Labels

Thursday, 20 October 2011

Rumput Liar



cerpen : Wayan Sunarta


Sepanjang sejarah Kecamatan A, baru kali ini dijumpai kejadian yang betul-betul tidak masuk akal. Pak Camat bingung. Seluruh pegawai kecamatan gundah.. Masyarakat resah dan panik. Pangkal dari kejadian aneh itu hanya perkara rumput. Rumput-rumput tumbuh sangat subur dan liar. Rumput tumbuh di mana-mana. Juga kantor-kantor pemerintahan, tak luput dari serangan rumput liar itu. Sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan rumput, mengalahkan tumbuhan lainnya. Kecamatan A tampak seperti bentangan karpet berwarna hijau. Rumput-rumput liar itu seakan ingin memproklamirkan kemerdekaannya.
            Di meja kerjanya, Pak Camat tampak duduk dengan raut muka kesal. Ia tidak habis pikir, mengapa rumput-rumput di sepanjang kota kecamatan tumbuh subur dan liar. Padahal baru kemarin ia perintahkan pasukan kebersihan untuk memangkas rumput-rumput liar itu dan menatanya agar rapi.
            Dari hari ke hari, rumput-rumput tumbuh semakin liar. Pak Camat kembali memanggil kepala bagian kebersihan kecamatan.“Bagaimana kerja anak buahmu, mengapa rumput-rumpur itu masih tumbuh liar? Padahal baru kemarin aku perintahkan untuk memangkasnya?!” Pak Camat  memuntahkan kekesalannya.
            “Maaf Pak, rumput-rumput itu sebenarnya sudah lama kami tertibkan. Sudah kami pangkas dan kami atur rapi, tapi kami tidak kuasa melawan kehendak alam, rumput-rumput itu terus saja tumbuh, subur dan liar,” jelas kepala kebersihan. Wajahnya pucat. Tangannya nampak gemetar. Ia sangat takut bila Pak Camat yang terkenal galak itu semakin murka mendengar penjelasannya.
            “Ah persetan! Pokoknya aku tidak mau tahu! Yang penting sekarang bagaimana kau bekerja dengan anak buahmu sekuat tenaga untuk membersihkan rumput-rumput liar itu. Mengerti?!”
            “Mengerti, Pak!” kepala kebersihan buru-buru ke luar ruangan.
            Sebenarnya Kecamatan A saat itu sedang getol-getolnya mempersiapkan lomba kebersihan tingkat provinsi. Sesuai surat edaran, Pak Bupati sangat menggarapkan agar Kecamatan A bisa mewakili kabupaten tahun ini untuk lomba itu. Namun, karena persoalan rumput yang membandel, Kecamatan A menjadi kelabakan menghadapi lomba yang minggu depan akan dinilai oleh tim juri dari provinsi. Rumput-rumput liar itu betul-betul telah merusak prestise dan prestasi Pak Camat. Gara-gara rumput itu, Kecamatan A sering ditulis di koran sebagai kecamatan yang jorok, tidak bisa mengatur diri sendiri dan berantakan.
            Sementara itu, di sepanjang jalan di kota kecamatan, rumput-rumput liar terus bertumbuhan, bersorak, berteriak dan bernyanyi kegirangan. Mereka seperti sedang mengadakan pesta kemerdekaan.
            “Ayo, kawan-kawan, kita nikmati kebebasan ini sepuas-puasnya! Berkembangbiaklah sebanyak-banyaknya! Penuhi kecamatan ini dengan keturunan kita!” teriak rumput yang paling tinggi dan rimbun.
            “Ya, ini adalah hari kebebasan kita, kaum rumput liar! Setelah sekian tahun kita ditindas, dipangkas, ditertibkan agar rapi dan patuh pada aturan, maka sekarang kita harus tunjukkan pada para penindas bahwa kita juga punya hak untuk hidup bebas!” ujar rimbunan rumput yang lain penuh semangat.
            “Kita berhak hidup bebas! Hidup bebas! Horeee….!” teriak rumput-rumput yang lebih muda, serentak.
            “Kalau ada yang berani membasmi kita, maka kita harus melawan, berkembangbiaklah terus, terus, dan terus…!” seru rumput yang paling tinggi.
            Rumput-rumput itu seperti menari-nari digoyang-goyangkan angin. Mereka serempak meneriakkan yel-yel: “Hidup rumput! Hidup terus! Lawan para penindas! Lawan!”   
Rumput-rumput liar itu seperti sedang menggelar demonstrasi. Dan, pada saat yang sama, kepala kebersihan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk membasmi rumput-rumput liar itu. Tapi, keajaiban selalu terjadi. Hari ini dibasmi, besok pagi rumput-rumput itu kembali tumbuh dengan lebih liar lagi. Begitulah setiap kali habis dipangkas, rumput itu tumbuh dengan sangat ganas dan terus menyerang kantor-kantor pemerintah. Bahkan sekarang seisi kota kecamatan telah ditumbuhi rumput liar.
            Pak Camat menggebrak meja, “Bangsat! Rumput-rumput liar itu betul-betul sudah keterlaluan. Mereka telah merusak dan mengganggu stabilitas keamanan di kecamatan ini. Sekarang, aku perintahkan kepada semua staf, pegawai, karyawan honorer dan seluruh warga untuk berperang melawan rumput liar itu. Berantas sampai ke akar-akarnya!”
