cerpen : Wayan Sunarta
Sepanjang sejarah Kecamatan A,
baru kali ini dijumpai kejadian yang betul-betul tidak masuk akal. Pak Camat
bingung. Seluruh pegawai kecamatan gundah.. Masyarakat resah dan panik. Pangkal
dari kejadian aneh itu hanya perkara rumput. Rumput-rumput tumbuh sangat subur
dan liar. Rumput tumbuh di mana-mana. Juga kantor-kantor pemerintahan, tak
luput dari serangan rumput liar itu. Sejauh mata memandang, yang ada hanya
hamparan rumput, mengalahkan tumbuhan lainnya. Kecamatan A tampak seperti
bentangan karpet berwarna hijau. Rumput-rumput liar itu seakan ingin
memproklamirkan kemerdekaannya.
Di
meja kerjanya, Pak Camat tampak duduk dengan raut muka kesal. Ia tidak habis
pikir, mengapa rumput-rumput di sepanjang kota
kecamatan tumbuh subur dan liar. Padahal baru kemarin ia perintahkan pasukan
kebersihan untuk memangkas rumput-rumput liar itu dan menatanya agar rapi.
Dari
hari ke hari, rumput-rumput tumbuh semakin liar. Pak Camat kembali memanggil
kepala bagian kebersihan kecamatan.“Bagaimana kerja anak buahmu, mengapa
rumput-rumpur itu masih tumbuh liar? Padahal baru kemarin aku perintahkan untuk
memangkasnya?!” Pak Camat memuntahkan
kekesalannya.
“Maaf
Pak, rumput-rumput itu sebenarnya sudah lama kami tertibkan. Sudah kami pangkas
dan kami atur rapi, tapi kami tidak kuasa melawan kehendak alam, rumput-rumput
itu terus saja tumbuh, subur dan liar,” jelas kepala kebersihan. Wajahnya
pucat. Tangannya nampak gemetar. Ia sangat takut bila Pak Camat yang terkenal
galak itu semakin murka mendengar penjelasannya.
“Ah
persetan! Pokoknya aku tidak mau tahu! Yang penting sekarang bagaimana kau
bekerja dengan anak buahmu sekuat tenaga untuk membersihkan rumput-rumput liar
itu. Mengerti?!”
“Mengerti,
Pak!” kepala kebersihan buru-buru ke luar ruangan.
Sebenarnya
Kecamatan A saat itu sedang getol-getolnya mempersiapkan lomba kebersihan
tingkat provinsi. Sesuai surat
edaran, Pak Bupati sangat menggarapkan agar Kecamatan A bisa mewakili kabupaten
tahun ini untuk lomba itu. Namun, karena persoalan rumput yang membandel, Kecamatan
A menjadi kelabakan menghadapi lomba yang minggu depan akan dinilai oleh tim
juri dari provinsi. Rumput-rumput liar itu betul-betul telah merusak prestise
dan prestasi Pak Camat. Gara-gara rumput itu, Kecamatan A sering ditulis di
koran sebagai kecamatan yang jorok, tidak bisa mengatur diri sendiri dan
berantakan.
Sementara
itu, di sepanjang jalan di kota
kecamatan, rumput-rumput liar terus bertumbuhan, bersorak, berteriak dan
bernyanyi kegirangan. Mereka seperti sedang mengadakan pesta kemerdekaan.
“Ayo,
kawan-kawan, kita nikmati kebebasan ini sepuas-puasnya! Berkembangbiaklah
sebanyak-banyaknya! Penuhi kecamatan ini dengan keturunan kita!” teriak rumput
yang paling tinggi dan rimbun.
“Ya,
ini adalah hari kebebasan kita, kaum rumput liar! Setelah sekian tahun kita
ditindas, dipangkas, ditertibkan agar rapi dan patuh pada aturan, maka sekarang
kita harus tunjukkan pada para penindas bahwa kita juga punya hak untuk hidup
bebas!” ujar rimbunan rumput yang lain penuh semangat.
“Kita
berhak hidup bebas! Hidup bebas! Horeee….!” teriak rumput-rumput yang lebih
muda, serentak.
“Kalau
ada yang berani membasmi kita, maka kita harus melawan, berkembangbiaklah
terus, terus, dan terus…!” seru rumput yang paling tinggi.
Rumput-rumput
itu seperti menari-nari digoyang-goyangkan angin. Mereka serempak meneriakkan
yel-yel: “Hidup rumput! Hidup terus! Lawan para penindas! Lawan!”
Rumput-rumput
liar itu seperti sedang menggelar demonstrasi. Dan, pada saat yang sama, kepala
kebersihan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk membasmi rumput-rumput liar
itu. Tapi, keajaiban selalu terjadi. Hari ini dibasmi, besok pagi rumput-rumput
itu kembali tumbuh dengan lebih liar lagi. Begitulah setiap kali habis
dipangkas, rumput itu tumbuh dengan sangat ganas dan terus menyerang
kantor-kantor pemerintah. Bahkan sekarang seisi kota kecamatan telah ditumbuhi rumput liar.
Pak
Camat menggebrak meja, “Bangsat! Rumput-rumput liar itu betul-betul sudah
keterlaluan. Mereka telah merusak dan mengganggu stabilitas keamanan di
kecamatan ini. Sekarang, aku perintahkan kepada semua staf, pegawai, karyawan
honorer dan seluruh warga untuk berperang melawan rumput liar itu. Berantas
sampai ke akar-akarnya!”
