Anak itu menangis
sejadi-jadinya.
Meski
gigitan Jimi tidak membahayakan, namun seluruh keluarga besar gempar, panik dan
ribut. Mereka ramai-ramai memaki-maki Jimi dan menyindir-nyindir Ibu dengan
kata-kata yang menusuk perasaan. Mendengar anaknya digigit anjing, saudara
misanku, Toblot, menyerbu dari kamarnya. Ia
menggenggam tongkat besi dan memburu Jimi. Dalam sekejap anjing itu
dapat dikejar dan dikepruk dengan tongkat besi. Jimi yang lucu itu
berkaing-kaing kesakitan dan dengan panik berlari-lari mengitari rumah mencari
tuannya. Mulutnya menyemburkan darah segar.
Aku
yang saat kejadian lagi asyik menonton TV di ruang tamu ikut panik dan bergegas
keluar ingin mengetahui apa yang terjadi. Sambil berkaing-kaing Jimi berlari ke
arahku, seperti mohon perlindungan dari kejaran Toblot yang kalap. Setelah
mengetahui anjing itu masuk ke dalam rumah tuannya, Toblot menghentikan
pengejaran dan berbalik ke rumahnya sambil terus memaki-maki dan mengancam akan
mengusir keluargaku kalau Jimi tidak segera dibunuh.
“Kau
bunuh anjing itu! Kalau tidak, jangan huni rumah ini lagi!” teriak Toblot.
Toblot
masih terus menyumpah-nyumpah sembari melihat kondisi anaknya. Ibuku dengan
bingung mohon maaf pada istri Toblot. Adik bungsuku menangis melihat anjing
kesayangannya sekarat. Sedang aku hanya bisa melongo, namun hatiku pedih. Luka
masa lalu kembali bernanah dalam jiwaku..
Aku
berjongkok di depan Jimi, meneliti kondisi lukanya. Rahang kanannya patah dan
menggelantung ke bawah. Lidahnya yang bercampur liur dan darah menjulur-julur
menahan sakit dan perih. Ia masih berkaing-kaing. Anjing ini tidak akan bisa
diselamatkan, batinku. Paling tidak ia mengalami gegar otak yang parah karena
kepalanya dipukul dengan tongkat besi. Tanpa terasa mataku basah menahan marah,
sakit hati, sedih, kecewa, bercampur-aduk menjadi satu. Kenangan pahit
menyaksikan Ibu hampir dibunuh kembali terbayang dalam kepalaku.
Sesungguhnya
akar ketidaksenangan pada keluargaku berawal jauh sebelum aku lahir, ketika
kakekku masih hidup. Ini kuketahui dari cerita Nenek, istri kedua Kakek.
Kakekku bersaudara enam orang, empat lelaki dan dua perempuan. Orang tua Kakek
tidak mewariskan apa-apa kepada anak-anaknya, kecuali tanah tempat rumah
berdiri. Tidak ada sawah atau ladang yang bisa digarap bersama. Mereka terpaksa
menjadi petani penggarap dengan sistem bagi hasil. Bahkan nenekku pernah
menjadi buruh tani di sawah juragan kaya di desa kami. Ketika perut lapar,
mereka seringkali makan nasi yang lebih banyak bercampur cacahan ketela rambat.
Untuk lauk jangan ditanya. Mereka sudah cukup puas dengan garam dan minyak
kepala yang diaduk dengan nasi bercampur ketela. Saat itu, kehidupan Kakek dan
saudara-saudaranya sangat melarat.
Ketika
Kakek beranjak dewasa dan matang untuk menikah, kakekku memilih nyentana
pada keluarga kaya di desa kami. Sedangkan saudaranya yang lain memilih
bertahan di rumah. Dari sinilah bibit sengketa bermula.
Sebetulnya
saudara Kakek yang lain tidak setuju dengan keputusan Kakek untuk nyentana.
Walaupun diserbu kemiskinan yang parah, mereka memutuskan bertahan di rumah dan
sedikit demi sedikit membangun rumah. Kakekku yang memilih nyentana
dianggap menghianati saudaranya yang lain. Ia dianggap tidak berani menghadapi
kenyataan, pemalas yang berlindung di bawah ketiak perempuan, ingin cepat kaya
dari warisan keluarga istri. Dan inilah kesalahan terbesar kakekku—kalau hal
itu bisa disebut kesalahan—ia tidak menggubris saran dan sindiran dari
saudara-saudaranya. Dengan tega ia meninggalkan saudara-saudaranya, nyentana
pada keluarga kaya.