            Semua personil kecamatan yang dikumpulkan secara mendadak itu tidak bisa berkata apa-apa. Kepala mereka menunduk. Sebenarnya mereka tidak tega membabat rumput-rumput liar itu. Selama ini, mereka juga merasa diperlakukan sebagai rumput yang tidak diharapkan kehadirannya, kecuali untuk kepentingan-kepentingan penguasa. Mereka tidak lebih hanya menjadi alat dan objek.
            Dengan terpaksa, meski melawan hati nurani sendiri, mereka mengambil sabit untuk memerangi rumput-rumput liar. Mereka mulai bergerak, menyabet batang-batang rumput yang lunak. Namun, serentak rumput-rumput itu menangis.
            “Jangan lukai kami. Kami ingin hidup. Kami ingin merdeka. Kami tidak mengganggu stabilitas. Kami hanya ingin menyejukkan kecamatan ini semampu kami.”
            Serentak para penyabit rumput mundur. Mereka saling pandang mendengar keluh kesah rumput-rumput liar itu. Para penyabit rumput saling berbisik satu sama lain.
            “Rumput-rumput itu bisa bicara!”
            “Mereka menangis!”
            “Kasihan sekali...”
            “Aku tidak tega melanjutkan tugas ini,” ujar seseorang sambil melempar sabitnya.
            “Aku juga,”sambung yang lainnya.
            “Aku juga.”
            “Tapi, kalau tugas ini tidak dilanjutkan, kita bisa dimarahi Pak Camat! Bagaimana ini?!”
            “Kita lapor saja apa adanya, apa yang barusan kita lihat dan dengar. Rumput-rumput ini memiliki jiwa, bisa terluka dan menangis kalau dianiaya,” jelas seseorang.
            Akhirnya para penyabit rumput tidak meneruskan pekerjaannya. Mereka tidak sampai hati melukai rumput-rumput liar yang tidak bersalah itu. Mereka kembali ke kantor camat dan melapor pada Pak Camat.
            “Pak, kami tidak bisa meneruskan pekerjaan ini. Rumput-rumput itu bisa bicara dan menangis ketika kami menyabitnya. Kami tidak tega, Pak. Mereka ternyata memiliki perasaan juga, seperti kita.”
            “Omong kosong apa ini?! Pokoknya, aku tidak mau tahu, apa rumput-rumput itu bisa bicara, menangis, atau apalah..Yang jelas kota kecamatan ini harus bebas dari rumput-rumput liar yang sangat mengganggu keamanan dan kebersihan. Ingat, kita sedang persiapan menghadapi lomba kebersihan tingkat provinsi! Sekarang kalian kembali bekerja, pangkas rumput-rumput itu!”
            Dengan terpaksa para penyabit rumput kembali ke lapangan. Dengan setengah hati mereka memangkas rumput-rumput liar itu. Maka terdengarlah suara pilu tangisan saat mata sabit menyentuh batang-batang lunak rumput. Sambil menahan perasaan, para penyabit terus membasmi rumput-rumput itu.
            “Maaf, kami hanya menjalankan perintah!”
            “Kami sebenarnya tidak sampai hati melukai kalian. Tapi, apa boleh buat? Kalau kami tidak segera menyingkirkan kalian, maka kamilah yang akan disingkirkan oleh Pak Camat. Kami dianggap tidak becus menjalankan tugas. Ini pilihan sulit bagi kami.”
            Sambil menahan sakit, serimbunan rumput berkata, “Tidak apa-apa. Kalian tidak salah. Nasib kalian sama seperti kami. Bahkan jiwa kalian adalah jiwa kami juga. Maka, teruskanlah pekerjaan kalian. Dan, kami pun akan meneruskan cita-cita kami, hidup terus dan meraih kebebasan kami.”
            Akhirnya, dengan berat hati, para pekerja kembali menyabit dan memangkas rumput-rumput liar itu. Keajaiban pun kembali terjadi. Rumput-rumput yang telah dipangkas kembali bertumbuhan. Bahkan makin ganas. Makin liar. Akar rumput telah menjalar ke mana-mana. Merambati gedung-gedung, toko-toko, bangunan pemerintah, rumah penduduk. Di mana-mana yang terlihat hanya hamparan rumput hijau. Sejuk yang mengerikan. Bangunan-bangunan seperti rumah hantu yang tidak terurus karena dipenuhi rumput yang menjalar ke mana-mana. Bahkan, para penyabit rumput perlahan menjelma rumput yang bergoyang-goyang diterpa angin.
            Kota kecamatan menjadi geger. Warga diliputi kepanikan yang parah. Sebagian warga telah mengungsi ke kecamatan lain agar terhindar dari wabah rumput. Pak Camat terperangah di kursinya. Ia tak bisa berkutik. Ia telah dikepung rumput-rumput liar yang telah menguasai kantornya. Dalam sekejap, kursi dan tubuh Pak Camat telah ditumbuhi rumput. Para penyabit rumput yang telah menjelma menjadi rumput, perlahan melilit leher Pak Camat. Ia mati lemas di kursi kekuasaannya sendiri.***



Denpasar, 2000

No comments:

Post a Comment