Semua
personil kecamatan yang dikumpulkan secara mendadak itu tidak bisa berkata
apa-apa. Kepala mereka menunduk. Sebenarnya mereka tidak tega membabat
rumput-rumput liar itu. Selama ini, mereka juga merasa diperlakukan sebagai
rumput yang tidak diharapkan kehadirannya, kecuali untuk
kepentingan-kepentingan penguasa. Mereka tidak lebih hanya menjadi alat dan
objek.
Dengan
terpaksa, meski melawan hati nurani sendiri, mereka mengambil sabit untuk memerangi
rumput-rumput liar. Mereka mulai bergerak, menyabet batang-batang rumput yang
lunak. Namun, serentak rumput-rumput itu menangis.
“Jangan
lukai kami. Kami ingin hidup. Kami ingin merdeka. Kami tidak mengganggu
stabilitas. Kami hanya ingin menyejukkan kecamatan ini semampu kami.”
Serentak
para penyabit rumput mundur. Mereka saling pandang mendengar keluh kesah rumput-rumput
liar itu. Para penyabit rumput saling berbisik
satu sama lain.
“Rumput-rumput
itu bisa bicara!”
“Mereka
menangis!”
“Kasihan
sekali...”
“Aku
tidak tega melanjutkan tugas ini,” ujar seseorang sambil melempar sabitnya.
“Aku
juga,”sambung yang lainnya.
“Aku
juga.”
“Tapi,
kalau tugas ini tidak dilanjutkan, kita bisa dimarahi Pak Camat! Bagaimana
ini?!”
“Kita
lapor saja apa adanya, apa yang barusan kita lihat dan dengar. Rumput-rumput
ini memiliki jiwa, bisa terluka dan menangis kalau dianiaya,” jelas seseorang.
Akhirnya
para penyabit rumput tidak meneruskan pekerjaannya. Mereka tidak sampai hati
melukai rumput-rumput liar yang tidak bersalah itu. Mereka kembali ke kantor
camat dan melapor pada Pak Camat.
“Pak,
kami tidak bisa meneruskan pekerjaan ini. Rumput-rumput itu bisa bicara dan
menangis ketika kami menyabitnya. Kami tidak tega, Pak. Mereka ternyata
memiliki perasaan juga, seperti kita.”
“Omong
kosong apa ini?! Pokoknya, aku tidak mau tahu, apa rumput-rumput itu bisa
bicara, menangis, atau apalah..Yang jelas kota
kecamatan ini harus bebas dari rumput-rumput liar yang sangat mengganggu
keamanan dan kebersihan. Ingat, kita sedang persiapan menghadapi lomba
kebersihan tingkat provinsi! Sekarang kalian kembali bekerja, pangkas
rumput-rumput itu!”
Dengan
terpaksa para penyabit rumput kembali ke lapangan. Dengan setengah hati mereka memangkas
rumput-rumput liar itu. Maka terdengarlah suara pilu tangisan saat mata sabit
menyentuh batang-batang lunak rumput. Sambil menahan perasaan, para penyabit
terus membasmi rumput-rumput itu.
“Maaf,
kami hanya menjalankan perintah!”
“Kami
sebenarnya tidak sampai hati melukai kalian. Tapi, apa boleh buat? Kalau kami
tidak segera menyingkirkan kalian, maka kamilah yang akan disingkirkan oleh Pak
Camat. Kami dianggap tidak becus menjalankan tugas. Ini pilihan sulit bagi
kami.”
Sambil
menahan sakit, serimbunan rumput berkata, “Tidak apa-apa. Kalian tidak salah.
Nasib kalian sama seperti kami. Bahkan jiwa kalian adalah jiwa kami juga. Maka,
teruskanlah pekerjaan kalian. Dan, kami pun akan meneruskan cita-cita kami,
hidup terus dan meraih kebebasan kami.”
Akhirnya,
dengan berat hati, para pekerja kembali menyabit dan memangkas rumput-rumput
liar itu. Keajaiban pun kembali terjadi. Rumput-rumput yang telah dipangkas
kembali bertumbuhan. Bahkan makin ganas. Makin liar. Akar rumput telah menjalar
ke mana-mana. Merambati gedung-gedung, toko-toko, bangunan pemerintah, rumah
penduduk. Di mana-mana yang terlihat hanya hamparan rumput hijau. Sejuk yang
mengerikan. Bangunan-bangunan seperti rumah hantu yang tidak terurus karena
dipenuhi rumput yang menjalar ke mana-mana. Bahkan, para penyabit rumput
perlahan menjelma rumput yang bergoyang-goyang diterpa angin.
Kota kecamatan menjadi
geger. Warga diliputi kepanikan yang parah. Sebagian warga telah mengungsi ke
kecamatan lain agar terhindar dari wabah rumput. Pak Camat terperangah di
kursinya. Ia tak bisa berkutik. Ia telah dikepung rumput-rumput liar yang telah
menguasai kantornya. Dalam sekejap, kursi dan tubuh Pak Camat telah ditumbuhi
rumput. Para penyabit rumput yang telah
menjelma menjadi rumput, perlahan melilit leher Pak Camat. Ia mati lemas di
kursi kekuasaannya sendiri.***
No comments:
Post a Comment