Setelah
berjalan beberapa tahun, pernikahan Kakek mengalami bencana. Istrinya
meninggal. Kakek dirundung kesedihan. Beberapa
tahun kemudian ia kembali pulang ke rumah dan menikah lagi. Dari
perkawinan terakhirnya ini lahirlah ayah, paman dan bibiku. Karena pernah nyentana,
Kakekku tidak mendapatkan warisan apa-apa. Tanah untuk rumah yang seluas
setengah lapangan sepakbola telah dibagi-bagi oleh saudaranya. Demi rasa
persaudaraan, dan terutama rasa belas kasihan, Kakekku diijinkan menempati sisa
tanah kosong milik kakek misanku, kakek si Toblot. Di tanah kosong seluas 1,5
are inilah kakekku membangun rumah sederhana yang ditempati oleh anak-anak dan
cucu-cucunya hingga sekarang.
Kini, semua kakek kami sudah meninggal.
Cucu-cucunya pun sudah besar dan beberapa diantaranya sudah menikah dan
mempunyai anak. Kebutuhan pun semakin meningkat, terutama masalah rumah. Sebab
kami tidak memilki sawah atau ladang, maka tanah-tanah kosong di sekitar rumah
pun diperebutkan. Termasuk tanah tempat keluargaku tinggal. Tanah itu pula yang
seringkali menjadi biang pertengkaran dalam keluarga besar, terutama antara
keluargaku dengan keluarga Toblot.
Toblot
sesungguhnya sudah sejak lama mengincar tanah keluargaku. Beberapa kali ia
mencari gara-gara agar kami bisa menyingkir atau keluar dari keluarga besar.
Toblot lelaki pengangguran. Kerjanya cuma berjudi dan kluyuran sampai
jauh malam. Malah tanpa malu ia seringkali meminta uang untuk berjudi pada
istrinya yang hanya bekerja sebagai pedagang sayur di pasar. Aku berpikir,
wajar kalau ia mengincar tanah keluargaku, mengingat tanah itu terletak di
pinggir jalan besar. Bisa jadi ia akan menjualnya dan uangnya dipakai judi atau
foya-foya beserta kawan-kawannya yang kebanyakan pemabuk. Memang tanah itu
merupakan hak kakeknya, meski tanpa sertifikat yang sah. Namun, aku murka bila
hal itu dijadikan alasan untuk menyingkirkan keluargaku, menyakiti ibuku atau
membunuh anjingku.
Jimi
kembali muntah darah. Kini ia kejang-kejang dan seperti susah bernafas. Adik
bungsuku yang berusia 14 tahun kembali meledak tangisnya. Dia
menyumpah-nyumpahi Toblot sambil memeluk anjing kesayangannya yang sudah tidak
bernafas lagi. Jimi mati dengan rahang patah dan kepala gegar otak.
Mataku
basah. Hatiku panas. Aku masuk ke kamar. Kuraih tongkat besi berukuran satu
meter yang biasa kubawa untuk tugas ronda. Sebilah belati kuselipkan di
punggung. Dengan mata merah menahan amarah, aku keluar kamar. Samar-samar
kembali terlintas wajah kakek misanku yang hampir membunuh Ibu, silih berganti
dengan wajah cucunya, Toblot, yang memuakkan, yang dengan bengis telah membunuh
Jimi.
Tongkat
besi kugenggam erat-erat. Dengan pasti aku melangkah ke rumah Toblot. Sudah
saatnya darah mesti tumpah dalam keluarga besar ini. Tapi, belum beberapa
langkah aku berjalan, sambil menangis Ibu dan adik bungsuku mencegah tindakan
konyolku.
“Nak,
jangan bertindak bodoh. Pertumpahan darah hanya akan melahirkan dendam-dendam
baru. Tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Kendalikan emosimu, Anakku!” sambil
menangis Ibu mencengkram kedua lenganku, berusaha menahan langkahku. Kemudian,
adik bungsuku memeluk kakiku. Aku sama sekali tidak bisa bergerak.
“Ibu,
kita sudah terlalu lama bersabar menerima berbagai perkataan dan perlakuan menyakitkan
dari mereka,“ aku berusaha mengatur nafasku. Ibu melepaskan cengkramannya di
lenganku.
“Masih
ingatkah Ibu, fitnah yang dulu dilancarkan pada Ibu? Masih ingatkah Ibu ketika
Kakek hampir membunuh Ibu karena tuduhan tanpa bukti? Dengan jelas aku masih
mengingat semuanya, Ibu. Ingatan itu telah menjadi kerak-kerak dendam dalam
jiwaku. Kini, anjing kesayangan kita dibunuhnya, besok entah siapa yang akan
dibantainya. Aku harus membalasnya, Ibu!” aku melangkah menuju rumah Toblot.
Ibu menangis histeris dan berusaha mencegahku. Aku menghentikan langkahku lagi.
Tidak tega aku mendengar tangis Ibu seperti itu.
“Nak,
kalau kau masih sayang dengan Ibu. Kalau kau masih hargai Ibu, mohon jangan
lakukan tindakan bodoh ini! Jangan lakukan, Nak! Ibu tidak ingin melihatmu
terkapar bersimbah darah, atau mendekam dalam penjara. Dua kenyataan yang
sama-sama akan membuat Ibu luka. Biarlah Jimi yang jadi tumbal dalam keluarga
besar ini,” ujar Ibu diselingi dengan isak tangisnya.
Darahku
berdesir. Jimi, anjing lucu itu, telah jadi tumbal demi dendam yang terus akan
berputar? Tiba-tiba saja, kenangan itu kembali terbentang dalam benakku.
Aku
terkenang pagelaran wayang yang suka kutonton ketika kanak-kanak, justru
bersama kakak misanku, Toblot. Kisah yang paling kami sukai adalah ketika
Pandawa dan Drupadi mendaki Gunung Mahameru untuk mencapai Sorga.
Dalam
pendakian itu, kecuali Yudhistira, semua menemui ajalnya secara berurutan
sesuai karma masing-masing. Yang paling dulu meninggal adalah Drupadi, terakhir
Bima. Tapi, Yudhistira, dengan ditemani seekor anjing kudisan sebagai penunjuk
jalan, berhasil mencapai pintu Sorga.
Anjing
menjijikkan itu dipungut Yudhistira di tengah perjalanan, dan sempat mengundang
perdebatan diantara saudara-saudaranya. Anjing itu dianggap akan merepotkan dan
tidak pantas dibawa masuk Sorga. Tapi, Yudhistira yang bijak, menegaskan bahwa
semua mahluk berhak masuk Sorga, sesuai takaran karmanya masing-masing. Yudhistira
paham bahwa anjing kudisan itu bukan anjing sembarangan. Anjing itu adalah
jelmaan Dewa Dharma, Dewa Kebenaran, yang memang ditugaskan untuk menuntun
Pandawa menuju gerbang Sorga.
Terpengaruh
oleh kisah wayang itu, sejak kanak-kanak aku memang suka memelihara dan
menyayangi anjing. Begitu pun Ibu, Ayah dan adik-adikku. Toblot pun sebenarnya suka
memelihara anjing. Hal ini pula yang membuat aku tidak habis pikir mengapa dia
sampai kalap membunuh anjing kesayangan kami.
Kembali
aku terkenang pada Jimi. Jelmaan siapakah dia? Apakah Jimi ditakdirkan sebagai
tumbal dalam keluarga ini? Apakah dengan kematiannya yang tragis keluarga ini
akan tenang, atau bara dendam akan semakin menyala? Hal itu sebenarnya
tergantung pada diriku sendiri. Mau meneruskan dendam, atau mengikuti nasehat
Ibu, agar kami pasrah dan mengalah.
Aku
menatap wajah Ibu. Beribu derita masa lalu tergurat samar-samar pada raut wajah
itu. Kekuatan macam apa yang mampu membuat Ibu setenang itu? Kelopak matanya
yang lembut masih digenangi airmata. Adik bungsuku telah menghentikan tangisnya,
namun matanya masih menatapku, seperti memohon agar aku tidak meneruskan
tindakan konyolku membuat perhitungan dengan Toblot.
“Baiklah.
Kalau Ibu tidak menginginkan aku membalas kematian Jimi dan sakit hati keluarga
kita, maka demi Ibu, aku membatalkan niatku membuat perhitungan dengan Toblot,”
aku menatap wajah Ibu yang masih tampak memelas. Aku kembali menyimpan tongkat
besi dan belatiku di kamar. Ibu dan adik bungsuku, tersenyum haru menatapku.
Mereka memelukku. Aku merasa tenang sekali. Ruh Jimi telah menuntunku menggapai
Sorga dalam diriku.***
Denpasar,
2002
Keterangan:
-
Sanggah
adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah disucikan dan dewa-dewa.
-
Nyentana
adalah sistem pernikahan adat Bali dimana
suami tinggal di rumah keluarga istri. Biasanya, nyentana hanya dilakukan jika
sebuah keluarga tidak memiliki anak lelaki sebagai pewaris dan pelanjut
keturunan keluarga tersebut.
No comments:
Post a Comment